Ibadah pada asalnya haram dikerjakan apabila tidak ada dalil yang memerintahkannya. Inilah kaidah yang harus dipegang oleh setiap muslim. Dengan demikian, dia tidak bermudah-mudah membuat amalan yang tidak ada perintahnya baik dari Allah maupun Rasulullah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda dalam haditsnya yang agung,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang mengadakan perkara baru dalam agama kami yang bukan dari agama ini, maka perkara itu ditolak.”
Hadits yang dibawakan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu anha ini, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih-nya (“Kitab ash-Shulh”, “Bab Idzashthalahu ‘ala Shulhi Jaurin fash Shulhu Mardud”, no. 2697) dan Imam Muslim rahimahullah dalam Shahih-nya (Kitab al-Aqdhiyah, no. 1718).
An-Nawawi rahimahullah selaku pensyarah (yang memberi penjelasan) terhadap hadits-hadits dalam Shahih Muslim memberinya judul “Bab Naqdhul Ahkam al-Bathilah wa Raddu Muhdatsatil Umur”.
Imam Muslim rahimahullah juga membawakan hadits di atas dengan lafaz yang lain,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami, amalannya tertolak.”
Hadits ini juga diriwayatkan beberapa imam ahli hadits dalam kitab-kitab mereka. Kami mencukupkan takhrij-nya pada ash-Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim).
Beliau menambahkan lagi, “Hadits ini termasuk hadits yang sepatutnya dihafalkan dan digunakan dalam membatilkan seluruh kemungkaran. Seharusnya hadits ini juga disebarluaskan untuk diambil sebagai dalil.” (Syarah Shahih Muslim)
Setelah membawakan hadits ini dalam syarahnya terhadap kitab Shahih al-Bukhari, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkomentar, “Hadits ini terhitung sebagai salah satu pokok Islam dan salah satu kaidah agama.” (Fathul Bari)
Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah juga memuji kedudukan hadits ini. Beliau berkata,
“Hadits ini merupakan salah satu pokok Islam yang agung. Ia seperti timbangan bagi amalan-amalan secara lahiriah. Adapun hadits,
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Amal-amal itu tergantung pada niatnya,” merupakan timbangan bagi amalan-amalan secara batiniah.
Maka dari itu, setiap amalan yang tidak diniatkan untuk mendapatkan wajah Allah subhanahu wa ta’ala, pelakunya tidaklah mendapatkan pahala atas amalannya itu. Demikian pula setiap amalan yang tidak diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, amalan itu tidak diterima dari pelakunya.” (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam, 1/176)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينًاۚ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Aku cukupkan bagi kalian nikmat-Ku dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (al-Maidah: 3)
“Ini merupakan kenikmatan Allah subhanahu wa ta’ala yang terbesar bagi umat ini, dengan Dia menyempurnakan agama mereka untuk mereka. Dengan demikian, mereka tidak membutuhkan agama lainnya, tidak pula membutuhkan nabi selain nabi mereka shallallahu alaihi wa sallam. Karena itulah, Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan beliau sebagai penutup para nabi dan mengutus beliau kepada manusia dan jin.
Tidak ada sesuatu yang halal kecuali apa yang beliau halalkan. Tidak ada yang haram kecuali apa yang beliau haramkan. Tidak ada agama kecuali apa yang beliau syariatkan. Segala sesuatu yang beliau kabarkan pasti benar adanya dan jujur, tidak ada kedustaan dan penyelisihan di dalamnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/14)
Karena agama ini telah sempurna ini dalam segala sisi, seseorang tidak perlu lagi mengadakan perkara baru yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Sama saja, perkara baru tersebut berupa penambahan ataupun pengurangan dari apa yang disampaikan dan diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan dicontohkan serta diamalkan oleh salaf (pendahulu) kita yang saleh dari kalangan sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para imam yang memberikan bimbingan.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sendiri telah memberi peringatan dari perkara-perkara baru yang disandarkan pada agama. Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu mengatakan, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ شَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru karena sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan. Detiap perkara yang diada-adakan itu bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah no. 25; dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah)
Hadits yang semakna juga diriwayatkan oleh sahabat al-’Irbadh bin Sariyah radhiallahu anhu.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang mengadakan perkara baru dalam agama kami ini sesuatu yang bukan bagian darinya, perkara itu tertolak.”
Kata an-Nawawi rahimahullah, “Hadits ini jelas sekali membantah setiap bid’ah dan perkara yang diadakan dalam agama.” (Syarah Shahih Muslim, 12/16)
Bisa jadi, ketika hadits ini disampaikan kepada pelaku bid’ah, dia akan mengatakan bahwa bid’ah tersebut bukanlah dia yang mengadakan. Dia hanya melakukan apa yang telah diperbuat oleh orang-orang sebelumnya sehingga ancaman hadits di atas tidak mengenai dirinya. Terhadap orang yang seperti ini, disampaikan hadits,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami, amalannya itu tertolak.”
Penjelasan di atas secara makna juga disebutkan an-Nawawi rahimahullah Syarah Shahih Muslim (12/16) ketika menjelaskan hadits ini.
Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata,
“Dalam sabda Nabi,
لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
ada isyarat bahwasanya amalan-amalan yang dilakukan seharusnya sesuai dengan hukum syariat. Syariat menjadi pemutus baginya, apakah amalan tersebut diperintahkan atau dilarang. Jadi, siapa yang amalannya cocok dan sesuai dengan hukum syariat, amalan itu diterima. Sebaliknya, apabila amalan itu keluar dari hukum syariat, amalan itu tertolak.” (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam, 1/177)
Amalan ditinjau dari pembagiannya terbagi menjadi dua yaitu ibadah dan mu’amalah[1].
