Apa hukum mengucapkan selamat untuk orang kafir yang merayakan hari raya keagamaannya?
Apa pula hukum menghadiri atau ikut merayakannya?
Apa hukum menerima hadiah dalam rangka perayaan itu?
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini
Alhamdulillah wa ash-shalatu wa as-salamu ‘ala Rasulillah. Masalah-masalah ini termasuk dalam kategori permasalahan al-wala’ wal-bara’ (cinta/loyalitas dan kebencian/berlepas diri) yang merupakan prinsip agung dalam Islam.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah ‘azza wa jalla dan hari akhir akan mencintai orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, walaupun mereka itu adalah ayah-ayah mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, atau kerabat-kerabat mereka. Merekalah orang-orang yang Allah kokohkan keimanan pada kalbu-kalbu mereka dan Allah kuatkan mereka dengan pertolongannya, serta Allah masukkan mereka dalam jannah (surga) yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah. Merekalah golongan Allah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan Allah yang akan beruntung.” (al-Mujadilah: 22)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
مَنْ أَحَبَّ وَأَبْغَضَ وَأَعْطَى وَمَنَعَ فَقَدْ اسْتَكْمَلَ الْإِيمَانَ.
‘Barang siapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan menahan (tidak memberi) karena Allah, sungguh ia telah menyempurnakan iman.” (HR. Abu Dawud dari Abu Umamah radhiallahu ‘anhu, dinyatakan sahih dengan penguatpenguatnya oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 380 dan Shahih al-Jami’ no. 5965)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ: مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ يُحِبُّهُ إِ ،ِلهلِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ.
“Tiga perkara, yang barang siapa ketiganya terdapat pada dirinya, niscaya dia mendapatkan dengannya manisnya iman: Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya; tidaklah mencintai orang lain kecuali karena Allah; dan membenci kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan darinya sebagaimana ia membenci untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim dari Anas radhiallahu ‘anhu)
Penegakan prinsip al-wala’ wal-bara’ adalah benteng yang sangat kokoh agar menjaga seorang muslim tetap istiqamah (konsisten) di atas kebenaran.
Berikut kami nukilkan fatwa-fatwa ulama mengenai masalah yang ditanyakan di atas.
Mengucapkan Selamat & Menghadiri Perayaan Natal
“Seorang muslim tidak boleh mengucapkan selamat hari raya untuk perayaan ‘Id (hari raya) keagamaan orang-orang kafir. Sebab, hal itu termasuk bentuk keridhaan terhadap kebatilan mereka dan membuat mereka senang.
Kata Ibnul Qayyim rahimahullah, ‘Adapun ucapan selamat untuk syiar-syiar khusus kekafiran, hal itu haram menurut kesepakatan alim ulama. Misal: ucapan selamat kepada orang kafir dalam perayaan ‘Id (hari raya) mereka dan puasa mereka, dengan mengucapkan, ‘Semoga menjadi ‘Id yang penuh berkah atasmu,’ ‘Selamat buatmu dengan ‘Id ini,’ atau semisalnya.
Hal itu, andaikan orang yang mengucapkannya selamat dari kekufuran, setidaknya tergolong perkara haram. Sederajat dengan mengucapkan selamat atas perbuatan sujud kepada salib.
Hal itu lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkai daripada ucapan selamat atas minum khamr, pembunuhan, perzinaan, dan semisalnya. Banyak orang yang tidak menghargai agama ini terjatuh dalam hal semacam itu, tanpa tahu betapa buruk perbuatan tersebut.
Barang siapa mengucapkan selamat untuk seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah, atau kufur, sesungguhnya dirinya terancam dengan murka Allah ‘azza wa jalla.”
“Ucapan selamat kepada orang kafir atas perayaan Hari Natal atau hari raya agama selainnya adalah perkara haram menurut kesepakatan ulama. Hal itu sebagaimana dinukil oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Ahkam Ahli adz-Dzimmah (1/205).”
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah kemudian menukilkan ucapan Ibnul Qayyim sebagaimana yang tercanum dalam fatwa al-Lajnah di atas.
Setelah itu, beliau berkata, “Sesungguhnya, ucapan selamat kepada orang kafir atas hari raya keagamaan mereka hukumnya haram dan dosanya seperti kata Ibnul Qayyim, karena mengandung legitimasi atas apa yang mereka jalani dari syiar-syiar kufur dan keridhaan dengannya, kendati ia tidak ridha dengan kekufuran itu sendiri.
