Kejadian kawin paksa tidak hanya milik masa lalu, tetapi juga pada masa kini pun masih terjadi. Lazimnya kawin paksa, perempuanlah yang dipaksa menikah oleh wali atau keluarganya dengan seorang lelaki yang tidak disukainya.
Padahal dalam urusan rumah tangga, terkait hubungan sepasang insan yang diikat dalam pernikahan, agama Islam dengan syariatnya mengusung segala faktor yang dapat melanggengkan kebersamaan dan menyuburkan cinta di antara keduanya.
Secara umum, upaya merealisasikan kelanggengan dan kebersamaan cinta tersebut tidak akan terwujud kecuali bila pernikahan itu dibangun di atas keridhaan kedua pihak, si lelaki dan si perempuan.
Yang sering menjadi pihak yang tidak diperhatikan dalam ‘urusan ridha’ ini adalah perempuan. Jadi, yang terjerat dalam masalah kawin paksa seringnya adalah perempuan. Jarang kita dengar ada lelaki yang menjalani kawin paksa. Bisa saja terjadi, tetapi lelaki dengan mudah melepaskan diri dari pernikahan yang tidak disukainya karena keputusan talak ada di tangannya.
Baca juga: Definisi dan Hukum Talak
Yang akan dibahas kali ini adalah perempuan yang dinikahkan secara paksa, bagaimana hukumnya?
Seorang perempuan yang akan menikah tidak lepas dari dua keadaan, masih gadis atau sudah janda; masih kecil atau sudah dewasa. Yang menikahkan si perempuan atau yang bertindak sebagai wali dalam pernikahannya, bisa jadi ayahnya atau wali-walinya selain ayah, seperti kakek (ayah dari ayah), saudara lelaki, paman dari pihak ayah, dst.
Apabila perempuan yang hendak dinikahkan telah balig dan berstatus janda, fuqaha empat mazhab, baik dari mazhab Hanafi[1], Maliki[2], Syafi’i[3], dan Hanbali[4], bahwa tidak sah ayahnya atau selain ayahnya untuk menikahkannya kecuali dengan keridhaannya. Dalil mereka adalah hadits-hadits berikut ini.
لاَ تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ.
“Janda tidak boleh dinikahkan sampai dia diajak musyawarah (dimintai pendapatnya). Gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izinnya.”
Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah izin seorang gadis?”
Rasulullah menjawab, “Dia diam (menunjukkan izinnya).” (HR. al-Bukhari no. 5136, 6946 dan Muslim no. 3458)
Seorang janda diajak bicara dalam urusan pernikahannya, sehingga ayah atau walinya yang lain tidak boleh menikahkannya kecuali dengan ridhanya. Demikian kesepakatan ulama, kecuali pendapat orang yang syadz/ganjil (menyelisihi pendapat yang lebih kuat). (Fathul Bari, 9/240)
Baca juga: Keistimewaan Pernikahan
الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا، وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صِمَاتُهَا
“Janda itu lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya, dan gadis dimintai izin terkait dirinya (saat hendak dinikahkan). Izinnya adalah diamnya.” (HR. Muslim no. 3461)
Apabila ayah atau pihak wali seorang janda hendak menikahkannya dengan lelaki yang sekufu dan si janda menolak, dia tidak boleh dipaksa. Sebaliknya, apabila si janda ingin menikah dengan lelaki yang sekufu dengannya dan pihak walinya menolak, pihak wali bisa dipaksa untuk menikahkannya. Apabila wali enggan menikahkannya, perwalian berpindah kepada wali hakim. (al-Minhaj, 9/208)
أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ ثَيِّبٌ فَكَرِهَتْ ذَلِكَ، فَأَتَتْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ نِكَاحَها
“Ayahnya menikahkannya dalam keadaan janda, sedangkan dia tidak menyukai pernikahan tersebut. Khansa mendatangi Rasulullah shalllallahu alaihi wa sallam guna mengadukan perkaranya. Rasulullah shalllallahu alaihi wa sallam menolak (yakni membatalkan) pernikahannya.” (HR. al-Bukhari no. 5138)
Ulama bersepakat, apabila berlangsung akad nikah tanpa keridhaan si janda, akad tersebut batal. Sebagian ulama mazhab Hanafi dan Maliki merinci, “Kecuali apabila si janda pada akhirnya membolehkan apa yang dilakukan walinya tersebut, akad yang sudah dilangsungkan sah. Apabila si janda tetap tidak setuju terhadap tindakan walinya, dia tidak boleh dipaksa.” (al-Mabsuth, karya Imam Syamsuddin Abu Bakr Muhammad as-Sarkhasi, 5/9)
Janda yang masih kecil adalah seorang perempuan menikah dalam usia muda, belum balig; tidak lama pernikahan tersebut berakhir dengan perceraian. Jadilah statusnya sebagai janda dalam keadaan masih belia, belum lagi balig. Setelah lepas dari masa iddah, walinya menikahkannya tanpa izinnya. Apa hukumnya?
