Dakwah Salafiyah adalah dakwah Islam yang eksis sepanjang masa. Dimulai dari dakwah yang diemban oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada masanya, hingga mencapai puncak kejayaan dan era keemasan. Jazirah Arab dipenuhi oleh cahaya tauhid dan sunnah yang sebelumnya tertutup oleh kegelapan syirik dan bid’ah.
Dakwah Salafiyah kemudian dilanjutkan oleh para sahabatnya di era al-Khulafa ar-Rasyidin. Dakwah ini berkembang dan tersebar luas di seantero jagat raya; membentang dari timur ke barat, menaklukkan dua kekuatan kekufuran terbesar di masa itu, Romawi dan Persia.
Dakwah Salafiyah terus menerangi bumi dengan sunnah dari masa ke masa dan dari generasi ke generasi. Sejarah telah mencatat dengan tinta emas sepak terjang para ulama dakwah Salafiyah yang dengan sabar, tegar, tekun, dan bersungguh-sungguh menyebarkan Islam dan sunnah melalui karya-karya besar mereka dalam berbagai bidang ilmu agama. Dengan gagah berani mereka membela Islam dan sunnah dengan jiwa raga, harta, dan benda melawan rongrongan kaum kafir. Dengan kedalaman ilmu dan ketajaman argumentasi, mereka meruntuhkan beragam paham sesat yang dikampanyekan oleh ahlul bid’ah dan ahlu syubhat.
Baca juga:
Dakwah Salafiyah akan terus eksis, tidak akan pernah sirna sepanjang masa selama masih ada ath-Thaifah al-Manshurah, hingga generasi terakhir mereka nanti akan bergabung dengan Nabi Isa alaihis salam dan Imam Mahdi; berperang melawan Dajjal dan pengikutnya.
Satu hal yang menakjubkan—dan ini adalah salah satu bukti bahwa mereka berada di atas kebenaran—adalah dakwah Salafiyah, sejak zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam hingga kelak pada masa Imam Mahdi, tidak pernah berubah manhaj dan akidahnya.
Sebab, dakwah Salafiyah yang datang dari Allah azza wa jalla dan diemban oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ini dibangun di atas pilar-pilar baku yang kokoh, tak goyah, apa lagi berubah, sepanjang masa. Pilar-pilar tersebut seolah menjadi keistimewaan dakwah Salafiyah yang membedakannya dari dakwah bid’ah yang ada. Barang siapa berdakwah berdasarkan pilar-pilar tersebut, dia akan lurus dan selamat. Sebaliknya, barang siapa menyimpang, dia akan tersesat.
Allah azza wa jalla memerintah segenap kaum muslimin untuk kembali kepada pilar ini,
وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُواْ
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Ali Imran: 103)
“Tali” Allah azza wa jalla dalam ayat ini adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah azza wa jalla juga berfirman,
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِي مُسۡتَقِيمًا فَٱتَّبِعُوهُۖ وَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِۦۚ
“Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah! Janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.” (al-An’am: 153)
Dalam ayat ini disebutkan dua jalan:
Ini adalah jalan Allah azza wa jalla dan Rasul-Nya. Jalan ini dipandu oleh bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah, berujung pada surga.
Yang dimaksud dengan subul adalah jalan-jalan bid’ah dan syubhat, sebagaimana penafsiran Mujahid rahimahullah. Jalan ini dipandu oleh setan dari kalangan manusia, yaitu ahli bid’ah, yang berujung menuju neraka.
Kita diperintah mengikuti jalan yang lurus, yang dijamin dengan persatuan dan keselamatan dari perpecahan dan penyimpangan ketika di dunia, serta keselamatan dari api neraka ketika di akhirat kelak.
