Asysyariah
Asysyariah

rasul baru tersebut al masih al maw’ud, menyingkap kesesatan al-qiyadah al-islamiyah

13 tahun yang lalu
baca 9 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Faruq Ayip Syafrudin)

Sebuah ‘agama’ baru telah lahir di Indonesia. Nabinya orang Indonesia, kitabnya juga berbahasa Indonesia. Yang bikin bingung, namanya berbau Islam namun ajarannya Kristen. Sebuah upaya pemurtadan?

Al-Qiyadah Al-Islamiyah adalah sebuah gerakan yang memiliki pemahaman bahwa kini telah ada orang yang diutus sebagai rasul Allah. Orang yang dimaksud, menurut kelompok ini, adalah Al-Masih Al-Maw’ud. Dia dilantik menjadi rasul Allah pada 23 Juli 2006 di Gunung Bunder (Bogor, Jawa Barat). Itu terjadi setelah sebelumnya Al-Masih Al-Maw’ud bertahannuts dan pada malam ketigapuluh tujuh, tiga hari menjelang hari keempatpuluh bertahannuts, dirinya bermimpi dilantik dan diangkat menjadi rasul Allah disaksikan para sahabatnya. Katanya, “Aku Al-Masih Al-Maw’ud menjadi syahid Allah bagi kalian, orang-orang yang mengimaniku… Selanjutnya bagi kaum mukmin yang mengimaniku agar menjadi syahid tentang kerasulanku kepada seluruh umat manusia di bumi Allah ini, seperti halnya murid-murid Yesus, tatkalah Yesus berbicara kepada murid-muridnya maka murid-muridnya itu segera melaksanakan perintahnya.” (Ruhul Qudus yang turun kepada Al-Masih Al-Maw’ud, edisi I, Februari 2007, oleh Michael Muhdats, hal. 178)
Selain itu, kelompok ini memiliki pemahaman tidak ada ketentuan untuk menunaikan shalat wajib lima waktu. Orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka dinyatakan sebagai orang-orang musyrik. Mereka menolak hadits-hadits shahih yang berasal dari Nabi n dan mencukupkan diri hanya pada Al-Qur`an. Itupun dengan penafsiran (pada ayat-ayat Al-Qur`an tersebut) berdasar ra`yu (akal) mereka, terutama akal Al-Masih Al-Maw’ud. Tanpa kaidah-kaidah penafsiran yang baku sebagaimana dipahami para ulama dari kalangan salafush shalih. Mereka memiliki lafadz syahadatain tidak seperti yang diikrarkan dan diyakini kaum muslimin. Lafadznya berbunyi: “Aku bersaksi bahwa tiada yang hak untuk diibadahi kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa anda Al-Masih Al-Maw’ud adalah utusan Allah.” (idem, hal. 191)
Bila seseorang melakukan ibadah tanpa mengikuti rasul setelah Muhammad, yaitu Al-Masih Al-Maw’ud, maka tidak akan diterima ibadahnya. (idem, hal. 175)
Bagi mereka, Islam yang sekarang ini sudah tidak sempurna. Mereka berkeyakinan bahwa ajaran yang dibawa Moses, Yesus, dan Ahmad adalah sama karena memiliki sumber ajaran yang sama pula (dari Allah). Bahkan kata mereka, di dalam ajaran Islam ada konsep trinitas sebagaimana dalam ajaran Kristen. Mereka tidak segan-segan untuk menyatakan: “Sebetulnya ajaran Yesus sama dengan ajaran Islam.” Para anggota kelompoknya pun diberi atribut nama yang berbau Kristen, seperti asal namanya Muhammad, lalu ditambahi dengan nama Kristen menjadi Muhammad Joseph.
Dalam sejarah perkembangan Islam, adanya orang yang mengaku dirinya sebagai utusan Allah l atau nabi, tidak satu atau dua kali saja. Tidak pula terjadi pada masa kini saja. Semenjak para sahabat Nabi n masih hidup, orang yang mengaku sebagai nabi juga ada. Sebut misalnya, Al-Aswad Al-‘Ansi di Yaman dan Musailamah Al-Kadzdzab di Yamamah. Sudah sepantasnya bila Ibnu Katsir t dalam Tasfir-nya menegaskan bahwa siapapun yang mengaku sebagai seorang nabi yang diutus Allah l kepada umat ini, layak baginya untuk disebut pendusta. Kata Ibnu Katsir t, “Allah tabaraka wa ta’ala sungguh telah mengabarkan dalam Kitab-Nya dan Rasul-Nya n dalam As-Sunnah Al-Mutawatirah tentangnya, (bahwa) ‘Sesungguhnya tidak ada nabi setelah Muhammad n’. Sungguh kalian telah mengetahui pula, bahwa setiap yang mengaku berkedudukan (sebagai nabi) ini setelah Muhammad n, maka dia itu pendusta, pembohong, dajjal, sesat menyesatkan.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, Ibnu Katsir t, 3/599)
Saat memberi tafsir terhadap ayat:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab: 40)
Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari t mengungkapkan bahwa khatamun nabiyyin (penutup para nabi) adalah yang menutup nubuwah (kenabian). Maka telah ditentukan tabiat atas kenabian bahwa tidak dibuka bagi seorang pun (menjadi seorang nabi, pen.) setelah kenabian Muhammad n hingga hari kiamat. (Tafsir Ath-Thabari, 19/121)
Sedangkan menurut Ibnul ‘Arabi t dalam Ahkamul Qur`an (3/473) dan Al-Imam Asy-Syaukani t dalam Fathul Qadir (4/376), bahwa khatamun nabiyyin adalah akhir mereka (para nabi, pen.).
