Asysyariah
Asysyariah

pernikahan rasulullah & zainab dalam pandangan syiah rafidhah

8 tahun yang lalu
baca 14 menit

Setahun sudah masa yang dilalui oleh Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu mengayuh bahtera rumah tangganya bersama sang istri, Zainab bintu Jahsy al-Asadiyah radhiallahu ‘anha. Hanya saja ketidakcocokan di antara keduanya terus membayangi keutuhan rumah tangga tersebut. Pernikahan keduanya yang sebenarnya diurus langsung oleh insan termulia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di ambang kehancuran.

Masalahnya mungkin bisa dirunut sebelum rumah tangga itu terbentuk. Zaid bin Haritsah al-Kalbi radhiallahu ‘anhuma adalah bekas budak yang kemudian dimerdekakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Saking sayangnya, sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima wahyu sebagai utusan Allah subhanahu wa ta’ala , beliau mengangkat Zaid sebagai anak sehingga sempat disebut Zaid bin Muhammad.

Demikian keadaannya sampai turun ayat yang melarang menisbatkan nasab kepada selain ayah kandung.

وَمَا جَعَلَ أَدۡعِيَآءَكُمۡ أَبۡنَآءَكُمۡۚ ذَٰلِكُمۡ قَوۡلُكُم بِأَفۡوَٰهِكُمۡۖ وَٱللَّهُ يَقُولُ ٱلۡحَقَّ وَهُوَ يَهۡدِي ٱلسَّبِيلَ ٤ ٱدۡعُوهُمۡ لِأٓبَآئِهِمۡ هُوَ أَقۡسَطُ عِندَ ٱللَّهِۚ

“Allah tidaklah menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak kandung kalian. Hal itu sekadar ucapan di mulut-mulut kalian. Dan Allah mengucapkan yang haq (ucapan yang adil) dan Dia memberi petunjuk kepada jalan (yang lurus).

Panggillah mereka (anak-anak angkat tersebut) dengan menasabkan mereka kepada bapak-bapak (kandung) mereka, hal itu lebih adil di sisi Allah.” (al-Ahzab: 4—5)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin mencarikan pendamping hidup untuk orang yang beliau kasihi tersebut. Pilihan beliau jatuh kepada Zainab bintu Jahsy radhiallahu ‘anha yang masih kerabat dekat beliau, saudari sepupu. Ibu Zainab adalah bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pihak ayah, Umaimah bintu Abdil Muththalib.

Awalnya, saat dipinang untuk Zaid, Zainab keberatan. Sebab, dari sisi nasab dia merasa lebih mulia. Dia dari keturunan bangsawan, sementara Zaid adalah maula, bekas budak. Kemudian turunlah ayat menegur keengganan tersebut,

          وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٖ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلٗا مُّبِينٗا ٣٦

“Tidak pantas bagi lelaki yang beriman dan tidak pula bagi perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan satu perkara, lalu ada pilihan lain bagi mereka (tidak tunduk kepada pilihan Allah dan Rasul-Nya). Siapa yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (al-Ahzab: 36)[1]

Zainab radhiallahu ‘anha akhirnya menerima pinangan tersebut dalam rangka taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mewujudkan harapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menginginkan agar pinangan beliau untuk maulanya bisa diterima.

Singkat cerita, keduanya menikah. Namun, memasuki tahun pertama, pilar rumah tangga itu tidak mampu lagi berdiri tegak. Mengadulah Zaid kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Zainab menyakitiku dengan ucapannya, dia melakukan ini dan itu. Aku ingin menceraikannya,” ujar Zaid.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Zaid dari keinginannya tersebut dan menyuruhnya bersabar dengan istrinya. “Tahanlah istrimu untuk tetap bersamamu dan bertakwalah engkau kepada Allah!” nasihat sang Rasul.

Sementara itu, kabar dari atas langit telah turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Zaid akan menceraikan Zainab dan setelah ‘iddah berlalu, Zainab akan menjadi istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kabar samawi tersebut membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir dan takut dengan omongan orang bahwa beliau menikahi bekas istri anak beliau. Hal tersebut tabu dan terlarang di masa jahiliah.

