Sahabat yang mulia bernama Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu menuturkan,
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكِتَابٍ أَصَابَهُ مِنْ بَعْضِ أَهْلِ الْكُتُبِ .فَقَرَأَهُ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ فَقَالَ: أَمُتَهَوِّكُوْنَ[1] فِيْهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ؟ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَقَدْ جِئْتُكُمِ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً، لاَ تَسْأَلُوْهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوْا بِهِ أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوْا بِهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوْسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلاَّ أَنْ يَتَّبِعَنِي
Umar ibnul Khaththab radhiyallahu anhu datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa sebuah kitab yang diperolehnya dari sebagian ahli kitab.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membacanya lalu beliau marah seraya bersabda, “Apakah engkau termasuk orang yang bingung, wahai Ibnul Khaththab? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah datang kepada kalian membawa agama yang putih bersih.
Janganlah kalian menanyakan sesuatu kepada mereka (ahli kitab), sehingga mereka mengabarkan al-haq (kebenaran) kepada kalian lantas kalian mendustakannya. Atau mereka mengabarkan satu kebatilan lantas kalian membenarkannya.
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa alaihis salam masih hidup, niscaya tidaklah boleh baginya kecuali mengikuti aku.”
Hadits ini diriwayatkan al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 3/387 dan ad-Darimi dalam “Mukadimah” kitab Sunan-nya no. 436. Demikian pula Ibnu Abi ‘Ashim asy-Syaibani dalam as-Sunnah no. 50.
Hadits ini dihukumi hasan oleh imam ahlul hadits pada zaman ini, asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah, dalam Zhilalul Jannah fi Takhrij as-Sunnah dan Irwa’ul Ghalil no. 1589.
Dalam riwayat ad-Darimi hadits di atas disebutkan dengan lafadz,
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رضي الله عنه أَتَى رَسُوْلَ اللهَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِنُسْخَةٍ مِنَ التَّوْرَاةِ، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ الله،ِ هَذِهِ نُسْخَةٌ مِنَ التَّوْرَاةِ. فَسَكَتَ فَجَعَلَ يَقْرَأُ وَوَجْهُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَغَيَّرُ. فَقَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: ثَكِلَتْكَ الثَّوَاكِلُ[2]، مَا تَرَى مَا بِوَجْهِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَنَظَرَ عُمَرُ إِلَى وَجْهِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ غَضَبِ اللهِ وَغَضَبِ رَسُوْلِهِ، رَضِيْنَا بِاللهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلاَمِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَوْ بَدَا لَكُم مُوْسَى فَاتَّبَعْتُمُوْهُ وَتَرَكْتُمُوْنِي لَضَلَلْتُمْ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيْلِ، وَلَو كَانَ حَيًّا وَأَدْرَكَ نُبُوَّتِي لاَتَّبَعَنِيْ
Umar ibnul Khaththab radhiyallahu anhu datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa salinan dari kitab Taurat. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, ini salinan dari kitab Taurat.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diam. Umar mulai membacanya dalam keadaan wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berubah. Melihat hal itu, Abu Bakr berkata kepada Umar, “Betapa ibumu kehilanganmu, tidakkah engkau melihat perubahan pada wajah Rasulullah?”
Umar melihat wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari kemurkaan Allah dan Rasul-Nya. Kami ridha Allah sebagai Rabb kami, Islam sebagai agama kami, dan Muhammad sebagai Nabi kami.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya Musa alaihis salam muncul kepada kalian kemudian kalian mengikutinya dan meninggalkan aku, sungguh kalian telah sesat dari jalan yang lurus. Seandainya Musa masih hidup dan menemui masa kenabianku, niscaya ia akan mengikutiku.”
Berita-berita yang datang dari ahli kitab—Yahudi atau Nasrani—dan tidak ada keterangannya dalam syariat, tidak boleh kita pastikan kebenaran atau kedustaannya. Berita itu bisa jadi benar atau haq, bisa jadi pula dusta atau batil. Jika kita benarkan, dikhawatirkan itu adalah batil. Apabila kita dustakan, dikhawatirkan itu adalah haq. Jadi, dua keadaan ini bisa menjatuhkan kita ke dalam dosa.
Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia Abu Hurairah radhiyallahu anhu mengabarkan,
كَانَ أَهْلُ الْكِتَابِ يَقْرَؤُوْنَ التَّوْرَاةَ بِالْعِبْرَانِيَّةِ وَيُفَسِّرُوْنَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ لِأَهْلِ الْإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ تُصَدِّقُوْا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلاَ تُكَذِّبُوْهُمْ، وَقُوْلُوْا : {آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا …} الآية
Ahli kitab membaca Taurat dalam bahasa Ibrani dan menafsirkannya dengan bahasa Arab uorang-orang Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian membenarkan ahli kitab, jangan pula mendustakannya. Katakanlah, ‘Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan pada kami…’. (al-Baqarah: 136)” (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4485)
Tentang sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah kalian membenarkan ahli kitab, jangan pula mendustakannya,”
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menjelaskan, “Berita yang mereka kabarkan itu mengandung kemungkinan benar dan kemungkinan salah. Karena itu, jangan sampai beritanya benar lantas kalian mendustakannya, atau beritanya dusta lalu kalian membenarkannya. Kalian pun terjatuh dalam dosa. Tidak ada larangan mendustakan mereka dalam urusan yang diselisihi oleh syariat kita. Tidak pula ada larangan membenarkan mereka dalam urusan yang disepakati oleh syariat kita. Demikian penjelasan al-Imam asy-Syafi’i.” (Fathul Bari 8/214)
Kita dilarang bertanya tentang urusan agama kepada ahli kitab. Karena itulah, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كَيْفَ تَسْأَلُوْنَ أَهْلَ الْكِتَابِ عَنْ شَيْءٍ وَ كِتَابُكُمُ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ أَحْدَثُ. تَقْرَؤُوْنَهُ مَحْضًا لَمْ يُشَبْ، وَقَدْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ بَدَّلُوْا كِتَابَ اللهِ وَغَيَّرُوْهُ وَكَتَبُوْا بِأَيْدِيْهِم الْكِتَابَ وَقَالُوْا: هُوَ مِنْ عِنْدِ اللهِ لِيَشْتَرُوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيْلاً؛ لاَ يَنْهَاكُمْ مَا جَاءَكُمْ مِنَ الْعِلْمِ عَنْ مَسْأَلَتِهِمْ، لاَ وَاللهِ، مَا رَأَيْنَا مِنْهُمْ رَجُلاً يَسْأَلُكُمْ عَنِ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَيْكُمْ
“Bagaimana kalian bertanya kepada ahli kitab tentang sesuatu, sementara kitab kalian yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kitab yang paling akhir (turun dari sisi Allah)? Kalian membacanya dalam keadaan murni, tidak bercampur (dengan kepalsuan). Allah telah menyampaikan (keterangan) kepada kalian bahwa ahli kitab telah mengganti dan mengubah-ubah Kitabullah.
“Mereka menulis kitab itu dengan tangan mereka (mereka mengarang sendiri) kemudian mereka mengatakan, ‘Ini (yang mereka tulis) diturunkan dari sisi Allah.’ Mereka melakukannya untuk memperoleh keuntungan yang sedikit.
“Tidakkah ilmu yang datang kepada kalian melarang kalian bertanya kepada mereka? Tidak, demi Allah! Kami tidak melihat seorang pun dari mereka yang bertanya kepada kalian tentang apa yang diturunkan kepada kalian.” (HR. al-Bukhari no. 7363, “Kitab al-subhanahu wa ta’ala’tisham bil Kitab was Sunnah”, “Bab Qaulin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: La Tas’alu Ahlal Kitab ‘an Syai’in”)
Dengan kalimat, “Tidak, demi Allah! Kami tidak melihat seorang pun dari mereka yang bertanya kepada kalian tentang apa yang diturunkan kepada kalian,” seakan-akan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma hendak menyatakan, “Mereka ahli kitab tidak pernah menanyakan tentang sesuatu pun kepada kalian, sementara mereka tahu bahwa kitab kalian tidak ada penyimpangan/perubahan. Mengapa kalian justru bertanya kepada mereka sedangkan kalian benar-benar mengetahui bahwa kitab mereka telah diubah dari aslinya?” (Fathul Bari 13/621)
Abdur Razzaq ash-Shan’ani rahimahullah meriwayatkan dalam Mushannaf-nya[3] (no. 19212) dari jalan Huraits bin Zhuhair, ia berkata, “Abdullah (yakni Ibnu Mas‘ud) berkata,
لاَ تَسْأَلُوْا أَهْلَ الْكِتَابِ عَنْ شَيْءٍ فَإِنَّهُمْ لَنْ يَهْدُوْكُمْ وَقَدْ أَضَلُّوا أَنْفُسَهُمْ، فَتُكَذِّبُوْنَ بِحَقٍّ أَوْ تُصَدِّقُوْنَ بِبَاطِلٍ
“Janganlah kalian bertanya tentang sesuatu kepada ahli kitab karena sesungguhnya mereka tidak akan memberikan petunjuk kepada kalian. Mereka sendiri telah menyesatkan diri mereka. (Apabila kalian bertanya kepada mereka kemudian mereka menjawab pertanyaan kalian, dikhawatirkan) kalian akan mendustakan yang haq atau membenarkan yang batil.”