Baca juga:
Dalam ayat yang lain, Allah azza wa jalla berfirman,
وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ
“Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepada kalian, maka terimalah; dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (al-Hasyr: 7)
“Perintah ini umum mencakup prinsip-prinsip agama dan hukum-hukumnya, lahir dan batinnya. Apa saja yang dibawa oleh Rasul, maka semua hamba wajib mengambil dan mengikutinya; ia diharamkan untuk menyelisihinya. (Ayat ini juga menunjukkan) bahwa nas Rasul dalam menghukumi sesuatu sama seperti nash Allah azza wa jalla. Tidak ada rukhsah (keringanan) dan alasan bagi siapa pun untuk meninggalkannya. Tidak boleh pula ada pendapat yang didahulukan atas sabda (Rasul shallallahu alaihi wa sallam), siapa pun dia,” ulas Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah dalam Tafsir-nya.
Dalam ayat yang lain, Allah azza wa jalla menjamin keselamatan dari kesesatan dan kesengsaraan bagi siapa saja yang mengikuti petunjuk-Nya,
فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشۡقَىٰ
“Barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (Thaha: 123)
Yang dimaksud dengan “petunjuk” di sini adalah kitab suci dan Rasul.
Barang siapa mengikuti Al-Qur’an dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (sunnah), ia akan diberi dua jaminan:
Lafaz ini umum mencakup keselamatan dari semua jenis dan bentuk kesesatan.
Lafaz ini juga umum mencakup keselamatan dari segala bentuk kesengsaraan dan kecelakaan di dunia dan di akhirat.
Kedua jaminan di atas menunjukkan bahwa orang tersebut akan terbimbing ke jalan yang lurus di dunia dan akhirat, serta akan meraih kebahagiaan dan rasa aman di dunia dan akhirat. (Tafsir as-Sa’di)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan, mayoritas kesesatan yang ada ini terjadi pada seseorang yang tidak berpegang teguh dengan al-Kitab dan As-Sunnah. Imam az-Zuhri rahimahullah berkata bahwa dahulu ulama kita menyatakan,
الْاِعْتِصَامُ بِالسَّنَّةِ هُوَ النَّجَاةُ
“Berpegang teguh dengan sunnah adalah keselamatan.”
Imam Malik rahimahullah juga berkata,
السُّنَّةُ كَسَفِينَةِ نُوحٍ، مَنْ رَكِبَهَا نَجَا، مَنْ تَخَلَّفَ عَنْهَا غَرِقَ وَهَوَى
“Sunnah diumpamakan seperti kapal Nabi Nuh alaihis salam. Siapa saja yang menaikinya, dia akan selamat; dan siapa saja yang tertinggal darinya, dia akan tenggelam dan jatuh.” (Majmu’ Fatawa, 4/56—57)
Allah azza wa jalla memerintah kaum muslimin untuk kembali kepada Allah azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam dalam semua perkara dan masalah yang mereka perselisihkan.
فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٌ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا
“Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa: 59)
Mengikuti As-Sunnah adalah bukti kejujuran cinta kita kepada Allah azza wa jalla dan sebab mendapat ampunan. Allah azza wa jalla berfirman,
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’.” (Ali Imran: 31)
Cinta kepada Allah azza wa jalla tidak cukup dengan pengakuan semata, tetapi harus ada pembuktian. Ayat di atas menegaskan bahwa bukti kejujuran cinta seseorang kepada Allah azza wa jalla adalah dengan mengikuti Sunnah Rasul-Nya dalam semua hal, baik yang terkait dengan prinsip-prinsip agama maupun yang terkait dengan hukum-hukumnya, secara lahir dan batin.
Barang siapa mengikuti Rasul shallallahu alaihi wa sallam dalam segala kondisi, ucapan, dan perbuatan; dia telah jujur dalam mencintai Allah azza wa jalla. Allah azza wa jalla pun akan mencintainya, mengampuni dosanya, merahmatinya, dan meluruskan langkahnya dalam semua tindak-tanduknya. (Tafsir as-Sa’di)
Allah azza wa jalla menjadikan Rasul shallallahu alaihi wa sallam sebagai qudwah (teladan) yang wajib kita contoh, dalam hal beragama dan dalam segala aspek kehidupan,
لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Akhir, dan yang banyak mengingat Allah.” (al-Ahzab: 21)
“Ayat yang mulia ini adalah kaidah besar dalam mencintai Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada perkataan, perbuatan, dan semua keadaannya,” kata Ibnu Katsir rahimahullah ketika menjelaskan makna ayat ini.