Fuqaha terbagi dalam tiga pendapat:
Sebab, anak kecil tidak bisa diajak musyawarah untuk dimintai pendapatnya. Karena itu, walinya boleh menikahkannya dengan paksa. Demikian pendapat mazhab Hanafi[5], Maliki[6], dan salah satu pendapat mazhab Hanbali[7].
Demikian pendapat dalam mazhab Hanbali[8], dengan dasar sabda Nabi shalllallahu alaihi wa sallam yang sudah disebutkan sebelumnya,
لاَ تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ، وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
Baca juga: Wanita Menikah Tanpa Izin Wali
Mengapa dipatok usia sembilan tahun? Sebab, ada hadits Aisyah radhiallahu anha yang mengatakan,
إِذَا بَلَغَتِ الْجَارِيَةُ تِسْعَ سِنِيْنَ فَهِيَ امْرَأَةٌ
“Apabila gadis kecil telah mencapai usia 9 tahun, dia telah teranggap perempuan yang sudah besar.” (HR. at-Tirmidzi)
Hadits ini mauquf, kata al-Albani rahimahullah dalam Irwaul Ghalil (1/199).
Adapula riwayat yang marfu’ dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dengan lafaz,
إِذَا أَتَى عَلَى الْجَارِيَةِ تِسْعُ سِنِيْنَ فَهِيَ امْرَأَةٌ
Akan tetapi, hadits Ibnu Abbas ini dha’if (lemah).
Demikan mazhab Imam Syafi’i rahimahullah dan pendapat ulama mazhab Hanbali. Sandaran pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, Nabi shalllallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ لِلْوَلِيِّ مَعَ الثَّيِّبِ أَمْرًا
“Tidak ada urusan (tidak berhak untuk memaksa) bagi wali terhadap janda.” (HR. Abu Dawud no. 2100, dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Dawud)
Demikian pula riwayat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma yang sudah disebutkan,
الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا
Dari tiga pendapat di atas, wallahu a’lam, yang paling kuat dalilnya adalah pendapat ketiga, yaitu menunda menikahkan si janda kecil tersebut sampai dia mencapai usia balig dan dimintai pendapatnya.
Hanya saja, apabila memang keadaannya darurat, sang ayah boleh menikahkan putrinya yang sudah menjadi janda kecil, karena mengkhawatirkan hilangnya kemaslahatan bagi si putri bila menunda nikahnya sampai saat balig. Namun, dengan syarat, lelaki yang akan menjadi suami putrinya tersebut harus sekufu dalam agama dan dunianya.
Baca juga: Tidak Mau Menikah Setelah Suami Meninggal
Adapun jika tidak ada maslahat yang tampak bagi si putri, tidak perlu untuk bersegera menikahkannya. Ditunggu saat balignya dan mendapatkan izinnya. Hal ini lebih mendukung terwujudnya kehidupan yang bahagia dalam rumah tangga sebagaimana tujuan pernikahan yang dinginkan dalam Islam. Demikian yang dipahami dari keterangan Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam asy-Syarhul Mumti’ yang akan disebutkan nanti.
Fuqaha terbagi dalam dua pendapat.
Demikian pendapat Imam asy-Syafi’i[9], Imam Malik[10], dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad[11].
Dalil yang menjadi sandaran pendapat ini adalah hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma yang sudah lewat,
االْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا، وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صِمَاتُهَا
An-Nawawi rahimahullah menerangkan, para ulama berbeda pendapat tentang makna sabda Nabi shalllallahu alaihi wa sallam “tidak boleh menikahkan gadis sampai diajak bicara” (menurut lafaz lain dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma di atas -pen.).
