Asysyariah
Asysyariah

kemunculan nabi palsu, pertanda datangnya hari kiamat

4 tahun yang lalu
baca 8 menit
Kemunculan Nabi Palsu, Pertanda Datangnya Hari Kiamat

Kemunculan para nabi palsu di muka bumi ini sesungguhnya merupakan salah satu tanda dari sekian tanda Hari Kiamat. Di antara mereka ada yang sekadar mengaku-ngaku. Namun, ada pula yang dengan berani “mendakwahkan” ajarannya sehingga ia memiliki banyak pengikut.

Kemunculan mereka ini, selain pertanda bahwa Hari Kiamat kian dekat, sekaligus merupakan bukti kebenaran kenabian Rasulullah, Muhammad bin Abdillah shallallahu alaihi wa sallam. Apa yang beliau shallallahu alaihi wa sallam beritakan tentang kemunculan mereka benar-benar sesuai dengan kenyataan. Sebab, apa yang beliau ucapkan berasal dari wahyu, bukan dari hawa nafsu dan kedustaan.

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda,

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُبْعَثَ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ قَرِيبًا مِنْ ثَلَاثِينَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ رَسُولُ اللهِ

“Hari Kiamat tidak akan tegak sampai muncul para Dajjal pendusta, yang jumlah mereka mendekati tiga puluh orang. Semuanya mengaku bahwa dirinya adalah utusan Allah.” (Sahih, HR. al-Bukhari, “Kitabul Manaqib”, Bab: ‘Alamatun Nubuwwah fil Islam; Muslim, “Kitabul Fitan wa Asyrathus Sa’ah”, Bab: La Taqumus Sa’ah Hatta Yamurra ar-Rajul bi Qabri ar-Rajul, no. 3413)

Baca juga: Kiamat Adalah Urusan Gaib

Dari Tsauban radhiallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

وَلَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَلْحَقَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتـِي بِالْـمُشْرِكِينَ وَحَتَّى تَعْبُدَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي الْأَوْثَانَ، وَإِنَّهُ سَيَكُونُ في أُمَّتِي كَذَّابُونَ ثَلَاثُونَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ، وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لَا نَبِيَّ بَعْدِي

“Hari Kiamat tidak akan tegak hingga didapati beberapa kabilah dari umatku malah bergabung dengan kaum musyrikin dan sebagian mereka (kembali) menyembah berhala-berhala. Sungguh, akan muncul pada umatku para pendusta yang berjumlah tiga puluh orang; masing-masing dari mereka akan mengaku nabi, padahal akulah penutup para nabi dan tiada lagi nabi setelahku.” (Sahih. HR. Abu Dawud, “Kitabul Malahim wal Fitan”, Bab: Dzikrul Fitan wa Dala`iluha, no. 4252)

Terbukti, apa yang beliau ucapkan terjadi. Telah muncul pada masa beliau shallallahu alaihi wa sallam Musailamah al-Kadzdzab di Yamamah, yang kemudian terbunuh pada masa kekhalifahan Abu Bakr. Lalu muncul pula al-Aswad al-Ansi di Yaman dan terbunuh sebelum meninggalnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.

Selang beberapa waktu muncullah Sajjah, seorang wanita yang mengaku sebagai nabi kemudian dinikahi oleh Musailamah. Namun, setelah kematian Musailamah, ia bertobat dan kembali masuk Islam.

Baca juga: Menumpas Musailamah al-Kadzdzab (bagian 1)

Kemudian muncul Thulaihah bin Khuwailid al-Asadi, yang pada akhirnya bertobat dan kembali memeluk Islam.

