Asysyariah
Asysyariah

nabi muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat

13 tahun yang lalu
baca 14 menit

Jamaah haji yang mulia itu telah tiba di Madinah, namun bukan untuk beristirahat dan santai, melainkan melanjutkan jihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala.

Kapankah seorang mukmin dapat merasakan santai? Musuh-musuhnya, baik yang terlihat maupun tidak, setiap saat mengintai dan berusaha membinasakannya. Terlebih lagi junjungan kita, Nabi Muhammad  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejak Allah subhanahu wa ta’ala mengangkat beliau menjadi nabi dan rasul, kapankah beliau merasakan istirahat dan santai? Mata beliau terpejam dalam tidurnya, tetapi hatinya terjaga dan senantiasa menunggu wahyu yang datang.

Alangkah tepat untuk direnungkan pernyataan al-Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah ini, “Sesungguhnya, Allah subhanahu wa ta’ala tidak menjadikan rehat (ketenangan, kesantaian) seorang mukmin melainkan di dalam jannah (surga).”

Terlebih lagi, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah mengatakan, “Dunia adalah penjara bagi seorang mukmin.”

Artinya, perjuangan memang belum usai. Peperangan ini baru berhenti setelah al-haq kokoh di dalam hati seorang mukmin saat dia menghadap Rabbnya.
Diceritakan dalam Syu’abul Iman karya al-Imam al-Baihaqi rahimahullah, dan beliau menukilnya dari putra al-Imam Ahmad yang bernama Saleh rahimahumullah, bahwa pada saat al-Imam Ahmad terbaring sakit yang membawa ajalnya, tiba-tiba al-Imam Ahmad menggerakkan tangannya memberi isyarat (seolah-olah mengatakan), “Tidak (belum).”

Ketika hal ini ditanyakan kepada al-Imam Ahmad, beliau mengatakan, “Iblis menampakkan diri kepadaku dan berkata, ‘Sekarang engkau selamat dariku, wahai Ahmad’.”
Aku pun menjawab, “Belum.”1

Demikianlah. Alangkah minimnya kesempatan bagi seorang mukmin ‘menikmati’ dunianya. Apalagi jika dia adalah seorang da’i yang mengajak manusia ke jalan Allah subhanahu wa ta’ala.

Lebih-lebih lagi junjungan kita Nabi Muhammad  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kasih sayangnya kepada umat manusia, mendorong beliau berusaha bagaimana caranya agar mereka selamat dari azab dan kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala.

Mahabenar Allah subhanahu wa ta’ala yang berfirman:

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (at-Taubah: 128)

Nun jauh di sana, di sebelah utara. Imperium Romawi dengan segenap keangkuhannya, mulai dihinggapi kekhawatiran melihat beberapa kerajaan kecil jajahan mereka sudah ada yang memeluk Islam. Mereka memandang bahwa hal ini akan membahayakan keutuhan dan kewibawaan Bizantium dengan “salib agung”-nya.

Akhirnya, mulailah mereka menyerang raja-raja kecil yang telah memeluk Islam itu, seperti yang mereka lakukan terhadap Farwah bin ‘Amr al-Judzami di Ma’an. Demi mengetahui kejahatan tersebut, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam segera menyiapkan pasukan besar untuk menghentikannya.

Senin, beberapa hari menjelang berakhirnya bulan Shafar tahun 11 H, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin agar bersiap-siap menyerang Romawi. Esok paginya, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma agar membawa pasukan tersebut menuju tempat gugurnya Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu, ayah Usamah, lalu melintasi Balqa’ dan Darum, di Palestina.

Persiapan pasukan ini, terutama pengangkatan Usamah sebagai panglima perang, mulai mendapat sorotan dari sebagian kaum muslimin. Mengapa harus Usamah? Bukankah masih ada para sahabat senior yang ahli dan berpengalaman di medan tempur? Di sana ada Khalid bin al-Walid, Si Pedang Allah, ada Ikrimah bin Abi Jahl, keduanya adalah pahlawan pilih tanding dari Bani Makhzum. Ada pula Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, dan Muhajirin lain yang senior dan tangguh.
Usamah yang masih belia, baru berumur 18 atau 19 tahun, sudah diserahi tugas sebagai panglima perang? Itulah keputusan Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Melihat para sahabat masih berlambat-lambat melepas pasukan Usamah, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara di hadapan mereka, “Kalau kalian mengkritik kepemimpinan Usamah, sungguh kalian juga pernah mengkritik kepemimpinan ayahandanya sebelum ini. Demi Allah, ayahanda Usamah (Zaid bin Haritsah) memang pantas menjadi panglima, dan dia termasuk orang yang paling aku cintai. Sungguh, Usamah juga termasuk orang yang paling aku cintai sesudah ayahandanya.”2

Akhirnya, kaum muslimin bergabung dalam pasukan Usamah bin Zaid. Dalam keadaan menahan sakit, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar melepas pasukan Usamah.

