Khilaf (perselisihan pendapat) dalam perkara agama memang jamak terjadi, bahkan di kalangan para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sekalipun. Namun, hal itu berbeda dengan yang selama ini dipahami oleh banyak orang, yang justru menjauh dari upayanya untuk mencari kebenaran, dengan dalih “ini adalah masalah khilafiah”.
Khilaf (perselisihan pendapat) di antara manusia adalah perkara yang sangat mungkin terjadi. Hal itu karena kemampuan, pemahaman, wawasan, dan keinginan mereka yang berbeda-beda. Namun, sebuah perselisihan masih bisa dikatakan wajar jika sebab kemunculannya pun masuk akal, bukan bersumber dari hawa nafsu atau fanatik buta dengan sebuah pendapat. Meskipun kita memaklumi kenyataan ini, perlu diingat bahwa perselisihan, pada umumnya, bisa menyeret kepada kejelekan dan perpecahan.
Oleh karena itu, salah satu tujuan syariat Islam yang mudah ini adalah berusaha mempersatukan persepsi umat dan mencegah terjadinya perselisihan yang tercela. Akan tetapi, karena perselisihan merupakan realitas yang tidak bisa dihindarkan dan merupakan tabiat manusia, Islam meletakkan kaidah-kaidah dalam menyikapi masalah yang diperselisihkan dan orang-orang yang berselisih. Islam juga membimbingkan cara yang tepat untuk mendapatkan kebenaran yang seyogianya menjadi tujuan setiap individu.
Baca juga:
Persatuan Hakiki adalah Kesepakatan Mengikuti Jejak Para Sahabat Nabi
Para salaf (generasi awal) umat Islam telah terbukti sangat menjaga adab saat mereka sedang berselisih pendapat. Karena itu, perselisihan mereka tidak menimbulkan perkara yang jelek. Sebab, mereka selalu berkomitmen dengan adab-adab khilaf. (Kata pengantar Dr. Mani’ bin Hammad al-Juhani terhadap kitab Adabul Khilaf, hlm. 5)
Ikhtilaf tanawwu’ ialah istilah mengenai beragam pendapat yang bermacam-macam, tetapi semuanya memaksudkan makna yang sama. Salah satu pendapat tidak bisa dikatakan bertentangan dengan yang lainnya. Contohnya, perbedaan pendapat di kalangan ahli tafsir dalam menafsirkan “ash-Shirath al-Mustaqim” dalam surah al-Fatihah. Ada yang menafsirkannya dengan Al-Qur’an, Islam, As-Sunnah, dan al-Jamaah. Semua pendapat ini benar dan maknanya tidak saling bertentangan.
Baca juga:
Demikian pula dengan orang yang membaca tasyahud dengan lafaz yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu, dia juga memandang bolehnya membaca tasyahud yang lain seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dan lainnya.
Perbedaan yang seperti ini tidaklah tercela. Namun, akan menjadi tercela jika perbedaan seperti ini dijadikan sebab atau alat untuk menzalimi orang lain.
Ikhtilaf tadhadh ialah suatu ungkapan mengenai beberapa pendapat yang saling bertentangan; salah satunya bisa dihukumi sebagai pendapat yang salah. Misalnya, dalam satu perkara, ada ulama yang mengatakan haram dan ada ulama lain yang mengatakan halal.
Baca juga:
Dalam perselisihan semacam ini, seseorang tidak boleh mengambil suatu pendapat menurut keinginan hawa nafsunya. Dia harus melihat akar masalah yang diperselisihkan dan pendapat yang dikuatkan oleh dalil.
Ikhtilaf afham ialah perbedaan dalam memahami suatu nas. Hal ini diperbolehkan dengan beberapa syarat. Di antaranya:
(Hujajul Aslaf, Abu Abdirrahman)
Suatu hal yang telah kita ketahui bersama bahwa tidak ada seorang ulama pun—yang tepercaya keilmuan, amanah, dan ketaatannya—akan sengaja menyelisihi makna eksplisit dari suatu dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebab, orang yang sejatinya alim, ia akan selalu berkomitmen mengikuti kebenaran. Namun, mereka (para ulama) bisa saja terjatuh dalam sebuah kesalahan saat menyebutkan suatu hukum syariat.
