(ditulis oleh:Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin)
Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab t dalam Tsalatsatul Ushul-nya, yang disebut ilmu adalah ma’rifatullah (mengenal Allah), ma’rifatu nabiyyihi (mengenal Nabi-Nya n) dan ma’rifatu dienil Islam bil adillah (mengenal agama Islam berdasarkan dalil-dalil). Inilah yang disebut sebagai ilmu. Sedangkan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t menyatakan bahwa yang disebut ilmu adalah ilmu syar’i. Yaitu, ilmu (yang meliputi) apa saja yang telah Allah l turunkan kepada Rasul-Nya n dalam bentuk penjelasan-penjelasan (al-bayyinat) dan petunjuk (al-huda). Maka, ilmu yang terpuji adalah ilmu wahyu. Hanya ilmu yang diturunkan Allah l saja. (Kitabul ‘Ilmi, hal. 9)
Lebih tegas Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t memaparkan, bahwa telah dimaklumi para nabi telah mewariskan ilmu Allah k. Bukan ‘ilmu’ lainnya. Para nabi tidaklah mewariskan kepada manusia ilmu teknologi industri atau segala yang terkait dengannya.
Sudah menjadi kewajiban kaum muslimin untuk mempelajari dan memahami ilmu syar’i tersebut. Karena, tidak akan mungkin seorang muslim mengamalkan agamanya tanpa disertai mempelajari dan memahami ilmu syar’i dengan baik dan benar. Berbeda dengan ‘ilmu’ teknologi industri, tidak semua kaum muslimin wajib untuk mempelajarinya. Ilmu syar’i yang telah Allah l turunkan melalui Rasul-Nya n merupakan ilmu yang menyangkut keselamatan hidup seseorang di dunia maupun di akhirat kelak. Maka, bila seorang muslim menghendaki kebaikan, hendaknya dia berupaya mempelajari dan memahami secara baik dan benar ilmu yang telah Allah l turunkan melalui Rasul-Nya n.
Satu tanda bahwa seseorang mendapat kebaikan, yaitu Allah l memberikan kefaqihan dalam agama. Rasulullah n telah menyatakan hal ini sebagaimana dalam hadits Mu’awiyah z:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan, Allah faqihkan dia dalam agama.” (HR. Al-Bukhari no. 71, 3116, 7312)
Sungguh beruntung sekali seseorang yang bisa mendapat hal tersebut. Dirinya bisa mempelajari, memahami dan mengamalkan agamanya. Sungguh, ilmu syar’i inilah yang menjadi warisan dari para nabi Allah. jika seseorang mampu meraupnya, sungguh dia telah mendapat keberuntungan yang melimpah ruah. Sebagaimana hadits dari Abud Darda` z, bahwa Rasulullah n bersabda:
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِيْنَارًا وَلَا دِرْهَمًا، وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Dan sesungguhnya ulama itu pewaris nabi. Dan sesungguhnya para nabi itu tidaklah mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Para nabi mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, dia telah mengambil (mendapatkan) keberuntungan yang banyak.” (Sunan Abi Dawud, no. 3641, Asy-Syaikh Al-Albani t menshahihkannya)
Maka, sudah selaiknya bila Allah l mengangkat dan meninggikan derajat ahlul ilmi di dunia dan akhirat. Allah l berfirman:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadilah: 11)
Sebagaimana diungkapkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t, sesungguhnya Allah l akan mengangkat ahlul ilmi di akhirat dan di dunia. Di akhirat, sungguh Allah l akan mengangkat, meninggikan kedudukan mereka beberapa derajat terkait segenap apa yang telah mereka upayakan dalam menegakkan dakwah ke (jalan) Allah k, serta mengamalkan apa yang mereka telah amalkan. Sedangkan di dunia, Allah l akan meninggikan mereka di antara hamba-hamba-Nya terkait apa yang telah mereka tegakkan dengannya. (Kitabul ‘Ilmi, hal. 16-17)
Berpijak guna menjadi ahlul ilmi itulah anak-anak mendapat pendidikan. Mereka adalah generasi yang dilahirkan untuk masa depan, menyongsong dakwah, dan menegakkan Islam. Menjadi generasi yang memiliki bekal keilmuan dan peduli terhadap keadaan umat. Bukan generasi yang dididik untuk disiapkan menjadi mesin-mesin ekonomi. Dihisap waktu, tenaga dan pikirannya oleh para kapitalis. Bukan. Bukan ke arah itu mendidik anak.
