Asysyariah
Asysyariah

penyebab maraknya kesesatan

12 tahun yang lalu
baca 14 menit

Pergulatan antara penganut kebenaran dan pengikut kebatilan adalah kepastian dari Allah Subhanahu wata’ala. Dengan ilmu dan kekuasaan-Nya yang sempurna Dia Subhanahu wata’ala telah menakdirkan terjadinya sampai datangnya hari kiamat. Allah Subhanahu wata’ala mengabarkan tentang awal pergulatan tersebut, yaitu antara Bapak kita, Adam ‘Alaihissalam, dan Iblis la’natullah ‘alaih. Iblis telah menyatakan permusuhan kepada manusia di hadapan Allah Subhanahu wata’ala, sebagaimana firman-Nya (yang artinya),

Iblis menjawab, “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” Allah berfirman, “Keluarlah kamu dari surga itu sebagai orang terhina lagi terusir. Sesungguhnya barang siapa di antara mereka mengikuti kamu, benarbenar Aku akan mengisi neraka Jahanam dengan kamu semuanya.”  (Dan Allah berfirman), “Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan istrimu di surga serta makanlah olehmu berdua (buahbuahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang lalim.”

Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepadakeduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu auratnya dan setan berkata, “Rabb kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).” Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya, “Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasihat kepada kamu berdua,” maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasakan buah pohon itu, tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Rabb mereka menyeru mereka, “Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?” (al-A’raf: 16—22)

Kepastian ini juga akan dihadapi oleh seluruh nabi setelah Adam  beserta para pengikut mereka. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا ۚ وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ ۖ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ

 “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan  (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indahindah untuk menipu (manusia). Jika Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka adaadakan.” (al-An’am: 112)

Terlebih lagi pergulatan yang harus dihadapi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melawan pembela kebatilan sehingga Allah Subhanahu wata’alamengibur beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana firman- Nya (yang artinya),

“Sesungguhnya, Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalimitu mengingkari ayat-ayat Allah. Sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami kepada mereka. Tak ada seorang pun yang dapat mengubah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebahagian dari berita rasul-rasul itu.” (al-An’am: 33—34)

Kita meyakini bahwa perseteruan yang terjadi antara ahlul haq (pengikut kebenaran) dan ahlul batil (pengikut kebatian) di dunia fana ini terjadi dengan takdir Allah Subhanahu wata’ala dan disertai oleh hikmah- Nya yang sempurna karena Allah Subhanahu wata’ala adalah Yang Mahabijaksana. Allah Subhanahu wata’ala menjelaskan hikmah tersebut dalam firman-Nya,

وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ ۗ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرً

 “Dan Kami jadikan sebagian kamu sebagai cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan adalah Rabbmu Maha Melihat.” (al-Furqan: 20)

وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّفَسَدَتِ الْأَرْضُ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ

 “Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia terhadap sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi, Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.” (al-Baqarah: 251)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di menjelaskan, “Di antara hikmah Allah menjadikan musuh-musuh bagi para nabi dan adanya pembela kebatilan yang mengajak pada kebatilannya adalah sebagai ujian dan cobaan bagi para hamba-Nya. Dengan demikian, akan terpisahkan antara yang jujur dan yang berdusta, yang berakal sehat dan yang jahil, serta yang melihat (dengan mata hatinya) dan yang buta. Selain itu, hikmah (adanya ujian dan cobaan tersebut) adalah penjelasan dan penerangan tentang kebenaran karena kebenaran akan bercahaya dan tampak jelas saat kebatilan menghadang dan memeranginya. Saat itu terpisahkanlah dalil-dalil dan saksisaksi yang menunjukkan pada kebenaran tersebut beserta hakikatnya, dengan kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh kebatilan. Hal ini (terpisahnya kebenaran dan kebatilan) termasuk hal yang paling dicari oleh para hamba.” (Taisir al-Karimirrahman hlm. 270)

Dua Sebab Maraknya Ideologi Sempalan

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اصْبِرُوا فَإِنَّهُ لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلَّا الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُم

