Sabar merupakan sebuah kata yang ringan diucapkan, namun sangat bermakna dalam kehidupan. Dengannya, perjalanan hidup seseorang akan selalu terbimbing di atas kebenaran. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ
“Kesabaran itu adalah cahaya.” (HR. Muslim no. 223, dari sahabat Abu Malik al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu)
Al-Hafizh an-Nawawi rahimahumallah berkata, “Sesungguhnya kesabaran adalah amalan yang terpuji dan pelakunya akan selalu terbimbing di atas kebenaran.” (Syarh Shahih Muslim 3/101)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah berkata, “Sebuah petunjuk (al-huda) tidak akan diraih melainkan dengan ilmu, sedangkan kemudahan untuk beramal dengan ilmu (ar-rasyad) tidak akan diraih melainkan dengan kesabaran.” (Majmu’ Fatawa 10/40)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahumallah berkata, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala menjadikan sabar sebagai kuda tunggangan yang tak kenal lelah, pedang yang tak pernah tumpul, prajurit yang pantang menyerah, benteng kokoh yang tak bisa dihancurkan dan ditembus. Sabar merupakan saudara kandung kemenangan. Di mana ada kesabaran, di situ ada kemenangan.” (Uddatush Shabirin, hlm. 4)
Secara etimologis, sabar mempunyai arti menahan. Maksudnya, menahan kalbu dari rasa kesal terhadap ketentuan Allah Subhanahu wata’ala (takdir), menahan lisan dari berkeluh kesah, dan menahan anggota badan dari perbuatan maksiat, seperti menampar-nampar pipi, merobekrobek baju, mencabut-cabut rambut, dan yang semisalnya. Di atas tiga asas itulah kesabaran dibangun. (al-Wabilush Shayyib karya al-Imam Ibnul Qayyim, hlm. 5)
Adapun hakikat sabar itu sendiri adalah sebuah budi pekerti luhur yang dapat menahan seseorang dari perbuatan yang tidak baik. Sabar termasuk salah satu dari kekuatan batin (psikis) yang dapat menstabilkan jiwa seseorang sehingga menjadi baik dan lurus. (Uddatush Shabirin, hlm. 11)
Di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, sabar disebutkan dalam beberapa bentuk lafadz yang mempunyai kandungan makna berbeda-beda;
1. Shabr ( صَبْرٌ ): kesabaran yang dilakukan dengan mudah.
2. Tashabbur ( تَصَبُّرٌ ): kesabaran yang dilakukan dengan upaya dan perjuangan.
3. Ishthibar ( اِصْطِبَارٌ ): puncak dari tashabbur ( تَصَبُّرٌ ). Maksudnya, puncak dari kesabaran yang dilakukan dengan upaya dan perjuangan.
4. Mushabarah ( مُصَابَرَةٌ ): kesabaran yang dilakukan di medan laga saat berhadapan dengan musuh. (Lihat Uddatush Shabirin, hlm. 15—16)
Ditinjau dari sisi keterkaitannya dengan Allah Subhanahu wata’ala, sabar terbagi menjadi tiga,
1. Sabar dengan Allah Subhanahu wata’ala ( ashshabru billah). Maksudnya, memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wata’ala dan meyakini bahwa Dia-lah Dzat yang menjadikan seorang hamba bersabar. Betapa pun seseorang mampu bersabar maka semua itu berkat pertolongan dari Allah Subhanahu wata’ala, bukan kemampuan dirinya semata. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ
“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (an-Nahl: 127)
Makna ayat di atas, jika Allah Subhanahu wata’ala tidak memberikan pertolongan kepadamu untuk bersabar, niscaya engkau tidak akan mampu bersabar.
2. Sabar karena Allah Subhanahu wata’ala (ashshabru lillah). Maksudnya, kesabaran yang dilakukan karena kecintaan kepada Allah Subhanahu wata’ala, menginginkan wajah-Nya, dan taqarub kepada-Nya. Bukan untuk menonjolkan diri, ingin dipuji orang, dan tujuan buruk lainnya.