Imam asy-Syafi’i, Ibnu Abi Laila, Ahmad, Ishaq, dan selain mereka berpendapat, “Meminta izin kepada gadis untuk menikahkannya adalah hal yang diperintahkan. Apabila yang bertindak sebagai wali adalah ayah atau kakeknya, hukum minta izin tersebut adalah sunnah. Seandainya ayah atau kakek menikahkan si gadis tanpa izinnya, pernikahan tersebut sah karena ayah/kakek adalah orang yang sangat sayang kepada putrinya (apa yang dilakukannya adalah untuk kemaslahatan putrinya, -pen.).
Adapun pihak wali selain ayah dan kakek, hukum minta izin bagi mereka adalah wajib. Tidak sah mereka menikahkan si gadis tanpa meminta izinnya terlebih dahulu.
Al-Auza’i, Abu Hanifah, dan ulama Kufah selain keduanya berkata, “Wajib meminta izin kepada semua gadis yang sudah balig (saat hendak dinikahkan).” (al-Minhaj, 9/208)
Demikian pendapat jumhur salaf dan mazhab Abu Hanifah[12], Ahmad dalam riwayatnya yang kedua, dan Ibnu Hazm[13].
Dalil pendapat ini adalah sebagai berikut.
لاَ تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ، وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
Rasulullah shalllallahu alaihi wa sallam menjawab,
نَعَمْ، تُسْتَأْمَرُ.
“Ya, diajak musyawarah.”
Aisyah radhiallahu anha berkata lagi, “Namun, gadis biasanya malu.”
Kata Rasulullah shalllallahu alaihi wa sallam,
فَذَلِكَ إِذْنُهَا، إِذَا هِيَ سَكَتَتْ.
“Jika si gadis diam, itulah izinnya.”[14] (HR. al-Bukhari no. 5138 dan Muslim no. 3460)
الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا، وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صِمَاتُهَا
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menyebutkan, ada seorang gadis mendatangi Nabi shalllallahu alaihi wa sallam. Si gadis mengadu bahwa ayahnya menikahnya dengan seorang lelaki yang tidak dia sukai. Nabi shalllallahu alaihi wa sallam kemudian memberinya pilihan (pisah atau meneruskan pernikahan tersebut). (HR. Abu Dawud no. 2096, dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Dawud)
Fuqaha selain Ibnu Hazm bersepakat tentang bolehnya menikahkan secara paksa gadis yang belum balig tanpa meminta izinnya. Akan tetapi, lebih disenangi menunda pernikahannya sampai dia balig dan bisa dimintai izin.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menukilkan ucapan al-Muhallab, “Ulama bersepakat bolehnya ayah menikahkan putri gadisnya yang masih kecil walaupun pada usia semisalnya belum bisa digauli.”
Hanya saja, ath-Thahawi menghikayatkan dari Ibnu Syubrumah bahwa dia melarang apabila si gadis belum bisa digauli.
Ibnu Hazm menghikayatkan dari Ibnu Syubrumah secara mutlak bahwa ayah tidak boleh menikahkan putri gadisnya yang masih kecil sampai dia balig dan memberi izin. (Fathul Bari, 9/238)
Imam Ibnu Daqiqil Id rahimahullah berkata, “Permintaan izin (kepada perempuan yang hendak dinikahkan) hanyalah ditujukan kepada perempuan yang sudah bisa memberi izin (izinnya sudah teranggap). Jadi, hadits tentang meminta izin dikhususkan untuk para perempuan yang sudah balig.” (Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, hlm. 271)
Tentang boleh tidaknya seorang ayah menikahkan putrinya yang masih belia, Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menerangkan, “Asalnya adalah tidak boleh, berdasarkan sabda Nabi shalllallahu alaihi wa sallam,
وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
Seorang gadis belia jangan kita nikahkan sampai dia mencapai usia yang pantas untuk dimintai izin. Saat itu barulah dia dimintai izinnya. Akan tetapi, sebagian ulama menyebutkan adanya kesepakatan bahwa ayah boleh menikahkan anak gadisnya yang masih belia berdalil dengan pernikahan Aisyah radhiallahu anha (dengan Rasulullah shalllallahu alaihi wa sallam).