“Sabarlah kalian karena tidak datang sebuah masa kecuali yang setelahnya lebih jelek dari yang sebelumnya, sampai kalian bertemu dengan Rabb kalian.” (HR. al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)

Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pula,

إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَيَظْهَرَ الْجَهْلُ

“Sesungguhnya termasuk tandatanda kiamat adalah dicabutnya ilmu dan merebaknya kebodohan.” (Muttafaqun alaih dari Anas bin Malik)

Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam yang lain,

إِنَّ ا لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sesungguhnya Allah l tidak akan mencabut ilmu dari manusia dengan sekaligus. Akan tetapi, Dia akan mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama (ahli ilmu).Ketika Dia tidak menyisakan seorang alim pun, umat manusia akan menjadikan orang-orang jahil sebagai pemimpin mereka, kemudian para pemimpin itu ditanya. Mereka pun berfatwa tanpa ilmu sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. al-Bukhari dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma)

Tiga hadits di atas menunjukkan bahwa merebak dan semaraknya berbagai kesesatan dalam agama ini disebabkan oleh jauhnya umat manusia dari ilmu Kitabullah dan Sunnah Rasulullah serta ahlinya (para ulama). Lebih jelasnya, kedua sebab itu adalah sebagai berikut.

1. Kebodohan

Kebodohan terhadap syariat Islam yang mulia dan sempurna adalah penyakit yang membahayakan dan membinasakan. Namun, tidak ada yang menyadari bahwa kebodohan itu adalah penyakit, selain orang yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wata’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَلَا سَأَلُوا إِذَا لَمْ يَعْلَمُوا، إِنَّمَا شِفَاءُ الْعَيِّ السُّؤَالُ

“Mengapa mereka tidak bertanya ketika tidak tahu? Hanyalah obat ketidaktahuan (kebodohan) adalah bertanya.” ( HR. Abu Dawud dan

dinyatakan sahih oleh al-Albani) Asy-Syaikh Muhammad al-Imam hafizhahullah berkata (Bidayatul Inhiraf hlm. 133), “Kebodohan adalah musuh semua risalah yang dibawa oleh para rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wata’ala memisalkan orang yang bodoh sebagai makhluk yang paling jelek yang berjalan di muka bumi ini. Firman-Nya,

إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِندَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ

 “Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa pun.” (al-Anfal: 22)

أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ ۚ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ ۖ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا

“Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (al-Furqan: 44)

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan akibat jelek dari kebodohan dalam kitabnya, Miftah Dar as- Sa’adah (1/382), “Pohon kejahilan akan membuahkan seluruh kejelekan,__ kezaliman, permusuhan (tanpa alasan yang benar), ….

Seluruh kejelekan dan kerusakan yang telah dan akan terjadi di alam semesta ini hingga hari kiamat dan setelahnya (yakni di akhirat) disebabkan oleh penyelisihan terhadap apa yang dibawa oleh para rasul e baik dalam hal ilmu maupun amalan.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya pelopor dan perintis mazhab Syiah Rafidhah adalah seorang zindiq kafir yang memusuhi agama Islam dan kaum muslimin. Dia bukan ahli bdi’ah yang sesat karena takwil, seperti Khawarij dan Qadariyah. Meski demikian, keyakinan-keyakinan Syiah Rafidhah laris di kalangan kaum muslimin yang masih memiliki iman karena sangat bodohnya mereka.” (Minhajus Sunnah 4/363)

2. Jauhnya umat dari ulama syariat

Allah Subhanahu wata’ala menjadikan para ulama syariat sebagai para pemimpin yang harus ditaati dalam urusan yang ma’ruf sebagaimana dalam firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ

 “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (an- Nisa: 59)

Mereka adalah tempat untuk mengembalikan dan mengadukan seluruh problem umat manusia, terkhusus dalam masalah agama. Umat senantiasa menunggu dan mengharapkan bimbingan dan nasihat mereka. Sebab, mereka adalah orang yang paling memahami syariat dan hal-hal yang akan bermanfaat bagiumat, baik yang terkait dengan urusan dunia maupun agama. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ ۖ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا

 “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” (an-Nisa: 83)

Di samping itu, mereka adalah orang yang paling peduli dan penyayang terhadap umat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَثَلِي وَمَثَلُكُمْ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَوْقَدَ نَارًا فَجَعَلَ الْجَنَادِبُ وَالْفَرَاشُ يَقَعْنَ فِيهَا وَهُوَ يَذُبُّهُنَّ عَنْهَا وَأَنَا آخِذٌ بِحُجَزِكُمْ عَنْ النَّارِ وَأَنْتُمْ تَفَلَّتُونَ مِنْ يَدِي

“Permisalanku dengan kalian ibarat seorang yang menyalakan api (di malam hari). Lalu datanglah serangga dan kupu-kupu ingin masuk ke dalamnya dalam keadaan dia menghalanginya agar tidak masuk ke dalam api. Dan aku memegangi pinggang kalian (supaya kalian selamat) dari api (neraka), namun kalian senantiasa berusaha melepaskan diri dari kedua tanganku.” (HR. Muslim dari Jabir radhiyallahu ‘anhu)

Yahya bin Mu’adz ar-Razi rahimahullah berkata, “Para ulama lebih sayang terhadap umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam daripada ayah dan ibu mereka.” Beliau rahimahullah ditanya, “Bagaimana itu terjadi?” Jawab beliau, “Ayah dan ibu mereka menjaga mereka (agar selamat) dari api dunia, sedangkan para ulama menjaga mereka (sehingga selamat) dari api neraka.” (Mukhtashar Nashihati Ahlil Hadits hlm. 167)

Itulah kedudukan mulia dan urgensi keberadaan ulama di tengah-tengah umat yang tergambarkan dalam beberapa ayat dan hadits. Lantas apa yang terjadi ketika umat jauh dari mereka? Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan tentang umat yang jauh dari ilmu dan ulama dalam hadits Abdullah bin Amr di atas. Disebutkan bahwa umat akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pimpinan mereka sehingga mereka sesat dan menyesatkan umat. Tidak ada musibah yang lebih dahsyat yang menimpa sebuah umat selain jauhnya mereka dari ilmu dan ulama sehingga rusaklah urusan dunia dan agama mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ

“Apabila sebuah urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, tunggulah kehancurannya.” (HR. al-Bukhari)

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Kalau bukan karena adanya ulama, sungguh umat manusia akan seperti binatang ternak.” (Mukhtashar Nashihati Ahlil Hadits)

Ada dua kemungkinan yang menyebabkan umat jauh dari ulama syariat.

a. Sedikitnya jumlah ulama dibandingkan dengan kebutuhan umat.

Hal ini adalah salah satu tanda semakin dekatnya hari kiamat sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma di atas. Keadaan ini dimanfaatkan oleh para dai yang mengajak umat kepada berbagai kesesatan, seperti sufi, hizbiyah (fanatisme golongan), politik, dan sebagainya.

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Hati-hatilah kalian dari para dai yang menyeru kepada kesesatan. Mereka memburu para pemuda dan berusaha memutuskan hubungan para pemuda itu dengan keluarga dan masyarakatnya. Lantas mereka mencekoki para pemuda tersebut dengan berbagai pemikiran sesat. Akhirnya, Anda akan dapati seorang pemuda terpisah dari kedua orang tua dan keluarganya,lalu menjauh dari masjid-masjid kaum muslimin, shalat Jumat,dan shalat jamaah. Setelah itu tidak diketahui lagi di mana dia, sampai terdengar berita bahwa dia terbunuh bersama perusuh atau ditangkap bersama mereka oleh aparat. Inilah buah yang akan dipetik apabila para pemuda tidak memedulikan dan mengikuti nasihat para ulama.