Baca juga:
Dalam ayat yang lain, Allah azza wa jalla melarang kaum muslimin untuk bertindak mendahului Allah azza wa jalla dan Rasul-Nya,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُقَدِّمُواْ بَيۡنَ يَدَيِ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Hujurat: 1)
Ayat ini mengandung pelajaran adab kepada Allah azza wa jalla dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yaitu mengagungkan, menghormati, dan memuliakan beliau.
Dalam ayat yang lain, Allah azza wa jalla meniadakan keimanan dari siapa saja yang tidak mau kembali kepada hukum sunnah atau merasa keberatan dengan ketetapan hukum sunnah. Bahkan, Allah azza wa jalla menguatkan masalah ini dengan sumpah,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمًا
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisa: 65)
Bahkan, dalam beberapa ayat, Allah azza wa jalla mengecam dan mengancam dengan keras, di dunia dan di akhirat, siapa saja yang menyelisihi dan menentang As-Sunnah,
فَلۡيَحۡذَرِ ٱلَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنۡ أَمۡرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمۡ فِتۡنَةٌ أَوۡ يُصِيبَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (an-Nur: 63)
Lafaz أَمۡرِهِۦٓ di sini maknanya adalah ‘jalan yang ditempuh oleh Rasul’, yaitu manhaj, metode, dan sunnah beliau shallallahu alaihi wa sallam.
Baca juga:
Allah azza wa jalla juga berfirman,
وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا
“Dan barang siapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisa: 115)
Musyaqqah (menentang) Rasul shallallahu alaihi wa sallam meliputi semua bentuk penentangan. Di antaranya ialah menyelisihi As-Sunnah, mendustakan, menolak sebagian atau seluruh sunnah, mengingkari sebagian atau seluruhnya, tidak mengamalkannya dan tidak berhukum dengannya, serta meniti jalan selain jalan Sunnah yang telah diajarkan oleh Rasul shallallahu alaihi wa sallam.
Mengikuti selain jalan kaum mukminin meliputi beberapa hal. Di antaranya adalah menentang ijmak sahabat dan tidak mau kembali kepada pemahaman salaf. Tindakan ini diancam oleh Allah azza wa jalla dengan dua ancaman keras di dunia dan akhirat:
Allah azza wa jalla akan membiarkannya bergelimang dalam penyimpangan dan kesesatan yang dia pilih, tanpa dia sadari bahwa dirinya telah menyimpang.
فَلَمَّا زَاغُوٓاْ أَزَاغَ ٱللَّهُ قُلُوبَهُمۡۚ
“Ketika mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka.” (ash-Shaf: 5)
Oleh sebab itu, jarang ada ahli bid’ah yang diberi taufik untuk bertobat dari ragam kebid’ahannya. Dia justru akan semakin jauh dari kebenaran dan terbenam dalam lumpur penyimpangan. Na’udzu billah min dzalik.
Sebab, siapa saja yang keluar dari petunjuk, maka dia tidak punya jalan lain selain menuju neraka.
Baca juga:
Ini menjadi pertanda mengerikan bahwa menentang Rasul dan menyelisihi jalan sahabat dapat mengantarkan pelakunya kepada kekufuran—kita memohon perlindungan kepada Allah azza wa jalla. Ancaman di atas ditujukan kepada seseorang yang telah jelas baginya petunjuk dan ilmu, namun dengan sengaja melakukan tindakan di atas (menentang).
