Al-Ustadz Muhammad Afifuddin
Dalam surat an-Nur ayat 31, tatkala Allah Subhanahu wata’ala melarang kaum wanita menampakkan perhiasannya kepada orang lain, AllahSubhanahu wata’ala mengecualikan,
أَوۡ نِسَآٮِٕهِنَّ
“Atau wanita-wanita mereka.”
Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan, “Maksudnya, seorang wanita menampakkan perhiasannya kepada wanita-wanita muslimah….”
Pakaian Wanita di Hadapan Wanita Lain
Pendapat yang rajih dalam masalah ini adalah wanita diperbolehkan memperlihatkan kepada wanita lain bagian di atas pusar dan di bawah lutut. Adapun antara pusar dan lutut tidak diperbolehkan. Ini adalah mazhab Hanbali, Syafi’i, serta dirajihkan oleh asy-Syaikh Ibnu Baz, asy-Syaikh Muqbil, dan sejumlah ulama yang lain. (al-Fatwa fi Zinati binti Hawa, hlm. 96—102)
Pendapat yang rajih dalam masalah ini, tidak ada perbedaan antara wanita muslimah dan wanita kafir. Al-‘Allamah asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan, “Pendapat yang sahih, seorang wanita diperbolehkan menampakkan yang di atas pusar dan di bawah lutut di hadapan wanita lain, baik muslimah maupun kafirah. Adapun antara pusar dan lutut, termasuk aurat yang tidak boleh diperlihatkan kepada siapa pun. Seorang wanita tidak boleh melihatnya dari wanita lain, baik muslimah maupun kafirah, orang dekat maupun jauh, sebagaimana halnya aurat lelaki di hadapan lelaki lainnya. Seorang wanita diperbolehkan melihat bagian dada, kepala, betis dan semisalnya dari wanita lainnya, sebagaimana seorang lelaki boleh melihatnya dari lelaki lainnya bagian dada, kepala, dan betisnya. Adapun pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa muslimah tidak boleh menampakkan (bagian tersebut) di hadapan wanita kafir, adalah pendapat yang lemah menurut yang sahih dari dua pendapat ulama.
Sebab, para wanita Yahudi dan wanita penyembah berhala di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam biasa masuk menemui para istri Nabi n untuk menunaikan keperluan. Tidak ada juga (riwayat) yang menyebutkan bahwa para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berhijab dari mereka, padahal istriistri beliau adalah wanita yang paling bertakwa dan paling mulia.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 5/44. Lihat al-Fatwa hlm. 99 dan al-Mausu’ah al-Baziiyah 3/1498—1501)
Pertanyaan: “Kebanyakan wanita menyebutkan bahwa aurat wanita di hadapan wanita lain adalah dari pusar sampai lutut. Ada sebagian wanita tidak canggung memakai pakaian ketat atau terbuka (di hadapan wanita lain, -pen.) hingga tampak secara luas bagian dada dan kedua telapak tangannya. Apa komentar Anda?”
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjawab, “Yang dituntut dari seorang muslimah adalah memiliki rasa malu, menjadi teladan yang baik bagi wanita muslimah yang lain, dan tidak menampakkan di hadapan kaum wanita selain yang biasa tampak di tengah-tengah wanita salehah (yang taat beragama). Ini yang lebih utama dan lebih berhati-hati. Sebab, bermudah-mudah menampakkan sesuatu yang tidak perlu ditampakkan akan mendorong muslimah bermudah-mudah dalam membuka auratnya yang diharamkan. Wallahu a’lam.” (al-Muntaqa min Fatawa al- Fauzan 3/461)
Pakaian Wanita di Hadapan Mahram
Adapun di hadapan mahramnya, ada dua pendapat yang masyhur di kalangan ulama. Jumhur (mayoritas) ulama berpandangan, di hadapan mahram, wanita boleh memperlihatkan apa yang di atas pusar dan di bawah lutut sebagaimana halnya di hadapan wanita yang lain. Sementara itu, sebagian ulama menyatakan, yang boleh ditampakkan adalah bagian-bagian yang biasa tampak, seperti kepala, leher, telapak kaki, tangan, dan semisalnya, serta tidak menampakkan sebagian yang biasa tertutup, seperti dada, punggung, dan semisalnya. Al-‘Allamah al-Muhaddits Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah menjelaskan, “Adapun di hadapan mahramnya, wanita (boleh) menampakkan anggota wudhunya, seperti tangan hingga lengan (bahkan) sampai ketiak. Begitu juga kaki hingga kedua mata kaki sampai pertengahan betis. Wanita juga diperbolehkan menyusui bayinya di samping ayah dan saudara laki-lakinya, apabila aman dari fitnah, wallahul musta’an.” (Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah hlm. 285, tartib: al- Mashra’i. Lihat al-Fatwa hlm. 100)
Al-‘Allamah al-Faqih Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ketika kita berpendapat bahwa wanita boleh menampakkan bagian ini dan itu, tidak berarti pakaiannya hanya sebatas itu. Maksudnya, apabila seorang wanita memakai pakaian (panjang) sampai mata kaki lalu terlihat kedua betisnya karena kesibukan atau yang lainnya, dia tidak berdosa apabila yang di sisinya hanya ada mahramnya atau wanita lain. Adapun pakaian ini, kita larang dan kita peringatkan.
