Barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah ‘azza wa jalla, niscaya Allah ‘azza wa jalla akan memberinya ganti dengan yang lebih baik.”
Inilah satu pelajaran penting yang bisa diambil dari kisah ini. Ketika Nabi Sulaiman ‘alaihissalam membunuh kuda-kudanya karena telah membuat lalai dari berzikir kepada Allah ‘azza wa jalla, Allah ‘azza wa jalla menggantinya dengan ditundukkannya angin dan setan bagi beliau.
Di antara pelajaran penting yang dapat diambil:
Allah ‘azza wa jalla ceritakan kepada beliau tentang hebatnya ibadah dan kesabaran umat sebelumnya dan tobat mereka. Semua itu akan membangkitkan keinginan untuk berlomba dengan mereka dalam mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla dan bersabar atas semua gangguan dari kaumnya.
Oleh karena itu, Allah ‘azza wa jalla menyebutkan di bagian awal surat Shad ucapan orang-orang yang mendustakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan gangguan mereka terhadapnya. Setelah itu Allah ‘azza wa jalla mengatakan,
“Bersabarlah atas segala apa yang mereka katakan; ingatlah hamba Kami Dawud yang mempunyai kekuatan. Sesungguhnya dia adalah orang awwab[1].” (Shad: 17)
yang mempunyai kekuatan. Sesungguhnya dia adalah orang awwab
adalah pujian agung dari Allah ‘azza wa jalla terhadap orang yang mempunyai kedua sifat ini, yaitu kekuatan jasmani dan ruhani untuk tetap taat kepada Allah ‘azza wa jalla dan senantiasa kembali kepada Allah ‘azza wa jalla, lahir dan batin.
Semua ini mengandung konsekuensi (tuntutan) keharusan mencintai-Nya dan mengenal-Nya secara sempurna. Kedua sifat ini memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan sempurna.
Adapun yang ada pada para pengikut mereka, sesuai dengan sejauh mana mereka mengikuti atau menjadikan para nabi itu sebagai teladan yang baik bagi mereka.
Pujian yang Allah ‘azza wa jalla berikan kepada dua sifat ini menunjukkan dorongan untuk menjalankan semua sebab yang akan menumbuhkan kekuatan dan inabah tersebut. Selain itu, menunjukkan dorongan agar seorang hamba senantiasa mau kembali kepada Allah ‘azza wa jalla dalam setiap keadaan, susah ataupun senang.
Semua ini menjadi tambahan kemuliaan dan derajatnya yang tinggi.
Firman Allah ‘azza wa jalla
“Dan Kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan masalah.” (Shad: 20)
Namun, Allah ‘azza wa jalla sudah lebih dahulu dengan sifat-Nya Yang Maha Halus memberikan tobat dan inabah kepada mereka.
Di sanalah beliau menyibukkan diri beribadah kepada Rabbnya. Beliau juga menyediakan waktu khusus bagi kepentingan rakyatnya. Dengan demikian, beliau benar-benar telah menunaikan hak Allah ‘azza wa jalla secara sempurna sekaligus hak para hamba Allah ‘azza wa jalla.
Sebab, kedua “laki-laki” yang berselisih itu masuk menemui Nabi Dawud justru pada waktu yang tidak biasanya. Bahkan, bukan melalui pintu yang telah disediakan sehingga hal itu memberatkannya. Ini bukanlah suatu hal yang pantas dilakukan.
Meskipun demikian buruk adab sopan santun dari orang-orang yang mengadukan perselisihan mereka, tidak sepantasnya pula seorang hakim menolak untuk mengadilinya. Ini memperlihatkan betapa besarnya sifat santun beliau. Beliau tidak marah kepada keduanya meskipun menemuinya tanpa izin. Bahkan, tidak pula beliau menghardik dan mencela mereka.
Hal ini disebutkan dalam ayat,
“Salah seorang dari kami berbuat zalim terhadap yang lain.”
Seharusnya dia justru segera menerima nasihat itu dan berterima kasih kepada yang menasihatinya. Dia juga memuji Allah ‘azza wa jalla yang telah menunjukkan kepadanya seseorang yang menasihatinya.
Nabi Dawud ‘alaihissalam sama sekali tidak merasa enggan menerima tuntutan dari kedua orang yang berselisih itu. Mereka meminta kepada beliau,
“Maka berilah keputusan di antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus.” (Shad: 22)
Beliau pun menetapkan keputusan benar-benar sesuai dengan kebenaran.
Tidak ada yang dapat menepis penyakit ini kecuali ketakwaan, kesabaran, dan keimanan, serta amal saleh. Namun, hal ini sangat sedikit ditemukan di tengah-tengah kehidupan manusia.
Hendaknya jangan ada yang menyangka bahwa apa yang dialami keduanya mengurangi derajat keduanya di sisi Allah ‘azza wa jalla (justru sebaliknya). Hal ini merupakan kesempurnaan sifat Allah ‘azza wa jalla yang Mahahalus terhadap hamba-hamba-Nya yang ikhlas. Allah ‘azza wa jalla mengampuni dosa-dosa mereka dan menghapus bekas-bekas dosa tersebut, bahkan mencabutnya dari hati setiap hamba-Nya. Semua itu tidaklah berat bagi Allah Yang Maha Pemurah.