Baca juga: Menikah, Memperbanyak Umat Rasul
Ibnu Syubrumah, salah seorang fuqaha yang terkenal, menegaskan, “Tidak boleh sama sekali, gadis kecil yang belum balig dinikahkan. Sebab, kita mengatakan adanya syarat ridha dalam pernikahan, sementara ridhanya belum teranggap. Kita tidak pula berpendapat bolehnya memaksa gadis yang sudah balig untuk menikah, menunjukkan gadis yang masih kecil ini lebih pantas (tidak dipaksa).”
Inilah pendapat yang benar, yaitu ayah tidak menikahkan putrinya sampai dia balig. Jika telah balig, dia tidak boleh dinikahkan sampai dia ridha. Akan tetapi, seandainya terjadi:
lantas ayah memandang adanya maslahat untuk menikahkan si putri dengan lelaki yang sekufu tersebut, tidak apa-apa si ayah melakukannya.
Akan tetapi, jika si putri kelak dewasa dan masih terikat dalam pernikahan tersebut, dia memiliki hak untuk memilih (khiyar). Jika mau, dia bisa berkata, “Aku tidak ridha dengan lelaki ini dan aku tidak menginginkannya (sehingga pernikahannya yang sudah berjalan dibatalkan).”
Jika keadaannya demikian, yang lebih selamat adalah tidak menikahkannya dan menyerahkan urusannya kepada Allah azza wa jalla. Sebab, bisa jadi sekarang sang ayah memandang si lelaki yang akan dinikahkan dengan putri kecilnya sekufu dengan putrinya, ternyata saat si putri telah mencapai usia nikah (balig) Allah azza wa jalla datangkan untuknya lelaki yang lebih baik daripada lelaki yang melamarnya saat masih kecil. Sebab, urusannya di tangan Allah subhanahu wa ta’ala.”
Demikian penjelasan Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’ (12/58—59).
Baca juga: Tanya Jawab Ringkas – Seputar Pernikahan
Apakah boleh gadis yang belum balig menikah?
Jawabannya, boleh, berdasarkan dalil firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَٱلَّٰٓـِٔي يَئِسۡنَ مِنَ ٱلۡمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمۡ إِنِ ٱرۡتَبۡتُمۡ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَٰثَةُ أَشۡهُرٍ وَٱلَّٰٓـِٔي لَمۡ يَحِضۡنَۚ
“Dan istri-istri kalian yang telah berhenti dari haid (menopause) jika kalian ragu tentang masa iddahnya maka iddahnya adalah tiga bulan, demikian pula istri-istri kalian yang belum mengalami haid… (bila dicerai masa iddahnya tiga bulan).” (ath-Thalaq: 4)
Dalil dari As-Sunnah adalah pernikahan Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu anha dengan Rasulullah shalllallahu alaihi wa sallam. Saat itu usia Aisyah masih 6 tahun (adapula yang mengatakan 7 tahun), belum balig. Akan tetapi, beliau baru hidup bersama dengan Rasulullah shalllallahu alaihi wa sallam ketika berusia 9 tahun. (HR. al-Bukhari no. 5133)
Terkait dengan pernikahan al-Humaira radhiallahu anha, Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Rasulullah shalllallahu alaihi wa sallam menikah dengan Aisyah radhiallahu anha pada saat usianya 7 tahun dan berkumpul dengan beliau saat berusia 9 tahun. Di sini ada dalil bolehnya menikahkan gadis kecil walaupun tanpa izinnya karena pada usia 7 tahun izinnya belum teranggap (belum bisa dimintai izin).
Akan tetapi, walinyalah yang menempati kedudukannya (memutuskan urusannya); apabila wali melihat adanya kemaslahatan untuk menikahkannya saat masih kecil, dengan menikahkannya dengan lelaki yang saleh, atau dengan seorang alim yang bertakwa. Sebab, terdapat maslahat bagi si gadis dalam pernikahan tersebut.
Hal ini sebagaimana ash-Shiddiq radhiallahu anhu menikahkan putrinya yang masih berusia 7 tahun dengan Rasulullah shalllallahu alaihi wa sallam. Pada usia demikian, si putri tidak bisa dimintai izin. Akan tetapi, walinya yang memutuskan apabila dia memandang ada maslahat.
Dalam peristiwa tersebut juga ada dalil bolehnya menikahkan lelaki yang sudah berumur dengan seorang pemudi. Sekarang ini orang-orang berseru dan memperingatkan dari pernikahan demikian. Mereka menganggap buruk pernikahan dengan lelaki berumur. Hal tersebut dianggap kejahatan. Mereka mengancam orang yang melakukannya dalam surat kabar, majalah, dan media lainnya. Bahkan, terkadang dalam khotbah dan ceramah-ceramah.
