Asysyariah
Asysyariah

pemutarbalikan sejarah islam

13 tahun yang lalu
baca 16 menit

Sejarah (tarikh) tak bisa dipisahkan dari kehidupan umat manusia. Ia ibarat buku harian yang mengoleksi berbagai peristiwa penting dalam perjalanan hidup mereka. Dari sejarah, baik buruknya perjalanan suatu umat terungkap. Dari sejarah pula, eksistensi suatu umat -dalam setiap generasinya- teridentifikasi. Allah l berfirman:

“Itu adalah sebagian dari berita-berita negeri (yang telah dibinasakan) yang Kami ceritakan kepadamu (Muhammad). Di antara negeri-negeri itu ada yang masih kedapatan bekas-bekasnya dan ada (pula) yang telah musnah. Dan Kami tidaklah menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, karena itu tiadalah bermanfaat sedikit pun bagi mereka sesembahan-sesembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Rabbmu datang. Dan sesembahan-sesembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan.” (Hud: 100-101)

Betapa besar perhatian Islam terhadap sejarah. Oleh karena itu, banyak sekali dijumpai paparan sejarah baik dalam Al-Quranul Karim maupun Sunnah Rasulullah n. Sejarah tentang awal mula kehidupan umat manusia, sejarah perjalanan hidup umat terdahulu bersama para nabi mereka, hingga sejarah tentang berakhirnya kehidupan dunia ini. Allah l berfirman:

“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan)nya termasuk orang-orang yang belum mengetahui.” (Yusuf: 3)

Tak ketinggalan pula peran para ulama umat ini -rahimahumullah- dalam membukukan sejarah melalui karya tulis ilmiah mereka, dengan bentuk dan metodelogi penulisannya yang beragam. Cukup banyak karya tulis ilmiah yang mereka sajikan seputar sejarah. Diantaranya adalah; Al-Bidayah Wan Nihayah karya Al-Imam Ibnu Katsir, Al-Kamil Fit Tarikh karya Al-Imam Ibnul Atsir, dan Tarikh Al-Islam karya Al-Imam Adz-Dzahabi.

Kupas sejarah tanpa iman dan ilmu? Berbahaya…!

Para pembaca yang mulia, satu hal penting yang patut diperhatikan oleh semua pihak, bahwa kemurnian sejarah sering kali dikotori oleh tangan usil orang-orang yang tak bertanggung jawab. Kupas sejarah tanpa iman dan kedepankan logika daripada ilmu seakan sebagai karakter yang lekat pada mereka. Karakter buruk yang tak dimiliki kecuali oleh orang-orang yang berhati sakit. Sebut saja; Zionisme Yahudi, Syi’ah Rafidhah, Orientalis Nashara, dan orang-orang yang meniti jejak jelek mereka. Merekalah diantara orang-orang usil yang tak bertanggung jawab itu.

Tak diragukan lagi bahwa iman dan ilmu merupakan kebutuhan primer dalam hidup ini. Keberadaannya sangat dibutuhkan dalam setiap keadaan, termasuk saat mempelajari dan mengupas sejarah. Kupas sejarah tanpa iman dan ilmu amat berbahaya. Tanpa keduanya, pembelajaran sejarah akan hampa dari ruh agama. Pemaparannya akan jauh dari norma-norma luhur dan akhlak mulia. Berkata tanpa berkaca dan menilai dengan yang tak bernilai pun akhirnya menjadi ciri khasnya. Akibatnya, berbagai rambu syariat dilanggar, validalitas suatu berita tak dihiraukan, dan kehormatan suatu kaum tak lagi diperhatikan. Bahkan, pemutarbalikan sejarah dan penempatannya tidak pada tempatnya pun menjadi fenomena yang tak terhindarkan.