Adapun seseorang yang prinsip dasarnya adalah ikhlas karena Allah azza wa jalla dan berupaya keras mengikuti Sunnah Rasul serta menetapi jalan para sahabat, lantas ia terjatuh dalam tindakan dosa dan penyimpangan, Allah azza wa jalla tidak akan membiarkannya dalam dosa dan kesalahannya. Akan tetapi, Allah azza wa jalla akan memberinya taufik untuk segera bertobat dari dosanya. Bahkan, Allah azza wa jalla akan menjaganya dan menyelamatkannya dari beragam kejelekan. (Tafsir as-Sa’di)
Imam Abu Muhammad Hasan bin Ali al-Barbahari rahimahullah, dalam Syarhus Sunnah (no. 69, hlm. 87), menyatakan,
“Apabila engkau mendengar seseorang menikam atsar (hadits), tidak menerimanya, atau mengingkari sesuatu dari hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, curigailah keislamannya. Sebab, dia adalah seorang yang jelek pendapat dan mazhabnya karena hakikatnya dia sedang menikam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Kita mengenal Allah azza wa jalla, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Al-Qur’an, kebaikan, kejelekan, dunia dan akhirat hanyalah dengan atsar.”
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah menegaskan,
“Barang siapa menolak hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dia berada di tepi jurang kebinasaan.” (al-Ibanah al-Kubra (1/97), Ibnu Baththah)
Dari uraian panjang di atas, jelaslah bahwa dakwah Salafiyah adalah dakwah yang dibangun di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah, dalam semua sisinya. Ia adalah dakwah yang mengajak segenap umat manusia untuk kembali kepada bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam berakidah, beribadah, bermuamalah, beradab dan berakhlak mulia, dan beragama secara total.
Pilar kedua inilah yang membedakan dakwah Salafiyah dengan dakwah-dakwah lain yang berbaju Islam. Dakwah Salafiyah mengajak umat untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafush shalih dari kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Sementara itu, dakwah-dakwah lainnya hanya mengaku mengajak umat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, tetapi dipahami sesuai dengan pemahaman tokoh bid’ahnya atau AD/ART dakwahnya.
Ikhwanul Muslimin (IM), pada hakikatnya mengajak umat kepada pemahaman Hasan al-Banna, Said Hawa, Sayyid Quthb, dan tokoh-tokoh mereka lainnya.
Firqah Tabligh, pada hakikatnya mengajak umat kepada pemahaman Muhammad Ilyas dan kitab Fadhailul A’mal yang memuat banyak hadits palsu dan dhaif.
Sururiyah pada kenyataannya mengajak umat kepada pemahaman dan gerakan hizbiyah yang dilancarkan oleh Muhammad Surur Zaenal Abidin dengan Yayasan al-Muntada al-Islami serta majalah al-Bayan dan as-Sunnah-nya. Demikian juga pemikiran Salman al-Audah, Safar Hawali, Aidh al-Qarni, Nashir al-Umar, dan kawan-kawannya.
Sururiyah juga mengajak umat untuk berloyalitas kepada berbagai yayasan penyandang dana yang mereka jadikan sebagai corong dakwah mereka. Sebut saja semisal Ihyaut Turats Kuwait yang bencananya sudah mendunia; mencabik-cabik persatuan dakwah Salafiyah di seluruh dunia dan menelan korban dari para da’i yang lemah manhaj sehingga bergabung menjadi para pembela mereka.