Kaidah dalam amalan ibadah adalah, “Ibadah pada asalnya haram untuk dikerjakan apabila tidak ada dalil yang mensyariatkannya (memerintahkannya).”
Dilihat dari sisi diterima atau ditolaknya amalan ibadah tersebut, perlu diperhatikan beberapa hal:
Misalnya:
Hal ini merupakan ibadah yang disyariatkan. Namun, seseorang tidak boleh bernazar berdiri di luar shalat dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala, karena tidak ada dalil yang menunjukkan pensyariatannya.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki berdiri di bawah terik matahari karena nazar yang hendak ia tunaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Beliau shallallahu alaihi wa sallam memerintah orang itu untuk duduk dan tidak berjemur di bawah terik matahari. (HR. al-Bukhari no. 6704)
Thawaf yang disyariatkan dilaksanakan di Baitullah. Namun, ada orang yang melaksanakannya di selain Baitullah, seperti di kuburan wali atau yang lainnya.
Ada nas yang menunjukkan tidak bolehnya berpuasa pada hari raya tersebut.
Demikian pula yang semisal dengan beberapa hal yang telah kami sebutkan di atas.
Misalnya:
Amalan seperti ini batil, tidak diterima. Amalan ini justru merupakan kebid’ahan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang pelakunya,
أَمۡ لَهُمۡ شُرَكَٰٓؤُاْ شَرَعُواْ لَهُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا لَمۡ يَأۡذَنۢ بِهِ ٱللَّهُۚ
“Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang mensyariatkan bagi mereka dari agama ini apa yang Allah tidak mengizinkannya?” (asy-Syura: 21)
Amalan seperti ini jelas tertolak, (tetapi dari sisi batal atau tidaknya ibadah tersebut, perlu dilihat). Misalnya:
Ini membatalkan ibadah shalat tersebut.
Ini tidak membatalkan wudhu tersebut, tetapi pelakunya terjatuh pada sesuatu yang dibenci[2].
Dari sisi batal atau tidaknya, perlu dilihat apa yang dikurangi dari ibadah tersebut. Misalnya:
Shalatnya batal karena wudhu merupakan syarat sahnya shalat.
Ini menyebabkan ibadah tersebut batal.
Shalatnya tidak batal, tetapi shalatnya kurang nilainya. Di sisi lain, dia berdosa karena meninggalkan kewajiban berjamaah.
Kaidah dalam hal muamalah adalah, “Hukum asal muamalah itu boleh/halal untuk dikerjakan (selama tidak ada dalil yang melarang dan mengharamkannya).”
Ada beberapa hal yang dilarang dan diharamkan terkait dengan muamalah.
Hal ini tidak diragukan lagi kebatilannya. Contohnya, mengganti hukum rajam bagi orang yang berzina dengan tebusan berupa benda.
Hal ini pernah terjadi pada zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Seorang pemuda yang belum menikah berzina dengan istri orang lain. Ayah si pemuda menyangka hukum yang harus ditimpakan pada putranya adalah rajam. Dia ingin mengganti hukum itu dengan memberi tebusan kepada suami si wanita tersebut berupa seratus ekor kambing berikut seorang budak perempuan. Dia dan suami si wanita mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk mengadukan hal tersebut dan meminta diputuskan perkara mereka dengan syariat yang ada dalam Kitabullah.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun menjawab permintaan mereka,
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku akan memutuskan perkara di antara kalian berdua dengan Kitabullah. Kambing dan budak perempuan yang ingin engkau jadikan tebusan itu, ambil kembali. Adapun hukum yang ditimpakan kepada putramu adalah dicambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama setahun.”
Lalu beliau shallallahu alaihi wa sallam memerintah salah seorang sahabatnya untuk mendatangi wanita yang diajak berzina oleh pemuda tersebut untuk meminta pengakuannya. Ternyata wanita itu mengakui perbuatan zina yang dilakukannya sehingga dia dirajam. (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitabul Hudud no. 2695, 2696; Muslim dalam Shahih Muslim no. 1697, 1698)
Contohnya, melakukan akad nikah dengan wanita yang haram untuk dinikahi karena persusuan atau mengumpulkan dua wanita yang bersaudara sebagai istri.
Contohnya, menikahi wanita yang sedang menjalani masa iddah, menikah tanpa wali, atau menikahi seorang perempuan yang masih dalam naungan suaminya.
Contohnya, jual beli dengan cara riba, jual beli minuman keras, bangkai, babi, dan sebagainya.
Contohnya, seorang ayah menikahkan putrinya yang dewasa tanpa minta izin kepadanya. Akad ini tertolak apabila anak putrinya tidak ridha dan menuntut haknya. Namun, apabila ia ridha, akad tersebut sah.
Faedah yang bisa kita ambil dari hadits ini di antaranya:
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
[1] Pembahasan ini diambil dari penjelasan Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitab beliau, Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, yang kami ringkas dengan memberikan beberapa tambahan
[2] Yang bisa melihat keadaan-keadaan seperti ini adalah orang yang mengerti ilmu. Karena itu, kami menganjurkan pembaca untuk bersemangat menuntut ilmu syariat dan berhati-hati agar tidak menambahkan amalan dengan menganggapnya ibadah.
Sebagai tambahan faedah, guru kami Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam salah satu majelis beliau yang diberkahi, “Ibadah tidaklah bisa dikatakan batal oleh seorang pun sampai ada dalil yang menyatakan batalnya ibadah tersebut. Karena itu, kita jangan bermudah-mudah menyatakan batalnya satu ibadah tanpa adanya dalil syariat.” (Demikian ucapan beliau secara makna)