Apabila ada yang menyatakan bahwa larangan bertanya kepada ahli kitab ini seakan-akan bertentangan dengan perintah Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,
فَسَۡٔلِ ٱلَّذِينَ يَقۡرَءُونَ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلِكَ
“Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca al-Kitab sebelummu.” (Yunus: 94)
Jawabannya, ayat ini tidak bertentangan dengan larangan yang tersebut dalam hadits. Sebab, yang dimaksud oleh ayat ini adalah bertanya kepada ahli kitab yang telah beriman. Adapun larangan yang tersebut dalam hadits adalah larangan bertanya kepada ahli kitab yang belum beriman. (Fathul Bari 13/408)
Dalam al-Qur’an Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa ahli kitab telah mengubah-ubah kitab mereka. Semula kitab mereka adalah kalamullah yang diturunkan dari atas langit, namun karena ulah para pendeta Yahudi dan Nasrani bercampurlah kalamullah tersebut dengan ucapan manusia. Bahkan, kalamullah itu sendiri mereka ubah dan pindahkan dari tempatnya. Karena itu, kitab mereka tidak lagi murni sebagaimana keadaan saat awal diturunkan. Kitab mereka telah tercampur dengan kepalsuan dan kedustaan, susah untuk dipisahkan mana yang haq dan mana yang batil.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ
Maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya, “Ini dari Allah,” untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, karena apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, karena apa yang mereka kerjakan[4]. (al-Baqarah: 79)
Al-Imam ath-Thabari rahimahullah berkata, “Yang Allah maksudkan dengan firman-Nya ini adalah orang-orang Yahudi Bani Israil yang telah melakukan tahrif terhadap Kitabullah. Mereka menulis sebuah kitab berdasarkan penakwilan/penafsiran menyimpang yang mereka buat, menyelisihi apa yang Allah subhanahu wa ta’ala turunkan kepada Nabi Musa ‘alaihis salam.
Kemudian orang-orang Yahudi tersebut menjual kitab karangan mereka itu kepada suatu kaum yang tidak memiliki ilmu tentang penakwilan tersebut. Kaum tersebut tidak memiliki pengetahuan tentang apa yang terdapat dalam Taurat. Orang-orang Yahudi itu menjualnya kepada orang-orang bodoh yang tidak mengetahui apa yang terdapat dalam kitabullah. Mereka melakukan hal ini karena ingin mendapatkan dunia yang rendah.” (Jami’ul Bayan fi Ta`wil Ayil Qur’an 1/422)
Al-Imam al-Baghawi rahimahullah menyebutkan bahwa pendeta-pendeta Yahudi itu khawatir kehilangan sumber penghidupan dan kepemimpinan mereka ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah. Mereka lalu melakukan tipu daya untuk menyimpangkan orang-orang Yahudi agar tidak beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka telah memahami ciri-ciri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disebutkan dalam Taurat bahwa beliau memiliki wajah dan rambut yang bagus, kedua matanya seperti bercelak, perawakannya sedang, tidak terlalu tinggi, tidak pula pendek. Mereka lalu mengubah sifat-sifat tersebut dan menggantinya dengan “tinggi, miring matanya, dan keriting rambutnya”. Saat orang-orang bodoh yang tidak mengerti Taurat bertanya tentang ciri-ciri nabi yang terakhir kepada para pendeta ini, mereka akan membacakan apa yang telah mereka tulis.