Karenanya, arahkan, bimbing dan tuntun anak-anak agar merasa nyaman dengan Al-Qur`an. Relakan dia menghafal, mempelajari dan mengamalkan apa yang dikandung dalam Kitab nan suci itu. Sungguh amat bersyukur bagi orangtua yang mampu (dengan pertolongan Allah l) mengantarkan anak-anaknya senantiasa mempelajari, menghafalkan dan berupaya mengamalkan Al-Qur`an. Dari Buraidah z, dia berkata: Rasulullah n telah bersabda:
مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَتَعَلَّمَهُ وَعَمِلَ بِهِ أُلْبِسَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تَاجًا مِنْ نُورٍ ضَوْؤُهُ مِثْلُ ضَوْءِ الشَّمْسِ وَيُكْسَى وَالِدَيْهِ حُلَّتَانِ لاَ تُقَوَّمُ بِهِمَا الدُّنْيَا فَيَقُولَانِ: بِمَا كُسِيْنَا هَذَا؟ فَيُقَالُ: بِأَخْذِ وَلَدِكُمَا الْقُرْآنَ
“Barangsiapa yang membaca Al-Qur`an, mempelajarinya dan mengamalkannya kelak pada hari kiamat dikenakan mahkota dari cahaya yang sinar kemilaunya seperti cahaya matahari. Dan (bagi) kedua orangtuanya masing-masing dikenakan pula dua pakaian yang tak bisa dinilai dengan dunia. Maka kedua orangtuany\a bertanya: ‘Lantaran apa kami dipakaikan (yang seperti) ini?’ Maka dijawab: ‘Karena anak kalian berdua belajar Al-Qur`an’.” (Mustadrak Al-Hakim, 1/568. Lihat Ash-Shahihah no. 2914)
Dari ‘Utsman bin ‘Affan z, Rasulullah n bersabda:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur`an dan yang mengajarkannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5028)
Diungkapkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t bahwa sesungguhnya membaca Kitabullah merupakan sebab tumbuhnya kebaikan. Sedangkan kebaikan pada anak (yaitu dengan menjadi anak shalih) akan membawa kebaikan bagi orangtua saat di dunia maupun setelah meninggal dunia. Ini sebagaimana disebutkan oleh Nabi n dalam hadits Abu Hurairah z:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ: مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah darinya amal kecuali tiga hal. Yaitu, dari sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak yang shalih yang mendoakan orangtuanya.” (HR. Muslim no. 1631, lihat Kitabul ‘Ilmi hal. 205)
Diharapkan, dengan membekali anak dengan ilmu syar’i disertai bekal kemampuan lainnya, kelak diri anak bisa menjadi dai yang menyeru manusia ke jalan Allah l. dia menjadi bagian dari umat Rasulullah n yang mengemban tugas mulia. Allah l berfirman:
“Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik’.” (Yusuf: 108)
Tentang ayat ini, Ibnu Katsir t menyatakan bahwa setiap orang yang mengikuti Rasulullah n menyeru kepada apa yang telah didakwahkan oleh beliau n atas dasar bashirah (ilmu), keyakinan, burhan (dalil) secara aqli dan syar’i. (Tafsir Al-Qur`ainl ‘Azhim, 2/649)
Dengan demikian ayat tersebut memuat dalil bahwa sesungguhnya para pengikut Rasulullah n adalah du’at (para juru dakwah) ke (jalan) Allah l. (Al-Hujajul Qawiyyah, Asy-Syaikh Abdussalam bin Barjas t, hal. 7)
Di tengah derasnya arus materialisme yang menyeret banyak manusia ke dalam kubangan syahwat, nafsu sesaat, berlomba mengeruk materi, memang akan sangat terasa aneh sekali bila ada orang pada dewasa ini berkeinginan menjadi dai. Sebagian orangtua masih dihantui perasaan cemas bila anaknya terjun dalam dakwah. Karenanya, sebagian orangtua cenderung memilih tempat pendidikan bagi anaknya ke tempat pendidikan yang bisa ‘menjanjikan’ masa depan anaknya. Sadar atau tidak, sebenarnya pilihan ini agak berbau paham materialisme. Ada semacam kekhawatiran yang tersembunyi, bila sang anak tidak memiliki ijazah, gelar, atau keahlian, masa depannya menjadi suram. Walau untuk hal ini, waktu anak untuk mempelajari, memahami dan menyerap ilmu syar’i menjadi banyak terkurangi. Usianya habis untuk berkutat menjelajahi fatamorgana. Demikianlah, pergulatan guna menapaki masa depan akan terus berkecamuk.
Hendaknya setiap diri muslim menjadi orang yang menyeru kepada jalan Allah l. Namun yang demikian ini tak akan bisa tercapai manakala seorang muslim tidak dibekali dengan ilmu. Sebab, seseorang yang belum memiliki bekal ilmu, maka apa yang dia dakwahkan adalah sesuatu yang muncul dari pemikiran dan hawa nafsunya. Dikira sebagai suatu kebenaran, ternyata sesuatu yang batil dan sesat. Adalah sebuah kemestian mendahulukan ilmu sebelum seseorang berdakwah. Karenanya, menempatkan anak-anak di lembaga pendidikan yang memfokuskan pada kajian keagamaan sesuai pemahaman salafush shalih adalah jalan terbaik yang harus ditempuh.