Haddadiyah juga demikian. Mereka pada hakikatnya mengajak semua pihak untuk fanatik kepada Abu Abdillah al-Haddad dan istrinya, Ummu Abdillah, serta tokoh-tokoh berpaham Haddadiyah lainnya, semisal Abdul Lathif Basymeel.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menegaskan, “Syiar sekte-sekte (sesat) ini adalah memisahkan diri dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak.” (Majmu’ Fatawa, 3/346)
Beliau juga mengatakan, “Dengan demikian, diketahuiah bahwa syiar ahli bid’ah adalah keengganan untuk kembali kepada paham salaf. Oleh sebab itu, Imam Ahmad, dalam Risalah Abdus bin Malik, berkata, ‘Prinsip-prinsip As-Sunnah menurut kami (Ahlus Sunnah) adalah berpegang teguh dengan apa yang dipahami oleh para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” (Majmu’ Fatawa, 4/155)
Baca juga:
Imam Abul Qasim al-Ashbahani rahimahullah menyatakan, “Syiar Ahlus Sunnah adalah mengukuti salafus shalih dan meninggalkan segala bentuk kebid’ahan.” (al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah, 1/364)
Cukup banyak argumentasi yang telah disebutkan oleh para ulama mengenai pilar kedua ini, di antaranya:
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (al-Fatihah: 6)
Ash-Shirath al–Mustaqim adalah jalan Allah azza wa jalla dan Rasul-Nya, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ
“Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka…” (al-Fatihah: 7)
Dalam ayat yang lain, Allah azza wa jalla menjelaskan siapa saja yang mendapatkan anugerah nikmat,
وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُوْلَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّۧنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّٰلِحِينَۚ وَحَسُنَ أُوْلَٰٓئِكَ رَفِيقًا
“Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberi nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh; mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (an-Nisa: 69)
Pihak yang paling berhak mendapatkan sifat shiddiqiyah (sangat jujur dan percaya), syahadah (mati syahid), dan kesalehan adalah salafus shalih.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah, dalam kitabnya, Madarijus Salikin (1/72—73) menjelaskan,
“Setiap orang yang lebih mengenal dan mengikuti kebenaran adalah orang yang lebih berhak mendapatkan ash-Shirath al-Mustaqim. Tidak ada keraguan lagi bahwasanya para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah orang yang lebih berhak dengan kriteria ini daripada Rafidhah.”
Baca juga:
Oleh karena itulah, para ulama salaf[1] menafsirkan ash-Shirath al-Mustaqim dan pemeluknya sebagai ‘Abu Bakr, Umar, dan para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam’.
Dengan uraian di atas, menjadi jelas bahwa makna doa yang dipanjatkan oleh setiap orang yang membaca al-Fatihah ini adalah memohon kepada Allah azza wa jalla hidayah Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan pemahaman salafush shalih. Inilah hakikat ash-Shirath al-Mustaqim dan puncak hidayah. Wallahul muwaffiq
Pada riwayat yang lain dijelaskan tentang golongan yang selamat itu adalah
مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
“Apa yang aku dan para sahabatku pegang (berprinsip).”
Lafaz di atas sangat tegas menunjukkan bahwa jalan keselamatan yang ditempuh al-Firqah an-Najiyah adalah mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (As-Sunnah) dan para sahabatnya (pemahaman salafush shalih).
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِي، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Aku wasiatkan kalian agar bertakwa kepada Allah ta’ala, dan mendengar serta taatwalaupun (dipimpin oleh) budak Habasyah. Siapa saja di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, niscaya ia akan melihat perselisihan yang sangat banyak. Maka dari itu, hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah al-Khulafa ar-Rasyidin yang terbimbing, sepeninggalku. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian.” (HR. Ahmad, no. 41126. Hadits ini sahih dengan banyaknya penguat)
Imam Abu Ishaq asy-Syathibi rahimahullah menjelaskan,
“Dalam hadits ini—sebagaimana yang engkau lihat—Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menggandengkan sunnah al-Khulafa ar-Rasyidin dengan Sunnah beliau. (Ini menunjukkan) bahwa termasuk mengikuti Sunnah beliau adalah mengikuti sunnah mereka.” (al-I’tisham, 1/104)
Baca juga:
Selain itu, hadits di atas secara tegas menunjukkan bahwa sebab keselamatan dari berbagai perpecahan, perselisihan, dan penyimpangan bid’ah, sepeninggal Nabi shallallahu alaihi wa sallam ialah dengan berpegang teguh dengan As-Sunnah dan kembali kepada pemahaman salafush shalih.