Demikian pula sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Janganlah seorang wanita melihat aurat wanita yang lain.’
Ini tidak berarti bahwa seorang wanita diperbolehkan memakai sesuatu yang hanya menutupi antara pusar dan lututnya. Tidak ada seorang pun yang berpandangan demikian. Yang dimaksud adalah tatkala seorang wanita memakai pakaian longgar dan panjang, lantas tersingkap bagian dada atau betisnya, maka wanita lain tidak diharamkan melihatnya. Contohnya, ada seorang wanita menyusui bayinya dan terlihat payudaranya karena menyusui.
Kita tidak menyatakan kepada wanita lain, ‘Haram hukumnya engkau melihat payudaranya,’ sebab bukan termasuk aurat. Adapun wanita yang mengatakan, ‘Aku tidak akan memakai sesuatu kecuali celana yang menutupi antara pusar dan lutut,’ tidak ada seorang pun yang berpendapat demikian. Hukumnya tidak boleh.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa pakaian wanita sahabat di zaman dahulu adalah dari pergelangan tangan sampai mata kaki. Ini ketika mereka di rumah.
Apabila mereka keluar ke pasar, sudah diketahui dari hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bahwa wanita memanjangkan pakaiannya. Rasulullah n juga membolehkan wanita memanjangkan pakaiannya satu hasta supaya tidak terlihat kedua telapak kakinya bila berjalan.” (Majmu’ As-ilah Tahummu al-Usrah al-Muslimah, lihat al-Fatwa hlm. 100—101) Kaum wanita juga tidak diperbolehkan memakai pakaian ketat atau pakaian mini walaupun di hadapan wanita lain atau mahram dan anaknya sendiri karena termasuk menampilkan aurat selain di hadapan suaminya. (lihat Muntaqa Fatawa al-Fauzan 3/475)
PAKAIAN WANITA DI HADAPAN BUDAKNYA
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa budak lelaki sama seperti mahram bagi seorang wanita. Jadi, dia boleh melihat tuannya seperti mahram melihatnya. Namun, sebagian ulama memberi ketentuan apabila diperlukan. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam membawakan untuk Fatimah radhiyallahu ‘anha seorang budak lelaki yang beliau hibahkan untuknya. Anas berkata, “Fatimah memiliki pakaian yang apabila ditutupkan pada bagian kepalanya, kakinya tidak tertutupi. Apabila ditutupkan pada kakinya, kepalanya terlihat. Tatkala melihat kerepotan putrinya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّهُ لَيْسَ عَلَيْكِ بَأْسٌ إِنَّمَا هُوَ أَبُوكِ وَغُلاَمُكِ
‘Tidak apa-apa, orang yang (engkau malu padanya) hanyalah ayah dan budak lelakimu.’ (HR. Abu Dawud no. 4106 dengan sanad hasan)”
Al-‘Allamah Muhammad Syamsul Haq al-‘Azhim Abadi rahimahullah menjelaskan, “Di dalam hadits ini terdapat dalil yang membolehkan seorang budak lelaki melihat tuan perempuannya dan budak tersebut seperti mahramnya, (boleh) bersendiri dengannya, safar bersamanya, dan melihat darinya apa yang dilihat oleh mahramnya. Ini adalah pendapat ‘Aisyah, Sa’id bin Musayyib, salah satu pendapat asy-Syafi’i, ulama mazhab Syafi’i, dan mayoritas salaf….” (Aunul Ma’bud 11/129)
Namun, perlu diperhatikan bahwa hukum ini khusus bagi budak dan tidak berlaku untuk pembantu, pelayan, dan karyawan lelaki karena mereka bukanlah budak. Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan menjelaskan, “Sopir dan pembantu lelaki hukumnya seperti lelaki bukan mahram yang lainnya. Seorang wanita wajib berhijab dari keduanya apabila bukan mahramnya. Seorang wanita tidak boleh menampakkan aurat dan berduaan dengannya karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Tidak ada seorang laki-laki yang berduaan dengan wanita melainkan yang ketiga adalah setan’.” Seorang wanita tidak boleh menaati ibunya atau yang lain dalam hal bermaksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala. (Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah tartib Abu Malik hlm. 357)