Padahal, sejarah yang murni lagi valid merupakan cakrawala ilmu yang layak dikaji oleh setiap insan yang berakal. Apalagi sejarah para rasul dan orang-orang shalih yang notabene para bintang di dunia ini. Mereka telah mengukir sejarah dengan pengabdian yang tulus kepada Allah l dan beramal shalih. Dengan hikmah-Nya yang tinggi Allah l abadikan sejarah hidup mereka dalam Al-Quran, sebagai ladang ibrah (pengajaran) bagi orang-orang yang berakal. Allah l berfirman:

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang berakal.” (Yusuf: 111)

Lebih dari itu, Allah l menjadikannya sebagai peneguh hati Rasulullah n saat mengemban risalah suci-Nya. Allah l berfirman:

“Dan semua kisah dari para rasul itu Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu.” (Hud: 120)

Fenomena pemutarbalikan sejarah

Memutarbalikkan sejarah merupakan tindakan tercela yang jauh dari nilai-nilai kejujuran dan amanah, bahkan sangat lekat dengan kedustaan. Perangai buruk yang sangat dibenci dan dilarang melalui lisan Rasulullah n yang mulia:

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًاوَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَعِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا.

“Wajib bagi kalian untuk berlaku jujur karena kejujuran itu akan mengantarkan kepada kebaikan dan kebaikan akan mengantarkan kepada Al-Jannah (surga). Tidaklah seseorang senantiasa berlaku jujur dan bersungguh-sungguh dengan kejujuran tersebut hingga dicatat di sisi Allah sebagai seorang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari kedustaan karena kedustaan itu akan mengantarkan kepada kejelekan dan kejelekan akan mengantarkan kepada An-Nar (neraka). Tidaklah seseorang senantiasa berdusta dan bersungguh-sungguh dengan kedustaan tersebut hingga dicatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. Muslimno. 4721, dari sahabat Abdullah bin Mas’ud z)

Para pembaca yang mulia, berdasarkan hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pemutarbalikan sejarah dan penempatannya tidak pada tempatnya -yang merupakan kedustaan- akan mengantarkan kepada kejelekan. Suatu kejelekan yang berdampak terhadap sejarah itu sendiri, bahkan terhadap akidah umat juga. Dengan pemutarbalikan sejarah validalitas suatu berita tak bisa dipertanggung jawabkan lagi. Sejarah pun akhirnya berbalik dari fakta yang sebenarnya. Yang baik nampak buruk, sedangkan yang buruk nampak baik. Dampaknya terhadap akidah umat sendiri tentu demikian amat besar. Di antaranya, meruaknya berbagai keyakinan batil pada umat yang disebabkan oleh pemutarbalikan sejarah tersebut. Keyakinan batil, baik yang berkaitan langsung dengan prinsip akidah, maupun yang berkaitan dengan sikap al-wala’ wal bara’ (kecintaan dan kebencian) terhadap suatu kaum atau individu tertentu. Suatu fenomena buruk yang tak bisa diabaikan begitu saja.

Namun demikian ada satu hal penting yang tak boleh dilupakan kala menyikapi fenomena buruk tersebut. Yaitu Allah l yang Maha Hakim lagi Maha Rahim tak membiarkan umat Islam -dalam setiap generasinya- lengang dari para ulama yang selalu siaga membela agama Allah l dari pemutarbalikan pengertian agama yang dilakukan oleh para ekstremis, kedustaan orang-orang sesat dengan kedok agama, dan penakwilan menyimpang yang dilakukan oleh orang-orang jahil. Maka dari itu, tak heran manakala muncul suatu makar terhadap Islam dan umat Islam (termasuk pemutarbalikan sejarah) bermunculan pula para ulama dari umat ini yang tampil membela al-haq dan membongkar segala makar tersebut. Berbagai karya tulis mereka pun sebagai saksi terbaik atas semua itu.