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t, saat menjelaskan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t tentang i’tiqad Ahlus Sunnah wal Jamaah yang beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kebangkitan setelah kematian dan qadar-Nya yang baik dan yang buruk, menyatakan bahwa akhir mereka (para rasul, pen) adalah Muhammad n, berdasarkan firman Allah l:
“Dan akan tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi.” (Al-Ahzab: 40)
tidak dikatakan ‘wa khatama al-mursalin’ (penutup para rasul, pen.) karena sesungguhnya apabila (disebutkan, pen.) ‘khatama an-nubuwah’ (penutup kenabian) tentu ‘khatama ar-risalah’ (penutup kerasulan) lebih utama. Jika dipermasalahkan, bagaimana dengan Isa q yang akan turun di akhir zaman, bukankah dia seorang rasul? Maka jawabnya, Isa q tidak akan turun membawa syariat baru. Dia akan berhukum dengan syariat Nabi n. (Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, hal. 42-43)
Juga disebutkan oleh Ibnu Katsir t bahwa firman Allah l:
“Tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab: 40)
dan firman-Nya:
“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (Al-An’am: 124)
Ini merupakan ayat yang menjadi nash bahwa sesungguhnya tidak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad n. Jika tidak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad n, maka tidak ada lagi rasul setelah beliau n merupakan sesuatu hal yang lebih utama dan pantas. Sebab, kedudukan kerasulan (ar-risalah) lebih khusus daripada kedudukan kenabian (an-nubuwwah). Maka setiap rasul adalah nabi, namun tidak setiap nabi adalah rasul. Diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad dari Ubai bin Ka’b z, dari Nabi n, beliau bersabda:
مَثَلِي فِي النَّبِيِّيْنَ كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى دَارًا فَأَحْسَنَهَا وَأَكْمَلَهَا وَتَرَكَ فِيْهَا مَوْضِعَ لَبِنَةٍ لَمْ يَضَعْهَا فَجَعَلَ النَّاسُ يَطُوفُونَ بِالْبُنْيَانِ وَيَعْجِوُنَ مِنْهُ وَيَقُولُونَ: لَوْ تَمَّ مَوْضِعَ هَذِهِ اللَّبِنَةِ! فَأَنَا فِي النَّبِيِّيْنَ مَوْضِعُ تِلْكَ اللَّبِنَةِ
“Perumpamaan aku di kalangan para nabi seperti seorang yang membangun rumah. Maka dia membaguskan dan menyempurnakan semaksimal mungkin. (Namun) ternyata ada satu batu bata yang tertinggal, belum terpasang pada bangunan tersebut. Maka orang-orang pun mengelilingi bangunan tersebut dan merasakan keheranan melihat hal itu. Mereka berucap, ‘Andai satu batu bata itu terpasang, sempurnalah (bangunan itu).’ Maka akulah, di kalangan para nabi, yang menjadi sebuah batu bata yang dipasangkan tersebut.” (HR. At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t) [Lihat Mukhtashar Tafsir Al-Qur`anul ‘Azhim Al-Musamma ‘Umdatut Tafsir ‘an Al-Hafizh Ibnu Katsir, Ahmad Muhammad Syakir t, hal. 55)
Sesungguhnya Allah tabaraka wa ta’ala telah memilih Muhammad n dengan nubuwah-Nya, bahkan secara khusus dengan risalah-Nya. Maka Allah l menurunkan Al-Qur`an kepadanya dan memerintahkannya agar menjelaskan isi Al-Qur`an itu kepada segenap manusia. Allah l berfirman:
“…Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur`an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (An-Nahl: 44)
Karena itu, untuk memahami Al-Qur`an sangat diperlukan sekali Sunnah Rasulullah n. Melalui beliau n, pesan-pesan Al-Qur`an bisa ditangkap secara tepat arah dan maksudnya. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t memberikan ilustrasi contoh yang cemerlang sekali tentang betapa urgennya kedudukan As-Sunnah dalam memahami ayat-ayat Al-Qur`an. Beliau t memberikan contoh sebagai berikut:
Firman Allah l:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Ma`idah: 38)
Maka, terkait perihal pencuri masih bersifat mutlak. Demikian halnya dengan kata tangan. Dalam hal ini, As-Sunnah al-qauliyyah (berupa ucapan) menjelaskan tentang ketentuan (kaidah) nilai barang yang dicuri sehingga menjadikan pelakunya dipotong tangan. Berdasarkan As-Sunnah, pencurian senilai seperempat dinar atau lebih terkena hukum potong tangan, berdasarkan hadits Nabi n:
لَا قَطْعَ إِلاَّ فِي رُبُعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِدًا
“Tidak ada pemotongan (tangan) kecuali (atas kasus pencurian) seperempat dinar atau lebih.” (Muttafaqun alalih)
As-Sunnah menjelaskan pula melalui perbuatan Nabi n dan para sahabat serta melalui taqrir (persetujuan) beliau n, bahwa pemotongan tangan seorang pencuri adalah pada pergelangan tangan.