Setelah itu giliran Mukhtar bin Abi Ubaid ats-Tsaqafi, al-Harits, dan beberapa orang lainnya pada masa kekhalifahan Abbasiyah. (Fathul Bari, 6/617)

Belum usai juga, pada masa sekarang ini muncul lagi seorang pendusta dan pembual besar, Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani. Lalu disusul oleh seseorang di negeri kita ini, yaitu Ahmad Mushaddeq, yang menamai kelompoknya dengan “al-Qiyadah al-Islamiyah”, yang kemudian mengaku bertobat.[1]

Para nabi ataupun rasul palsu akan terus bermunculan sampai keluarnya pemungkas mereka, yaitu Dajjal. (Fathul Bari, 6/617)

Baca juga: Sekilas Tentang Sejarah Munculnya Ahmadiyah

Sahabat Samurah bin Jundub radhiallahu anhu mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda dalam khotbahnya, pada saat terjadi gerhana,

وَأَنَّهُ وَاللهِ لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَخْرُجَ ثَلاَثُونَ كَذَّاباً، آخِرُهُمُ الْأَعْوَرُ الدَّجَّالُ

“Sungguh—demi Allah, Hari Kiamat tidak akan tegak hingga muncul tiga puluh orang pendusta, dan yang terakhir dari mereka adalah seorang yang buta sebelah, yaitu ad-Dajjal.” (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, 5/16)

Lalu pada akhirnya, dia akan mengaku bahwa dirinya adalah Allah subhanahu wa ta’ala.

Empat dari para nabi palsu itu adalah wanita. Dari Hudzaifah radhiallahu anhu, ia mengatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

فِي أُمَّتِي كَذَّابُونَ وَدَجَّالُونَ سَبْعَةٌ وَعِشْرُونَ، مِنْهُمْ أَرْبَعُ نِسْوَةٍ وَإِنِّي خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي

“Di tengah-tengah umatku ada 27 Dajjal yang amat pendusta. Empat dari mereka adalah wanita. Aku adalah penutup para nabi, tiada nabi setelahku.” (HR. Ahmad, 5/396)

Baca juga: Nabi Isa Membunuh Dajjal

Mengenai bilangan 30[2], Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan,

“Yang dimaksud oleh hadits di atas bukanlah setiap orang yang mengaku sebagai nabi secara mutlak. Sebab, jumlah mereka sendiri sebenarnya tidak terhitung—karena saking banyaknya. Mayoritas mereka mengaku sebagai nabi karena penyakit gila. Namun, yang dimaksud (berjumlah sekitar tiga puluh) adalah yang memiliki kekuatan dan syubhat.” (Fathul Bari, 6/617)

Siapakah yang Mengeklaim Kenabian?

Kenabian hanya akan diklaim oleh orang yang paling jujur atau orang yang paling dusta. Hakikat keduanya tidak akan tersamarkan, kecuali bagi orang-orang bodoh. Bahkan, bukti/tanda yang terlihat pada diri orang yang mengaku nabi akan menyingkap hakikat mereka. Tidak seorang pendusta pun yang mengaku sebagai nabi, kecuali akan tampak pada dirinya kebodohan, kedustaan, kejahatan, dan pengaruh setan terhadap dirinya. Semua ini hanya akan diketahui oleh orang yang memiliki mata batin yang bisa membedakannya meskipun ia hanyalah seorang awam—bukan ulama.

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu, dia berkata bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيقًا، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا

“Kalian wajib berlaku jujur karena kejujuran itu akan mengantarkan kepada perbuatan baik, dan perbuatan baik itu akan membawa menuju surga. Senantiasa seseorang itu berlaku jujur dan berusaha untuk jujur hingga tertulis di sisi Allah sebagai orang yang amat jujur.

Jauhilah perbuatan dusta karena kedustaan itu akan mengantarkan kepada perbuatan jahat, dan perbuatan jahat itu akan menyeret seseorang menuju neraka. Seseorang selalu berdusta dan terus saja berdusta hingga tertulis di sisi Allah sebagai pendusta.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim) [Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, hlm. 150 dengan diringkas]

Baca juga: Kejujuran

Dari hadits tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa orang yang mengaku sebagai nabi, niscaya tindak tanduknya dan tutur katanya akan menyingkap kedustaannya. Sebab, kedustaan itu akan menghasilkan kejahatan.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

“Satu di antara rahmat Allah subhanahu wa ta’ala kepada para hamba adalah diutusnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam kepada mereka. Lalu, salah satu bentuk kemuliaan yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada mereka adalah ditutupnya pintu kenabian dan kerasulan dengan beliau, serta disempurnakannya agama yang lurus bagi beliau.