Menelisik beberapa kasus pemutarbalikan sejarah dan penempatannya tidak pada tempatnya

Diantara contoh kasus pemutarbalikan sejarah dan penempatannya tidak pada tempatnya adalah sebagai berikut:

1. Kehormatan Ummul Mukminin Aisyah x yang ternodai

Ummul Mukminin Aisyah x merupakan istri Rasulullah n yang mulia. Kecintaan dan keridhaan Rasulullah n kepada beliau x tak pernah padam selama hayat masih dikandung badan. Namun gerombolan kaum munafik Madinah pimpinan Abdullah bin Ubay bin Salul (yang hidup di masa Rasulullah n) benar-benar telah mencemarkan keharuman nama Ummul Mukminin Aisyah x dan menodai kehormatannya. Dengan penuh kekejian mereka tebarkan berita bohong (haditsul ifki) bahwa Ummul Mukminin Aisyah x telah berbuat zina dengan sahabat Shafwan bin Mu’aththal z, sepulang dari pertempuran Bani Mushthaliq.

Allah l Yang Maha mengetahui lagi Maha pengasih tak membiarkan orang-orang rendahan tersebut leluasa berkata tanpa berkaca dengan menebar kezaliman terhadap istri rasul-Nya yang mulia. Allah l turunkan beberapa ayat dari surah An-Nur yang mengabadikan kesucian diri Aisyah x dan sekaligus kebusukan hati para penyebar berita bohong (haditsul ifki) tersebut. Hukuman keras pun akhirnya Allah l timpakan kepada mereka semua, sebagaimana dalam firman-Nya l:

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (An-Nur: 4-5)

Namun demikian, orang-orang yang berhati sakit dari kalangan Syi’ah Rafidhah tak berakal sehat. Mereka justru melanjutkan gerakan fitnah yang dilakukan gerombolan kaum munafik tempo dulu itu. Dengan kejinya mereka sematkan gelar pelacur terhadap Ummul Mukminin Aisyah x yang diabadikan dalam kitab sesat mereka Ikhtiyar Ma’rifatir Rijal, karya Ath-Thusi hal. 57-60 dan yang lainnya. Mereka putarbalikkan sejarah. Tak mau tahu, walau nyata bertentangan dengan kitab suci Al-Quran. Karena memang menurut akidah mereka yang sesat, Al-Quran yang ada pada umat Islam telah terjadi berbagai perubahan/penyimpangan dan tak lagi sebagai kitab suci.[1] Wallahul Musta’an

2. Abu Thalib seorang muslim?!

Tidak sedikit dari buku sejarah -terutama yang berhaluan Syi’ah- yang menyebutkan bahwa Abu Thalib paman Rasulullah n meninggal dunia dalam keadaan muslim. Padahal semua riwayat seputar masuk Islamnya Abu Thalib derajatnya lemah, tak satu pun yang shahih. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t berkata: “Aku telah membaca sebuah kitab hadits dari kalangan Syi’ah Rafidhah, di dalamnya banyak dimuat hadits-hadits lemah seputar masuk Islamnya Abu Thalib, tak satu pun yang shahih, wabillahit taufiq. Dan aku telah meringkasnya dalam kitab Al-Ishabah, pada biografi Abu Thalib.” (Fathul Bari juz 7, hal. 234)

Lebih dari itu, semua hadits shahih seputar kesudahan hidup Abu Thalib menunjukkan bahwa dia meninggal dunia dalam keadaan kafir. Di antaranya adalah apa yang terdapat dalam kitab Shahih Al-Bukhari no. 3884:

“…Hingga saat menjelang kematiannya, kata terakhir yang diucapkan Abu Thalib kepada mereka (Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah) adalah: ‘(Aku) di atas agama Abdul Muththalib (menyembah berhala)’.”[2]

Demikian pula secara lebih tegas disebutkan dalam kitab Shahih Muslim no. 39: “…Dia (Abu Thalib) berada di atas agama Abdul Muththalib (menyembah berhala) dan tidak mau mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallaah.”