Pasukan mulai bertolak meninggalkan kota Madinah dengan setengah hati karena mendengar berita sakitnya Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah berjalan beberapa mil dari Madinah, mereka pun singgah di Jurf sambil menanti-nanti berita tentang keadaan Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tanggal 28 atau 29 Shafar tahun 11 H, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam masih sempat turut serta menyalatkan jenazah di Baqi’. Dalam perjalanan pulang, beliau mulai merasakan sakit kepala yang berat, demam yang tinggi.

Setiba di rumah, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Duh, kepalaku (sakitnya)….”

Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali, “Bahkan akulah… kepalaku sangat sakit…”

Beliau  shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan, “Tidak rugilah engkau. Andaikata engkau meninggal dunia sebelumku, tentu aku akan memandikanmu, mengafanimu, dan menyalatkan jenazahmu.”

“Kalau begitu, demi Allah, pasti setelah itu engkau akan kembali berpengantinan dengan istri-istrimu yang lain,” kata ‘Aisyah radhiallahu ‘anha.

Mendengar ini, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum. Sejak itu, mulailah beliau merasakan sakit yang sangat berat.

Biasanya, secara bergiliran, istri-istri beliau yang tercinta selalu menjaga dan merawat beliau, jika beliau sakit. Sampai pada suatu ketika, sekitar sepekan sebelum wafat, beliau mulai bertanya-tanya, “Di mana saya besok? Di mana saya besok?” Beliau terlihat sangat antusias dirawat di rumah istri tercinta ‘Aisyah radhiallahu ‘anha.

Para istri beliau yang lain pun mengizinkan beliau dirawat di rumah ‘Aisyah.
Ibunda ‘Aisyah menuturkan, “Setelah mereka mengizinkan, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar ditemani dua orang lelaki dari keluarganya, salah satunya adalah al-Fadhl bin ‘Abbas.”

Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan keluar perlahan-lahan berpegangan dengan dua sahabat tersebut dengan kepala yang dibelit sehelai kain untuk menahan sakit. Setelah berada di rumah ‘Aisyah, mulailah beliau terlihat tenang.

Beberapa kali Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sadarkan diri karena beratnya sakit yang beliau derita. Dua kali lebih berat dari yang dirasakan orang biasa. Itulah kemuliaan yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada beliau. Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala atas beliau.

Setelah siuman, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta dimandikan dengan air tujuh qirbah dari beberapa sumur. Kemudian, beliau keluar menuju mimbar menemui para sahabatnya.

Setelah memanjatkan puji-pujian untuk Allah subhanahu wa ta’ala, yang pertama beliau ucapkan adalah mendoakan dan memintakan ampunan buat para sahabat.
Setelah itu, beliau berkata, “Sesungguhnya, ada salah seorang di antara hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala, diberi pilihan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, apakah dia mau memilih dunia atau apa yang ada di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Lalu hamba tersebut memilih apa yang ada di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.”

Mendengar perkataan ini, Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu tak dapat menahan isak tangisnya, sambil berlinang air mata, beliau berkata, “Kami tebus Anda dengan jiwa raga kami dan anak-anak kami, wahai Rasulullah!”
Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum menanggapi, “Tenanglah, wahai Abu Bakr. Janganlah engkau menangis!”

Para sahabat yang lain terheran-heran mendengar perkataan Abu Bakr tadi. Ada apa dengan orang tua ini, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan keadaan seorang hamba, tetapi dia malah mengucapkan kata-kata seperti ini? Aneh. Bukankah sudah sewajarnya, seorang hamba yang mukmin lebih mencintai apa yang ada di sisi Allah?

Itulah Abu Bakr. Pengenalannya yang utuh terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya membuat hatinya demikian peka. Beliau paham bahwa hamba itu adalah Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, dan itu berarti Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka bertemu dengan Allah subhanahu wa ta’ala daripada berlama-lama hidup bersama mereka. Inilah yang menyedihkan Abu Bakr. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhainya dan para sahabat lainnya.

Kemudian Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan, “Tidak ada yang paling bermanfaat dalam persahabatan dan hartanya bagi saya selain Abu Bakr. Sungguh, saya berlepas diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk mengambil khalil dari kalangan kalian. Karena sesungguhnya, Allah telah menjadikan saya sebagai khalil. Seandainya saya mau mengambil kekasih yang sangat disayang (khalil) dari kalangan manusia, pasti aku jadikan Abu Bakr sebagai khalil. Akan tetapi, dia adalah saudara saya seiman dan sahabat saya. Tidak boleh ada celah atau pintu yang tersisa selain pintu Abu Bakr.”

