Asysyariah
Asysyariah

mut’ah untuk wanita yang dicerai

13 tahun yang lalu
baca 8 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin)

“Wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberi) mut’ah (oleh suaminya) menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (al-Baqarah: 241)

Abu Ja’far Ibnu Jarir ath-Thabari t dalam tafsirnya menyebutkan pendapat sebagian ulama bahwa ayat ini turun berkaitan dengan ucapan seorang muslim yang menyatakan, “Kami tidak akan melakukan itu (memberikan mut’ah [pemberian] kepada wanita yang dicerai, -pent.) melainkan jika kami ingin berbuat kebajikan,” ketika turun ayat:
“Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka (istri yang dicerai). Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian yang patut. Hal itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (al-Baqarah: 236)

Penjelasan Mufradat Ayat
“Wanita-wanita yang diceraikan….”
Asy-Syinqithi t berkata, “Yang dimaksud ‘wanita-wanita yang diceraikan’ dalam ayat ini umum, baik seorang istri yang telah digauli maupun belum, baik yang sudah ditentukan mahar/maskawinnya maupun belum. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah l:
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kamu sekalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, mari, kuberikan kepadamu mut’ah (pemberian) dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.” (al-Ahzab: 28)
Juga firman Allah l:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (al-Ahzab: 21)
Telah menjadi suatu ketetapan dalam ilmu ushul bahwa suatu percakapan yang khusus kepada Nabi n, maka hukum (yang ada padanya) berlaku umum untuk seluruh umatnya, hingga ada dalil yang menunjukkan pengkhususannya.”
“Mut’ah (pemberian).”
Mut’ah adalah pemberian kepada wanita yang telah dicerai sesuai dengan kemampuan suami.
Ibnu Jarir ath-Thabari t mengatakan, “Kata ﮊ menurut orang Arab adalah segala sesuatu yang dapat dinikmati/diambil manfaatnya, baik penghidupan, pakaian, perhiasan, kelezatan, maupun yang lainnya. Dengan demikian, Allah l telah menjadikan kehidupan setiap makhluk hidup sebagai harta benda (pemberian) baginya untuk dinikmati/dimanfaatkan di masa hidupnya. Bagi manusia, bumi merupakan pemberian di masa hidupnya. Mereka tinggal di bumi, memakan berbagai makanan pokok dan buah-buahan yang dikeluarkan oleh Allah l darinya, serta merasakan berbagai kelezatan yang diciptakan oleh Allah l di bumi. Pun setelah meninggal, Allah l menjadikan bumi sebagai tempat manusia dikumpulkan. Allah l menjadikan bumi sebagai tempat peristirahatan dan kediaman. Kata mata’ mencakup semua hal itu.”
Beliau juga menjelaskan, mata’ juga bermakna segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya, seseorang merasa senang dengannya, berupa pakaian, nafkah (biaya hidup), dan budak.
Ibnul Jauzi mengatakan dalam tafsirnya, “Mata’ adalah nama bagi segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya.”
Hukum Mut’ah (Pemberian untuk Wanita yang Dicerai)
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum mut’ah: wajib atau sunnah.
1. Pendapat yang mengatakan wajibnya mut’ah.
Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Atha’, Jabir bin Zaid, Sa’id bin Jubair, Sa’id bin al-Musayyab, al-Hasan al-Bashri, al-Imam asy-Syafi’i—dalam salah satu pendapatnya—, al-Imam Ahmad, dan Ishaq.
Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang keadaan wanita yang diceraikan.
Pendapat pertama, apa pun keadaannya—apakah diceraikan dalam keadaan sudah dicampuri atau belum, sudah ditentukan maharnya atau belum—tetap mendapatkan mut’ah. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Ali bin Abi Thalib z, Sa’id bin Jubair, al-Hasan al-Bashri, Abul ‘Aliyah, az-Zuhri rahimahumullah. As-Suyuthi t dalam ad-Durrul Mantsur menyebutkan sebuah riwayat dari Ali bin Abi Thalib z yang dikeluarkan oleh Ibnul Mundzir t. Ali mengatakan bahwa setiap wanita mukminah yang dicerai (hendaklah diberi) mut’ah (oleh suaminya), baik dia wanita merdeka maupun budak perempuan1. Lalu beliau membaca ayat:
“Wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberi) mut’ah (oleh suaminya) menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (al-Baqarah: 241)
Qatadah meriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri dan Abul ‘Aliyah, keduanya berpendapat bahwa setiap wanita yang dicerai hendaklah (wajib) diberi mut’ah oleh suaminya, baik sudah dicampuri maupun belum, walaupun mahar sudah ditentukan. Dalam riwayat lain, al-Hasan al-Bashri t berkata, “Setiap wanita yang dicerai wajib diberi mut’ah, meskipun ia belum dicampuri dan belum ditentukan maharnya.” Sa’id bin Jubair t berkata, “Setiap wanita yang dicerai hendaklah diberi mut’ah oleh suaminya menurut kadar yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.”
Pendapat kedua, suami wajib memberi mut’ah kepada istri yang dicerai, kecuali istri yang dicerai itu belum dicampuri dan sudah ada penentuan mahar, maka tidak ada mut’ah untuknya. Akan tetapi, suami berkewajiban membayar setengah dari mahar yang telah ditentukan.
Pendapat ini disandarkan kepada Abdullah bin Umar, Sa’id bin al-Musayyab, al-Qashim bin Muhammad, Syuraih, dan Ibrahim rahimahumullah. Diriwayatkan dari Mujahid t, ia mengatakan bahwa suami wajib memberikan mut’ah kepada istri yang dicerai, kecuali istri yang dicerai itu belum dicampuri dan sudah ada penentuan mahar, maka tidak ada mut’ah untuknya. Adapun riwayat dari Syuraih, “Wanita yang dicerai dan belum dicampuri namun sudah ada penentuan mahar, dia mendapatkan mut’ah setengah dari mahar yang akan diberikan.”
Pendapat ketiga, wanita yang dicerai sebelum dicampuri dan belum ada penentuan mahar, maka tidak ada mut’ah untuknya. Yang ada adalah pemberian mahar yang semisal. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah al-Auza’i, ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan al-Imam Ahmad.
2. Pendapat yang menyatakan sunnahnya mut’ah, tidak wajib atas siapa pun, baik wanita yang sudah ditentukan maharnya maupun belum, yang sudah dicampuri maupun belum.
Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah al-Imam Malik, al-Laits bin Sa’d, dan Ibnu Abi Laila. Mereka berpendapat, perintah dalam ayat ini tidak menunjukkan wajib, tetapi hanya sunnah atau mustahab. Alasannya, Allah l menyebutkan bahwa mut’ah itu adalah ketentuan bagi orang-orang yang ingin berbuat kebajikan. Inilah yang menjadi faktor yang memalingkan makna perintah wajib kepada sunnah.
Setelah menyebutkan beberapa pendapat ulama dalam hal ini, Ibnu Jarir t berkata, “Menurut saya, pendapat yang benar adalah pendapat yang menyatakan wajibnya setiap wanita yang dicerai diberi mut’ah, karena Allah l menyebutkan:
“Wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberi) mut’ah (oleh suaminya) menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (al-Baqarah: 241)
Dalam ayat ini, Allah memberlakukan (hukum ini) terhadap setiap wanita yang dicerai, tidak mengkhususkan sebagian mereka. Maka dari itu, tidak boleh seorang pun memalingkan keumuman ayat di atas kepada pengkhususan kecuali dengan sebuah hujjah yang bisa diterima.”
Sebagian ulama berpendapat, wanita yang khulu’ dan mula’anah tidak mendapatkan mut’ah karena mereka yang menghendaki perceraian. Ibnul Qasim t berkata, tidak ada mut’ah dalam hal pernikahan yang di-fasakh (dibatalkan). Adapun ayat:
“Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf.” (al-Baqarah: 241)
berlaku pada wanita yang ditalak, bukan wanita yang di-fasakh (digugurkan akad nikahnya), seperti khulu’ dan mula’anah.
Adapun ulama yang lain, seperti at-Tirmidzi, Atha’, dan an-Nakha’i rahimahumullah, berpendapat bahwa wanita yang khulu’ mendapat mut’ah. Di sisi lain, ashabu ra’yi berpendapat bahwa wanita mula’anah mendapat mut’ah.