Kesalahan bisa saja terjadi, bahkan sangat mungkin terjadi, karena lemahnya ilmu dan pemahaman manusia. Pengetahuannya pun terbatas, tidak bisa menjangkau segala perkara.
Sebab terjadinya perselisihan pendapat di kalangan para ulama dalam memutuskan suatu hukum adalah sebagai berikut.
Hal ini tidak hanya terjadi setelah zaman para sahabat. Bahkan, pada zaman mereka pun pernah terjadi.
Disebutkan dalam Shahih al-Bukhari, Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu melakukan safar menuju Syam. Di tengah perjalanan, beliau dikabari bahwa di Syam tengah terjadi wabah tha’un. Umar menghentikan perjalanannya dan bermusyawarah dengan para sahabat.
Mereka berselisih pendapat. Ada yang mengusulkan untuk pulang. Ada juga yang berpendapat untuk meneruskan perjalanan. Ketika mereka tengah bermusyawarah, datanglah Abdurrahman bin Auf yang sebelumnya tidak ikut bermusyawarah karena suatu keperluan.
Abdurrahman mengatakan, “Saya memiliki ilmu tentang ini. Saya mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ فِي أَرْضٍ فَلاَ تَقْدُمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ وَأَنْتُمْ فِيْهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ
“Jika kalian mendengar wabah tha’un menimpa sebuah negeri, janganlah kalian memasuki negeri tersebut. Namun, jika wabah itu menimpa negeri yang kalian tinggali, janganlah kalian keluar (dari daerah tersebut, -red.) karena ingin lari darinya (wabah tersebut).” (Lihat Shahih al-Bukhari, no. 5729)
Dia memandang bahwa hadits itu bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat darinya. Oleh sebab itu, dia mengambil dalil yang menurutnya lebih kuat.
Contohnya, kalimat
أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ
“Atau kalian menyentuh perempuan.” (al-Maidah: 6)
Sebagian ulama mengatakan bahwa sekadar seorang lelaki menyentuh perempuan, maka wudhunya batal. Sebagian lagi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “menyentuh” di sini adalah jimak (bersetubuh), sebagaimana pendapat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma. Pendapat inilah yang benar, dengan landasan adanya riwayat bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam mencium sebagian istrinya lalu berangkat menuju shalat dan tidak berwudhu.
Sementara itu, dia belum mengetahui adanya dalil yang menghapusnya.
(Diringkas dari risalah al-Khilaf Bainal Ulama: Asbabuhu wa Mauqifuna minhu dan Kitabul ‘Ilmi, karya Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah)
Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan khilaf yang memiliki bobot dan teranggap adalah khilaf di antara para ulama yang tepercaya secara keilmuan dan ketaatannya. Bukan khilaf yang muncul dari mereka yang dianggap atau mengaku sebagai ulama tetapi sebenarnya bukanlah ulama. Bukan pula khilaf antara ahlul bid’ah—seperti Khawarij dan Syiah—dan Ahlus Sunnah.
Sikap kita terhadap perselisihan para ulama adalah:
Kita meyakini bahwa khilaf tersebut terjadi karena sebab-sebab yang sudah kita sebutkan dan sebab lain yang belum disebutkan.
Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah mewajibkan untuk mengikuti ucapan seorang pun selain Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, baik jiwa ini menyukainya maupun tidak. Adapun selain Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tidak ada jaminan bahwa ia terbebas dari kesalahan.
Pendapat yang sesuai dengan hujah, itulah yang kita ambil dan ikuti. Adapun yang tidak sesuai dengan hujah, kita tinggalkan. Hal ini sebagaimana wasiat para imam agar kita meninggalkan pendapat mereka yang menyelisihi dalil.
Di sisi lain, meski kita terkadang mendapatkan adanya pendapat yang salah dari mereka, ini bukanlah suatu celah untuk menjatuhkan mereka. Usaha untuk sampai pada kebenaran telah mereka tempuh. Namun, mereka belum diberi taufik untuk mendapatkannya.