Akhirnya, orang-orang bodoh tersebut menemukan bahwa ciri-ciri nabi yang akhir itu berbeda dengan ciri-ciri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akibatnya, mereka mendustakan beliau.” (Ma’alimut Tanzil, 1/54—55)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ
“Mereka (orang-orang Yahudi) mengubah perkataan dari tempat-tempatnya.” (an-Nisa: 46)
Ayat di atas menunjukkan bahwa sifat orang-orang Yahudi suka mengganti dan mengubah-ubah makna Taurat dari tafsir yang sebenarnya. (Jami‘ul Bayan fi Ta`wil Ayil Qur’an 4/121)
Perubahan yang mereka lakukan bisa berupa lafadz atau makna, bisa jadi pula pada kedua hal tersebut sekaligus. Mereka mengubah hakikat yang ada, menempatkan al-haq di atas al-batil, dan menentang al-haq itu. (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 181)
Diriwayatkan bahwa sambil membawa sebuah mushaf, Ka‘b al-Ahbar pernah menemui Umar ibnul Khaththab radhiyallahu anhu yang ketika itu menjabat Amirul Mukminin. Ia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, dalam mushaf ini tertulis Taurat. Apakah aku boleh membacanya?”
Umar menjawab, “Jika memang engkau yakin itu adalah Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa ‘alaihis salam pada hari Thursina, silakan membacanya. Jika tidak, jangan membacanya.” (Syarhus Sunnah 1/271)
Karena bercampurnya al-haq dengan al-batil inilah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari perbuatan Umar rahimahullah yang memegang Taurat sebagaimana tersebut dalam hadits yang menjadi pembahasan kita. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan kepada Umar,
أَمُتَهَوِّكُوْنَ فِيْهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ؟ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَقَدْ جِئْتُكُمِ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً
“Apakah engkau termasuk orang yang bingung, wahai Ibnul Khaththab? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah datang kepada kalian membawa agama yang putih bersih.”
Di samping itu, syariat yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah sangat memadai sehingga umat beliau tidak lagi membutuhkan syariat lain atau syariat umat terdahulu. Umat ini tidak lagi membutuhkan nabi dan rasul lain setelah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah mereka. Kalaupun para nabi dan rasul terdahulu masih hidup dan menemui masa kenabian beliau, niscaya para nabi dan rasul tersebut akan mengikuti beliau dan tunduk pada syariat yang beliau bawa.
Karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Umar radhiyallahu anhu,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ أَنَّ مُوْسَى كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلاَّ أَنْ يَتَّبِعَنِي
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa ‘alaihis salam masih hidup, niscaya tidak boleh kecuali mengikutiku.”
Allah subhanahu wa ta’ala tidak memberikan jaminan penjagaan atas kalam-Nya yang termaktub dalam kitab Taurat dan Injil, sebagaimana jaminan penjagaan yang diberikan-Nya kepada al-Qur’an,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ
“Sesungguhnya, Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikra (al-Qur’an) dan sungguh Kami-lah yang akan menjaganya.” (al-Hijr: 9)
Karena penjagaan Allah ini, al-Qur’an tidak akan dapat dipalsukan selama-lamanya sampai kelak diangkat kembali dari lembaran dan dada manusia (dari hafalan mereka) menjelang hari kiamat. Adapun kitab samawi lainnya, seperti Taurat dan Injil, tidak selamat dari pemalsuan.
Karena itu, wajar apabila kita katakan bahwa kitab-kitab yang dipegang ahli kitab telah dipalsukan oleh para rahib dan pendeta mereka. Hal ini ini berdasarkan kabar dari Allah subhanahu wa ta’ala sendiri melalui al-Qur’an, dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari atsar, dan dari bukti-bukti sejarah, serta pertentangan dan keganjilan-keganjilan yang ada di dalam Taurat dan Injil sendiri.
Dalam kitabnya, al-Fishal fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal, Ibnu Hazm rahimahullah menyebutkan secara panjang lebar sejarah Bani Israil sejak wafatnya Nabi Musa ‘alaihis salam untuk membuktikan bahwa kitab Taurat tidak lagi asli, tetapi telah diubah-ubah.
Disebutkan bahwa sepeninggal Nabi Musa ‘alaihis salam, Bani Israil dipimpin oleh Yusya’ bin Nun selama 31 tahun dan tetap istiqamah berpegang dengan agama. Selanjutnya, mereka dipimpin Fainuhas ibnul ‘Azar bin Harun selama 25 tahun, juga masih istiqamah di atas agama. Setelah Fainuhas wafat, seluruh Bani Israil murtad dari agama mereka dan menyembah berhala secara terang-terangan. Sejak itulah mereka dipimpin oleh penguasa-penguasa kafir. Meski diselingi oleh kepemimpinan penguasa yang beriman, mereka lebih dominan dikuasai oleh penguasa kafir yang berkubang dalam kekafiran dan penyembahan terhadap berhala[5].