Sungguh, Allah subhanahu wa ta’ala telah memberitakan dalam Kitab-Nya, Rasul-Nya pun telah mengabarkan dalam Sunnahnya yang mutawatir, bahwa tidak ada lagi nabi setelah beliau. Hal ini agar setiap orang yang mengaku sebagai nabi mengetahui bahwa dirinya adalah pendusta, penipu, dan sesat lagi menyesatkan, meskipun ia membawa berbagai macam sihir dan jimat miliknya.

Semua yang dibawanya adalah tipuan belaka dan kesesatan. Orang yang berakal akan bisa melihatnya dengan jelas. Hal itu sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala berlakukan terhadap al-Aswad al-Ansi dari Yaman dan Musailamah al-Kadzdzab di Yamamah. Dari bermacam kejadian dan bualannya, orang yang berakal tentu akan paham dan mengetahui bahwa keduanya adalah pendusta dan penyesat. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melaknati keduanya.

Baca juga: Berita-Berita Mukjizat Nabi dan Rasul

Demikian pula halnya setiap orang yang mengaku nabi sampai Hari Kiamat nanti, hingga keluarnya al-Masih ad-Dajjal. Allah subhanahu wa ta’ala akan menciptakan pada diri para pendusta tersebut, sesuatu yang membuat para ulama dan kaum mukminin dapat bersaksi tentang kedustaan pengakuan mereka. Ini termasuk kelembutan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap makhluk-Nya.

Para pendusta itu—dengan realitas yang ada—tidaklah melakukan amar makruf dan nahi mungkar, kecuali hanya secara kebetulan atau karena punya tujuan tertentu di balik perbuatan amar makruf nahi mungkar yang mereka lakukan. Seluruh perbuatan dan ucapan mereka benar-benar berada pada puncak kedustaan dan kejahatan, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,

هَلۡ أُنَبِّئُكُمۡ عَلَىٰ مَن تَنَزَّلُ ٱلشَّيَٰطِينُ ٢٢١ تَنَزَّلُ عَلَىٰ كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ ٢٢٢

“Maukah Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka (setan) turun kepada setiap pendusta yang banyak berdosa.” (asy-Syu’ara: 221—222)

Berbeda dengan keadaan para nabi. Semua perintah dan larangan mereka berada pada puncak kebaikan, kejujuran, kelurusan, istiqamah, dan keadilan. Bersamaan dengan itu, mereka juga dikuatkan dengan banyak hal luar biasa, dalil-dalil yang jelas, dan bukti-bukti yang sangat nyata.

Baca juga: Perbedaan Mukjizat, Karamah, dan Sihir

Semoga shalawat Allah subhanahu wa ta’ala dan salam-Nya selalu tercurah kepada mereka selama masih ada langit dan bumi. (Tafsir al-Quran al-‘Azhim, 3/502)


Catatan Kaki

[1] Demikian pula para pengikutnya, mengaku bertobat. Tentang tobat mereka ini, banyak kalangan yang tidak bisa disepelekan, meragukan kesungguhan taubat mereka dengan indikasi yang cukup kuat. Karena itu, kaum muslimin harus tetap waspada dengan ajaran-ajarannya. Tak mustahil mereka akan berganti baju.

[2] Sebagian riwayat menyebut “30”, sebagian menyebut “mendekati 30”, dan sebagian menyebut “27”. Tidak ada kontradiksi di antara riwayat-riwayat itu. Riwayat yang menyebut 30 atas dasar jabrul kasr, penggenapan dalam penyebutan bilangan. Hal ini biasa dalam ungkapan bahasa Arab. (Fathul Bari, 13/87)

(Ustadz Qomar Z.A., Lc.)