Jika mereka salah dalam pendapatnya—setelah usaha yang maksimal, tidak ada celaan atas mereka. Bahkan, mereka mendapatkan satu pahala. Semestinya tertanam dalam jiwa kita sebuah sikap hormat dan pemuliaan terhadap para ulama, serta mendoakan rahmat dan ampunan bagi mereka. (Lihat Kitabul ‘Ilmi, karya Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah)
Ada dua hal yang harus dibedakan, yaitu masalah khilafiah dan masalah ijtihadiah.
Masalah khilafiah bersifat lebih umum daripada masalah ijtihadiah. Sebab, masalah khilafiah ada yang sifatnya bertentangan dengan dalil dari Al-Qur’an, hadits, atau ijmak. Masalah khilafiah yang seperti ini harus diingkari.
Berbeda halnya dengan masalah ijtihadiah yang memang tidak ada nas atau dalil dalam masalah tersebut. Dalam masalah ijtihadiah (yakni yang muncul karena ijtihad pada masalah yang memang diperkenankan untuk berijtihad padanya), seseorang memiliki keluasan padanya. Manakala seseorang mengambil suatu pendapat yang ia pandang lebih kuat, orang lain yang menyelisihinya tidak boleh mencelanya.
Sebagai contoh dalam masalah khilafiah—untuk membedakan antara keduanya—adalah pendapat sebagian ulama yang membolehkan pernikahan tanpa wali nikah. Pendapat ini tentu salah karena bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
لَا نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya. Syaikh Al-Albani rahimahullah menilainya sahih dalam al-Irwa`, no. 1839)
Baca juga:
Ini dinamakan masalah khilafiah.
Adapun contoh masalah ijtihadiah adalah bersedekap atau meluruskan tangan setelah bangkit dari rukuk. Dalam masalah ini, tidak ada nas yang sharih (jelas) yang menjelaskan posisi tangan setelah rukuk. Wallahu a’lam.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan,
“Ucapan mereka (sebagian orang) bahwa masalah-masalah khilafiah tidak boleh diingkari, ini tidaklah benar. Sebab, adakalanya pengingkaran itu tertuju kepada ucapan atau pendapat, fatwa, dan amalan.
Adapun yang pertama, jika suatu pendapat menyelisihi sunnah atau ijmak yang telah menyebar (umum), hal tersebut wajib diingkari menurut kesepakatan (ulama). Meskipun pengingkarannya tidak secara langsung, penjelasan mengenai lemahnya pendapat tersebut dan penyelisihannya terhadap dalil juga merupakan bentuk pengingkaran.
Adapun masalah amalan, jika ia menyelisihi sunnah atau ijmak, hal tersebut wajib diingkari sesuai dengan derajat pengingkaran.
Bagaimana seorang ahli fikih bisa mengatakan bahwa tidak boleh ada pengingkaran pada masalah yang diperselisihkan, padahal ulama dari semua golongan telah menyatakan secara tegas mengenai batalnya keputusan seorang hakim jika keputusannya menyelisihi Al-Qur’an atau As-Sunnah, meskipun keputusan itu telah mengikuti atau mencocoki pendapat sebagian ulama?!
Adapun jika dalam suatu masalah tidak ada dalil dari As-Sunnah atau ijmak dan ada jalan (bagi ulama) untuk berijtihad dalam masalah tersebut, (benar bahwa) orang yang mengamalkannya tidak boleh diingkari, baik dia seorang mujtahid maupun sekadar yang mengikutinya.” (I’lamul Muwaqqi’in, 3/252)
Masalah ijtihadiah jangan sampai menjadi sebab perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin, seberapa pun besarnya. Sebab, jika demikian, kaum muslimin justru akan bercerai berai. Mereka menjadi tidak mempunyai kekuatan, akan menjadi permainan setan dari kalangan jin dan manusia, serta menjadi umpan yang empuk bagi para musuh Islam.
Baca juga:
Sebagian orang tidak memperhatikan jenis ikhtilaf yang seperti ini. Akibatnya, mereka menyangka bahwa setiap masalah yang diperselisihkan oleh para ulama bisa dijadikan dasar untuk memberikan loyalitas atau untuk memusuhi orang yang menyelisihinya. Sikap yang seperti ini hanya akan memicu berbagai kerusakan dan kebencian, yang hanya Allah subhanahu wa ta’ala yang mengetahuinya. Dalam masalah seperti ini, hendaklah kita berlapang dada sebagaimana salafus shalih berlapang dada.
