Terlahir dari dua orang tua yang telah beriman dan memiliki kemuliaan, merupakan keistimewaan tersendiri bagi ibunda kaum mukminin, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha[1]. Belum lagi sekian banyak kelebihan dan keutamaan yang disandang Humaira’[2], sebutan yang disematkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada beliau[3], dari sisi kebaikan akhlak, kezuhudan, kecerdasan, amal ibadah, dan sebagainya.
Semua itu mengokohkan rasa cinta dan penghormatan kaum muslimin kepada beliau radhiallahu ‘anha. Apalagi Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Nabi itu lebih berhak untuk dicintai oleh orang-orang beriman daripada diri mereka sendiri, sedangkan istri-istri beliau adalah ibu-ibu mereka (orang-orang beriman).” (al-Ahzab: 6)
Tidak ada seorang Ahlus Sunnah pun kecuali mencintai dan memuliakan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha sebagai salah seorang dari ibu mereka. Bahkan, beliau adalah yang paling afdal di antara ummahatul mukminin bersama dengan Khadijah bintu Khuwailid radhiallahu ‘anha.
Menuliskan keistimewaan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha niscaya akan memenuhi lembaran-lembaran kita. Beberapa di antaranya bisa kita nukilkan di bawah ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Keutamaan ‘Aisyah dibanding semua wanita seperti keistimewaan tsarid[4] dibanding semua makanan.” (HR. al-Bukhari no. 3770 dan Muslim no. 6249)
‘Aisyah radhiallahu ‘anha menempati tempat yang istimewa di hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi ummahatul mukminin yang lain. Ini bukanlah rahasia karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakuinya.
Sahabat yang mulia, ‘Amr ibnul ‘Ash radhiallahu ‘anhuma pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah orang yang paling engkau cintai?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aisyah.[5]” (HR. al-Bukhari no. 4358 dan Muslim no. 6127)
Rasa cinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha ini pun tak tersamarkan oleh para sahabat beliau. Jadi, apabila ingin memberi hadiah kepada Rasul, mereka menunggu saat hari giliran ‘Aisyah, saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di rumah Aisyah radhiallahu ‘anha, agar lebih menyenangkan hati dan membuat ridha beliau[6].
Kenyataannya, saat-saat bersama ‘Aisyah radhiallahu ‘anha adalah sesuatu yang dinantikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa mengurangi hak istri-istri beliau yang lain karena beliau adalah suami yang sangat adil.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit menjelang wafat, beliau selalu bertanya, “Di rumah siapa saya hari ini? Di rumah siapa saya besok?”, dalam keadaan beliau mengharapkan giliran Aisyah radhiallahu ‘anha.
Saat sakit beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertambah parah, para istri beliau yang salihah mengizinkan beliau untuk dirawat di rumah istri yang mana pun yang beliau inginkan.
Akhirnya, asa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk selalu dekat dengan al-Humaira’ terpenuhi. Beliau dirawat di rumah ‘Aisyah hingga ajal menjemput dalam keadaan kepala beliau berada dalam dekapan ‘Aisyah[7].
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertitah kepada putri beliau Fathimah radhiallahu ‘anha, “Wahai putriku, tidakkah engkau mencintai apa yang aku cintai?”
Fathimah menjawab, “Tentu.”
Rasulullah bersabda, “Kalau begitu, cintai dia ( yakni ‘Aisyah).” (HR. al-Bukhari no. 2581 dan Muslim no. 6240)
Pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bukan semata didorong karena ‘Aisyah adalah putri sahabat beliau yang utama, Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu, melainkan karena wahyu Allah subhanahu wa ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Aisyah, “Engkau ditampakkan padaku dalam mimpi selama tiga malam. Seorang malaikat datang membawamu dengan mengenakan pakaian sutra putih, lalu malaikat itu berkata, ‘Ini adalah istrimu.’ Aku menyingkap wajahmu dan ternyata engkau.” (HR. al-Bukhari no. 5125 dan Muslim no. 6233)
Keistimewaan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha juga tampak dengan wahyu yang turun dari langit hanya saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam selimut ‘Aisyah, tidak dalam selimut istri-istri yang lain.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada salah seorang istri beliau, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak pernah menurunkan wahyu kepadaku ketika aku sedang berada di selimut salah seorang dari kalian selain ‘Aisyah.” (HR. al-Bukhari no. 3775)
‘Aisyah radhiallahu ‘anha pernah mendapatkan salam dari malaikat yang mulia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi penyampainya, kata beliau, “Malaikat Jibril mengucapkan salam kepadamu.”
‘Aisyah menjawab, “Wa’alaihissalam wa rahmatullah.” (HR. al-Bukhari no. 6253 dan Muslim no. 6251)
Orang-orang munafik pernah mencoba menjatuhkan kehormatan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dengan menuduhnya berzina dengan sahabat Shafwan ibnul Mu’aththal radhiallahu ‘anhu saat tertinggal dari rombongan dalam perjalanan pulang dari pertempuran menghadapi Bani Musthaliq.
Allah subhanahu wa ta’ala tidak membiarkan derita ‘Aisyah dan kehormatan keluarga Nabi-Nya terus diinjak-injak. Turunlah ayat-ayat dari atas langit sebagai pembelaan atas kehormatan ‘Aisyah. Surat an-Nur ayat 11 sampai 26 membantah tuduhan keji dan dusta kepada belahan jiwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu.
Allah subhanahu wa ta’ala mengisyaratkan dalam ayat-ayat tersebut bahwa ‘Aisyah adalah wanita yang baik dan menjaga kesuciannya. Adapun orang-orang yang memfitnahnya, Allah subhanahu wa ta’ala ancam dengan siksa yang pedih di dunia dan di akhirat.
Adapula satu kejadian yang menimpa ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang menjadi sebab keberkahan bagi umat Islam. Dalam satu safarnya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para rombongan, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengenakan kalung yang dipinjamnya dari saudarinya, Asma’ radhiallahu ‘anha. Kalung itu hilang dalam perjalanan. Merasa bertanggung jawab dengan kalung pinjaman tersebut, ‘Aisyah menyampaikan kepada suaminya tentang perihal kalung itu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengutus sahabatnya untuk mencarinya sampai masuk waktu shalat. Padahal di tempat tersebut tidak ada air untuk berwudhu. Mereka pun shalat tanpa berwudhu. Ketika berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka adukan hal itu kepada beliau. Allah subhanahu wa ta’ala lalu menurunkan ayat tentang tayammum.
Hal ini mendorong Usaid bin Hudhair radhiallahu ‘anhu berkata kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, “Jazakillahu khairan (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan). Demi Allah, tidaklah menimpamu sesuatu yang engkau benci melainkan Allah menjadikan padanya kebaikan bagimu dan keberkahan bagi kaum muslimin.” (HR. al-Bukhari no. 3773)
Menjadi istri pengajar kebaikan bagi umat manusia tidak disia-disiakan begitu saja oleh Aisyah radhiallahu ‘anha. Aisyah radhiallahu ‘anha belajar, berguru, dan mengambil ilmu serta keteladanan dari suami shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sungguh-sungguh. Tidak mengherankan apabila ‘Aisyah mengumpulkan banyak ilmu dan riwayat. Bahkan, ‘Aisyah termasuk sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Keilmuan yang mendalam ini dipersaksikan oleh para sahabat dan tabi’in yang berguru kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha.
Abu Musa al-As’ari radhiallahu ‘anhu, mengatakan, “Tidaklah para sahabat Rasulullah mengeluhkan sesuatu kecuali mereka bertanya kepada ‘Aisyah. Mereka akan mendapati di sisi ‘Aisyah ada ilmu tentang hal tersebut.” (Thabaqat Ibni Sa’d, 2/322)
Urwah bin az-Zubair mempersaksikan keilmuan bibinya, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih mengerti tentang fikih, dunia pengobatan, dan syair daripada ‘Aisyah.” (Siyar A’lam an-Nubala, 2/183)
Masruq pernah ditanya, “Apakah ‘Aisyah pandai dalam ilmu waris?”
Dia menjawab, “Demi Allah, aku menyaksikan para pemuka sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada ‘Aisyah tentang ilmu waris.” (Thabaqat Ibni Sa’d, 10/66)
Az-Zuhri berkata, “Kalau ilmu ‘Aisyah dibandingkan dengan ilmu seluruh wanita, pastilah ilmu ‘Aisyah lebih banyak.” (Siyar A’lam an-Nubala, 2/185)
Adz-Dzahabi menyebut ‘Aisyah sebagai wanita umat ini yang paling faqih secara mutlak. (Siyar A’lam an-Nubala, 2/135)
Syiah Membenci Aisyah radhiallahu ‘anha
Lain Ahlus Sunnah, lain pula Syiah. Keduanya tidak bisa didekatkan apalagi disatukan. Bak minyak dan air, tidak mungkin keduanya menyatu.
Amat dekat dengan sang Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, putri dari orang yang dekat dengan Rasul dan berilmu banyak tentang syariat Islam. Bisa jadi, itu sebabnya Syiah sangat membenci ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, di samping juga membenci dan mengafirkan para sahabat yang lain, selain sejumlah nama yang tidak melampaui lima jari.
Syiah ingin meruntuhkan Islam dan membangun kembali imperium Majusi Persia yang dahulu diluluhlantakkan oleh kaum Muslimin. Caranya ialah dengan mencela para pembawa panji Islam. Syiah hendak menghancurkan kemuliaan Rasul umat Islam dengan mencacati orang-orang dekat beliau. Tujuan akhirnya ialah kesimpulan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang jelek karena beristrikan para perempuan jelek, bersahabat dengan manusia-manusia buruk. Na’udzubillah!
‘Aisyah radhiallahu ‘anha, istri yang paling beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam cintai, justru dinista oleh Syiah. Celaan, hinaan, sumpah serapah, mereka tujukan kepada Ibunda kaum mukminin tersebut. Tujuannya agar semua hadits yang disampaikan oleh ‘Aisyah ditolak dan tidak dijadikan pedoman dalam syariat Islam. Padahal dikatakan bahwa seperempat hukum syariat dinukilkan dari ‘Aisyah. (Fathul Bari, 7/135)
Bayangkan, apa jadinya apabila Syiah berhasil menanamkan kebencian tersebut di hati kaum muslimin. Na’udzubillah.
Sebenarnya, tidak sanggup tangan ini untuk menuliskan celaan dan hinaan Syiah yang sangat keji kepada Sang Ibunda. Hati pun tidak sanggup menanggungnya. Akan tetapi, bukti perlu didatangkan agar kaum muslimin yakin bahwa Syiah amat jauh dari Islam; tidak mungkin berkompromi dengan mereka; dan tidak tertipu dengan taqiyah mereka bahwa Syiah tidak membenci ‘Aisyah.
Berikut ini beberapa bentuk penghinaan dan tuduhan mereka kepada Aisyah.
Sebab, menurut mereka surat an-Nur ayat 26 turun tidak untuk membebaskan ‘Aisyah dari tuduhan, tetapi menyucikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari perbuatan zina. Jadi, mereka sepakat dengan orang-orang munafik bahwa ‘Aisyah benar-benar berbuat serong. (ash-Shirathal Mustaqim, 2/165)
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menghancurkan kaum yang ingin merusak kehormatan wanita yang mulia ini. Wanita yang telah beroleh jaminan menjadi istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan di surga kelak[8].
Kita tentu akan mendustakan semua celaan dan hinaan Syiah terhadap wanita yang kita agungkan. Kemuliaan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha tidak luntur di mata dan sanubari kaum muslimin karena celaan Syiah, kaum pendusta yang amat jahat. Al-Qur’an dan hadits yang menjadi pegangan kita, bukan ucapan para pendusta dan pendengki.
Orang Syiah jelas tidak percaya kalau kita sampaikan kepada mereka hadits-hadits tentang keutamaan ‘Aisyah. Sebab, mereka tidak memercayai hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Ahlus Sunnah. Mereka hanya percaya dengan hadits-hadits yang ada di kitab mereka, seperti al-Kafi yang hendak dijadikan tandingan bagi Shahih al-Bukhari, kitab yang paling sahih setelah al-Qur’an.
Kita katakan, “Berbahagialah Humaira dengan keutamaan yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepadanya, dan sungguh celaka Syiah yang membencinya….”
Wallahu ta’ala bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Abdirrahman bintu Imran
[1] Beliau adalah Ummu ‘Abdillah ‘Aisyah bintu Abi Bakr ‘Abdullah bin Abi Quhafah ‘Utsman bin ‘Amir bin ‘Amr bin Ka’b bin Sa’d bin Taim bin Murrah bin Ka’b bin Lu’aI al-Qurasyiyah at-Taimiyah al-Makkiyah—semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai beliau dan ayahnya.
[2] Disebut demikian karena ‘Aisyah adalah wanita jelita yang berkulit putih. (Siyar A’lam an-Nubala, 2/140)
Syiah tidak setuju bila dikatakan ‘Aisyah adalah wanita jelita berkulit putih.
[3] Silakan lihat kembali Majalah Syariah, lembar Sakinah, vol. I, No. 03, Juni 2003/Rabiul Akhir 1424 H
[4] Tsarid adalah bubur daging dan roti, makanan istimewa dan kebanggaan bangsa Arab.
[5] Dalam lanjutan hadits ini, ‘Amr bertanya siapa yang paling beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam cintai dari kalangan lelaki. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ayah ‘Aisyah.”
Ini adalah berita yang pasti, kata al-Imam adz-Dzahabi, walaupun Syiah Rafidhah membencinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin mencintai kecuali yang baik. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mencintai lelaki yang paling utama dari umat beliau dan mencintai wanita yang paling utama dari umat beliau. Jadi, barang siapa membenci kekasih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia pantas dibenci oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. (Siyar, 2/142)
[6] (HR. al-Bukhari no. 2574 dan Muslim no. 6239)
[7] (HR. al-Bukhari no. 3774 dan Muslim no. 6242)
[8] (HR. al-Bukhari no. 3772)