Ukuran Mut’ah
Para ulama berbeda pendapat dalam hal penentuan kadar mut’ah.
Ibnu Abbas c berpendapat, yang paling tinggi (maksimum) adalah mendapatkan budak, yang menengah adalah tiga macam pakaian: pakaian di dalam rumah, kerudung, dan kain penutup badan/sejenis jubah, serta yang paling rendah adalah pakaian.
Pendapat serupa dikatakan oleh Sa’id bin al-Musayyab, asy-Sya’bi, dan az-Zuhri rahimahumullah. Ini juga pendapat al-Imam asy-Syafi’i t, dan beliau menambahkan, yang paling rendah (minimum) adalah sesuatu yang memiliki nilai harga walaupun sedikit.
Pada riwayat yang lain, Ibnu Abbas c berkata, “Yang paling tinggi adalah budak, kemudian pakaian, kemudian nafkah.”
Atha’ t berkata, “Yang sedang/pertengahan adalah pakaian dalam rumah, kerudung, dan pakaian sejenis jubah.”
Al-Imam asy-Syaukani t dalam Fathul Qadir menyebutkan riwayat yang dikeluarkan oleh al-Baihaqi, dari Jabir bin ‘Abdillah z. Beliau berkata bahwa ketika Hafsh bin al-Mughirah menalak istrinya, Fathimah, ia datang kepada Nabi n. Beliau n berkata kepada si suami, “Berilah mut’ah kepadanya.” Si suami menjawab, “Aku tidak memiliki sesuatu yang dapat aku berikan kepadanya.” Nabi n berkata, “Sesungguhnya mut’ah adalah suatu keharusan. Berikanlah mut’ah kepadanya walaupun hanya setengah sha’ kurma.”
Beliau juga menyebutkan perkataan al-Imam Malik dan al-Imam asy-Syafi’i rahimahumallah yang berpendapat bahwa mut’ah tidak ada batasnya. Adapun Abu Hanifah t berpendapat, jika terjadi perselishan antara suami dan istri tentang mut’ah, tidak boleh kurang dari lima dirham karena beliau berpendapat bahwa mahar tidak boleh kurang dari sepuluh dirham.
Al-Imam al-Qurthubi t dalam tafsirnya menyebutkan pendapat al-Imam asy-Syafi’i dan al-Imam Ahmad rahimahumallah, bahwa mut’ah itu sebatas kemudahan dan kesulitan suami. Dengan demikian ukurannya tergantung ijtihad seorang hakim. Al-Imam Ahmad t juga berkata, “Ukuran mut’ah setara dengan perkara (pakaian) yang untuk shalat, seperti pakaian resmi, pakaian wanita dalam rumah, dan kerudung.” Adapun al-Imam Malik t mengatakan, “Menurut pendapat kami, tidak ada batasan banyak dan sedikitnya mut’ah.”
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Catatan Kaki:

1 Al-Qurthubi mengatakan, ulama bersepakat tentang disyariatkannya mut’ah bagi wanita yang merdeka. Adapun budak perempuan yang dicerai sebelum dicampuri dan ditentukan maharnya, jumhur berpendapat ia wajib mendapat mut’ah. Sebagian ulama lain, seperti al-Auza’i dan ats-Tsauri, berpendapat tidak ada mut’ah untuknya, karena ia menjadi milik tuannya.