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Sejak Bani Israil memasuki tanah yang disucikan (Palestina) sepeninggal Musa ‘alaihis salam sampai masa pemerintahan raja mereka, Syawul, mereka meninggalkan keimanan dan terang-terangan menyembah berhala sebanyak tujuh kali.”
Beliau rahimahullah juga berkata, “Perhatikanlah, kitab apa yang masih tertinggal bersama dengan kekufuran yang terus-menerus dan menolak keimanan selama masa yang panjang[6] di sebuah negeri yang kecil. Sementara itu, ketika itu tidak ada seorang pun di muka bumi yang berada di atas agama mereka dan mengikuti kitab mereka selain mereka sendiri.” (al-Fishal 1/215)
Berikut ini beberapa contoh kedustaan yang terdapat dalam Taurat.
Di dalam Taurat dihikayatkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Ini Adam, ia telah menjadi seperti salah satu dari Kami dalam mengetahui kebaikan dan kejelekan….”
Ibnu Hazm menyatakan, ucapan ini menunjukkan mereka meyakini bahwa ilah atau sesembahan itu lebih dari satu, dan Adam termasuk ilah tersebut[7].
Disebutkan pula dalam Taurat, “Ketika manusia telah banyak memenuhi muka bumi dan lahir putri-putri Adam, maka saat putra-putra Allah melihat putri-putri Adam yang cantik, putra-putra Allah pun memperistri sebagian mereka.”
Ibnu Hazm membantah kedustaan mereka ini dengan menyatakan bahwa ucapan tersebut adalah kedunguan dan kedustaan yang besar. Mereka menjadikan Allah memiliki anak laki-laki yang menikahi putri-putri Adam, yang berarti Allah dan Adam berbesanan. Mahasuci Allah dari kedustaan ini[8].
Selain itu, di dalam Taurat yang mereka pegangi disebutkan bahwa Nabi Luth ‘alaihis salam digauli oleh dua putrinya secara bergantian saat beliau telah renta, setelah dibuat mabuk dengan diberi minum khamr. Akibatnya, kedua putrinya hamil dari hasil hubungan dengan ayahnya.
Kita berlindung kepada Allah dari tuduhan keji mereka yang membuat gemetar kulit orang-orang beriman yang mengetahui hak-hak para nabi[9].
Ibnul Qayyim rahimahullah mendustakan ucapan orang-orang Yahudi bahwa lembaran-lembaran yang bertuliskan Taurat yang ada di belahan bumi timur dan barat saling bersesuaian. Ibnul Qayyim berkata, “Ini adalah kedustaan yang nyata. Sebab, Taurat yang berada di tangan orang-orang Nasrani berbeda dengan Taurat yang berada di tangan orang-orang Yahudi. Taurat yang ada di tangan Samiri berbeda pula dengan keduanya. Demikian pula Injil, sebagiannya berbeda dengan yang lain dan saling bertentangan.”
Ibnul Qayyim melanjutkan, “Taurat yang berada di tangan orang-orang Yahudi memuat tambahan, perubahan, dan pengurangan yang kentara bagi orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka (orang yang berilmu) yakin secara pasti bahwa hal itu tidak terdapat dalam Taurat yang diturunkan oleh Allah kepada Musa ‘alaihis salam. Demikian pula Injil yang berada di tangan orang-orang Nasrani. Di dalamnya terdapat tambahan, perubahan, dan pengurangan yang tidak bisa disembunyikan dari orang-orang yang ilmunya mendalam. Mereka yakin secara pasti bahwa hal itu tidak terdapat dalam Injil yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada al-Masih Isa ‘alaihis salam.” (Hidayatul Hayara fi Ajwibatil Yahudi wan Nashara, hlm. 101)
Al-‘Allamah asy-Syaikh Rahmatullah bin Khalilur Rahman al-Kairanawi al-Hindi rahimahullah menyebutkan beberapa bukti bahwa kitab Taurat dan Injil yang ada sekarang bukanlah Taurat dan Injil yang pernah diturunkan kepada Nabi Musa ‘alaihis salam dan Nabi Isa ‘alaihis salam.
