Setiap manusia normal yang memasuki gerbang pernikahan niscaya tak akan mau rumah tangganya berakhir dengan perceraian. Oleh karena itu, pertimbangan memilih pasangan dan kesiapan untuk menerima ketidaksempurnaan pasangan menjadi hal yang penting dalam tahap pranikah. Islam menuntunkan agar ketika memilih pasangan, yang dicari adalah yang baik agamanya. Ketika memilih pasangan hanya karena kecantikan/ketampanan, semata kekayaan, atau sebatas silsilah keturunan, tanpa pertimbangan kebaikan agama calon pasangan, kelanggengan rumah tangga pun bisa jadi sebatas asa.
Perceraian dalam Islam pada asalnya makruh, perkara yang sebaiknya dihindari. Kalau toh akhirnya terjadi, perceraian adalah tahapan paling akhir yang ditempuh, bukan solusi pertama yang dikedepankan. Oleh karena itu, tuduhan bahwa Islam memberikan celah bagi bubarnya sebuah tatanan rumah tangga adalah keliru. Islam sudah mengatur tahapan-tahapan sebelum vonis cerai dijatuhkan. Perceraian dalam Islam bukanlah keputusan yang gegabah, tanpa didasari pertimbangan yang matang. Lihatlah para artis yang suka kawin cerai atau tetangga kita yang juga mempunyai perilaku serupa, apakah mereka orang-orang yang paham Islam? Jawabannya tentu tidak. Lantas kenapa Islam lagi-lagi disudutkan?
Fakta sendiri berbicara bahwa perceraian di kalangan orang-orang awam seperti mereka, justru didahului aroma perselingkuhan atau perzinaan, yang bermakna bahwa perceraian ala mereka lebih dikuasai hawa nafsu. Kadang juga tak semata beda pendapat, tapi bisa juga hanya karena beda pendapatan. Penghasilan istri yang lebih besar acap memicu istri bersikap sewenang-wenang dan enggan menjaga kehormatan atau kewibawaan suami. Pertikaian demi pertikaian terjadi, lantas memuncak menjadi perceraian.
Perceraian dalam Islam, jika akhirnya tak terhindarkan—tentunya setelah ditempuh tahapan-tahapan yang benar—, tetaplah perceraian yang beradab. Suami istri dituntut untuk menjaga kehormatan dan menutup aib mantan pasangannya. Mereka juga tidak boleh mewariskan kebencian kepada anak-anak sehingga silaturahim tetap terpelihara, demikian juga tidak boleh menelantarkan pendidikan mereka.
Sementara itu, kalau kita berkaca pada kasus-kasus perceraian di masyarakat, yang dijumpai justru sebaliknya. Kebencian menyala-nyala di antara dua keluarga bahkan tak jarang berujung pada pembunuhan. Minimalnya, terjadi perebutan hak asuh anak dengan cara-cara yang tidak syar’i.
Langgengnya sebuah rumah tangga tentu saja sesuatu yang kita cari. Caranya, tentu dengan merujuk kaidah-kaidah Islam dalam berumah tangga. Bukan justru melakukan praktik khurafat dengan menentukan penentuan tanggal pernikahan secara klenik. Demikian juga tidak boleh menggunakan “jalur” dukun demi keakuran suami istri.
Oleh karena itu, dalam satu kasus, perceraian bisa jadi bukanlah solusi. Itu terjadi jika kemaslahatan berumah tangga masih bisa kita raih. Jika sebuah pernikahan dipertahankan namun justru akan menimbulkan banyak kemudaratan, tentu perceraian menjadi solusi yang terbaik. Semua kita kembalikan kepada akal sehat kita yang dibimbing oleh Al-Qur’an dan as-Sunnah.
Wallahu a’lam.