3. Sahabat Utsman bin Affan z, khalifah yang terzalimi

Utsman bin Affan z adalah sahabat Rasul yang mulia. Suatu kehormatan telah beliau z raih manakala namanya berderet di antara para sahabat yang terdahulu masuk Islam (as-sabiqunal awwalun). Bahkan berderet di antara sepuluh orang sahabat yang mendapatkan janji surga (al-‘asyarah al-mubasysyaruna biljannah) melalui lisan Rasulullah n. Perjuangan beliau z dalam membela agama Allah l dan Rasul-Nya n pun sangat besar. Tak hanya jiwa dan raga yang beliau z persembahkan di jalan Allah (fii sabillah). Harta yang tak terhitung banyaknya pun senantiasa beliau z infakkan di berbagai momen strategis perjuangan Islam.

Betapa besar kecintaan Rasulullah n kepada sahabat Utsman bin Affan z. Tak heran bila kemudian beliau z berposisi sebagai menantu Khairul Anam. Pada kali yang pertama beliau z dinikahkan dengan putri Rasulullah n yang bernama Ruqayyah x. Hingga ketika Ruqayyah x wafat, Utsman pun dinikahkan kembali dengan putri Rasulullah n lainnya yang bernama Ummu Kultsum x. Dengan itulah kemudian beliau z bergelar “Pemilik Dua Cahaya” (Dzun Nurain). Suatu gelar kehormatan yang tak dimiliki oleh siapapun selain beliau z. Semakin lengkap pula kehormatan yang beliau z raih manakala (sepeninggal Rasulullah n) dinobatkan sebagai Khalifah ketiga, setelah Abu Bakr Ash-Shiddiq z dan Umar bin Al-Khaththab z. Orang-orang besar yang telah mengantarkan umat Islam menuju kejayaannya. Betapa banyak riwayat-riwayat shahih seputar keutamaan sahabat Utsman bin Affan z yang terabadikan dalam kitab-kitab hadits yang terpercaya.[3]

Namun demikian, diantara para sejarawan ada yang menikam sahabat Utsman bin Affan z -sengaja atau tidak- dengan membawakan sejarah beliau z yang berbalik dari fakta sebenarnya dan menempatkannya tidak pada tempatnya. Dengan berdasar pada referensi lemah bahkan narasumber pendusta, mereka tebarkan informasi timpang seputar sahabat Utsman bin Affan z yang berbalik dari faktanya.[4] Rahimallahu (semoga Allah merahmati) Al-Qadhi Abu Bakr Ibnul Arabi yang telah mendudukkan semua informasi timpang tersebut dan membantahnya dengan penuh obyektif dan proporsional dalam karya tulis beliau yang monumental Al-‘Awashim minal Qawashim fi Tahqiqi Mawaqifish Shahabah Ba’da Wafatin Nabi.

Demikian pula syaikh kami yang mulia, Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali -hafizhahullah- yang telah menyingkap berbagai kesesatan Sayyid Quthb, termasuk tikamannya terhadap sahabat Utsman bin Affan z. Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali -hafizhahullah- memaparkan sejarah hidup sahabat Utsman bin Affan z dengan sejelas-jelasnya. Seiring dengan itu, beliau -hafizhahullah- dudukkan berbagai tikaman Sayyid Quthb terhadap sahabat Utsman bin Affan z dengan penuh obyektif dan proporsional, sebagaimana dalam karya tulis beliau Matha’in Sayyid Quthb fii Ashhabi Rasulillah hal. 57-285. Tahukah anda berbagai tikaman Sayyid Quthb terhadap sahabat Utsman bin Affan z? Di antara tikaman itu adalah; bahwa Utsman bin Affan z adalah seorang (khalifah) yang zalim dan kejam, telah menyimpang dari ruh Islam, berlebihan dalam membagi-bagikan uang negara hingga banyak sekali uang kas negara yang terpakai di masanya, di masanya pula asas-asas Islam berguguran, membidani berdirinya kekhalifahan Bani Umayyah yang jauh dari ruh Islam, para pembunuh Utsman bin Affan z (menurut Sayyid Quthb) lebih dekat kepada ruh Islam daripada Utsman bin Affan z.[5]