Di antaranya, beliau menyebutkan fakta sejarah berkenaan dengan Taurat bahwa Taurat yang ada sekarang terputus sanadnya sebelum zaman Raja Yusya’ bin Amun yang berkuasa pada 638 SM. Naskah (manuskrip) bertuliskan Taurat yang didapatkan setelah 18 tahun ia berkuasa tidak bisa dijadikan sandaran karena naskah itu dibuat-buat oleh al-Kahin Hilqiyya. Selain tidak bisa dijadikan sandaran, secara umum naskah itu hilang sebelum Bukhtanashar menaklukkan negeri Palestina pada 587 SM.
Seandainya kita anggap naskah itu tidak hilang, ketika Bukhtanashar menguasai Palestina tentu ia akan memusnahkan Taurat dan seluruh Kitab Perjanjian Lama hingga tidak tersisa. Orang-orang Yahudi berdalih bahwa Uzara telah menulis sebagian lembaran Taurat di Babil, namun yang ditulisnya ini pun hilang ketika Anthaikhus IV menaklukkan Palestina.
Ketika Suraya berkuasa antara 175—163 SM, ia berencana memusnahkan agama Yahudi dan mewarnai Palestina dengan ajaran helenisme Yunani. Ia pun menjual jabatan-jabatan pendeta Yahudi, membunuh sejumlah 40—80 juta pendeta Yahudi, merampas barang-barang yang ada di seluruh tempat ibadah Yahudi, beribadah kepada sesembahannya dengan menyembelih babi dan menyalakan api di atas tempat penyembelihan orang Yahudi, serta memerintahkan 20 ribu tentara untuk mengepung dan akhirnya menyerbu al-Quds pada hari Sabtu ketika orang-orang Yahudi berkumpul untuk mengerjakan shalat. Mereka merampas al-Quds, meruntuhkan rumah dan pagar-pagar, menyalakan api di dalamnya serta membunuh semua orang yang ada di dalamnya sampai pun para wanita dan anak-anak. Tidak ada yang selamat pada hari itu kecuali orang yang lari ke gunung-gunung atau bersembunyi dalam gua.” (Mukhtashar Kitab Izh-harul Haq, hlm. 20—21)
Demikian pula keberadaan Injil yang dipegangi orang-orang Nasrani. Injil ditulis jauh setelah diangkatnya Nabi ‘Isa ‘alaihis salam, baik Injil yang konon katanya ditulis oleh Yohanes yang kemudian disebut Injil Yohanes, Injil Markus, Injil Lukas, maupun Injil Matius. Cukuplah sebagai bukti ketidakotentikan Injil tersebut bahwa ada empat Injil ini yang isinya terdapat pertentangan satu sama lain. Injil-Injil itu bukanlah Injil yang pernah diturunkan kepada Nabi Isa ‘alaihis salam.
Asy-Syaikh Rahmatullah al-Hindi berkata, “Kitab samawi (yang diturunkan dari langit) yang wajib kita terima adalah kitab yang ditulis dengan perantara salah seorang nabi, dan sampai kepada kita dengan sanad yang bersambung tanpa ada perubahan dan penggantian. Adapun kitab yang disandarkan kepada seseorang yang memiliki ilham dengan semata-mata persangkaan dan dugaan, tidaklah cukup untuk menetapkan bahwa kitab tersebut adalah karya orang itu, sekalipun ada satu atau beberapa kelompok yang mengaku-aku penyandaran tersebut.
Tidakkah engkau lihat bahwa kitab-kitab Perjanjian Lama yang disandarkan kepada Musa, Uzra, Isy’aya`, Irmiya, dan Sulaiman ‘alaihis salam?! Tidaklah ada satu dalil pun yang tsabit (pasti benar) menunjukkan kesahihan penyandarannya kepada mereka karena hilangnya sanad yang bersambung atas kitab-kitab tersebut.
Tidakkah engkau lihat juga bahwa kitab-kitab Perjanjian Baru yang lebih dari 70 (buah) disandarkan kepada Isa, Maryam, Hawariyun dan pengikut mereka?! Kelompok-kelompok Nasrani yang ada sekarang telah sepakat tentang ketidaksahihan penyandaran kitab-kitab tersebut kepada Isa dan lainnya. Kitab-kitab itu justru termasuk kedustaan yang dibuat-buat. Berikutnya, ada kitab yang wajib diterima oleh menurut penganut Katolik, namun wajib ditolak menurut orang-orang Yahudi dan penganut Protestan….” (Mukhtashar Kitab Izh-harul Haq, hlm.19)
Dengan demikian, dari fakta-fakta yang ada semakin pasti bahwa kitab-kitab yang dipegangi oleh Yahudi dan Nasrani bukanlah Taurat dan Injil yang disebutkan dalam al-Qur’anul Karim sehingga kita tidak wajib menerimanya. Kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tersebut ditempatkan sebagai berikut:
Al-Qur’anul Karim adalah penjaga bagi kitab-kitab sebelumnya. Maksudnya, al-Qur’an menampakkan al-haq yang terdapat dalam kitab-kitab sebelumnya dan mendukungnya, serta menampakkan kebatilan yang ada di dalam kitab-kitab tersebut dan menolaknya.