Allah subhanahu wa ta’ala menegur dan mengingatkan Rasul-Nya dalam ayat berikut ini,

          وَإِذۡ تَقُولُ لِلَّذِيٓ أَنۡعَمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ وَأَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِ أَمۡسِكۡ عَلَيۡكَ زَوۡجَكَ وَٱتَّقِ ٱللَّهَ وَتُخۡفِي فِي نَفۡسِكَ مَا ٱللَّهُ مُبۡدِيهِ وَتَخۡشَى ٱلنَّاسَ وَٱللَّهُ أَحَقُّ أَن تَخۡشَىٰهُۖ

Ketika engkau berkata kepada orang yang telah Allah berikan nikmat kepadanya dan engkau pun telah memberinya nikmat (yakni Zaid bin Haritsah), “Tahanlah istrimu untuk tetap bersamamu dan bertakwalah kepada Allah!” Engkau sembunyikan dalam jiwamu apa yang akan Allah tampakkan. Engkau takut kepada manusia padahal Allah-lah yang lebih patut engkau takuti. (al-Ahzab: 37)

مَّا كَانَ عَلَى ٱلنَّبِيِّ مِنۡ حَرَجٖ فِيمَا فَرَضَ ٱللَّهُ لَهُۥۖ سُنَّةَ ٱللَّهِ فِي ٱلَّذِينَ خَلَوۡاْ مِن قَبۡلُۚ وَكَانَ أَمۡرُ ٱللَّهِ قَدَرٗا مَّقۡدُورًا ٣٨

“Tidak ada suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi terdahulu. Dan adalah keputusan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (al-Ahzab: 38)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditegur oleh Allah subhanahu wa ta’ala karena menyembunyikan apa yang telah Allah subhanahu wa ta’ala beritahukan kepada beliau, yaitu terjadinya perceraian Zaid dan Zainab, kemudian beliau akan menikahi Zainab.

وَتَخۡشَى ٱلنَّاسَ وَٱللَّهُ أَحَقُّ أَن تَخۡشَىٰهُۖ

“Engkau khawatir dengan ucapan manusia dan celaan mereka kepadamu padahal Allah subhanahu wa ta’ala lah yang lebih pantas untuk engkau takuti. Karena itu, sampaikanlah apa yang Allah subhanahu wa ta’ala wahyukan kepadamu tanpa peduli dengan celaan manusia,” demikian makna ayat.

Setelah berlalu masa ‘iddah Zainab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminangnya untuk diri beliau. Allah subhanahu wa ta’ala yang menikahkan keduanya dari atas Arsy-Nya, dengan Allah subhanahu wa ta’ala mewahyukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk masuk menemui Zainab yang telah sah menjadi istrinya dengan titah Allah subhanahu wa ta’ala. ‘Pernikahan istimewa lagi khusus’ tanpa ada wali, tanpa akad, tanpa mahar, dan tanpa saksi dari kalangan manusia.

فَلَمَّا قَضَىٰ زَيۡدٞ مِّنۡهَا وَطَرٗا زَوَّجۡنَٰكَهَا لِكَيۡ لَا يَكُونَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ حَرَجٞ فِيٓ أَزۡوَٰجِ أَدۡعِيَآئِهِمۡ إِذَا قَضَوۡاْ مِنۡهُنَّ وَطَرٗاۚ وَكَانَ أَمۡرُ ٱللَّهِ مَفۡعُولٗا ٣٧

“Tatkala Zaid telah menyelesaikan hajatnya dari istrinya (tidak ada lagi keinginannya kepada Zainab dan menceraikannya dengan kemauan sendiri), Kami nikahkan engkau dengannya, agar supaya tidak ada keberatan bagi orang-orang beriman untuk menikahi istri anak-anak angkat mereka apabila anak-anak angkat tersebut telah menceraikan istri-istri mereka. Dan perkara yang telah Allah tetapkan dan tentukan, pastilah terlaksana.” (al-Ahzab: 37)

Dalam riwayat al-Imam Muslim rahimahullah dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu disebutkan,

لمَاَّ انْقَضَتْ عِدَّةُ زَيْنَبَ قَالَ رَسُوْلُ الله لِزَيْدٍ: فَاذْكُرْهَا عَلَيَّ قَالَ: فَانْطَلَقَ زَيْدٌ حَتَّى أَتَاهَا وَهِيَ تُخَمِّرُ عَجِيْنَهَا. قَالَ: فَلَمَّا رَأَيْتُهَا عَظُمَتْ فِي صَدْرِيْ حَتَّى مَا أَسْتَطِيْعُ أَنْ أَنْظُرَ إِلَيْهَا، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ذَكَرَهَا فَوَلَّيْتُهَا ظَهْرِيْ وَنَكَصْتُ عَلَى عَقَبِي . فَقُلْتُ: يَا زَيْنَبُ، أَرْسَلَ رَسُولُ اللهِ يَذْكُرُكِ. قَالَتْ: مَا أَنَا بِصَانِعَةٍ شَيْئًا حَتَّى أُوَامِرَ رَبِّي. فَقَامَتْ إِلَى مَسْجِدِهَا وَنَزَلَ القُرْآنُ. وَجَاءَ رَسُوْلُ اللهِ فَدَخَلَ عَلَيْهَا بِغَيْرِ إِذْنٍ

Ketika selesai ‘iddah Zainab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Zaid, “Sampaikan kepada Zainab, aku ingin meminangnya.”

