Asysyariah
Asysyariah

noda-noda hitam dalam pernikahan

13 tahun yang lalu
baca 6 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman)

Masa Jahiliah
Pernikahan sebelum datangnya Islam telah ada, namun nyata-nyata bertentangan dengan syariat Islam. Rasulullah n pun telah menghapus segala bentuk pernikahan jahiliah dan menetapkan yang sesuai dengan Islam. Telah diceritakan oleh Aisyah x sebagaimana dalam riwayat al-Imam al-Bukhari di dalam Shahih-nya (no. 4834). Beliau x berkata, “Pernikahan di masa jahiliah ada empat bentuk:
1. Pernikahan seperti yang kita kenal sekarang ini. Seorang lelaki datang mengkhitbah (melamar) kepada wali wanita atau kepada wanitanya, lalu sepakat untuk kemudian melangsungkan pernikahan.
2. Seorang suami berkata kepada istrinya, ‘Bila engkau telah suci dari haid maka pergilah engkau ke fulan dan berhubunganlah engkau dengannya!’ Suami tersebut menjauhi istrinya dan tidak menggaulinya sampai istrinya benar-benar hamil dari laki-laki tersebut. Jika benar-benar hamil dan dia menyukainya, dia terima. Hal ini dia lakukan supaya mendapatkan anak bangsawan.
Pernikahan ini disebut dengan nikah istibdha’.
3. Beberapa lelaki berkumpul untuk mendatangi seorang wanita. Jika wanita tersebut hamil dan melahirkan, setelah berlalu beberapa malam dari melahirkan, semua lelaki itu tidak boleh menolak untuk dikumpulkan di hadapan wanita tersebut. Wanita itu berkata, ‘Kalian sudah mengetahui perkaranya dan (bayi) telah lahir. Dia adalah putramu (menunjuk seseorang yang diinginkan oleh wanita tersebut).’
Kemudian anak itu diikutkan kepadanya dan laki-laki tersebut tidak boleh menolak.
4. Seorang wanita didatangi oleh banyak lelaki dan wanita tersebut tidak boleh menolak siapa pun yang datang kepadanya. Mereka adalah wanita-wanita pelacur. Mereka memasang tanda pengenal (bendera). Jika hamil dan melahirkan, mereka—para lelaki—yang mendatanginya berkumpul, lantas melihat bayinya mirip dengan siapa. Jika mereka menemukan (kemiripan), mereka ikutkan kepadanya (laki-laki yang paling mirip) dan dia (sang laki-laki) tidak bisa menolaknya.
Tatkala Allah l mengutus Rasulullah n, beliau menghapus segala bentuk pernikahan tersebut kecuali pernikahan seperti sekarang ini.”
Di sisi lain, kaum jahiliah dengan kesyirikan yang mereka perbuat meyakini lebih banyak hal, terkhusus tentang pernikahan. Mereka meyakini adanya hari-hari dan bulan yang mengandung banyak kejelekan atau kesialan. Akhirnya, mereka meyakini jika menikah pada hari atau bulan itu akan menuai kerugian dan kecelakaan. Di antara bentuknya, mereka meninggalkan segala bentuk aktivitas pada hari Rabu (Lihat Mausu’at Tauhid Rabbil’ Abid 5/56). Bahkan, mereka tidak melakukan pernikahan pada hari-hari antara dua ied (Idul Fitri dan Idul Adha). (Lihat Syarah Masail Jahiliah hlm. 214)
Mereka juga tidak melakukan aktivitas pernikahan pada bulan Syawwal, sebagaimana disebutkan oleh al-Imam Ibnu Rajab al-Hambali t. Mereka beranggapan, bulan tersebut mengandung kejelekan dan kesialan. Mereka juga tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu pada bulan Shafar karena menurut mereka, bulan Shafar mengandung segudang kesialan. Mereka menahan diri (menunda) untuk berpergian, melakukan perniagaan, dan membangun rumah tangga (pernikahan) pada waktu tersebut. (Lihat Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid 2/515 dan I’anatul Mustafid Bi Syarah Kitab Tauhid 2/9)