Mereka tidak mau mengambil sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam yang memerintahkan untuk berpegang teguh dengan jamaah kaum muslimin, penguasa mereka, berbakti dan membantu kedua orang tua, dan menjaga shalat Jumat dan shalat jamaah. Tatkala mereka tidak memerhatikan hal-hal ini, niscaya mereka akan jatuh ke tangan musuh mereka. Musuh-musuh itu akan mencari mereka, lalu mencekoki dengan doktrin-doktrin yang akan menghancurkan kehidupan mereka. Kalaupun sebagian mereka masih tersisa, akan susah sekali diobati karena pemikirannya sudah rusak dan sudah dicuci otak. Mereka layaknya orang yang terkena penyakit yang belum ada obatnya semacam kanker atau lainnya.” (al-Ajwibah al-Mufidah hlm. 36)

b. Dijatuhkannya kewibawaan para ulama di hadapan umat Islam dengan berbagai cara.

Di antara cara yang ditempuh adalah menjuluki ulama syariat sebagai ulama sulthan (pemerintah), ulama haid dan nifas yang tidak paham realitas, ulama antijihad, dan sebagainya. Kalau kita perhatikan, cara yang mereka lakukan untuk menjauhkan umat dari para ulamanya adalah cara-cara orang kafir yang menentang dakwah para nabi dan rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Subhanahuwata’ala mengabarkan kepada para hamba-Nya,

كَذَٰلِكَ مَا أَتَى الَّذِينَ مِن قَبْلِهِم مِّن رَّسُولٍ إِلَّا قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ ( ) أَتَوَاصَوْا بِهِ ۚ بَلْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ

Demikianlah tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan, “Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila.” Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu? Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas. (adz-Dzariyat: 52—53)

Bahkan, ketika Fir’aun berusaha menghadang dakwah tauhid yang dibawa oleh Nabi Musa ‘Alaihissalam, dia mengatakan kepada umatnya,

ذَرُونِي أَقْتُلْ مُوسَىٰ وَلْيَدْعُ رَبَّهُ ۖ إِنِّي أَخَافُ أَن يُبَدِّلَ دِينَكُمْ أَوْ أَن يُظْهِرَ فِي الْأَرْضِ الْفَسَادَ

 “Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Rabbnya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agama kalian atau menimbulkan kerusakan di muka bumi.” (Ghafir: 26)

Demikian pula, cara inilah yang ditempuh oleh ahli bid’ah untuk menjauhkan umat dari para ulama. Cara ini mereka warisi dari generasi ke generasi. Karena itu, al-Imam Abu Utsman Ismail ash-Shabuni mengatakan, “Ciri-ciri ahli bid’ah itu tampak sekali pada orangnya. Ciri dan tanda yang paling jelas adalah sangat kerasnya permusuhan, pelecehan, dan penghinaan mereka terhadap para pembawa hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (yakni para ulama ahli hadits).” (‘Aqidatu as-Salaf hlm. 101)

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Kaum muslimin wajib menghormati para ulama karena mereka adalah pewaris para nabi. Melecehkan mereka berarti melecehkan kedudukan mereka sebagai pewaris Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sekaligus ilmu syariat yang mereka bawa. Barang siapa berani melecehkan ulama, tentu lebih berani melecehkan kaum muslimin selain mereka. Para ulama adalah orang-orang yang wajib dihormati karena ilmu dan kedudukan mereka di tengah-tengah umat, serta tanggung jawab yang mereka emban demi kebaikan Islam dan kaum muslimin. Apabila para ulama sudah tidak dipercaya, siapa lagi yang akan dipercaya? Apabila kepercayaan umat terhadap para ulama telah hilang, kepada siapa lagi kaum muslimin bisa mengadukan berbagai problem mereka? Siapa lagi yang dipercaya menjelaskan hukum-hukum syariat? Ketika semua itu terjadi, umat pun akan terlantar, kekacauan pun akan tersebar.” (al-Ajwibah al-Mufidah hlm. 188)

Semoga Allah Subhanahuwata’ala senantiasa

melimpahkan hidayah taufik kepada kita semua untuk senantiasa ikhlas, sabar, dan istiqamah untuk menuntut ilmu Kitabullah dan Sunnah Rasulullah n dengan pemahaman salafus saleh, di bawah bimbingan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, agar selamat jiwa kita dan keluarga kita serta seluruh kaum muslimin. Amin. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan