Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Manusia membutuhkan kebersamaan dalam kehidupannya.
Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan manusia beraneka ragam dan berbeda-beda tingkat sosialnya. Ada yang kuat, ada yang lemah, ada yang kaya, ada yang miskin, dan seterusnya. Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan manusia dengan keahlian dan kepandaian yang berbeda-beda pula. Semua itu adalah dalam rangka saling memberi dan saling mengambil manfaat. Orang kaya tidak dapat hidup tanpa orang miskin yang menjadi pembantunya, pegawainya, sopirnya, dan lainnya. Demikian pula, orang miskin tidak dapat hidup tanpa orang kaya yang mempekerjakan dan mengupahnya. Demikianlah seterusnya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَهُمۡ يَقۡسِمُونَ رَحۡمَتَ رَبِّكَۚ نَحۡنُ قَسَمۡنَا بَيۡنَهُم مَّعِيشَتَهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۚ وَرَفَعۡنَا بَعۡضَهُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٍ دَرَجَٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعۡضُهُم بَعۡضًا سُخۡرِيًّاۗ وَرَحۡمَتُ رَبِّكَ خَيۡرٌ مِّمَّا يَجۡمَعُونَ
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (az-Zukhruf: 32)
Baca juga: Rezeki Tidak Sama, Apa Hikmahnya?
Kehidupan bermasyarakat sendiri tidak akan terwujud dengan sempurna kecuali dengan adanya seorang pemimpin dan kebersamaan. Oleh karena itulah, Islam begitu menekankan agar kaum muslimin bersatu dalam jamaah di bawah satu penguasa. Seorang mukmin dengan mukmin lainnya seperti sebuah bangunan, sebagian menopang sebagian yang lain.
Abdullah bin Dinar meriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, dia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkhotbah di hadapan kami. Di antaranya beliau berkata,
عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدُ، وَهُوَ مِنَ الْاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ، مَنْ أَرَادَ بُحْبُوْحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزِمِ الْجَمَاعَةَ، مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّأَتُهُ فَذَلِكَ الْمُؤْمِنُ
“Kalian wajib bersama dengan al-jamaah, dan berhati-hatilah kalian dari perpecahan. Sesungguhnya, setan bersama orang yang sendirian, sedangkan dari orang yang berdua, dia lebih jauh. Barang siapa yang menginginkan tengah-tengahnya (yang terbaiknya) surga, hendaklah dia bersama jamaah. Barang siapa yang kebaikan-kebaikannya menggembirakan dia dan kejelekan-kejelekannya menyusahkan dia, dia adalah seorang mukmin.”
Hadits di atas sahih, diriwayatkan oleh:
Baca juga: Perpecahan Umat, Antara Kemestian dan Azab
Sungguh indah kebersamaan dalam jamaah. Sungguh nikmat hidup dalam keteraturan di bawah satu penguasa. Sebagaimana dikatakan, al-jama’atu rahmah wal furqatu ‘adzab (kebersamaan adalah rahmat, sedangkan perpecahan adalah azab). Oleh karena itulah, Allah subhanahu wa ta’ala melarang perpecahan dalam beberapa ayatnya.
Di antaranya, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَا تَكُونُواْ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ٣١ مِنَ ٱلَّذِينَ فَرَّقُواْ دِينَهُمۡ وَكَانُواْ شِيَعًاۖ كُلُّ حِزۡبِۢ بِمَا لَدَيۡهِمۡ فَرِحُونَ ٣٢
“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (ar-Rum: 31—32)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (Ali Imran: 103)
Di antara tafsir “tali Allah” selain Islam, Al-Qur’an dan As-Sunnah, adalah jamaah kaum muslimin dan penguasanya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu bahwa ia berkata, “Wahai manusia, kalian wajib taat dan tetap bersama jamaah. Sebab, itulah tali Allah yang sangat kuat. Ketahuilah, apa yang tidak kalian sukai bersama jamaah, itu lebih baik daripada apa yang kalian sukai bersama perpecahan.” (asy-Syari’ah karya al-Ajurri rahimahullah, hlm. 23—24, cet. Darus Salam, Riyadh cet. I)
Baca juga: Menjalin Kebersamaan Melalui Ibadah Bersama Pemerintah
Tidak ada pertentangan antara tafsir tersebut dan tafsir yang lainnya. Sebab, ayat ini memerintah kaum muslimin agar berpegang dengan ajaran Islam, dengan dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah serta tetap bersama jamaah kaum muslimin dan penguasanya, agar tidak berpecah belah. Jika keluar dari salah satunya, akan terjadi perpecahan. Jadi, semuanya sama-sama tali Allah yang sangat kuat, yang mengikat mereka dalam kebersamaan.
Nikmatnya kebersamaan dalam satu jamaah dengan satu kepemimpinan telah dirasakan sejak zaman para sahabat, dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagai pemimpinnya. Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat, para sahabat segera membicarakan siapa khalifah yang akan menjadi pemimpin sepeninggal beliau. Ini bukan karena mereka adalah para politikus yang berambisi menjadi penguasa—seperti ucapan kaum Syiah–, melainkan karena mereka paham betul, betapa pentingnya keberadaan seorang pemimpin dalam kebersamaan.
Tentu saja, kepemimpinan tanpa ketaatan adalah sesuatu yang sia-sia. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk menaati orang yang telah Dia takdirkan menjadi penguasa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan pemerintah/penguasa di kalangan kalian.” (an-Nisa: 59)
Baca juga: Kewajiban Taat Kepada Pemerintah
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun memerintahkan untuk menaati penguasa. Ibnu Umar radhiallahu anhuma meriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِـيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Setiap muslim wajib mendengar dan taat kepada penguasanya dalam hal yang dia sukai dan yang tidak dia sukai, kecuali jika dia diperintah untuk bermaksiat. Jika dia diperintah untuk bermaksiat, dia tidak wajib mendengar dan taat.” (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya 13/121, cet. Maktabatur Riyadh al-Haditsah, Riyadh; Muslim dalam Shahih-nya 3/1469, cet. Dar Ihya at-Turats al-Arabi, Beirut, cet. I)
Abu Hurairah radhiallahu anhu juga meriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau berkata,
مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ، مَاتَ مَيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barang siapa keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jamaah, lantas dia mati; matinya adalah mati jahiliah.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya 3/1476, 1477, cet. Dar Ihya at-Turats al-Arabi, Beirut, cet. I, dari jalan Ghailan bin Jarir, dari Abu Qais bin Rabah, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Dalam hadits ini, orang yang tidak taat dan memisahkan diri dari jamaah dikatakan ‘jahiliah’. Demikian pula dalam ayat di atas, orang yang berpecah belah dikatakan seperti kaum musyrikin. Sebab, orang tersebut seperti keadaan musyrikin pada zaman jahiliah, yaitu masyarakat liar yang hidup tanpa keteraturan dan kepemimpinan.[1]
Baca juga: Makna Jahiliah dan Macamnya
Perintah Allah dan Rasul-Nya untuk menaati penguasa di atas adalah dalam rangka menjaga kebersamaan dalam jamaah dan tidak bercerai berai. Oleh karena itu, perintah tersebut tidak gugur karena adanya kezaliman penguasa tersebut atau kekurangan-kekurangan dalam hal fisiknya. Sebab, hikmah dalam kebersamaan lebih besar daripada kezaliman penguasa tersebut. Bahkan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mewasiatkan untuk menaatinya walaupun penguasa itu bekas budak hitam yang cacat.
Diriwayatkan dari Abu Dzar radhiallahu anhu bahwa ia berkata,
إِنَّ خَلِيْلِيْ أَوْصَانِي أَنْ أَسْمَعَ وَأَطِيْعَ، وَإِنْ كَانَ عَبْدًا مُجَدَّعَ الْأَطْرَافِ
“Kekasihku (yakni Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam) telah berwasiat kepadaku agar aku mendengar dan taat walaupun yang berkuasa adalah bekas budak yang terpotong hidungnya (cacat).” (HR. Muslim dalam Shahih-nya 3/467, cet. Dar Ihya at Turats al-Arabi, Beirut; dan al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad hlm. 54, cet. Alamul Kutub, Beirut, cet. II)
Kata mujadda’ bermakna terpotong anggota badannya atau cacat, seperti terpotong telinga, hidung, atau tangan dan kakinya. Namun, kata mujadda’ sering dipakai untuk menyatakan makna terpotong hidungnya. Adapun tentang mujadda’ul athraf, Ibnu Atsir rahimahullah berkata dalam an-Nihayah, “Maknanya adalah terpotong-potong anggota badannya. Ditasydidkan huruf dal-nya untuk menunjukkan banyak.”