PAKAIAN WANITA DI HADAPAN ANAK KECIL YANG TIDAK MEMAHAMI WANITA DAN AURATNYA
Allah Subhanahu wata’ala berfirman tentang pihak yang dikecualikan dari larangan wanita menampakkan perhiasannya,
أَوِ ٱلطِّفۡلِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يَظۡهَرُواْ عَلَىٰ عَوۡرَٲتِ ٱلنِّسَآءِۖ
“Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” (an-Nur: 31)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam tafsirnya, “Yakni (diperbolehkan) karena mereka masih kecil, tidak paham kondisi dan aurat wanita, baik suaranya yang merdu (halus) maupun gemulainya dalam berjalan, bergerak, dan diam.” Apabila dia masih kecil, tidak paham itu semua, tidak mengapa masuk menemui wanita. Namun, apabila dia hampir baligh atau mendekati (usia) itu sehingga paham hal-hal di atas dan bisa membedakan wanita yang cantik dan tidak, tidak dibolehkan menemui wanita yang bukan mahramnya.
PAKAIAN WANITA DI HADAPAN SUAMINYA
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِفُرُوجِهِمۡ حَـٰفِظُونَ (٥) إِلَّا عَلَىٰٓ أَزۡوَٲجِهِمۡ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَـٰنُہُمۡ فَإِنَّہُمۡ غَيۡرُ مَلُومِينَ (٦) فَمَنِ ٱبۡتَغَىٰ وَرَآءَ ذَٲلِكَ فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡعَادُونَ (٧)
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istriistri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (al-Mukminun: 5—7)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dari satu bejana.” (HR. al-Bukhari no. 250 dan Muslim no. 319)
Dari Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya, Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Wahai Rasulullah, aurat kami, apa yang boleh kami lakukan, apa pula yang tidak boleh?” Beliau menjawab,
اخْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِيْنُكَ
“Jagalah auratmu kecuali dari istri dan budak wanitamu.” ( HR. Abu Dawud no. 4017, at-Tirmidzi no. 2769, Ibnu Majah no. 1920, dan Ahmad 5/3 dengan sanad hasan)
Argumen di atas menunjukkan, tidak ada batasan aurat antara pasangan suami istri. Masing-masing boleh menampakkan dan melihat seluruh badan pasangannya dengan syahwat ataupun tidak. Masing-masing boleh memakai atau melepas pakaian apa pun. Masing-masing boleh berhias dengan ragam dandanan dan hiasan dengan ketentuan:
a. Tidak ada unsur pelanggaran syariat.
b. Tidak ada unsur tasyabuh dengan orang kafir.
c. Tidak ada unsur tasyabuh dengan lawan jenis.
Wallahu a’lam.
Penutup
Kami tutup pembahasan ini dengan sebuah pertanyaan yang diajukan kepada asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, “Apakah benar seorang insan akan dihisab pada hari kiamat nanti tentang pakaian yang dia kenakan?” Beliau menjawab, “Benar. Dia (juga) akan ditanya tentang hartanya, dari mana dia peroleh dan untuk apa dibelanjakan, sebagaimana tersebut dalam hadits yang mulia.” (Fatawa Islamiyah 4/169. Lihat al-Mausu’ah al-Baziah 3/1540)
Semoga Allah Subhanahu wata’ala membimbing kita, keluarga, dan putra-putri kita kepada jalan yang benar dalam segala aspek kehidupan kita. Wallahul muwaffiq lish-shawab.
PENGABURAN MAKNA JILBAB
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah al-Imam dalam kitabnya, Ma’rakatul Hijab, menjabarkan secara panjang lebar misi dan makar besar musuh agama dalam memerangi hijab. Beliau menyebutkan tiga langkah yang mereka tempuh.