Zaid pun pergi menemui Zainab yang sedang memberi ragi ke adonannya. Kata Zaid, “Ketika aku melihat Zainab, dia begitu agung dalam dadaku hingga aku tidak sanggup memandangnya[2], karena Rasulullah menyebutnya.” Aku pun memunggunginya dan berbalik ke belakang, lalu berkata, “Wahai Zainab, Rasulullah mengutusku, beliau ingin meminangmu.”

Zainab menjawab, “Saya tidak akan melakukan apa-apa sampai saya memohon petunjuk kepada Rabbku.”

Zainab pun bangkit menuju tempat shalatnya. Ketika itu al-Qur’an telah turun. Datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu masuk menemui Zainab tanpa meminta izin. (Shahih Muslim, no. 3488)

Dengan pernikahan yang mubarak tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala membatalkan kebiasaan mengangkat anak yang dikenal di kalangan orang-orang jahiliah dengan menasabkan anak angkat kepada ayah angkatnya[3], dengan penghalalan menikah dengan istri anak angkat setelah si anak angkat menceraikan istrinya atau dia meninggal dunia (cerai mati).

Yang haram dinikahi hanyalah mantan istri anak kandung sebagaimana firman-Nya tentang perempuan-perempuan yang haram dinikahi,

            وَحَلَٰٓئِلُ أَبۡنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنۡ أَصۡلَٰبِكُمۡ

“(Diharamkan pula bagi kalian untuk menikahi) istri-istri dari putra-putra kalian yang terlahir dari sulbi kalian (anak lelaki kandung).” (an-Nisa: 23)

Demikianlah kisah pernikahan yang penuh hikmah Ilahi tersebut. Kisah yang melapangkan hati orang-orang beriman dan membuat takjub mereka. Pernikahan yang tidak ada duanya. Bayangkan! Allah subhanahu wa ta’ala yang langsung menikahkan kedua mempelai dengan menurunkan ayat dari atas langitnya,

زَوَّجۡنَٰكَهَا

     “Kami nikahkan engkau (wahai Muhammad) dengannya (Zainab).”

Orang-orang yang menyimpan kebenc ian dan dendam kepada Islam tidak senang kecuali sesuatu yang memperkeruh atau mencoreng kebaikan Islam. Di antara yang tidak senang tersebut adalah Syiah Rafidhah. Mereka mencari celah untuk memburukkan Islam dan Nabi umat Islam, walau dengan cara dusta dan khianat.

Terkait dengan pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab radhiallahu ‘anha, ada riwayat batil yang menyenangkan hati orang-orang Rafidhah. Apakah itu?

Disebutkan bahwa suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang mencari Zaid di rumahnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Zainab sedang berdiri. Zainab adalah wanita yang berkulit putih, cantik, dan berpostur bagus, termasuk wanita Quraisy yang paling sempurna keindahannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyukainya dan berkata, “Mahasuci Allah yang membolak-balikkan hati.”

Zainab mendengar ucapan tasbih tersebut maka dia menceritakannya kepada Zaid. Zaid pun paham. Dia berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Wahai Rasulullah, izinkan saya untuk menceraikan Zainab, karena pada dirinya ada sifat sombong, merasa lebih mulia daripada saya, dan dia menyakiti saya dengan ucapannya.”

Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam malah berkata, “Tahanlah istrimu dan bertakwalah kepada Allah!”

Adapula riwayat batil lain yang menyebutkan bahwa saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke rumah Zaid, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus angin sehingga terangkatlah gorden yang menutupi dalam rumah. Ketika itu Zainab mengenakan pakaian yang biasa dikenakan oleh seorang istri dalam rumahnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melihat Zainab hingga jatuh hati kepadanya.