Lafaz عَلَيْكُمْ juga menjadi dalil yang menunjukkan kewajiban berpegang teguh dengan As-Sunnah dan kewajiban kembali kepada pemahaman salaf. Kewajiban ini diperkuat oleh beberapa hal, di antaranya:
تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian.”
Ini adalah sebuah keistimewaan yang tidak dimiliki oleh siapa pun dari generasi mana pun, kecuali orang-orang yang meniti jejak langkah mereka dengan baik.
Di antara keutamaan tersebut adalah:
Allah azza wa jalla berfirman,
كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ
“Kalian (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kalian) menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 110)
Yang pertama kali mendapat pujian ini adalah para sahabat. Sebab, mereka adalah muslimin generasi pertama, dan ayat ini turun pada masa mereka. Kriteria orang-orang termasuk di dalam ayat ini ialah siapa saja yang mengikuti jalan yang ditempuh oleh mereka (para sahabat).
Baca juga:
Persatuan Hakiki adalah Kesepakatan Mengikuti Jejak Para Sahabat Nabi
Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya menjelaskan,
“Pendapat yang sahih adalah ayat ini umum untuk setiap umat. Setiap generasi sesuai dengan kondisinya masing-masing. Generasi yang terbaik adalah generasi yang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam diutus di tengah-tengah mereka (para sahabat), kemudian generasi setelahnya, lalu yang setelahnya.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian yang setelahnya (tabi’in), lalu yang setelahnya (tabi’ut tabi’in).” (HR. al-Bukhari no. 2652 dan Muslim no. 2533/212, dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu)
“Terbaik” yang dimaksud di sini bersifat umum; meliputi iman, amal, dan pemahaman agamanya.
Allah azza wa jalla berfirman,
وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلۡأَوَّلُونَ مِنَ ٱلۡمُهَٰجِرِينَ وَٱلۡأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحۡسَٰنٍ رَّضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُ وَأَعَدَّ لَهُمۡ جَنَّٰتٍ تَجۡرِي تَحۡتَهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًاۚ ذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ
“Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.” (at-Taubah: 100)
Ayat ini dengan tegas menjelaskan keutamaan dan pujian Allah azza wa jalla kepada sahabat Muhajirin dan Anshar dari beberapa sisi:
Ini jelas menunjukkan bahwa Allah azza wa jalla meridhai iman, akidah, manhaj, ibadah, amalan, dan pemahaman mereka dalam beragama.
Baca juga:
Keutamaan di atas dianugerahkan kepada para sahabat, dan telah berlalu masanya. Adapun orang-orang yang tidak termasuk dari sahabat Nabi, mereka hanya dapat meraih keutamaan di atas dengan sebuah persyaratan yang sangat prinsip, yaitu,
وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحۡسَٰنٍ
“Orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.”
Allah azza wa jalla telah memilih mereka untuk menemani dan membela Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu berkata,
“Barang siapa di antara kalian yang hendak mengikuti sunnah (jalan hidup), hendaklah mengikuti sunnah orang yang telah mati (Rasul dan para sahabat). Sebab, orang yang masih hidup belumlah aman dari fitnah (godaan).
Merekalah para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam; orang yang paling utama di umat ini, yang terbaik hatinya, yang paling mendalam ilmunya, dan paling sedikit memberat-beratkan diri.