Baca juga: Pengaruh Media Massa Terhadap Akidah Umat
Padahal Rasulullah shalllallahu alaihi wa sallam menikahi Aisyah saat beliau berusia sekitar 50 tahun dan Aisyah radhiallahu anha berusia 7 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan seperti itu tidak apa-apa. Pernikahan lelaki berumur dengan pemudi justru dianjurkan apabila ada maslahatnya. Ditambah lagi, pernikahan demikian merupakan sunnah nabawiyah. Hal ini dilakukan apabila ada kemaslahatan.
Jika tidak ada maslahat, tujuannya hanyalah si wali meninggikan mahar putri kecilnya sehingga bisa memanfaatkan maharnya, tujuannya hanya memahalkan pernikahannya, dan tidak ada maslahat bagi si gadis kecil, tidak boleh.” (I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitab at-Tauhid, 1/252—253)
Menurut Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, pernikahan dini Aisyah radhiallahu anha tidaklah bisa dijadikan dalil oleh mereka yang berpendapat boleh menikahkan gadis yang belum balig tanpa meminta izinnya atau tanpa persetujuannya[15].
Baca juga: Katakan Tidak Untuk Pacaran
Kata beliau rahimahullah, “Apakah kalian mengetahui bahwa Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu anhu meminta izin kepada putrinya Aisyah radhiallahu anha untuk menikahkannya dengan Rasulullah shalllallahu alaihi wa sallam dan putrinya menolak? Jawabannya, kita tidak mengetahui hal tersebut. Yang kita ketahui dengan yakin, andai Aisyah radhiallahu anha dimintai izinnya oleh sang ayah, niscaya dia tidak akan menolak.
Saat Rasulullah shalllallahu alaihi wa sallam memberi pilihan kepada istri-istrinya dengan apa yang Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan pada ayat di bawah ini,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ قُل لِّأَزۡوَٰجِكَ إِن كُنتُنَّ تُرِدۡنَ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيۡنَ أُمَتِّعۡكُنَّ وَأُسَرِّحۡكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا ٢٨ وَإِن كُنتُنَّ تُرِدۡنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَ فَإِنَّ ٱللَّهَ أَعَدَّ لِلۡمُحۡسِنَٰتِ مِنكُنَّ أَجۡرًا عَظِيمًا ٢٩
Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kalian semua menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, marilah agar kuberikan kepada kalian mut’ah (pemberian untuk istri yang dicerai menurut kesanggupan suami) dan aku ceraikan kalian dengan cara yang baik. Dan jika kalian semua menginginkan keridhaan Allah dan Rasul-Nya serta kesenangan di negeri akhirat, sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antara kalian pahala yang besar.” (al-Ahzab: 28—29)
Baca juga: Istri Salihah, Keutamaan dan Sifat-sifatnya
Yang pertama kali ditawari oleh Rasulullah shalllallahu alaihi wa sallam adalah Aisyah radhiallahu anha. Rasulullah shalllallahu alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Mintalah pendapat kedua orang tuamu dalam masalah ini dan bermusyawarahlah dengan mereka.”
Aisyah radhiallahu anha menjawab, “Wahai Rasulullah, apakah dalam masalah seperti ini aku harus meminta pendapat kedua orang tuaku? Tidak perlu! Sebab, aku menginginkan (memilih) Allah subhanahu wa ta’ala dan hari akhir.” (HR. al-Bukhari no. 4785 dan Muslim no. 1475)
Perempuan yang seperti ini keadaannya, andai dimintai izin pertama kali untuk dinikahkan dengan Rasulullah shalllallahu alaihi wa sallam, apakah mungkin berkata tidak? Tentu saja, kita yakin hal itu tidak mungkin. Ini hal yang jelas laksana matahari. Lantas, adakah dalil bagi mereka dalam hadits ini? Tidak ada.” (asy-Syarhul Mumti’, 12/55—56)
Imam ash-Shan’ani rahimahullah menyatakan, berdasarkan hadits yang ada, dibedakan izin seorang janda dengan seorang gadis. Janda benar-benar harus diajak musyawarah dalam urusan pernikahannya. Walinya membutuhkan ucapan yang jelas darinya terkait izin untuk menikahkannya.
