Perlahan tapi pasti, Islam mulai memasuki rumah-rumah penduduk Makkah. Mulailah terbuka mata musyrikin Quraisy bahwa ini bukan main-main, dan pasti menjadi ancaman terhadap kedudukan mereka selama ini di mata seluruh kabilah Arab.
Pada mulanya penduduk Makkah memang tidak menggubris seruan dakwah ini. Akan tetapi setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit secara terang-terangan menyatakan celaan terhadap sesembahan dan keyakinan mereka, barulah mereka melakukan balasan dan tekanan. Berbagai upaya mereka lakukan untuk membendung dakwah Islam.
Di antara mereka ada yang mencoba membujuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui pamannya yang selama ini menjadi pelindung sekaligus sebagai ganti ayahandanya. Mereka meminta Abu Thalib agar meredam aktivitas Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah.
Akhirnya mereka mengutus ‘Utbah bin Rabi’ah dan saudaranya Syaibah, Abu Sufyan Shakhr bin Harb, Abu Jahl ‘Amr bin Hisyam, dan lain-lain, untuk menemui Abu Thalib serta mengatakan, “Wahai Abu Thalib, keponakanmu mulai mencaci-maki sesembahan kami, mencela agama kami, membodoh-bodohi serta menganggap sesat pemimpin dan nenek moyang kami. (Terserah kepadamu), apakah engkau akan menahannya dari kami atau kamu serahkan urusannya kepada kami…”
Abu Thalib memberi jawaban dengan tutur kata yang lembut dan bahasa yang menarik sehingga mereka pun berlalu meninggalkannya.
Ada pula kisah yang menyebutkan, setelah mereka mengungkapkan apa yang mereka rasakan kepada Abu Thalib, maka Abu Thalib pun segera memanggil Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya, Abu Thalib berkata, “Wahai anak saudaraku, mereka ini adalah para pemuka dan pemimpin kaummu. Mereka meminta agar engkau menahan diri jangan mencaci-maki sesembahan mereka dan mereka pun akan membiarkan engkau bersama sesembahanmu.”
Muhammad pun menjawab, “Wahai paman, mengapa tidak kau ajak mereka kepada yang lebih baik dari itu?”
Abu Thalib bertanya, “Apa yang akan engkau serukan kepada mereka?”
Beliau pun berkata, “Saya akan mengajak mereka untuk mengucapkan satu kalimat yang (kalau mereka ucapkan), maka seluruh kabilah Arab akan tunduk kepada mereka. Bahkan mereka akan menjadi raja pula bagi orang-orang ‘ajam (non-Arab).”
Tiba-tiba Abu Jahl berkata, “Kalimat apa itu, kami akan berikan kepada kamu sepuluh kali lipat dari itu?”
Beliau menjawab, “Agar kalian mengucapkan (Tidak ada ilah selain Allah).”
Serta-merta mereka berpaling dan berkata, “Mintalah yang lain.”
Beliau berkata pula, “Seandainya kalian letakkan matahari di tanganku sehingga menghanguskannya, saya tetap tidak akan meminta kepada kalian apa pun selain kalian mengucapkan kalimat ini.”
Akhirnya mereka berdiri dan pergi dalam keadaan marah seraya mengancam, “Demi Allah, kami pasti akan mencaci-makimu dan sesembahanmu yang menyuruhmu melakukan hal ini.”
Pergilah para pemuka itu kepada kaumnya seraya berkata, “Teruslah dan bersabarlah kalian dalam beribadah kepada sesembahan kalian, sesungguhnya ini benar-benar sesuatu yang dikehendaki.”
Kaum Quraisy pun benar-benar melaksanakan ancamannya. Beberapa orang sahabat dari kalangan fuqara’ dan para budak menjadi sasaran mereka. Bilal bin Rabah, mendapat siksaan hebat dari majikannya, Umayyah bin Khalaf. Setiap kali siksaan itu semakin hebat, Bilal hanya mengatakan, “Ahad (Allah Maha Esa), Ahad.”
Khabbab bin al-Aratt disiksa oleh majikannya, Ummu ‘Ammar al-Khuza’iyah, bahkan tega memanggang kepala Khabbab dengan besi panas membara. Juga ‘Ammar bin Yasir, ibunya Sumayyah dan ayahnya Yasir, tak luput dari penindasan dan siksaan sampai akhirnya Sumayyah gugur sebagai syahidah wanita pertama dalam Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak luput dari perlakuan keji orang-orang kafir Quraisy. Setiap kali ada pemuka Quraisy yang bertemu dengan beliau, selalu mereka meludah di hadapannya, mengumpat beliau, dan menaburkan kotoran ke wajahnya. Pernah pula beliau dicekik dan dibanting oleh sebagian pemuka tersebut.
Kadang apabila dalam keadaan sujud, punggung beliau dilumuri kotoran unta atau dilempari benda-benda najis. Namun, Allah subhanahu wa ta’ala tetap menjaga dan memelihara beliau, serta menjadikan pamannya yang masih menganut agama kaumnya sebagai pembela dan penolong.
Adapun sahabat lain yang berasal dari kalangan budak dan orang-orang miskin, jika mereka punya kerabat, maka itulah yang membela mereka. Sedangkan yang tidak memiliki kerabat, semuanya merasakan gangguan keji dari para pemuka Quraisy itu.
Namun, semua ini adalah sunnatullah (ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala) yang berlaku atas hamba-hamba-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Tidaklah ada yang dikatakan kepadamu melainkan adalah apa yang juga sesungguhnya telah dikatakan kepada para rasul sebelum kamu. Sesungguhnya Rabb-mu benar-benar mempunyai ampunan dan hukuman yang pedih.” (Fushshilat: 43)
“Demikianlah tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan, ‘Ia adalah tukang sihir atau orang gila.’ Apakah mereka saling berwasiat tentang apa yang dikatakan itu? Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas.” (adz-Dzariyat: 52—53)
Dengan semua ujian ini, Allah subhanahu wa ta’ala menaikkan derajat Nabi-Nya dan para pengikutnya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (ujian) seperti yang dialami orang-orang sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, ‘Bilakah (datangnya) pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu sangat dekat.” (al-Baqarah: 214)
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa ia dibiarkan saja mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sungguh Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Dia mengetahui pula orang-orang yang berdusta.”
Hingga firman-Nya,
“Dan sungguh Allah benar-benar mengetahui orang-orang yang beriman dan sungguh Dia mengetahui orang-orang yang munafik.” (al-‘Ankabut: 1—11)
Hendaklah setiap orang memerhatikan susunan ayat ini yang sarat dengan mutiara hikmah Ilahiyah. Karena pada hakikatnya, apabila diutus para rasul kepada manusia, mereka berada di antara dua keadaan. Mengatakan “kami beriman” atau tidak mengatakan demikian, bahkan terus-menerus di atas kesesatan dan kekafiran.
Dengan demikian, siapa yang mengatakan “kami beriman”, maka Allah subhanahu wa ta’ala pasti mengujinya. Adapun yang tidak mengatakan hal ini, janganlah dia menyangka bahwa dia telah mengalahkan dan mengungguli Allah subhanahu wa ta’ala. Siapa yang beriman kepada para rasul dan menaati mereka, maka musuh-musuhnya akan menyerang dan menyakitinya.
Adapun kalau dia tidak beriman dan tidak menaati para rasul tersebut, niscaya dia akan menerima balasan yang buruk di dunia dan akhirat. Akan tetapi, kesudahan yang baik hanyalah bagi mereka yang beriman dan bertakwa.
Wallahu a’lam bish-shawab.
ditulis oleh al-Ustadz Idral Harits