“Wahai manusia,” lanjut beliau, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya orang-orang sebelum kalian terbiasa menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid (tempat beribadah), maka janganlah kalian menjadikan kuburan itu sebagai masjid. Sungguh, saya melarang kalian melakukannya.”

Larangan ini, beliau  shallallahu ‘alaihi wa sallam ulangi lagi pada saat beliau menghadapi maut. Setelah menyingkap kain yang menutup wajahnya yang mulia, beliau bersabda, “Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani, (karena) mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid.”3

“Siapa yang selama ini pernah saya cambuk punggungnya, maka inilah punggung saya. Silakan membalas! Dan siapa yang dulu pernah saya nodai kehormatannya, maka inilah kehormatan saya. Silakan membalas!”

Setelah itu, beliau turun dari mimbar, shalat zhuhur, dan kembali duduk di mimbar mengulang perkataannya tadi. Tiba-tiba seorang sahabat berkata, “Anda masih punya utang kepada saya tiga dirham.”

Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam segera berkata, “Lunasilah, wahai Fadhl!”

Kemudian, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan tentang orang-orang Anshar, “Saya ingatkan kalian tentang kaum Anshar. Mereka adalah tempat saya menyimpan rahasia dan mereka telah menunaikan kewajiban mereka, sementara hak mereka belum mereka peroleh. Oleh karena itu, terimalah dari orang-orang yang baik di kalangan mereka dan maafkanlah yang salah di antara mereka.”
Dalam riwayat lain, beliau  shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Orang-orang bertambah banyak, sementara kaum Anshar semakin sedikit jumlahnya, seperti garam dalam makanan. Oleh sebab itu, siapa yang diangkat menjadi penguasa di antara kalian, hendaklah menerima dari orang yang baik di kalangan Anshar dan memaafkan yang salah di antara mereka.”

Setelah itu, beliau kembali ke rumah dengan rasa sakit memuncak.
Sejak saat itu, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah tidak sanggup keluar untuk shalat berjamaah. Sementara itu, para sahabat menunggu-nunggu, mungkin mereka masih menikmati suara Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan Kalam Ilahi, mengimami mereka.

Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada ‘Aisyah, “Apakah kaum muslimin sudah shalat?”

“Belum, ya Rasulullah. Mereka menunggu Anda,” kata ‘Aisyah.

“Ambilkan air untukku,” kata Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Setelah air itu diberikan kepada beliau, beliau pun mandi. Tetapi, beliau kembali tidak sadarkan diri. Akhirnya Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar Abu Bakr menjadi imam.

‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Umar saja. Jangan Abu Bakr, karena dia terlalu perasa, gampang menangis. Bisa jadi, dia tidak sanggup mengimami kaum muslimin.”
Kemudian ibunda ‘Aisyah meminta Hafshah radhiallahu ‘anha agar memanggil ‘Umar menjadi imam. Tetapi, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka dan tetap menyuruh agar Abu Bakr menjadi imam. Akhirnya, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak senang dan berkata, “Kalian seperti perempuan di zaman Nabi Yusuf, pergilah!”

Hafshah berkata kepada ‘Aisyah, “Belum pernah saya mendapatkan yang baik darimu.”

Sejak saat itu para sahabat meminta Abu Bakr agar menjadi imam shalat mereka. Ketika Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa agak ringan, beliau keluar sambil dipapah dua orang kerabatnya, lalu duduk di sebelah kiri Abu Bakr. Melihat hal ini, Abu Bakr mundur. Tetapi Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi isyarat agar Abu Bakr tetap di tempatnya.

Akhirnya, Abu Bakr shalat mengikuti shalat Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan para sahabat tetap berimam kepada Abu Bakr.4

Para sahabat tidak menduga apa-apa ketika Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam masih tersenyum membuka tabir rumahnya, memandang ke arah mereka yang sedang shalat shubuh. Abu Bakr pun mundur, mengira Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam akan keluar mengimami mereka. Bahkan, para sahabat hampir memutus shalat mereka karena gembira melihat keadaan Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulai membaik.

Namun, itu tak lama. Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk kembali ke rumah dan menutupkan tirainya.

Ketika matahari mulai sepenggalan, Fathimah datang menjenguk. Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambut dengan gembira sebagaimana biasa, lalu berbisik. Tiba-tiba Fathimah radhiallahu ‘anha menangis. Setelah itu Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam berbisik sekali lagi, dan Fathimah tertawa.
Akan tetapi, kesedihan tetap menggayut di wajah Fathimah, melihat penderitaan ayahandanya. “Duhai, ayahanda. Alangkah beratnya penderitaanmu.”

“Tidak ada lagi penderitaan bagi ayahmu sesudah hari ini,” kata beliau  shallallahu ‘alaihi wa sallam.5

Sambil menudingkan tangan ke langit, beliau berkata, “Bersama teman yang tertinggi.”