1. Memerangi hijab dengan ucapan dan pena.
Mereka mengerahkan media cetak, elektronik, dan lainnya untuk menyebarkan syubhat-syubhat yang membuat kaum muslimin, terkhusus kaum hawa, fobia terhadap hijab dan merasa bangga dengan gaya hidup bebas tanpa aturan agama.
2. Memerangi hijab dengan kekerasan dan teror.
Ketika langkah pertama tidak mendapatkan hasil yang memuaskan walaupun memakan banyak korban di kalangan muslimin, mereka melakukan langkah berikutnya, yaitu memerangi hijab dengan kekerasan. Di antara cara yang mereka lakukan adalah:
• Membuat undang-undang resmi negara yang melarang wanita memakai hijab. Yang melanggar akan diadili dan dihukum.
• Memerintahkan pihak keamanan untuk melepas paksa jilbab dan hijab yang dikenakan oleh wanita muslimah. Ini mereka lakukan di tempat-tempat umum dan di jalan-jalan, sebagai bentuk penghinaan terhadap hijab muslimah.
• Melarang pelajar dan guru muslimah yang berhijab memasuki tempat studi mereka, serta mengusir pelajar dan guru yang berhijab dari sekolah.
• Melarang seluruh pegawai negeri (pemerintahan) dan militer keluar ke jalan-jalan atau ke tempat umum dengan membawa serta wanita berhijab, walaupun itu adalah istri, ibu, putri, dan saudarinya sendiri. Orang pertama yang melakukan hal ini adalah Musthafa Kamal di Turki, pada 1926 M. Tindakannya diikuti oleh yang lainnya, seperti Syah Ridha Bahlawi di Iran, juga pada 1926 M, Muhammad Aman di Afganistan, Habib Baurqibah, penguasa Tunisia pada 1956 M, Gamal Abdul Nashir di Mesir, dan yang lainnya.
3. Memerangi hijab dengan cara mengubah modelnya
Ini adalah upaya terakhir yang mereka lakukan setelah upaya sebelumnya menuai protes dan reaksi keras dari ulama dan tokoh Islam. Tujuan dan target mereka adalah mengubah secara perlahan makna dan hakikat jilbab dan hijab yang syar’i hingga menjadi jilbab dan hijab fitnah. Mereka pun bisa memperdaya kaum muslimah tanpa ada protes dan reaksi. Atas nama mode dan perkembangan zaman, mereka membelokkan jilbab dan hijab menjadi ragam bentuk dan model. Muncullah jilbab dan hijab warna-warni, satu hijab dengan dua sampai empat warna. Tampil pula mode baru yang mengklasifikasi fungsi hijab; ada hijab sekolah, hijab kuliah, hijab kerja, hijab dokter, hijab pengantin, dan hijab santai, bahkan hijab untuk begadang dan hijab belasungkawa.
Ditambah lagi dengan hiasan-hiasan hijab yang beragam, potongan hijab yang ketat dan kecil hanya menutupi kepala dan leher. Semua ini mengubah hakikat hijab yang syar’i. Langkah ini tampaknya berjalan mulus. Hampir tidak ada penentangan dari kaum muslimin. Bahkan, kaum hawa era sekarang justru tersibukkan oleh model hijab modern ini. Padahal, secara syar’i, bentuk yang ada sekarang tidak bisa lagi dikatakan hijab, tetapi pakaian fitnah. Apalagi ketika sang wanita mengenakan atasan ketat dipadu dengan jeans ketat yang membentuk lekuk tubuh. (Lihat Majmu’ Rasail Ilmiyah wa Da’awiyah hlm. 359—394, asy-Syaikh al-Imam, cet. I, Darul Atsar, Shan’a, 2012 M/1433 H)
MELURUSKAN ISTILAH SEPUTAR JILBAB & HIJAB
Ada beberapa istilah syar’i yang harus dipahami dalam masalah ini. Di antaranya adalah:
1. Jilbab جِلْبَابٌ
Ada tujuh pendapat di kalangan ulama tentang maknanya. Pendapat yang rajih (kuat) adalah kain yang digunakan oleh wanita menutupi badannya di atas pakaiannya. Al-Baghawi rahimahullah dalam Tafsir-nya menyatakan, “Jilbab adalah kain yang digunakan oleh wanita menutupi badannya di atas dir’ (gamis) dan khimar-nya.” (Tafsir al-Baghawi 3/544, al-Ahzab: 59) Pernyataan senada juga disampaikan oleh al-Qurthubi rahimahullah dan Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya. Asy – Syaikh al – Albani rahimahullah menyatakan, “Bisa jadi, yang dimaksud adalah ‘aqaah yang biasa dipakai oleh wanita Nejed dan Irak saat ini.” (Jilbab al-Mar’atul Muslimah hlm. 83)
2. Khimar خِمَارٌ
Maknanya adalah (kerudung) yang digunakan untuk menutup kepala, demikian disebutkan dalam an-Nihayah Ibnul Atsir, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir asy- Syaukani, Mishbahul Munir al-Fayumi, dan yang lainnya. Ibnu Hajar t dalam al-Fath 8/490 menyatakan, “Khimar bagi wanita kedudukannya seperti imamah (serban) bagi lelaki.” Asy – Syaikh al – Albani rahimahullah menegaskan, “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini.” (Jilbab al-Mar’atul Muslimah hlm. 72) Terkadang khimar juga dipakai menutupi wajah, namun bukan sebagai suatu kebiasaan dan kelaziman.
3. Hijab حِجَابٌ
Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali al-Fayumi al-Muqri rahimahullah menjelaskan, “Makna asal hijab adalah benda yang memisahkan antara dua jasad.” (Mishbahul Munir, al-Fayumi hlm. 121) Dalam istilah berpakaian, hijab adalah sesuatu yang menghalangi lelaki melihat wanita, baik satir (tirai), tembok, pintu, maupun pakaian yang menutupi seluruh tubuh. Asy – Syaikh al – Albani rahimahullah menjelaskan, “Setiap jilbab adalah hijab dan tidak setiap hijab disebut jilbab….” (Jilbab hlm. 21) Beliau lalu menukil pernyataan Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Ayat jilbab (al-Ahzab ayat 59, -pen.) ketika keluar dari rumah, sedangkan ayat hijab (al-Ahzab ayat 53, -pen.) ketika berbincang di dalam rumah.” (Jilbab hlm. 21)
4. Dir’un دِرْعٌ
Al-Fayumi t dalam Mishbakhul Munir al-Fayumi (hlm. 192) menukil penjelasan Ibnul Atsir rahimahullah bahwa dir’un bagi wanita adalah gamisnya. Lihat juga Mukhtar ash-Shihah (hlm. 113) karya Muhammad bin Abi Bakr ar-Razi rahimahullah. Ketika keluar rumah atau di hadapan lelaki yang bukan mahramnya, wanita muslimah dianjurkan memakai dir’un (gamis) panjang yang menutupi tubuh dan kedua telapak kakinya. Boleh juga sampai isbal sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Lebih bagus lagi jika dia memakai kaos kaki, dan lebih sempurna lagi apabila dia memakai celana panjang khusus wanita karena lebih menutupi aurat.
Adapun bagian atas tubuhnya dia tutup dengan khimar (kerudung) lalu ditambah jilbab panjang di atasnya yang menutup anggota tubuhnya. Bahkan, asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berpendapat wajib bagi wanita memakai jilbab dan khimar sekaligus. Beliau mengatakan, “(Pendapat) yang benar sesuai dengan konsekuensi pengamalan ayat 31 surat an-Nur dan ayat 59 surat al-Ahzab, adalah apabila seorang wanita keluar rumah, dia wajib memakai khimar (kerudung) lalu memakai jilbab di atas khimarnya. Sebab, hal ini lebih menutupi baginya sebagaimana yang telah kami jelaskan, dan jauh dari menampakkan bentuk kepala dan pundaknya….” (Jilbab hlm. 85)
Memadukan antara khimar dan jilbab bagi wanita yang keluar rumah tidak lagi diperhatikan oleh mayoritas wanita muslimah masa kini. Kenyataan yang ada, mereka terkadang hanya memakai jilbab saja atau khimar saja. Itu pun sering kali tidak secara sempurna menutupi, karena masih terlihat tengkuk, rambut ubunubun, atau lainnya yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wata’ala untuk ditampakkan.” (Jilbab hlm. 85)
Apakah wanita muslimah harus memakai abaya? Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjawab, “Yang dituntut adalah menutup (aurat), baik itu abaya maupun yang lainnya. Apabila masyarakat Anda memiliki pakaian panjang dan lebar yang biasa mereka pakai untuk menutup aurat, seperti ajillah atau semisalnya, tercapailah maksudnya. Tidak dipersyaratkan harus abaya. Setiap masyarakat mempunyai model pakaian dan kebiasaan.” (Lihat al-Mausu’ah al-Baziah 3/1543)