Imam Ahmad rahimahullah berpendapat wajibnya berwudhu karena darah yang keluar dari hidung dan karena berbekam. Beliau pun ditanya, “Bagaimana jika seorang imam shalat, lalu keluar darah dan ia tidak berwudhu? Apakah Anda akan bermakmum di belakangnya?”
Beliau menjawab, “Bagaimana mungkin saya enggan shalat di belakang Imam Malik dan Sa’id bin Musayyib?!”
Beliau mengatakan demikian karena Imam Malik dan Sa’id rahimahumallah berpendapat tidak wajibnya berwudhu karena keluar darah. (Adabul Khilaf, Hujajul Aslaf, dan al-Qawa’id al-Fiqhiyah)
Ulama fikih menyebutkan suatu kaidah penting yang seyogianya dijadikan pegangan, yaitu:
يُسْتَحَبُّ الْخُرُوْجُ مِنَ الْخِلاَفِ
“Dianjurkan keluar dari perselisihan.”
Inti dari kaidah ini adalah kehati-hatian dalam beragama dan upaya untuk menumbuhkan sikap saling mencintai serta menyatukan hati. Hal ini diwujudkan dengan cara melepaskan diri dari perselisihan pada urusan yang kemudaratannya ringan. Apabila meninggalkan sebagian hal yang disunnahkan akan memunculkan maslahat yang lebih dominan dan menutup pintu khilaf, perkara sunnah tersebut tidak mengapa—bahkan sebaiknya—ditinggalkan.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah berencana untuk memugar Ka’bah dan menjadikannya dua pintu. Namun, beliau mengurungkannya karena beliau shallallahu alaihi wa sallam memandang bahwa membiarkan Ka’bah seperti itu lebih besar maslahatnya. Sebab, banyak orang Quraisy yang baru masuk Islam sehingga dikhawatirkan mereka akan beranggapan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menghormati kesucian Ka’bah. Dikhawatirkan mereka bisa murtad dari agama karena hal tersebut.
Demikian pula yang dilakukan oleh sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu tatkala mengingkari Khalifah Utsman bin Affan radhiallahu anhu yang shalat dengan tata cara shalat seorang yang bermukim (tidak qashar), padahal sedang dalam bepergian. Namun, Ibnu Mas’ud tetap shalat di belakang Utsman tanpa meng-qashar. Beliau mengikuti Khalifah. Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu berkata, “Perselisihan itu jelek.”
Oleh karena itu, sejak dahulu para ulama telah bersepakat tentang sahnya shalat orang yang bermazhab Syafi’i di belakang orang yang bermazhab Hanafi. Demikian pula sebaliknya, sekalipun mereka berselisih tentang batal atau tidaknya wudhu seseorang jika menyentuh perempuan.
Namun, tingkatan dianjurkannya keluar dari area khilaf ini berbeda-beda, sesuai dengan kuat atau lemahnya dalil. Yang menjadi ukuran adalah kuatnya dalil yang menyelisihi. Jika yang menyelisihinya adalah dalil yang lemah, dalil tersebut tidak dianggap. Terlebih jika hal ini (mengambil dalil yang lemah) bisa menyebabkan kita meninggalkan sunnah yang telah diyakini dengan kuat.
Sebagai contoh, apabila ada orang yang berpendapat bahwa mengangkat tangan dalam shalat menyebabkan shalatnya batal. Pendapat seperti ini tidak perlu dihiraukan karena bertentangan dengan hadits-hadits yang kuat dalam masalah ini.
Hal berikutnya yang juga perlu diperhatikan, jangan sampai karena menjaga kaidah ini (mempertimbangkan kuat atau lemahnya dalil yang menyelisihi), membuat kita menyelisihi ijmak.