Demikian pula firman Allah l:
“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu.” (Al-Ma`idah: 6)
Yang dimaksud tangan di sini adalah telapak tangan, sebagaimana sabda Nabi n:
التَّيَمُّمُ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ
“Tayammum itu sekali tepukan ke wajah dan dua telapak tangan.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari, Muslim dan selainnya dari hadits ‘Ammar bin Yasir c)
Contoh lain adalah firman Allah l:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan iman mereka dengan kedzaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-An’am: 82)
Pada saat itu, para sahabat Nabi n memahami ayat tersebut dengan kedzaliman yang bersifat umum, yang meliputi semua jenis kedzaliman, meski hanya kecil saja. Akibatnya mereka mempertanyakan ayat ini kepada Rasulullah n. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa di antara kami yang tidak mencampuradukkan imannya dengan kedzaliman?”
Nabi n pun menjawab, “Bukan seperti itu. Sesungguhnya yang dimaksud ayat itu adalah syirik. Tidakkah kalian mendengar perkataan Luqman:
“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar.” (Luqman: 13) [HR. Al-Bukhari dan Muslim serta selainnya]
Dari apa yang telah dijelaskan di depan, maka betapa teramat sangat pentingnya As-Sunnah dalam syariat Islam. Dengan memerhatikan contoh-contoh di muka, dan banyak lagi contoh perkara yang tidak bisa disebutkan di sini, sampailah pada keyakinan bahwa tidak ada jalan ke pemahaman Al-Qur`an yang benar-benar shahih kecuali dengan menyertakan As-Sunnah. (Manzilatu As-Sunnah fil Islam wa Bayanu Annahu La Yustaghna ‘anha bil Qur`an, Muhammad Nashiruddin Al-Albani t, hal. 7-9)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t dalam mukadimah Tafsir-nya menyatakan tentang kaidah menafsirkan Al-Qur`an. Kata beliau:
1. Menafsirkan Al-Qur`an dengan Al-Qur`an. Metodologi ini merupakan yang paling shahih (valid).
2. Menafsirkan Al-Qur`an dengan As-Sunnah. Karena As-Sunnah merupakan pensyarah dan menjelaskan Al-Qur`an.
3. Menafsirkan Al-Qur`an dengan perkataan para sahabat.
Menurut Ibnu Katsir t, bila tidak didapati tafsir dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, kami merujuk kepada pernyataan para sahabat. Karena mereka adalah orang-orang yang lebih mengetahui sekaligus sebagai saksi dari berbagai fenomena dan situasi yang terjadi.
4. Bila tidak didapati cara menafsirkan dengan ketiga metode di atas, maka menafsirkan Al-Qur`an dengan pemahaman yang dimiliki para tabi’in (murid-murid para sahabat). Sufyan Ats-Tsauri t berkata, “Jika tafsir itu datang dari Mujahid, maka jadikanlah sebagai pegangan.” Mujahid t adalah seorang tabi’in.
Fenomena memberikan interpretasi terhadap ayat-ayat Allah l tanpa mengindahkan kaidah-kaidah yang berlaku sebagaimana dipahami salafush shalih, kini nampak mulai marak. Ini sebagaimana diungkap Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t: “Didapati pada sebagian penafsir dan penulis dewasa ini yang membolehkan makan daging binatang buas atau memakai emas dan sutera (bagi laki-laki) dengan semata bersandar kepada Al-Qur`an. Bahkan dewasa ini didapati sekelompok orang yang hanya mencukupkan dengan Al-Qur`an saja (Al-Qur`aniyyun). Mereka menafsirkan Al-Qur`an dengan hawa nafsu dan akal mereka, tanpa dibantu dengan As-Sunnah yang shahih.” (Manzilatu As-Sunnah fil Islam, hal. 11)
Ibnu ‘Abbas c telah memberi peringatan:
“Barangsiapa yang berbicara tentang Al-Qur`an dengan ra`yu (akal) nya, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka.” (I’lamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin, Ibnul Qayyim t, hal. 54)
Wallahu a’lam.