Ini adalah tugas dan wewenang para rasul Allah dan para hamba-Nya yang istimewa. Yang berlaku adalah penetapan hukum berdasarkan al-haq dan tidak mengikuti hawa nafsu.
Ia juga harus memahami bagaimana memasukkan masalah tersebut ke dalam ketetapan-ketetapan syariat secara umum.
Adapun orang yang jahil (bodoh) dan tidak memiliki ilmu tentang salah satu dari kedua hal ini, tidak halal baginya untuk maju memberi keputusan di antara manusia.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan Kami karuniakan Sulaiman kepada Dawud, dia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia adalah seorang yang awwab.” (Shad: 30)
Ini adalah pujian paling utama dan kebanggaan paling besar bagi Sulaiman.
Allah menganugerahkan akhlak yang begitu indah dan (kemauan untuk mengerjakan) amalan saleh kepada mereka. Kemudian Allah ‘azza wa jalla memuji mereka dan menyediakan bermacammacam pahala hasil dari kebaikan tersebut.
Ini menunjukkan bahwa Allah ‘azza wa jalla satu-satu-Nya yang memberi karunia dengan menyediakan semua sebab dan akibatnya.
Beliau lebih suka membunuh kuda-kuda kesayangannya yang telah membuatnya lupa berzikir mengingat Allah ‘azza wa jalla sampai matahari tenggelam. Ini menunjukkan bahwa semua yang menyibukkan seseorang (sehingga lupa) untuk taat kepada Allah ‘azza wa jalla adalah tercela. Maka dari itu, hendaklah dia meninggalkan kesibukannya itu dan segera berpaling kepada sesuatu yang jelas lebih bermanfaat baginya.
Setelah Nabi Sulaiman membunuh kuda-kudanya yang terbaik yang telah melalaikannya dari mengingat Allah ‘azza wa jalla, kemudian Allah ‘azza wa jalla tundukkan baginya angin yang berembus dan setan-setan.
Dari kisah ini kita lihat alangkah tingginya pelajaran yang disebutkan dalam kaidah ini, “Barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah ‘azza wa jalla , niscaya Allah ‘azza wa jalla akan memberinya ganti dengan yang lebih baik.”
Ditundukkannya angin dan para setan dengan cara sedemikian rupa bagi Nabi Sulaiman, tidaklah berlaku bagi siapa pun sesudah beliau.
Oleh sebab itulah, ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menangkap setan yang mengganggu shalatnya pada suatu malam dan ingin mengikatnya di tiang mesjid, beliau berkata, “Saya teringat doa saudaraku Sulaiman. Akhirnya saya lepaskan dia.”
Berbeda halnya dengan nabi yang hanya seorang hamba Allah ‘azza wa jalla yang biasa. Dia tidak mempunyai keinginan yang bebas. Kehendak atau keinginannya senantiasa mengikuti apa yang diinginkan oleh Allah ‘azza wa jalla atas dirinya. Dia tidak mengerjakan atau meninggalkan sesuatu melainkan karena mengikuti perintah, seperti keadaan Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di dalamnya terdapat berbagai hal yang tidak mungkin dicapai (walaupun) dengan sebab-sebabnya. Semua itu tidak lain adalah karena takdir Allah, Raja yang Maha Pemberi.
Misalnya, angin dan setan-setan yang ditundukkan oleh Allah mengikuti perintah Nabi Sulaiman, serta balatentara yang dihimpun dalam pasukan beliau dari manusia, jin, dan burung. Bahkan, burung-burung itu benar-benar memberikan pelayanan begitu besar kepada beliau. Mereka dikirim ke beberapa penjuru untuk mendapatkan berita tentang keadaan daerah tersebut.
Allah ‘azza wa jalla telah memberi burung-burung itu pemahaman tentang keadaan manusia sebagaimana disebutkan dalam kisah ini. Demikian pula orang yang dianugerahi ilmu dari al-Kitab ketika dia menyatakan siap mendatangkan singgasana Ratu Saba sebelum Nabi Sulaiman mengedipkan matanya.
Inilah mukjizat (ayat) para nabi. Maka dari itu, setinggi apapun ilmu yang dipelajari oleh manusia dan kemahirannya membuat sesuatu yang baru, mereka tidak akan mencapai tingkatan seperti yang dianugerahkan oleh Allah ‘azza wa jalla kepada Nabi Sulaiman.
Tidak hanya sekedar bertanya, tetapi juga mempelajari dan menguji perhatian serta pemahaman mereka terhadap suatu masalah. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman.
Hal ini sangat besar manfaatnya karena mereka jelas amat membutuhkan hal ini. Apalagi suatu kerajaan akan semakin sempurna apabila di sekitarnya adalah orang-orang yang mempunyai pemikiran sempurna.
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib
[1] Orang yang suka bertobat.