Ulama Islam yang membantah isi Taurat dan Injil serta menampakkan kedustaan serta perubahan yang ada di dalamnya, tidaklah menujukan bantahannya kepada Taurat dan Injil yang diturunkan oleh Allah kepada Musa ‘alaihis salam dan Isa ‘alaihis salam. Yang dibantah adalah kisah dan riwayat-riwayat yang dikumpulkan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sepanjang beberapa kurun, yang dikatakan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wahyu dan ilham. Sungguh, Taurat yang diturunkan oleh Allah kepada Musa hanya satu, Injil yang diturunkan kepada ‘Isa hanya satu pula. Bagaimana bisa sekarang didapatkan ada tiga Taurat yang berbeda dan ada empat Injil yang juga berbeda?[10]” (Mukhtashar Kitab Izh-harul Haq, hlm. 35—37)
Wallahul musta’an.
Melihat Umar radhiyallahu anhu memegang lembaran yang bertuliskan Taurat sudah membuat wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berubah karena marah. Padahal kitab Taurat merupakan salah satu kitab samawi, Kalamullah yang diturunkan Allah subhanahu wa ta’ala dari langit, meski kemudian diubah-ubah dan diganti oleh Yahudi. Bagaimana kiranya jika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melihat buku-buku yang jelas tidak diturunkan dari langit, dan isinya justru bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah? Bagaimana kira-kira kemarahan beliau bila melihat kita membolak-balik buku tersebut dan membacanya? Apalagi ingin menyelami kebenaran yang—katanya—ada atau mungkin ada di dalamnya? Tentu saja kemurkaan beliau jauh lebih besar lagi. Wallahul musta’an.
Bisa jadi, buku-buku yang ditulis ahlul bid’ah dan pengekor hawa nafsu itu memiliki satu atau beberapa titik nilai kebenaran. Akan tetapi, kebenaran apa yang bisa diharapkan apabila ia dibalut dan diselimuti oleh sekian banyak kebatilan? Bukankah buku-buku yang selamat dari kebatilan masih banyak? Buku-buku yang ditulis oleh ulama Ahlus Sunnah juga masih menggunung? Mengapa harus mempersulit diri dengan menyelami samudra kebatilan nan pekat karena ingin mendapatkan sebutir kecil mutiara kebenaran?
Abu Zur’ah ar-Razi rahimahullah pernah memperingatkan seseorang untuk tidak membaca buku tulisan al-Harits al-Muhasibi dengan menyatakan, “Hati-hati engkau dari buku-buku ini, karena ini adalah buku-buku bid’ah dan kesesatan. Engkau wajib berpegang dengan atsar (hadits atau Sunnah Nabi) karena di dalamnya engkau akan mendapatkan kecukupan.”
Ternyata orang itu berkelit dengan mengatakan, “Dalam buku-buku ini ada ibrah/pelajaran.”
Apa jawaban Abu Zur’ah rahimahullah? Beliau menegaskan, “Siapa yang tidak mendapatkan ibrah dalam Kitabullah, niscaya tidak ada baginya ibrah dalam buku-buku ini.” (al-Mizan 2/165)
Memberi peringatan (tahdzir) terhadap kitab-kitab yang memuat kebid’ahan dan kesesatan merupakan manhaj as-Salafus Shalih dengan mencontoh Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mengingkari perbuatan Umar ibnul Khaththab rahimahullah. Tahdzir ini bertujuan menjaga manhaj kaum muslimin dari mudarat dan bahaya yang terkandung dalam buku-buku tersebut. Tidak termasuk perbuatan zalim saat seorang muslim menasihati saudaranya untuk menjauhi buku-buku yang demikian karena ingin agar saudaranya terhindar dari mudarat, dengan semata menyebutkan kejelekan buku tersebut tanpa menyinggung kebaikannya. (Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal wal Kutub wath Thawaif, hlm. 128, karya asy-Syaikh Prof. Dr. Rabi‘ bin Hadi al-Madkhali)
Al-Imam Ibnu Muflih rahimahullah berkata, “Asy-Syaikh Muwaffaquddin rahimahullah menyebutkan larangan melihat buku-buku ahlul bid’ah. Beliau mengatakan, ‘Generasi salaf melarang bermajelis dengan ahlul bid’ah, melarang melihat buku-buku mereka, dan mendengar ucapan mereka’.” (al-Adabus Syar’iyah, 1/251)
Asy-Syaikh Prof. Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali berkata menukilkan ucapan al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah, “Setiap buku yang menyelisihi as-Sunnah tidak boleh dilihat dan dibaca. Justru yang diizinkan oleh syariat adalah menghapus dan memusnahkannya.”