Mereka adalah suatu kaum yang Allah azza wa jalla pilih untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Maka dari itu, ketahuilah keutamaan mereka. Ikutilah jejak langkah mereka. Berpegang teguhlah dengan akhlak dan agama mereka semampu kalian. Sebab, mereka adalah orang-orang yang berada di atas petunjuk yang lurus.” (Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih, 2/97, Ibnu Abdil Barr)
Baca juga:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan,
“Kekhususan ini tidak ditetapkan untuk siapa pun selain para sahabat, walaupun amalannya lebih banyak daripada amalan salah seorang sahabat.” (Majmu’ Fatawa, 4/465)
Imam Muslim rahimahullah (no. 2531) meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu anhu yang berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِي مَا يُوعَدُونَ، وَأَصْحَابِي أَمَنَةٌ لِأُمَّتِي فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِي أَتَى أُمَّتِي مَا يُوعَدُونَ
“Aku adalah pemberi keamanan bagi para sahabatku. Apabila aku pergi (wafat), perkara yang telah dijanjikan akan menjumpai para sahabatku. Para sahabatku adalah pemberi keamanan bagi umatku. Apabila mereka telah pergi, perkara yang telah dijanjikan akan menjumpai umatku.”
Kata an-Nawawi,
“Para sahabat adalah pemberi keamanan bagi umat Islam dari munculnya bid’ah, aneka peristiwa baru dalam agama, berbagai fitnah pada agama, terbitnya tanduk setan, penguasaan Romawi dan selainnya atas muslimin, kehormatan Madinah dan Makkah yang ternodai, dan lain-lain. Ini semua adalah mukjizat beliau shallallahu alaihi wa sallam.” (Syarah an-Nawawi terhadap hadits ini)
Firman Allah azza wa jalla,
إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan Kami (pula) yang akan menjaganya.” (al-Hijr: 9)
“Adz-Dzikr” dalam ayat ini adalah Al-Qur’an.
Di antara konsekuensi pasti terjaganya Al-Qur’an adalah terjaganya As-Sunnah. Sebab, As-Sunnah adalah penjelas isi Al-Qur’an. Di antara konsekuensi pasti terjaganya Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah terjaganya pemahaman dan manhaj salaf, karena Al-Qur’an dan As-Sunnah harus dipahami dengan pemahaman mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan sumber pengambilan dalil dalam menetapkan hukum-hukum syariat, di antaranya,
“Ijmak disepakati oleh kaum muslimin, baik fuqaha, Sufi, ahli hadits, ahli kalam, maupun selain mereka secara global, tetapi diingkari oleh sebagian ahli bid’ah dari kalangan Mu’tazilah dan Syi’ah. Akan tetapi, ijmak yang diketahui (dengan pasti) adalah (ijmak) para sahabat. Adapun setelah (masa) itu, pada umumnya ada halangan untuk diketahui.” (Majmu’ Fatawa, 11/341)
Apabila terjadi perbedaan pendapat, pendapat yang sesuai dengan dalil adalah pendapat rajih (kuat) yang diamalkan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, di antaranya adalah Abu Hanifah, Malik, pendapat yang masyhur dari Ahmad, dan salah satu pendapat asy-Syafi’i. (Majmu’ Fatawa, 20/14)
Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah, dalam kitabnya, I’lamul Muwaqqi’in, bahkan menyebutkan 46 sisi argumentasi yang menegaskan bahwa amalan para sahabat adalah hujah.
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah secara panjang lebar menjelaskan, dan kemudian menyimpulkan,
“Ilmu yang paling utama tentang tafsir Al-Qur’an dan makna hadits serta pembicaraan mengenai halal dan haram adalah apa yang ma’tsur (diriwayatkan) dari sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, hingga sampai pada masa imam-imam (ulama) Islam terkemuka yang dijadikan teladan, seperti yang telah kita sebutkan namanya.” (Fadhlu Ilmi Salaf Ala Khalaf, 41)
Beliau rahimahullah juga menegaskan (hlm. 45),
“Ilmu yang bermanfaat dari semua ilmu yang ada adalah menghafal nas-nas Al-Qur’an dan As-Sunnah, memahami maknanya, dan terkait dengan apa yang diriwayatkan dari para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, dalam memahami makna Al-Qur’an dan hadits.”
[1] Yang menafsirkan ash-shirathal mustaqim dengan Rasulullah, Abu Bakr, dan Umar adalah Abul Aliyah dan al-Hasan al-Bashri. Lihat Tafsir ath-Thabari.