Pernikahan dalam Islam
Dalam pembahasan-pembahasan akidah dalam edisi yang telah lewat sering disinggung tentang meratanya amal kesyirikan dalam segenap lini kehidupan kaum muslimin. Tidak ada satu celah pun yang akan mengantarkan kepada untung dan rugi, bahagia dan sengsara, selamat dan celaka, baik dan buruk, melainkan ada amalan kesyirikan di sana.
Contohnya, ketika seseorang akan menimbang adanya untung dan rugi, melalui sebuah usaha perdagangan, pertanian, perternakan, dan sebagainya, semuanya akan berujung pada apa yang dipetuahkan sang dukun. Jika sang dukun mengatakan akan ada keuntungan besar dalam usaha ini, dia dengan penuh semangat berjuang dan berkorban untuk merealisasikannya. Jika sebaliknya, dia akan mengakhirkan langkah tanpa berpikir panjang.
Pernikahan yang jelas-jelas ada syariatnya dan jelas bimbingannya, mulai dari rencana sampai pelaksanaannya, sampai pun perjalanan hidup kedua insan telah ada aturannya dalam agama, tetap tidak lepas dari amalan-amalan kesyirikan. Saat seseorang ingin membangun rumah tangga, sang dukun menjadi pemutus semua perkara dalam pelaksanaannya, dari kapan waktu yang terbaik, tepat, dan menguntungkan, baik harinya maupun bulannya, baik penanggalan hijriah atau masehi, seolah-olah dukun mengetahui rahasia hidup setiap manusia. Semuanya jelas-jelas bertentangan dengan Islam.
Tidak luput juga terkait dengan calon yang akan dijadikan pasangan, sudah barang tentu akan meminta petuah sang dukun. Cocokkah? Layakkah? Akan mendatangkan kebahagiaan di kemudian hari atau malah mendatangkan marabahaya? Akan menguntungkan atau tidak? Akan menjadi orang kaya jika menikah dengannya atau malah menjadi miskin?
Sekali lagi, Allah l mereka anggap bukan lagi satu-satunya tempat mengadu dan mengeluh. Bahkan, ketika akad telah selesai, sang wanita tidak boleh masuk ke rumah sang lelaki melainkan didahului acara menyembelih di hadapan sang wanita, agar ketika memasuki rumah sang suami tidak terkena gangguan jin dan mata jahat. (Lihat al-Ighatsah Syarah Utsul Tsalatsah hlm. 23)
Jika Allah l menakdirkan hamil, ada acara mandi pada bulan ketujuh di sebuah tempat untuk mendapatkan keberkahan dan keselamatan serta agar janin tersebut terpelihara dari segala macam gangguan; yang diistilahkan oleh orang Jawa: mitoni.
Demikian pula memakai jimat-jimat ketika hamil, baik yang dipasang di tangan, kaki, maupun di pinggang, baik dari lingkaran benang maupun akar-akar kayu. Semuanya adalah perbuatan yang menyelisihi akidah yang benar.

Adat Istiadat
Segala bentuk penyimpangan dari akidah di atas, sangat ditopang oleh adat istiadat yang berlaku di sebuah daerah. Siapa pun yang akan melakukan pernikahan dipersyaratkan melalui tata cara adat tersebut. Jika ada yang mencoba menentangnya karena adat tersebut menyelisihi norma-norma agama, pernikahan itu bisa dibatalkan. Sampai sedemikan rupa kekuatan hukum adat dalam menata kehidupan manusia. Dari manakah sesungguhnya hukum adat tersebut?
Jika didalami dan dikaji, adat istiadat sesungguhnya merupakan aturan peninggalan para leluhur dan nenek moyang yang mengandung ketidakjelasan status agama dan keyakinan mereka. Jika dicermati dengan saksama, kita akan menemukan berbagai macam adat itu bermuara pada adat istiadat jahiliah sebagaimana contoh di atas, yaitu adanya anggapan sial dengan hari, bulan, dan tempat tertentu, lantas mengembalikan segala urusan hidup kepada paranormal alias dukun. Bahkan, bisa dikatakan banyak adat istiadat dalam kehidupan kaum muslimin yang banyak kemiripan dengan agama di luar Islam seperti agama Hindu dan Budha.
Saudaraku kaum muslimin, mari kita membersihkan segala bentuk amaliah kita dari noda-noda kesyirikan yang akan menghancurkan masa depan kita, baik di dunia maupun di akhirat. Allah l mengutus para rasul untuk melakukan perbaikan di muka bumi ini dan termasuk mandat yang pertama dan utama yang mereka emban dari Allah l adalah agar menyerukan kepada tauhidullah dan mengingkari segala bentuk kesyirikan.
Wallahu a’lam.