Pada saat seperti itu, masuklah Abdurrahman bin ‘Abu Bakr sambil bersiwak. Pandangan Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam terpaku pada siwak yang di tangannya. ‘Aisyah segera bertanya, “Saya ambilkan untukmu, wahai Rasulullah?”

Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi isyarat, “Ya.”

‘Aisyah meminta siwak itu dari Abdurrahman dan melembutkannya, lalu menyerahkannya kepada Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sambil tetap bersandar di pangkuan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam menggosok mulutnya dengan siwak yang sudah dilembutkan oleh ‘Aisyah radhiallahu ‘anha.

Kejadian ini tidak pernah lekang dari ingatan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Air liurnya bercampur dengan liur Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam di saat-saat perjalanan terakhir Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan dunia, dan awal perjalanan menuju akhirat. Terlebih lagi, Allah subhanahu wa ta’ala mengambil ruh Khalil-Nya yang paling mulia di atas pangkuan ‘Aisyah, dalam pelukan beliau radhiallahu ‘anha.

Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai mencelupkan tangannya ke dalam air yang ada di hadapannya. Kemudian beliau mengusapkan air itu ke wajahnya sambil berkata, “Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq melainkan Allah. Sungguh, kematian itu ada rasa sakitnya.”6

Setelah itu beliau mengangkat tangannya dan berkata, “Bersama teman yang tertinggi.” Kalimat ini beliau ulang-ulang sampai beliau mengembuskan nafas yang terakhir. Ucapan ini menunjukkan betapa rindunya beliau bertemu dengan Kekasihnya, Allah subhanahu wa ta’ala.

Tangan yang mulia itu pun terkulai. Ruh suci itu telah kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Fathimah radhiallahu ‘anha yang turut melepas keberangkatan ayahanda tercinta tak dapat membendung tangisnya. Sambil berurai air mata, beliau radhiallahu ‘anha berseru lirih, “Duhai Ayahanda, kepada Jibril kusampaikan berita duka ini. Duhai Ayahanda, alangkah dekatnya kepada Rabbnya. Duhai Ayahanda, surga Firdaus tempat kembalinya. Duhai Ayahanda, dia sambut panggilan Rabbnya.”7

Senin, di bulan Rabi’ul Awwal tahun 11 H, Manusia Agung telah pergi. Mewariskan landasan hidup yang kekal abadi, bagi para pencari kebahagiaan yang sejati.

Tangis pun meledak. Hujan air mata di kamar ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Tak ada ratapan, dan tak ada kata yang terucap selain yang diserukan Fathimah radhiallahu ‘anha. Semua yang ada di dalam rumah itu tak kuasa menahan duka. Bagaimana mungkin? Tidak ada musibah yang lebih hebat daripada kehilangan kekasih yang sangat dicintai. Oleh sebab itu, menangislah wahai kaum muslimin, wahai umat Muhammad  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, ingatlah, musibah di atas musibah, adalah jika kita tidak bertemu juga dengan beliau di telaga al-Haudh. Tidak pula menjadi tetangga beliau di dalam jannah (surga). Na’udzu billah min dzalik.

Gelap. Kota Madinah seakan gelap gulita. Kekasih mulia telah pergi memenuhi janji bertemu Rabbnya di tempat yang tertinggi. Mimbar Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam seakan-akan turut merasakan kesedihan yang melanda para sahabat.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku tidak pernah melihat keadaan yang lebih indah dan cerah dibandingkan ketika masuknya Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam ke kota Madinah. Dan (sekarang) aku tidak pernah melihat keadaan yang lebih buruk dan pekat dibandingkan saat wafatnya Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam.”8

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Selamat jalan, wahai junjungan! Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membalasimu dengan kebaikan atas jasamu terhadap umatmu. Shalawat dan salam semoga senantiasa Dia limpahkan atasmu, keluarga, dan para sahabatmu, serta orang-orang yang mengikutimu dengan baik hingga hari pembalasan.

(Insya Allah bersambung)

 Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits

Catatan Kaki:

1 Syu’abul Iman karya al-Imam al-Baihaqi (1/81). Kata beliau, “Al-Imam Ahmad mempunyai salaf (pendahulu) yang benar dalam masalah ini.” Diriwayatkan yang seperti itu juga dari Atha’ bin Yasar rahimahullah.

2 HR. al-Bukhari (2/612).

3 HR. al-Bukhari (1/408) dan Muslim (1/376).

4 HR. Ibnu Majah (1/389), disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani.

5 HR. al-Bukhari (2/641).

6 HR. al-Bukhari (2/640).

7 HR. Ibnu Majah (1630), disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani.

8 HR. At-Tirmidzi (5/588).