4. Penilaian buruk terhadap Sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan z

Mu’awiyah bin Abi Sufyan z adalah sahabat Rasul yang mulia. Ketika Rasulullah n menunaikan umratul qadha’ (tahun 7 Hijriyah), sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan z masuk Islam secara sembunyi-sembunyi (tanpa sepengetahuan kaum Quraisy). Beliau z baru menampakkan keislaman saat penaklukan Kota Makkah (Fathu Makkah) tahun 8 Hijriyah. Pada saat itu pula kedua orangtua beliau z (Abu Sufyan bin Harb dan Hindun binti ‘Uthbah) dan juga saudara lelaki beliau z (Yazid bin Abi Sufyan) masuk Islam. Semenjak itu posisi Mu’awiyah bin Abi Sufyan z tergolong dekat dengan Rasulullah n. Di samping sebagai adik ipar, beliau z juga sebagai sekretaris pribadi Rasulullah n.

Di masa Khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq z, beliau z diangkat sebagai wakil panglima perang untuk pasukan yang dikirim ke Negeri Syam dengan misi penaklukan (ekspansi). Di masa Khalifah Umar bin Khaththab z, beliau z diangkat sebagai Gubernur Damaskus dan Yordania menggantikan sang kakak Yazid bin Abi Sufyan z yang meninggal dunia. Di masa Khalifah Utsman bin Affan z, ketika Umair bin Sa’ad Al-Anshari (Gubernur Himsh dan Qansirin) sakit dan minta dipulangkan ke tengah-tengah keluarganya, berikutnya Abdurrahman bin Alqamah (Gubernur Palestina) meninggal dunia, diangkatlah sahabat Mu’awiyah z sebagai gubernur tunggal Negeri Syam. Sejarah mencatat, tergabungnya semua wilayah Negeri Syam di bawah kepemimpinan beliau z terjadi pada dua tahun pertama dari kekhalifahan Utsman bin Affan z.

Para pembaca yang mulia, mungkinkah Rasulullah n, Khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq z, Khalifah Umar bin Khaththab z, dan Khalifah Utsman bin Affan z memberikan kedudukan kepada sembarang orang atau bahkan orang yang jahat? Tentunya akal sehat mengatakan, tak mungkin. Sehingga, tidaklah mereka memberikan satu kedudukan kepada sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan z melainkan beliau adalah ahlinya yang terpercaya baik dalam hal kepemimpinan maupun kedalaman ilmu agama.

Sahabat Abdullah bin Amr bin Al-Ash c dan juga sahabat Abdullah bin Umar bin Al-Khaththab c mengatakan: “Aku tidak melihat seorang pun (setelah Rasulullah n) yang lebih memiliki jiwa kepemimpinan daripada Mu’awiyah z.’ Berkata Jabalah bin Suhaim: ‘Bagaimana dengan Umar bin Al-Khaththab z?’ Abdullah bin Amr bin Al-Ash z berkata: ‘Umar bin Al-Khaththab z lebih mulia dari Mu’awiyah z, akan tetapi Mu’awiyah z lebih memiliki jiwa kepemimpinan’.” Sahabat Abdullah bin Al-Abbas c mengatakan: “Aku tidak melihat seorang pun yang melebihi Mu’awiyah dalam hal kepemimpinan.” Beliau z juga mengatakan: “Sungguh Mu’awiyah adalah seorang yang mendalam ilmu agamanya (faqih).”

Terbukti, ketika Khalifah Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib c menyerahkan tampuk kepemimpinan umat kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan z, semua komponen umat yang sebelumnya (selama bertahun-tahun) terpecah-belah pun dapat segera disatukan di bawah kepemimpinan beliau z, hingga tahun itu dikenang sebagai tahun persatuan (‘amul jama’ah). Sejarah pun mencatat, selama dua puluh tahun Mu’awiyah bin Abi Sufyan z menjadi Gubernur Syam, dan dua puluh tahun berikutnya menjadi khalifah umat Islam (hingga meninggal dunia), tak pernah ada kendala berarti dalam memimpin umat. Semua itu beliau z jalani dalam keadaan dekat dengan rakyat dan rakyat pun amat mencintainya. Lebih dari itu, empat puluh tahun masa kepemimpinan yang penuh rahmat tersebut beliau z jalani di wilayah Syam yang berbatasan langsung dengan Kekaisaran Romawi, musuh terkuat umat Islam. Setiap saat harus bersiaga tempur. Manakala terjadi pertempuran, tak jarang beliau z sendiri yang memimpin langsung pertempuran. Perjalanan penuh sejarah yang tak bisa dipisahkan dari barakah doa Rasulullah n: “Ya Allah, jadikanlah Mu’awiyah seorang pemberi petunjuk yang senantiasa ditunjuki. Ya Allah, tunjukilah (manusia) dengan perantaranya.”[6]

Namun perjalanan sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan z yang penuh sejarah tersebut dikotori oleh tangan orang-orang yang tak tahu diri. Menilai dengan sesuatu yang tak bernilai, berkata tanpa berkaca, serta berbicara tanpa berlandaskan iman dan norma. Hadits-hadits lemah dan palsu sebagai senjatanya, kitab-kitab tak bermutu sebagai referensinya, dan para pendusta sebagai nara sumbernya. Hingga berbaliklah sejarah dari faktanya. Para ulama Islam tak tinggal diam. Hadits-hadits palsu seputar sahabat Mu’awiyah z disingkap oleh Al-Imam Ibnul Jauzi t dalam kitab beliauAl-Maudhu’at. Sedangkan berbagai tuduhan keji seputar sahabat Mu’awiyah z telah dibantah dan didudukkan secara obyektif dan proporsional oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t di beberapa tempat dari kitab beliau Minhajus Sunnah, Al-Qadhi Abu Bakr Ibnul Arabi t dalam kitab beliau Al-‘Awashim Minal Qawashim Fi Tahqiqi Mawaqifish Shahabah Ba’da Wafatin Nabi,[7] Al-Faqih Ahmad bin Hajar Al-Haitami dalam kitab beliau Tathhirul Jinan Wallisan ‘Anil Khuthur Wattafawwuh Bitsalbi Sayyidina Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan para ulama lainnya -rahimahumullah-.

Para pembaca yang mulia, demikianlah sekelumit pembahasan tentang pemutarbalikan sejarah dan penempatannya tidak pada tempatnya, berikut beberapa contoh kasusnya. Semoga dapat menyibak berbagai kabut hitam yang menyelimuti cakrawala sejarah Islam dan mengikis berbagai keyakinan batil yang merusak akidah umat (akibat pemutarbalikan sejarah tersebut). Wallahul Muwaffiq

(Ruwaifi’ bin Sulaimi)


[1] Untuk lebih jelasnya, silakan lihat kajian Manhaji “Membongkar Kesesatan Syi’ah” pada edisi 05/Pebruari 2004/DzulHijjah 1424H.

[2] Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t berkata: “Di antara sesuatu yang aneh tapi nyata adalah bahwa paman Nabi n yang mendapati masa keislaman ada empat orang; dua orang tidak masuk Islam dan yang dua lagi masuk Islam. Nama dua orang yang tidak masuk Islam tersebut bukan nama muslim; yaitu Abu Thalib yang namanya Abdu Manaf dan Abu Lahab yang namanya Abdul ‘Uzza. Hal ini berbeda dengan nama dua orang paman Rasul n yang masuk Islam (nama asli mereka, nama muslim); yaitu Hamzah dan Al-Abbas c.” (Fathul Bari juz 7, hal. 236)

[3] Di antaranya yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari kitab Al-Manaqib, bab Manaqib Utsman bin Affan Abi Amr Al-Qurasyi, dan Shahih Muslim kitab Al-Fadhail, bab Min Fadhail Utsman bin Affan.

[4] Di antaranya adalah: memukul sahabat Ammar bin Yasir z hingga putus ususnya, memukul sahabat Abdullah bin Mas’ud z hingga patah tulang rusuknya dan tidak memberikan hak (jatah)nya, melakukan bid’ah penyusunan Al-Quran dan membakar mushaf yang disusun di masa Abu Bakr Ash-Shiddiq z, membuat lokalisasi pengembalaan hewan ternak milik pemerintah (hima), mengasingkan sahabat Abu Dzar z ke daerah Rabadzah, mengeluarkan sahabat Abu Darda’ z dari Negeri Syam, mengembalikan Al-Hakam yang sebelum diasingkan oleh Rasulullah n, meniadakan sunnah qashar dalam shalat ketika safar, memberikan jabatan kepada Mu’awiyah z, Abdullah bin Amir bin Kuraiz t, dan Marwan bin Al-Hakam t, demikian pula Al-Walid bin Uqbah z padahal ia seorang fasik yang tak layak diberi jabatan, memberikan khumus Afrika kepada Marwan bin Al-Hakam t, Utsman bin Affan z jika mendera (sebagai hukuman) dengan menggunakan tongkat kayu yang panjang padahal sebelumnya Umar bin Al-Khaththab z menggunakan tongkat pendek (yang biasa dipegang oleh para komandan), meninggikan tangga mimbarnya di atas tangga mimbar Rasulullah n padahal Abu Bakr z dan Umar z telah menjadikannya lebih rendah, tidak ikut dalam pertempuran Badr, melarikan diri dalam pertempuran Uhud, tidak hadir dalam bai’at ridhwan, tidak menjatuhkan hukuman mati terhadap Ubaidullah bin Umar sang dalang di balik pembunuhan Khalifah Umar bin Al-Khaththab z, mengirim surat rahasia kepada Ibnu Abi Sarh yang berisikan daftar nama-nama orang yang harus dibunuh, dan lain sebagainya.

[5] Untuk mengetahui rincian bantahan terhadap berbagai tikaman tersebut dan yang lainnya, silakan lihat kitab Matha’in Sayyid Quthb Fii Ashhabi Rasulillah hal. 57-285.

[6] Untuk mengetahui biografi sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan z secara lebih rinci, silakan merujuk kitab Usdul Ghabah dan Al-Kamil Fittarikh karya Al-Imam Ibnul Atsir, Al-Bidayah Wan Nihayah karya Al-Imam Ibnu Katsir, Al-‘Awashim Minal Qawashim Fi Tahqiqi Mawaqifish Shahabah Ba’da Wafatin Nabi karya Abu Bakr Ibnul Arabi beserta catatan kaki Asy-Syaikh Muhibbuddin Al-Khathib terhadapnya, Minhajus Sunnah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Tathhirul Jinan Wallisan ‘Anil Khuthur Wattafawwuh Bitsalbi Sayyidina Mu’awiyah bin Abi Sufyan karya Al-Faqih Ahmad bin Hajar Al-Haitami, Mukadimah kitab Matha’in Sayyid Quthb Fii Ashhabi Rasulillah (bantahan Asy-Syaikh Mahmud Syakir terhadap Sayyid Quthb), dll.

[7] Tak ketinggalan pula Asy-Syaikh Muhibbuddin Al-Khathib dalam catatan kakinya terhadap kitab Al-‘Awashim Minal Qawashim Fi Tahqiqi Mawaqifish Shahabah Ba’da Wafatin Nabi.