Saat itu Zainab merasa bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertarik kepadanya. Ketika Zaid pulang, Zainab menceritakan hal tersebut, maka Zaid ingin menceraikan Zainab.“Engkau sembunyikan dalam jiwamu rasa cinta kepada Zainab dan engkau takut, merasa malu kepada manusia.“ Demikian ayat mereka tafsirkan.

Lihatlah kisah di atas. Entah siapa yang pertama kali mengarangnya. Tanpa melihat sanad riwayat pun, hati orang-orang beriman pastilah menolaknya.

Dusta! Tidak mungkin!

Apalagi tidak ada satu pun jalur yang sahih untuk kisah di atas.

Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah menyatakan, justru yang dipegangi oleh ahlu tahqiq dari kalangan mufassirin dan ulama rasikhin (yang mendalam ilmunya) seperti az-Zuhri, al-Qadhi Bakr ibnu al-‘Ala’ al-Qusyairi, al-Qadhi Abu Bakr ibnul ‘Arabi, adalah kisah yang telah kita bawakan di awal tulisan.

Riwayat yang menyebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jatuh cinta kepada Zainab bersumber dari orang yang tidak tahu tentang kemaksuman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari perbuatan semacam itu, atau dari orang yang ingin merendahkan kehormatan/kemuliaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 14/124)

Para nabi adalah orang-orang yang kedudukannya agung, paling menjaga ‘iffah, paling mulia akhlaknya, paling tinggi dan paling mulia martabatnya untuk melakukan hal yang disebutkan oleh kisah dusta di atas.

Selain itu, bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meminang Zainab untuk Zaid? Seandainya dari awal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah terpaut hatinya kepada Zainab, tentu beliau yang akan menikahi Zainab, bukan malah diberikan kepada Zaid. Apalagi Zainab pada awalnya keberatan menikah dengan Zaid. (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, 18/138—140)

Kalau dikatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baru melihat kecantikan Zainab setelah diperistri Zaid, ini mustahil. Sebab, dekatnya hubungan kekerabatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab memberi kemungkinan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu “bagaimana” Zainab. Bukankah saat itu syariat hijab belum turun?

Dengan demikian, makna ayat “Engkau sembunyikan dalam jiwamu apa yang Allah akan menampakkannya”, bukanlah rasa cinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Zainab yang masih berstatus sebagai istri Zaid; bukan pula keinginan kuat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam agar Zaid menceraikan Zainab sehingga beliau bisa memperistri Zainab.

Yang benar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan kabar dari langit bahwa Zaid akan menceraikan Zainab, kemudian akan diperistri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sembunyikan? Karena khawatir dan malu, apa kata orang apabila beliau menikah dengan mantan istri anak angkatnya?

Ketika Zaid mengutarakan keinginannya untuk bercerai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengiyakan. Beliau justru mengatakan, “Tahanlah istrimu dan bertakwalah kepada Allah!”

Dalil kebenaran penafsiran ini dari dua sisi, kata al-Imam asy-Syinqithi,

  1. Ayat “Engkau sembunyikan dalam jiwamu apa yang Allah akan menampakkannya”, ternyata yang Allah ‘azza wa jalla tampakkan adalah pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab radhiallahu ‘anha pada firman-Nya, “Tatkala Zaid telah menyelesaikan hajatnya dari istrinya (tidak ada lagi keinginannya kepada Zainab dan menceraikannya dengan kemauan sendiri), Kami nikahkan engkau dengannya….”

Allah ‘azza wa jalla sama sekali tidak menampakkan kebenaran tuduhan mereka bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jatuh cinta kepada Zainab. Seandainya demikian, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan menunjukkannya.

 

  1. Allah subhanahu wa ta’ala secara jelas menyebutkan dalam ayat bahwa Dia-lah yang menikahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab radhiallahu ‘anha.

Hikmah ilahi dalam pernikahan tersebut adalah untuk memutus anggapan haramnya menikahi mantan istri anak angkat.

Firman-Nya, “Tatkala Zaid telah menyelesaikan hajatnya dari istrinya (tidak ada lagi keinginannya kepada Zainab dan menceraikannya dengan kemauan sendiri), Kami nikahkan engkau dengannya, supaya tidak ada keberatan bagi orang-orang beriman untuk menikahi istri anak-anak angkat mereka apabila anak-anak angkat tersebut telah menceraikan istri-istri mereka.”

Firman-Nya, “supaya tidak ada keberatan bagi orang-orang beriman…”, adalah alasan yang jelas Allah ‘azza wa jalla menikahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab radhiallahu ‘anha.