Jadi, penerapan kaidah tersebut adalah dengan melihat kuatnya dalil dari orang yang khilafnya teranggap. Adapun jika khilafnya jauh dari dalil syariat atau merupakan suatu pendapat yang ganjil, hal itu tidak dianggap. Orang yang pengambilan dalilnya kuat, maka khilafnya dianggap meskipun derajatnya berada di bawah orang yang ia selisihi. (Diringkas dari al-Qawa’id al-Fiqhiyah, karya Ali Ahmad an-Nadawi, hlm. 336—342)
Seorang penuntut ilmu seharusnya bersikap objektif. Hal ini mudah secara teori, tetapi susah dipraktikkan. Sebab, tidak sedikit orang yang tampak seolah-olah sedang menyeru pada kebenaran, padahal sejatinya sedang mengajak kepada dirinya atau membela dirinya dan syaikhnya. Mungkin hal inilah yang menjadikan sebagian orang tidak bisa ilmiah ketika membantah dan berdiskusi. Dia hanya ingin menjatuhkan lawannya (yang menyelisihinya) dengan mengangkat masalah pribadi dan menggunakan bahasa celaan.
Hendaklah masing-masing menjadikan Al-Qur’an dan hadits sebagai hakim yang memutuskan di antara mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٌ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa: 59)
Baca juga:
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَسَۡٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ
“Maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (al-Anbiya: 7)
Hal ini bisa terwujud dengan:
(Lihat Adabul Khilaf, Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid, hlm. 44—47; dan an-Nush-hul Amin, asy-Syaikh Muqbil)
Dahulu, antara sahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dan Zaid bin Tsabit radhiallahu anhu pernah terjadi perselisihan pendapat mengenai masalah yang berkaitan dengan hukum waris. Ibnu Abbas berpendapat bahwa kedudukan kakek adalah seperti ayah, yakni bisa menggugurkan saudara-saudara mayit dari mendapatkan warisan. Sementara itu, Zaid radhiallahu anhu berpendapat bahwa saudara-saudara mayit tetap mendapat warisan bersama dengan adanya kakek.
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma sangat yakin bahwa pendapat Zaid radhiallahu anhu adalah salah. Sampai-sampai beliau radhiallahu anhuma berkeinginan untuk menantangnya ber-mubahalah (saling berdoa agar Allah subhanahu wa ta’ala memberikan laknat kepada pihak yang salah) di sisi Ka’bah.
Pada suatu hari, Ibnu Abbas radhiallahu anhuma melihat Zaid radhiallahu anhu yang sedang menunggangi kendaraannya. Beliau pun mengambil tali kekang kendaraan Zaid lalu menuntunnya.
Zaid radhiallahu anhu berkata, “Lepaskan, wahai anak paman Rasulullah!”
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menjawab, “Seperti inilah kita diperintahkan untuk melakukan (penghormatan) kepada para ulama dan pembesar kita.”
Zaid radhiallahu anhu berkata, “Perlihatkan tanganmu kepadaku!”
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma pun mengeluarkan tangannya. Sahabat Zaid radhiallahu anhu segera menciumnya seraya mengatakan, “Seperti inilah kita diperintahkan untuk menghormati keluarga Nabi.”
Ketika Zaid radhiallahu anhu meninggal dunia, Ibnu Abbas mengatakan, “Demikianlah—yakni wafatnya ulama—ilmu itu lenyap. Sungguh, pada hari ini telah terkubur ilmu yang banyak.” (Adabul Khilaf, hlm. 21—22)
Telah jelas bagi kita rambu-rambu dalam menyikapi perbedaan pendapat di antara ulama Ahlus Sunnah. Tak kalah penting, hendaklah kita selalu memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar ditunjuki pada kebenaran dalam masalah yang diperselisihkan.
Kita yakin bahwa kita ini lemah dalam segala sisinya dan lebih sering mengedepankan hawa nafsu. Hal ini menyebabkan jalan kebenaran seolah-olah tertutup di hadapan kita.
Kita menghormati para pendahulu kita yang telah mendahului kita dalam iman dan amal. Kita senantiasa mendoakan kebaikan untuk mereka.
رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لَنَا وَلِإِخۡوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلۡإِيمَٰنِ وَلَا تَجۡعَلۡ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami. Dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (al-Hasyr: 10)
Wallahu a’lam.