Baca juga: Menyikapi Penguasa yang Kejam
Demikian pula riwayat dari Anas bin Malik radhiallahu anhu, yang memerintah kita untuk taat kepada penguasa walaupun ia seorang bekas budak hitam, yang kepalanya seperti kismis. Anas bin Malik radhiallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
اسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا وَإِنِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيْبَةٌ
“Dengar dan taatilah walaupun yang dipilih sebagai penguasa kalian adalah budak dari Habasyah yang kepalanya seperti kismis (anggur kering).” (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya 13/121 cet. Maktabatur Riyadh al-Haditsiyah, Riyadh; Ibnu Majah dalam Sunan-nya 2/955 cet. Fuad Abdul Baqi; Ahmad dalam al-Musnad, 3/114, cet. al-Maktabul Islami, Beirut)
Bahkan, perintah ini tidak gugur walaupun penguasa tersebut zalim, merampas harta rakyat, dan menindas; selama dia masih muslim. Adi bin Hatim radhiallahu anhu mengisahkan,
قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، لاَ نَسْأَلُكَ عَنْ طَاعَةِ التَّقِيِّ وَلَكِنْ مَنْ فَعَلَ وَفَعَلَ (وَذَكَرَ الشَّرَّ). فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اتَّقُوْا اللهَ وَاسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا
Kami katakan, “Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya tentang ketaatan kepada orang yang bertakwa, tetapi penguasa yang berbuat begini dan begitu—dia menyebutkan kejelekan-kejelekan.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Bertakwalah kepada Allah, dengarlah dan taatlah kalian kepadanya!” (Hasan lighairihi, HR. Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah, 2/494 cet. al-Maktab al-Islami Beirut cet. II, dari jalan Utsman bin Qais al-Kindi, dari ayahnya, dari Adi bin Hatim. Syaikh al-Albani menilai hadits ini sahih dalam Zhilalul Jannah cet. al-Maktab al-Islami, Beirut cet. III, hlm. 494)
Baca juga: Sosok yang Suci Bukan Syarat Penguasa Negeri
Lebih dahsyat lagi, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah menggambarkan akan munculnya seorang penguasa yang hatinya seperti hati setan dalam tubuh manusia. Hudzaifah radhiallahu anhu sebagai menyebutkan sebagai berikut.
قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ فَجَاءَ اللهُ بِخَيْرٍ فَنَحْنُ فِيْهِ، فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: نَعَمْ. قُلْتُ: هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: نَعَمْ. قُلْتُ: كَيْفَ؟ قَالَ: يَكُوْنُوْا بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِيْ، سَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ. قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ!
Aku mengatakan, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu dalam keadaan jelek. Kemudian, Allah mendatangkan kebaikan ini, dan kami berada di dalamnya. Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?”
Beliau berkata, “Ya.”
Aku berkata, “Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?”
Beliau berkata, “Ya.”
Aku berkata, “Bagaimana itu?”
Beliau berkata, “Akan ada setelahku penguasa-penguasa yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak bersunnah dengan sunnahku. Akan muncul di tengah-tengah mereka, para lelaki yang hati mereka adalah hati setan dalam tubuh-tubuh manusia.”
Aku berkata, “Apa yang mesti saya perbuat jika mengalami keadaan itu?”
Beliau berkata, “Dengar dan taatlah pada penguasa walaupun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas! Dengarlah dan taatilah.” (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya 13/111, cet. Maktabatur Riyadh al-Haditsiyyah, Riyadh; Muslim dalam Shahih-nya 3/1476 cet. Dar Ihya at-Turats al-Arabi, Beirut cet. I; Ibnu Majah dalam Sunan-nya, 2/1317, cet. Fuad Abdul Baqi, dari jalan Busr bin Ubaidillah al-Hadhrami, dari Abu Idris al-Khaulani, dari Hudzaifah radhiallahu anhu)
Baca juga: Pemberontakan Tidak Akan Membawa Dampak Positif
Perhatikanlah! Hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di atas tidak membela para penguasa yang jahat dan zalim. Akan tetapi, hadits ini menunjukkan betapa pentingnya kebersamaan di bawah kepemimpinan seorang penguasa. Bisa dibayangkan, betapa jeleknya orang yang meruntuhkan atau merusak kebersamaan ini dengan sikap menentang penguasa muslim, memberontak, dan memeranginya.
Memang, kebanyakan orang yang merusak kebersamaan ini berniat baik, yaitu mengingkari kemungkaran. Namun, kenyataannya, mereka mengganti kemungkaran dengan kemungkaran yang lebih besar. Mereka mengganti kezaliman penguasa dengan perang saudara sesama muslim. Atau mengganti keteraturan dan kepemimpinan dengan kekacauan dan pertumpahan darah. Apakah ini sebuah hikmah? Ataukah ini suatu kebodohan yang nyata?!
Dalam kitabnya, asy-Syari’ah, al-Ajurri rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya, ketika disampaikan kepada al-Hasan radhiallahu anhuma tentang Khawarij (para pemberontak) yang telah muncul di Khuraibiyah (daerah Bashrah), beliau berkata, “Kasihan mereka. Mereka melihat kemungkaran kemudian mengingkarinya. Ternyata, mereka terjerumus dalam kemungkaran yang lebih besar.” (asy-Syari’ah, hlm. 38, cet. Darus Salam, Riyadh, cet. I)
Wallahu a’lam.
[1] Sebagian ulama menafsirkan: sesat. (ed)