Adapun izin dari seorang gadis bisa jadi dengan ucapan, bisa pula dengan diam dan ini dianggap cukup. Sebab, terkadang gadis merasa malu untuk terang-terangan menyatakan ersetujuannya.
Bagaimana kalau si gadis malah menangis, apakah berarti dia menolak atau setuju?
Dilihat keadaan yang menyertainya, karena tangisannya bisa disebabkan beberapa kemungkinan. (Subulus Salam, 5/31)
Dalam memilih pasangan hidup, terkadang seorang perempuan tidak paham hakikat yang ada. Atau, bisa jadi dia mengerti, tetapi dikalahkan olehperasaannya. Akibatnya, ketika telah melangkah, bisa jadi dia menuai akibat yang buruk dan kenyataan yang pahit. Karena itu, ayahnya sebagaiwalinya atau wali selain ayah harus mendampingi, memberikan arahan, dan nasihat saat memilih suami.
Jadi, dalam urusan pernikahan, seorang perempuan harus pulamendapat restu dari sang ayah selaku walinya. Sebab, ayah punya pengetahuan dan bisa melihat bagaimana akhlak para lelaki.
Baca juga: Engkau Istimewa Karena Takwa
Perempuan yang sudah balig memang punya hak menentukan pendamping hidupnya tanpa paksaan. Dia boleh menolak dan boleh pula menerima. Namun, tidak berarti dia boleh semaunya menikah sendiri dengan lelaki pilihannya tanpa meminta restu kepada walinya.
Rasulullah shalllallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ.
“Perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya, nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Dawud)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
[1] Badai’u ash-Shana’i, karya Imam ‘Alauddin Abu Bakr Ibnu Mas’ud al-Kasani al-Hanafi (wafat tahun 587 H).
[2] Al-Mudawwanah al-Kubra, karya Imam Malik bin Anas al-Ashbahi, 2/102 (wafat tahun 179 H).
[3] Al-Umm, Kitab an-Nikah, bab “Ma Ja’a fi Nikahil Aba’”, karya Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (150—204 H).
[4] Al-Mughni, “Kitab an-Nikah”, mas’alah: Wa Idza Zawwaja Ibnatahu ats-Tsayyib bi Ghairi Idzniha, Fan Nikah Bathil, wa In Radhiyat Ba’du, karya Imam Ibnu Qudamah (541—620 H).
[5] Badai’u ash-Shana’i.
[6] Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, karya Imam al-Qadhi Abul Walid Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ahmad ibnu Rusyd al-Qurthubi al-Andalusi (wafat tahun 595 H), hlm. 438.
[7] Al-Mughni, “Kitab an-Nikah”, mas’alah: Wa Idza Zawwaja Ibnatahu ats-Tsayyib bi Ghairi Idzniha, Fan Nikah Bathil, wa In Radhiyat Ba’du.
[8] Syarhu Muntaha al-Iradat, karya seorang faqih dalam mazhab ulama Hanbali pada masanya, asy-Syaikh al-Allamah Manshur ibnu Yunus ibnu al-Huti, 3/13.
[9] Al-Umm, “Kitab an-Nikah”, Bab Ma Ja’a fi Nikahil Aba’.
[10] Al-Mudawwanah al-Kubra, 2/102.
[11] Syarhu Muntaha al-Iradat, 3/14.
[12] Bada’i ash-Shana’i.
[13] Syarhu Muntaha al-Iradat (2/223) dan al-Muhalla bil Atsar, karya Abu Muhammad Ali ibnu Ahmad ibnu Said ibnu Hazm al-Andalusi (9/38), masalah ke-1826.
[14] Diamnya si gadis saat ditanya/dimintai izin menunjukkan keridhaannya. Artinya, dia berkenan untuk dinikahkan dengan lelaki yang melamarnya.
[15] Menurut Ibnu Syubrumah rahimahullah, kejadian Aisyah radhiallahu anha yang dinikahkan ayahnya saat masih kecil, merupakan kekhususan bagi Nabi shalllallahu alaihi wa sallam, sebagaimana halnya wanita yang menghibahkan dirinya kepada beliau dan beliau menikahi lebih dari 4 istri (mengumpulkan lebih dari 4 istri). Semuanya adalah kekhususan Nabi, tidak bagi umat beliau. Demikian dinukilkan Ibnu Hazm rahimahullah dalam al-Muhalla (9/39).