Kemudian Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan, “Para sahabat telah membakar seluruh mushaf yang menyelisihi mushaf Utsman karena kekhawatiran akan timbulnya perselisihan di tengah-tengah umat. Bagaimana kiranya apabila mereka melihat buku-buku ini, yang menciptakan perselisihan dan perpecahan di kalangan umat….”
Ibnul Qayyim berkata lagi, “Maksud dari semua ini, buku-buku yang mengandung kedustaan dan bid’ah wajib dimusnahkan dan dipunahkan. Memusnahkannya lebih utama daripada menghancurkan alat-alat lagu dan musik serta bejana-bejana yang berisi khamr. Sebab, bahaya buku-buku ini lebih besar daripada bahaya alat-alat musik. Karena itu, tidak ada ganti rugi terhadap buku-buku tersebut sebagaimana tidak ada ganti rugi dalam penghancuran bejana-bejana khamr.” (Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal wal Kutub wath Thawa’if, hlm. 134)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadz Muslim Abu Ishaq al-Atsari
[1] Ibnu ‘Aun mengatakan bahwa dia bertanya kepada al-Hasan, “Apa yang dimaksud dengan مُتَهَوِّكُوْنَ ?”
Al-Hasan menjawab, “Orang-orang yang bingung.”
Demikian disebutkan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (1/132), sebagaimana dinukilkan dalam al-Irwa’ (6/38). Al-Imam al-Baghawi rahimahullah menyebutkan bahwa makna sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah apakah kalian bingung dalam ber-Islam? Kalian tidak mengetahui agama kalian hingga harus mengambil agama tersebut dari Yahudi dan Nasrani? (Syarhus Sunnah 1/271)
[2] Artinya, betapa ibumu kehilanganmu. Orang yang mengucapkan hal ini seakan-akan mendoakan kematian lawan bicaranya karena jeleknya perbuatan atau ucapannya.
Bisa jadi, ia mengucapkannya untuk menyatakan, “Apabila engkau berbuat/berucap demikian, kematian lebih baik bagimu agar engkau tidak menambah kejelekan lagi.”
Bisa jadi pula, ucapan ini termasuk lafadz-lafadz yang biasa diucapkan orang Arab tanpa dimaksudkan sebagai doa, seperti ucapan mereka تربت يداك dan قاتلك الله. (an-Nihayah, hlm. 123)
[3] Al-Hafizh Ibnu Hajar menilai sanadnya hasan (Fathul Bari 13/408).
[4] Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah menyatakan bahwa dalam ayat ini dan yang sebelumnya ada peringatan agar tidak mengganti, mengubah, dan menambahi syariat. Maka dari itu, semua orang yang mengganti, mengubah, atau mengadakan hal baru (bid’ah) dalam agama Allah yang bukan bagian dari agama dan terlarang dalam agama, ia masuk dalam ancaman yang keras dan azab yang pedih tersebut.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an 1/9)
[5] al-Fishal fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal, 1/ 213—215
[7] al-Fishal 1/146.
[8] al-Fishal 1/147
[10] Karena terbatasnya lembaran rubrik ini, kami tidak dapat memaparkan semuanya. Pembaca yang ingin mendapatkan penjelasan lebih jauh dipersilakan membaca kitab-kitab seperti al-Fishal fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal karya Ibnu Hazm, al-Jawab ash-Shahih liman Baddala Dinal Masih karya al-Imam Ibnu Taimiyah, Hidayatul Hayara fi Ajwibatil Yahudi wan Nashara karya al-Imam Ibnul Qayyim, Izharul Haq karya asy-Syaikh Rahmatullah al-Hindi atau Mukhtasar–nya.