Rasulullah n banyak menghasung untuk menyebarkan al-haq. Seseorang yang berusaha mengajak orang lain, sehingga melalui dirinya orang tersebut mendapat hidayah, maka dia mendapat keutamaan yang besar. Hadits dari Sahl bin Sa’d As-Sa’idi z yang menyingkap pembicaraan Rasulullah n kepada Ali bin Abi Thalib z saat Hari Khaibar, menunjukkan keutamaan tersebut. Sabda Rasulullah n:
فَوَاللهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
“Demi Allah, Allah memberikan hidayah pada satu orang lantaran engkau, (itu) lebih baik bagimu daripada (mendapat) unta merah.” (HR. Al-Bukhari no. 3009)
Dari Abu Mas’ud Al-Badri, ‘Uqbah bin ‘Amir Al-Anshari z, dia berkata: Rasulullah n bersabda:
مَنْ دَلَّ عَلىَ خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka baginya pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim no. 1893)
Allah l berfirman:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali ‘Imran: 104)
Namun untuk mewujudkan ke arah apa yang dicitakan, banyak rintangan yang menghadang. Pendidikan anak-anak yang diidamkan tak sedikit menghadapi tantangan. Di antara yang menghambat bahkan menggagalkan misi pendidikan anak yang selaras dengan fitrahnya, seperti yang disebutkan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, yaitu adanya (sistem) pendidikan yang menyimpang dan lingkungan yang menyeleweng. Allah l berfirman dalam sebuah hadits qudsi:
خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ فَاجْتَالَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ
“Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (sesuai fitrah, bertauhid), kemudian para setan menggelincirkan (memalingkan) mereka.” (HR. Ahmad no. 17947 dan Muslim no. 7386, dari shahabat ‘Iyadh bin Himar z)
Pengertiannya, bahwa para setan memalingkan hamba-hamba Allah l kepada bentuk peribadahan kepada berhala. Lantas berhala-berhala tersebut mereka jadikan sesembahan selain Allah l. Maka mereka pun terjatuh dalam kesesatan dan kesia-siaan. Setelah mereka meninggalkan Rabb yang haq, malapetakan pun jatuh menimpa mereka dengan menjadikan sesembahan (rabb-rabb) yang batil. Allah l berfirman:
“Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Rabb kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan.” (Yunus: 32) [‘Aqidatut Tauhid, hal. 28]
Setan dan bala tentaranya, dari jenis jin dan manusia, senantiasa berupaya menyimpangkan fitrah anak. Melalui berbagai media, setan dan bala tentaranya, terus menebar berbagai bentuk kesesatan dan opini yang menyesatkan. Pernyataan-pernyataan indah nan memukau selalu dilansir guna menipu manusia. Pendidikan anak menjadi melenceng. Anak dijejali dengan pendidikan yang mengarah pada kesibukan duniawiyah. Ditiupkan ketakutan dan kekhawatiran terhadap masa depan anak bila anak tak meniti pendidikan sebagaimana kebanyakan manusia. Sebaliknya, beragam citra buruk dilekatkan, bila anak menghabiskan waktunya guna mereguk ilmu syar’i sebagai bekal bagi masa depannya. Setan selalu menebar tipuan. Allah l berfirman:
“(Yaitu) setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (Al-An’am: 112)
Hambatan lain yang bisa memalingkan anak dari fitrahnya adalah sistem pendidikan. Sebagaimana dimafhumi, sistem pendidikan sekarang lebih menekankan kepada faktor selain ilmu syar’i. Pendidikan agama hanya suplemen, bagian dari sistem pendidikan itu sendiri. Maka, terjadilah apa yang terjadi. Mata pelajaran agama sangat minim sekali diberikan kepada anak-anak di sekolah formal di Indonesia. Itupun pendidikan agama dengan beragam ‘corak’ pemahaman. Maka, melalui sistem pendidikan yang cenderung sekularistik ini bisa menjadi penyebab lunturnya fitrah anak. Akibatnya, benteng pertahanan moral anak dalam menghadapi gempuran arus kekufuran di sekitarnya menjadi sangat rapuh sekali. Lahirlah manusia-manusia model Qarun yang menganggap dirinyalah yang menjadikan sukses dalam kehidupan dunia.
“Qarun berkata: ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku’.” (Al-Qashash: 78)
Atau sebagaimana yang diucapkan manusia lainnya seperti digambarkan dalam firman Allah l:
“Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata: ‘Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku’. Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.” (Az-Zumar: 49)
Maka, hendak kemanakah pendidikan anak kita diarahkan? Mari telaah bagaimana para salafush shalih mendidik anak-anak mereka. Temukan mutiara pendidikan pada mereka. Ke sanalah kita mesti merujuk.
Wallahu a’lam.