Hikmah agung pernikahan ini juga menunjukkan secara nyata bahwa sebab pernikahan itu bukanlah karena Rasulullah jatuh cinta kepada Zainab—yang mereka katakan sebagai sebab Zaid menceraikan Zainab.

Yang lebih memperjelas hal ini adalah firman Allah ‘azza wa jalla, “Tatkala Zaid telah menyelesaikan hajatnya dari istrinya….

Ayat ini menunjukkan bahwa Zaid sudah menyelesaikan urusannya dengan Zainab. Tidak tersisa lagi keinginan kepada Zainab, lalu Zaid menceraikan Zainab dengan kemauan sendiri. (Adhwa’ul Bayan, 6/582—583)

Kalau ditanya, apa bukti bahwa kaum Rafidhah memiliki tuduhan jelek kepada sang Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait hubungan beliau dengan Zainab?

Dalam kitab pegangan Rafidhah yang berjudul ‘Uyun Akhbar ar-Ridha (hlm. 113) disebutkan bahwa ash-Shaduq menukilkan dari ar-Ridha tentang firman Allah subhanahu wa ta’ala pada surat al-Ahzab ayat 37, “Ketika engkau berkata kepada orang yang telah Allah berikan nikmat kepadanya dan engkau pun telah memberinya nikmat (yakni Zaid bin Haritsah), “Tahanlah istrimu untuk tetap bersamamu dan bertakwalah kepada Allah.” Engkau sembunyikan dalam jiwamu apa yang Allah akan menampakkannya.

Ar-Ridha menafsirkan ayat ini, “Sungguh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju rumah Zaid bin Haritsah untuk suatu urusan yang beliau inginkan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Zainab, istri Zaid, sedang mandi.

Beliau berkata shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Zainab, “Mahasuci Dzat yang menciptakanmu.” (Sebagaimana dinukil dalam kitab Lillahi Tsumma lit Tarikh, hlm. 20, karya as-Sayyid Husain al-Musawi[4])

As-Sayyid Husain al-Musawi mengomentari setelah itu, “Apakah mungkin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang istri seorang muslim, menyukainya, dan terkagum-kagum kepadanya dengan mengatakan kepadanya, ‘Mahasuci Dzat yang telah menciptakanmu’?! Bukankah ini celaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?!”

Kemudian Sayyid Husain menukilkan celaan-celaan lain yang diarahkan Syiah Rafidhah kepada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia[5]. Semuanya menjadi bukti bahwa Syiah tidak memuliakan dan tidak mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ahlul bait beliau.

Wallahul musta’an.

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah

Sumber Bacaan:

  • Adhwaul Bayan, al-Imam asy-Syinqithi
  • al-Jami’ li Ahkamil Quran, al-Imam al-Qurthubi
  • ash-Shahih al-Musnad min Asbab an-Nuzul, asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i
  • Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta
  • Lillahi Tsumma lit Tarikh, as-Sayyid Husain al-Musawi
  • Shahih Muslim, al-Imam Muslim an-Naisaburi
  • Tafsir al-Qur’an al-Azhim, al-Hafizh Ibnu Katsir

[1]              Ada sebab lain yang disebutkan sebagai sababun nuzul ayat ini, selain kejadian Zainab di atas, yaitu kisah Julaibib yang meminang seorang gadis dari kalangan Anshar. Kedua kejadian tersebut bisa tercakup dalam ayat, sebagaimana kata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Ayat ini umum dalam seluruh urusan. Sebab, apabila Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya telah menetapkan hukum sesuatu, tidak boleh bagi seorang pun menyelisihinya. Tidak ada lagi pilihan lain bagi seorang pun, tidak pula pendapat dan ucapan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجٗا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمٗا ٦٥

“Maka sekali-kali tidak demi Rabbmu, mereka tidaklah beriman hingga mereka menjadikanmu sebagai hakim pemutus dalam apa yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak mendapati adanya keberatan dalam jiwa mereka terhadap apa yang engkau putuskan dan mereka tunduk dengan sebenar-benarnya.” (an-Nisa: 65)

[2]               Saat itu belum turun perintah hijab. Ayat tentang hijab baru turun ketika walimah pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu.

[3]               Ayatnya telah turun terlebih dahulu dan ditekankan lagi dengan pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mantan istri anak angkat beliau.

[4] Mantan ulama Syiah yang bertobat dan kembali kepada al-haq kemudian membongkar kesesatan Syiah.

[5] Lillahi Tsumma lit Tarikh, hlm. 21