Deraan krisis ekonomi berkepanjangan yang berujung pada tingginya angka pengangguran dan lesunya sektor riil, membuat sebagian orang dengan mudahnya tergiur cara-cara instan untuk mendapatkan uang. Tak heran jika hampir tiap hari kita disuguhi berita banyaknya masyarakat yang tertipu dengan praktik-praktik bisnis berkedok Multi Level Marketing (MLM), investasi fiktif, transaksi valas dan surat berharga “bodong”, hingga yang “primitif” sekalipun yakni penggandaan uang melalui dukun.
Makna yang bisa ditangkap di sini, selain “mimpi-mimpi” kesuksesan yang memang menjadi penyakit yang membelit sebagian masyarakat kita, juga dikarenakan syariat tidak lagi menjadi pertimbangan utama. Yang terpenting tanam duit dulu, jadi member sana member sini, maka komisi, reward, atau income sekian digit per bulan telah membayang di depan mata. Atau bagi yang berdukun, tunggu malam Jumat Kliwon, maka uang konon bakal berlipat dengan sendirinya.
Sejatinya, semua praktik bisnis, apapun istilahnya sekarang, mempunyai esensi yang bisa ditelaah secara syariat. Karena pada dasarnya yang berbeda hanyalah mekanismenya. Sebagai contoh adalah MLM. Ini adalah cara jualan langsung ke konsumen dengan memangkas jalur distribusi. Namun menjadi berbeda ketika produk yang dijual hanyalah kamuflase, dibumbui dengan sistem yang melanggar syar’i, atau malah murni penggandaan uang (arisan berantai) berskema piramida.
Bisa jadi manusia memang “tak kehilangan akal” untuk terus menyeberangi batasan-batasan syariat. Namun bagaimanapun, Islam adalah agama yang sempurna, rambu-rambu yang terpasang di jalan syariat ini telah demikian jelas karena Islam tak pernah usang dimakan jaman. Justru kian rusak perilaku manusia berikut pranata sosialnya, makin kita menemukan kebenaran Islam. Makanya tak perlu acara-acara kontekstualisasi (baca: bongkar pasang syariat), rekonstruksi Islam sehari, atau semacamnya, selama kita mau menggali ilmu syariat yang demikian luas dan dalam ini. Namun tentu saja ini semua dilakukan dengan bimbingan para ulama.
Pembaca, berumah tangga semestinya mampu menggugah kesadaran kita bahwa sikap keakuan sudah saatnya ditanggalkan. Karena apapun sikap atau perilaku kita, itu adalah api yang melahirkan asap, yakni berimbas (setidaknya) pada pasangan hidup kita.
Cemburu, misalnya. Ini adalah sikap yang menggarami kehidupan rumah tangga kita sehari-hari. Tanpa garam, tentu masakan tak akan lezat, namun jika berlebihan niscaya rasa tak enaklah yang mesti kita telan. Maka, memperturutkan cemburu buta hanya akan menabur benih-benih keretakan semata. Jika benih-benih ini kian berkecambah, maka “bom waktu” bernama perceraian tinggal menunggu saatnya saja. Bagaimana memenej rasa cemburu secara Islam itu? Simak bahasannya di rubrik Mengayuh Biduk.
Pembaca, melihat anak-anak kita bisa tumbuh dalam naungan nilai-nilai Islam tentu merupakan kebahagiaan yang tak terkisahkan. Sehingga menjadi teramat indah jika Al Qur’an bisa menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidup mereka. Meski tak mudah, di rubrik Permata Hati, pembaca bisa menyelami hal-hal apa yang mesti dilakukan orang tua dalam mendidik anak-anaknya agar mereka tumbuh dengan baik sejak dini.
Tentu tak hanya ini yang bisa anda kaji, pembaca. Buka halaman demi halaman majalah kita ini, semoga anda dapat menemukan jawaban (baca: ilmu) dari banyaknya pertanyaan yang menggayuti hidup anda. Selamat menyimak!