3. Sabar bersama Allah Subhanahu wata’ala (ashshabru ma’allah).
Artinya, kesabaran seorang hamba bersama syariat Allah Subhanahu wata’ala dan segala ketentuan hukum-Nya secara berkesinambungan, berteguh diri di atas syariat dan hukum tersebut, berjalan di atasnya, serta menjalankan segala konsekuensinya. Hidupnya selalu dikendalikan oleh syariat dan hukum tersebut, kapan saja dan di mana saja ia berada.
Demikianlah kondisi seseorang yang bersabar bersama Allah Subhanahu wata’ala. Ia senantiasa menjadikan dirinya berada di atas segala yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala dan dicintai-Nya. Kesabaran yang seperti ini adalah jenis kesabaran yang paling berat dan sulit. Itulah kesabaran yang ada pada diri ash-shiddiqin (orangorang yang sangat kuat keyakinannya kepada Allah Subhanahu wata’ala). (Madarijus Salikin karya al-Imam Ibnul Qayyim, 2/157)
Dalam ranah kehidupan beragama, para ulama mengklasifikasi sabar menjadi tiga,
1. Sabar di atas ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala, dengan selalu mengerjakan segala perintah-Nya Subhanahu wata’ala.
2. Sabar dari perbuatan maksiat, selalu menahan diri dari segala yang dilarang oleh Allah Subhanahu wata’ala.
3. Sabar atas segala musibah yang menimpa. (Lihat Qaidah fish Shabr karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hlm. 90—91, Syarh Shahih Muslim karya al-Hafizh an-Nawawi 3/101, Madarijus Salikin 2/156, dll.)
Perbuatan apa sajakah yang dapat meniadakan (menafikan) kesabaran? Menurut al-Imam Ibnul Qayyim rahimahumallah dalam Uddatush Shabirin (hlm. 228), hal-hal yang menafikan kesabaran adalah rasa kesal dalam kalbu, berkeluh kesah dengan lisan kepada selain Allah Subhanahu wata’ala, dan melakukan perbuatan maksiat, seperti menampar-nampar pipi, merobek-robek baju, mencabut-cabut rambut, dan yang semisalnya.
Bagaimana halnya dengan berkeluh kesah kepada Allah Subhanahu wata’ala, apakah menafikan kesabaran? Berkeluh kesah kepada Allah Subhanahu wata’ala, tidak menafikan kesabaran. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada diri Nabi Ya’qub q yang berkeluh kesah kepada Allah Subhanahu wata’ala,
قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Ya’qub menjawab, ‘Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kalian tiada mengetahuinya’.” (Yusuf: 86)
Meski demikian, Allah Subhanahu wata’ala menyitir ucapan Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam yang lainnya,
فَصَبْرٌ جَمِيلٌ ۖ عَسَى اللَّهُ أَن يَأْتِيَنِي بِهِمْ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
“Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (Yusuf: 83)
Adapun menyampaikan kesulitan yang dihadapi (curhat) kepada makhluk, jika untuk meminta bimbingan dan bantuan untuk menghilangkan kesulitan tersebut, tidak menafikan kesabaran. Misalnya, keluhan pasien kepada dokter, orang yang dizalimi kepada seseorang yang dapat membelanya, atau curhat seseorang yang sedang mengalami problem kepada orang lain yang diharapkan bisa memberikan solusinya.
Bagaimanakah dengan rintihan di kala sakit? Menurut al-Imam Ibnul Qayyim rahimahumallah dalam Uddatush Shabirin (hlm. 229), rintihan di kala sakit ada dua macam; rintihan yang mengandung keluh kesah maka hukumnya makruh, sedangkan rintihan untuk melepas kegundahan dan menghibur diri maka tidak mengapa.
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi