Bagian 2
Apakah tidur membatalkan wudhu? Bagaimana jika cuma mengantuk, apakah juga membatalkan wudhu? Barangkali di antara kita pernah mengalami kebingungan semacam ini.
Dalam masalah fikih, kebingungan kadang muncul bukan hanya karena tidak tahu hukum yang ada, namun tidak sedikit yang bingung karena banyaknya perbedaan pendapat di antara ulama. Dalam masalah fikih, khilaf di antara ulama tampaknya telah menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari.
Karena itu, dalam mengkaji hukum sebuah permasalahan diperlukan sikap lapang dada dan juga kehati-hatian. Sehingga kita tidak terjatuh pada sikap mencela orang lain yang berbeda dengan kita, padahal mereka juga memiliki dalil yang mendukung sikapnya.
Hilang Akal
Ada dua bentuk hilangnya akal seseorang:
Hilangnya akal disebabkan gila, pingsan, dan mabuk karena minum khamr atau karena minum obat, membatalkan wudhu seseorang, sebentar ataupun lama. Jadi, bila seseorang gila kemudian waras kembali, atau mabuk, atau jatuh pingsan kemudian siuman, ia wajib memperbarui thaharahnya. (al-Mughni, 1/114, Syarah Shahih Muslim, 4/74, al-Majmu’, 2/25)
Inilah pendapat rajih (yang kuat) menurut kami, wallahu a’lam bish-shawab. Adapun al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah dan yang sependapat dengan beliau memandang bahwa semua perkara di atas selain tidur tidaklah membatalkan wudhu dan tidak dapat di-qiyas-kan dengan tidur. (al-Muhalla, 1/212)
Tidur
Ulama berbeda pendapat dalam masalah tidur ini sampai 8 pendapat:
Yang rajih dari pendapat yang ada[1] menurut penulis adalah tidur yang nyenyak/pulas membatalkan wudhu. Adapun tidur yang ringan/hanya sekadar terkantuk-kantuk, di mana orang yang tidur ini masih mendengar suara di sekitarnya, tidaklah membatalkan wudhu. (al-Mughni, 1/116)
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Diserukan iqamah untuk shalat sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berbicara pelan (berbisik-bisik) dengan seseorang. Maka beliau terus berbisik-bisik dengan orang tersebut hingga para sahabat beliau tertidur. Kemudian beliau datang lalu shalat bersama mereka.” Kata Anas, “Mereka tertidur, kemudian mereka shalat dan tidak berwudhu.” (HR. Muslim no. 376)
Dalam riwayat Abu Dawud juga dari Anas, ia berkata, “Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menanti dilaksanakannya shalat Isya yang akhir, dalam keadaan kepala mereka terangguk-angguk (karena rasa kantuk yang berat) kemudian mereka bangkit mengerjakan shalat tanpa berwudhu.” (Sunan Abu Dawud hadits no.172 dan dinyatakan sahih oleh al-Imam al-Albani rahimahullah dalam Irwaul Ghalil, 1/149)
Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah menyatakan bahwa hadits Shafwan[2] yang menggandengkan tidur dengan hadats (kencing dan BAB) dibatasi dengan tidur nyenyak yang membuat orang tidak mengerti apa-apa (hilang kesadaran).
Adapun apa yang disebutkan Anas berupa mendengkurnya (beberapa) sahabat ketika dibangunkan, mereka membaringkan/merebahkan tubuh mereka sampai-sampai dibangunkan untuk mengerjakan shalat, ditakwilkan (dinyatakan) dengan tidur yang tidak nyenyak. Terkadang memang ada orang yang mendengkur di awal tidurnya sebelum ia pulas, demikian pula ada orang tidur dalam posisi berbaring tetapi tidak mesti menunjukkan tidur yang nyenyak.
Selain itu, seseorang yang baru tertidur bisa saja dibangunkan agar tersadarkan dan tidak pulas dalam tidurnya. (Kami nukilkan secara makna dan ringkas sebagaimana di dalam Subulus Salam, 1/97)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Pingsan membatalkan wudhu, karena pingsan itu lebih dari sekadar tidur sementara tidur yang nyenyak itu membatalkan wudhu, di mana orang yang tidur tersebut tidak tahu seandainya ada sesuatu yang keluar dari (kemaluan)-nya.
Adapun tidur yang ringan di mana bila orang yang tidur itu berhadats dia bisa merasakannya maka tidur seperti ini tidak membatalkan wudhu, sama saja apakah tidur itu berbaring, duduk bersandar atau duduk tanpa bersandar atau satu keadaan dari keadaan-keadaan yang ada. Selama ia bisa merasakan keluarnya hadats tersebut (seandainya ia berhadats).”
Beliau juga menyatakan, “Tidur itu sendiri bukanlah pembatal wudhu[3], hanya saja tidur ini merupakan satu keadaan yang diperkirakan/diduga bisa terjadinya hadats pada keadaan tersebut. Dengan demikian bila hadats tersebut dapat ditolak, di mana orang tersebut dapat merasakan bila keluar hadats darinya, maka tidurnya tidaklah membatalkan wudhu.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail, 4/195, 200, 201)
Memandikan Jenazah
Memandikan jenazah tidaklah membatalkan wudhu dan inilah pendapat yang rajih dari sebagian ahlul ilmi seperti Ibnu Qudamah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan kebanyakan fuqaha.
Abul Hasan at-Tamimi berkata, “(Bagi orang yang memandikan jenazah) tidak harus berwudhu.” (al-Mughni 1/124, Syarhul Umdah, 1/341)
Mereka menyatakan, menetapkan sesuatu sebagai pembatal wudhu itu membutuhkan dalil syar’i, sementara tidak ada dalil dari al-Qur’an, as-Sunnah, atau ijma’ yang menunjukkan memandikan jenazah membatalkan wudhu.
Adapun atsar dari ketiga sahabat yang disebutkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhum (diriwayatkan Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya no. 1601, 6107) bahwa mereka memerintah orang yang memandikan jenazah untuk berwudhu, bisa jadi berwudhu di sini mustahab (sunnah). Jadi, kalau dianggap wajib, butuh dalil syar’i yang menenangkan jiwa. Sebab, mewajibkan sesuatu yang tidaklah wajib sama dengan mengharamkan sesuatu yang tidak haram. (asy-Syarhul Mumti’, 1/247)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang wajib bagi kita adalah berhati-hati dalam masalah pembatal wudhu. Jangan sampai ada di antara kita yang berani mengatakan perkara ini adalah pembatal wudhu kecuali apabila mendapatkan dalil yang jelas yang akan menjadi hujah (argumen) baginya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.” (asy-Syarhul Mumti’, 1/247)
Adapun yang lain dari kalangan ahlul ilmi berpendapat bahwa memandikan jenazah membatalkan wudhu sebagaimana atsar dari Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma di atas dan pendapat seperti ini dipegangi oleh Ishaq dan an-Nakha’i. (al-Mughni, 1/124)
Berbekam (hijamah)
Mazhab al-Hanafiyyah berpendapat keluarnya darah dikarenakan berbekam (hijamah) merupakan salah satu dari pembatal wudhu.
As-Sarkhasi berkata, “Menurut kami, seseorang yang berbekam maka wajib baginya berwudhu dan mencuci bagian tubuh yang dibekam. Karena, wudhu itu wajib dengan keluarnya najis (yaitu darah bekaman [dianggap] najis di sisi mereka). Bila dia berwudhu namun tidak mencuci bagian tubuh yang dibekam, maka bila bagian itu lebih besar dari ukuran dirham, ia tidak boleh mengerjakan shalat. Namun bila kurang dari itu boleh baginya mengerjakan shalat.”
Adapun ulama mazhab Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa berbekam atau sengaja mengeluarkan darah dengan merobek kulit atau urat dan dikeluarkannya segumpal darah dengan cara diisap tidaklah membatalkan wudhu.
Az-Zarqani berkata, “Berbekam tidaklah membatalkan wudhu, baik orang yang membekam maupun orang yang dibekam. Demikian pula sengaja mengeluarkan darah dengan merobek kulit atau urat.”
Dalam kitab al-Umm disebutkan, “Tidak wajib berwudhu karena muntah, mimisan, dan berbekam.” (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 17/14)
Inilah pendapat yang rajih, karena tidak adanya dalil yang bisa dijadikan hujah bahwa berbekam itu membatalkan wudhu. Adapun hadits[4] yang mendukung penguatan bahwa berbekam tidak membatalkan wudhu, pada sanadnya ada pembicaraan tentang seorang rawinya, yaitu Shalih ibnu Muqatil. Al-Imam ad-Daraquthni rahimahullah mengatakan tentang Shalih, “Bukan seorang yang kuat.”
Hadits ini juga dinyatakan dhaif oleh para imam, seperti al-Baihaqi, an-Nawawi, dan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahumullah. (al-Majmu 2/63, at-Talkhisul Habir, 1/171) (Sehingga kembali kepada hukum asal atau bara’ah ashliyah -red.)
Makan Daging Unta
Seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُوْمِ الْغَنَم؟ِ قَالَ: إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ، وَإِنْ شِئْتَ فَلاَ تَوَضَّأْ. قَالَ: أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُوْمِ الْإِبِلِ؟ قَالَ: نَعَمْ، فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُوْمِ الْإِبِلِ
“Apakah aku berwudhu setelah makan daging kambing?” Beliau menjawab, “Kalau engkau mau engkau berwudhu, kalau mau maka engkau tidak perlu berwudhu.” Beliau ditanya lagi: “Apakah aku berwudhu karena makan daging unta?” Beliau menjawab, “Ya, berwudhulah setelah makan daging unta.” (Sahih, HR. Muslim no. 360 dari hadits Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu)
Hadits ini menunjukkan bahwa seseorang harus berwudhu setelah makan daging unta, karena makan daging unta membatalkan wudhu. Demikian pendapat Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu, Muhammad bin Ishaq, Ahmad, Ishaq, Abu Khaitsamah, Yahya bin Yahya, Ibnul Mundzir, Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi, dan dinukilkan pendapat ini dari Ashabul Hadits dan sekelompok sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Syarah Shahih Muslim, 4/48; al-Mughni, 1/122; al-Muhalla, 1/226; Subulus Salam, 1/106)
Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu berkata, “Kami berwudhu dari makan daging unta dan kami tidak berwudhu karena makan daging kambing.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, 1/46, dinyatakan sahih sanadnya oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Tamamul Minnah, hlm. 106)
Pendapat lain menyatakan bahwa makan daging unta tidaklah membatalkan wudhu dengan dalil hadits Jabir radhiallahu ‘anhu, “(Di antara) dua perintah yang akhir dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak perlu berwudhu karena memakan makanan yang disentuh api (dimasak).” (HR. at-Tirmidzi no. 80 dan an-Nasai no. 185)
Yang berpendapat seperti ini adalah jumhur tabi’in, Malik, Abu Hanifah, asy-Syafi’i, dan murid-murid mereka, dihikayatkan pula dari Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’b, Abud Darda, Abu Thalhah, Amir bin Rabi’ah, dan Abu Umamah. (Syarah Shahih Muslim, 4/48; al-Mughni 1/122; Subulus Salam, 1/106)
Dari dua pendapat yang ada, yang rajih dalilnya adalah pendapat pertama. Adapun hadits Jabir, “(Di antara) dua perintah yang akhir dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak perlu berwudhu karena memakan makanan yang disentuh api (dimasak),” dinyatakan oleh Abu Hatim mudhtharib pada matannya.
Sangat dimungkinkan seorang rawinya, yakni Syu’aib, salah menyampaikan haditsnya. (al-’Ilal Ibnu Abi Hatim, 168) Selain itu, ada pembicaraan tentang hadits ini di kalangan para imam ahlul hadits, lihat at-Talkhisul Habir, 1/174—176.
Hadits ini memiliki lafadz dan hukumnya umum, sementara hadits yang menunjukkan wudhu karena makan daging unta adalah hadits yang khusus. Kaidah yang masyhur menurut ulama ahli ushul, ketika ada dalil yang khusus maka dikedepankan pengamalannya daripada dalil yang umum, wallahu a’lam. Selain itu, makan daging unta membatalkan wudhu bukan karena ia disentuh api, namun karena keberadaannya sebagai daging unta, dimasak (dengan api) ataupun dimakan dalam keadaan mentah tetap saja membatalkan wudhu. (Syarah Shahih Muslim, 4/49; al-Mughni, 1/122—123; al-Majmu’ 2/670; I’lamul Muwaqqi’in 1/298—299; Ijabatus Sail hlm. 36)
Makan Makanan yang Dimasak
Ulama berselisih pendapat dalam masalah memakan makanan yang dimasak, apakah membatalkan wudhu atau tidak? Dalam hal ini mereka terbagi dalam tiga pendapat:
Demikian pendapat jumhur ulama dan dihikayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Abu Thalhah, Abu Darda, Amir bin Rabi’ah, dan Abu Umamah. Juga pendapat jumhur tabi’in, Malik, dan Abu Hanifah.
Pendapat inilah yang rajih dengan dalil hadits Jabir ibnu Samurah di atas dan perkataan beliau, “Kami berwudhu dari makan daging unta dan kami tidak berwudhu karena makan daging kambing.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 1/46, dinyatakan sahih sanadnya oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Tamamul Minnah, hlm. 106)
Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Mayoritas ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tabi’in dan orang-orang setelah mereka berpendapat tidak perlu berwudhu karena memakan makanan yang dimasak.” (Sunan Tirmidzi, 1/53)
Ucapan al-Imam an-Nawawi rahimahullah dalam syarahnya terhadap Shahih Muslim dan di dalam al-Majmu’: “Mayoritas ulama berpendapat (makan daging unta) tidaklah membatalkan wudhu, di antara mereka yang berpendapat demikian adalah al-Khulafa’ur Rasyidun yang empat….” Ini merupakan anggapan yang keliru dari beliau rahimahullah.
Kekeliruan beliau ini telah diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam al-Qawa’id an-Nuraniyyah (hlm. 9).
Beliau menyatakan, “Adapun yang dinukilkan dari al-Khulafa ar-Rasyidun atau jumhur sahabat bahwa mereka tidak berwudhu karena makan daging unta, sungguh yang menukilkan demikian telah keliru dalam anggapannya terhadap mereka. Kesalahan anggapan tersebut karena adanya riwayat bahwa mereka tidaklah berwudhu karena memakan sesuatu yang dimasak.
Padahal yang dimaksud menurut mereka adalah keberadaan sesuatu yang dimasak bukan sebagai satu sebab diwajibkannya berwudhu. Sementara itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan berwudhu karena makan daging unta, bukan karena daging unta ini telah dimasak. Sebagaimana dikatakan: Fulan tidak perlu berwudhu karena menyentuh kemaluannya, walaupun dalam satu keadaan wajib baginya untuk berwudhu setelah menyentuh kemaluannya apabila keluar madzi dari kemaluannya.” (Sebagaimana dinukilkan dari Tamamul Minnah hlm. 105)
Menyentuh kemaluan (dzakar)
Dari Busrah bintu Shafwan radhiallahu ‘anha, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Apabila salah seorang dari kalian menyentuh dzakarnya, hendaklah ia berwudhu.” ( HR. Abu Dawud no. 154, dinyatakan sahih oleh al-Imam Ahmad, al-Bukhari, Ibnu Ma’in dan selainnya. Kata al-Imam al-Bukhari rahimahullah, “Hadits ini paling sahih dalam bab ini.” Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 174)
Dalam riwayat at-Tirmidzi rahimahullah disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَ يُصَلِّ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Siapa yang menyentuh kemaluannya, janganlah ia shalat sampai berwudhu.”
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata tentang hadits ini, “Hadits sahih di atas syarat al-Bukhari dan Muslim.” (al-Jami’ush Shahih, 1/520)
Sementara Thalaq bin Ali radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seseorang yang menyentuh dzakarnya setelah ia berwudhu, apakah batal wudhunya? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
وَهَلْ هُوَ إِلاَّ بِضْعَةٌ مِنْهُ
“Bukankah dzakar itu tidak lain kecuali sebagian daging dari (tubuh) nya?” (HR. at-Tirmidzi no. 85 dan kata Ibnul Madini rahimahullah, “Hadits ini lebih baik daripada hadits Busrah.” Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakan sahih sanadnya dalam al-Misykat)
Dua hadits di atas menerangkan, yang pertama menetapkan menyentuh dzakar itu membatalkan wudhu, sementara hadits yang kedua menetapkan tidak membatalkan wudhu. Sebagaimana dua hadits di atas bertentangan makna secara zahirnya, dalam hal ini ada perselisihan pendapat di kalangan ulama.
Ini adalah pendapat Umar, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Aisyah, Saad bin Abi Waqqash, Atha, Urwah, az-Zuhri, Ibnul Musayyab, Mujahid, Aban bin Utsman, Sulaiman bin Yasar, Ibnu Juraij, al-Laits, al-Auza’i, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Malik dalam pendapatnya yang masyhur, dan selain mereka.
Mereka berdalil dengan hadits Busrah. (Sunan Tirmidzi 1/56; al- Mughni 1/117; al-Muhalla, 1/223; Nailul Authar, 1/282)
Di antara yang berpegang dengan hadits ini ialah ‘Ali, Ibnu Mas’ud, ‘Ammar bin Yasir, Hudzaifah, Abud Darda, ‘Imran bin Hushain, al-Hasan al-Bashri, Rabi’ah, ats-Tsauri, Abu Hanifah dan murid-muridnya, serta selain. (Sunan at-Tirmidzi, 1/57; al-Mughni, 1/117; Nailul Authar, 1/282)
Di antara yang berpendapat demikian ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan yang lainnya. Mereka menyatakan, apabila menyentuhnya dengan syahwat[5], hendaknya dia berwudhu dengan (dalil) hadits Busrah; dan kalau menyentuhnya tanpa syahwat, tidak mengapa hanya saja disenangi baginya berwudhu[6], dengan (dalil) hadits Thalaq.
Pendapat inilah yang penulis pilih sebagai pendapat yang rajih, walaupun pendapat yang pertama menurut pandangan penulis adalah pendapat yang juga kuat yang banyak dipilih dan dibela oleh ahlul ilmi, seperti al-Imam ash-Shan’ani (di dalam Subulus Salam, 1/104), al-Imam asy-Syaukani rahimahullah (Nailul Authar, 1/283; ad-Darari al-Mudhiyyah hlm. 36), dan yang lainnya.
Namun, penulis lebih condong pada pendapat yang ketiga, wallahu ta’ala a’lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah.
Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘Hanyalah dzakar itu bagian dari (tubuh)mu’, di dalamnya ada isyarat yang lembut bahwa menyentuh dzakar yang tidak dibarengi syahwat tidak mengharuskan wudhu, karena menyentuh dalam keadaan yang seperti ini sama halnya dengan menyentuh anggota tubuh yang lain.
Berbeda keadaannya apabila ia menyentuh dengan syahwat maka ketika itu tidak bisa disamakan dengan menyentuh anggota tubuh yang lain. Sebab, biasanya menyentuh anggota tubuh yang lain tidaklah dibarengi oleh syahwat. Ini adalah perkara yang jelas sebagaimana yang kita ketahui. Berdasarkan hal ini maka hadits: “Hanyalah zakar itu bagian dari (tubuh) mu” tidak bisa dijadikan dalil oleh mazhab Hanafi untuk menyatakan bahwa menyentuh dzakar tidaklah membatalkan wudhu secara mutlak. Namun, hadits ini adalah dalil bagi yang berpendapat bahwa menyentuh dzakar tanpa disertai syahwat tidak membatalkan wudhu.
Adapun bila menyentuhnya dengan syahwat, dapat membatalkan wudhu, dengan dalil hadits Busrah. Dengan demikian, terkumpullah dua hadits tersebut. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam sebagian kitabnya berdasarkan apa yang aku ketahui. Wallahu a’lam.” (Tamamul Minnah, hlm. 103)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Apabila seseorang menyentuh dzakarnya, disenangi baginya untuk berwudhu secara mutlak, sama saja apakah ia menyentuhnya dengan syahwat ataupun tidak. Apabila menyentuhnya dengan syahwat maka pendapat yang mengatakan wajib baginya berwudhu sangatlah kuat, namun hal ini tidak ditunjukkan secara zahir dalam hadits. Aku tidak bisa memastikan akan kewajibannya, namun demi kehati-hatian sebaiknya ia berwudhu.” (asy-Syarhul Mumti’, 1/234)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari
[1] Walaupun penulis menyadari bahwa pendapat yang mengatakan tidur secara mutlak juga kuat dalam masalah ini sebagaimana pendapat tersebut dikuatkan oleh al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah di dalam al-Muhalla (1/213) dan al-Imam al-Albani rahimahullah dalam Tamamul Minnah hlm. 99-103 dan silakan pembaca melihatnya. Namun yang menenangkan hati penulis adalah pendapat yang penulis rajihkan. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab wal ilmu ‘indallah.
[2] Hadits Shafwan yang dimaksud adalah,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَأْمُرْنَا إِذَا كَانَ سَفْرًا أَلاَّ نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ إِلاَّ مِنْ جَنَابَةٍ وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami, bila kami sedang safar agar tidak melepaskan khuf-khuf kami selama tiga hari tiga malam kecuali bila ditimpa janabah. Namun bila hanya buang air besar, kencing, dan tidur (tidak perlu melepaskannya).” (HR. At-Tirmidzi no. 96. Dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam al-Jami’us Shahih, 1/538)
[3] Seperti buang air kecil misalnya, banyak ataupun sedikitnya air seni tetaplah membatalkan wudhu.
[4] Diberitakan dari hadits Anas radhiallahu ‘anhu,
أَنَّ النَّبِيَّ احْتَجَمَ وَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dan shalat setelahnya tanpa berwudhu.” (HR. ad-Daraquthni 1/157 dan al-Baihaqi, 1/141)
[5] Karena dalam keadaan demikian ini sangat memungkinkan keluarnya madzi.
[6] Juga disenangi wudhu disini dalam rangka kehati-hatian, wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.