Akan tetapi, haram atas seorang muslim ridha dengan syiar-syiar kekafiran atau mengucapkan selamat kepada orang kafir dengan perayaan syiar-syiar itu, karena Allah tidak ridha dengannya.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Jika kalian kufur, sesungguhnya Allah Mahakaya (Tidak Butuh) dari kalian. Allah tidak ridha dengan kekufuran bagi hamba-hamba-Nya. Jika kalian bersyukur, Allah ridha bagi kalian.” (az-Zumar: 7)
Allah ‘azza wa jalla juga berfirman,
“Hari ini aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, aku sempurnakan atas kalian nikmat-Ku, dan aku ridha Islam jadi agama kalian.” (al-Ma’idah: 3)
Haram hukumnya bagi seseorang mengucapkan selamat atas hari ‘Id (raya) keagamaan mereka, baik mereka satu pekerjaan dengannya atau tidak. Jika mereka mempersembahkan ucapan selamat hari ‘Id keagamaan mereka kepada kita, kita tidak boleh menjawabnya. Sebab, itu bukan ‘Id kita dan merupakan ‘Id yang tidak diridhai oleh Allah ‘azza wa jalla lantaran salah dari kemungkinan berikut.
Allah ‘azza wa jalla berfirman tentangnya,
“Barang siapa mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima darinya hal itu dan dia di akhirat termasuk orang-orang merugi.” (Ali ‘Imran: 85)
Haram bagi seorang muslim menjawab undangan mereka untuk menghadiri acara perayaan ‘Id mereka, karena hal itu lebih besar dosanya daripada sekadar memberi ucapan selamat.
Begitu pula, haram bagi kaum muslimin menyerupai (tasyabbuh) orang kafir dengan ikut-ikutan membuat acara perayaan pada hari ‘Id mereka, berbagi hadiah, membagi-bagikan kue, meliburkan pekerjaan, dan semisalnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.”[1]
Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Iqtidha’ ash-Shirathil Mustaqim Mukhalafah Ashhabil Jahim, ‘Menyerupai orang-orang kafir pada sebagian perayaan ‘Id mereka akan membuat senang hati mereka lantaran kebatilan yang mereka jalani. Boleh jadi pula, hal itu akan menimbulkan ketamakan untuk mengambil peluang dan menghinakan orang-orang yang lemah.’
Barang siapa melakukan sesuatu dari hal-hal tersebut, ia berdosa, baik ia melakukannya dalam rangka basa-basi, saling mencintai, malu, atau sebab-sebab lainnya. Sebab, semua itu termasuk mudahanah (bermuka manis terhadap kemungkaran dalam rangka mengambil muka/menjilat kepada pelakunya) dalam agama Allah ‘azza wa jalla serta penyebab semakin kuatnya jiwa orang-orang kafir dan semakin bangga dengan agama mereka.
Hanya kepada Allah ‘azza wa jalla kita memohon agar memuliakan kaum muslimin dengan agama mereka, mengaruniai kekokohan di atas agama ini, menolong mereka menghadapi musuh-musuh mereka. Sesungguhnya Dialah yang Mahakuat dan Mahaperkasa.”
“Berbaur (ikut serta) bersama orang-orang kafir dalam perayaan hari ‘Id mereka adalah haram, karena hal itu merupakan tolong-menolong atas perbuatan dosa dan permusuhan.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (al-Ma’idah: 2)
Selain itu, bergabung bersama mereka dalam perayaan keagamaan itu menunjukkan adanya makna legitimasi (persetujuan) terhadap agama tersebut, sekaligus merestui kekafiran yang mereka jalani.
Apabila hari raya tersebut karena perayaan yang tidak termasuk (tuntunan) agama, kalaupun hari raya itu ada di kalangan muslimin tetap tidak boleh dirayakan; apalagi jika perayaan tersebut ada di kalangan orang-orang kafir.
Oleh karena itu, alim ulama sepakat bahwa tidak boleh bagi kaum muslimin ikut serta merayakan bersama orangorang kafir dalam perayaan ‘Id mereka, karena hal itu merupakan legitimasi dan keridhaan atas kebatilan yang mereka jalani, selain bahwa hal itu termasuk tolong-menolong atas dosa dan permusuhan.”
Menerima Hadiah Natal
Tersisa masalah menerima hadiah orang kafir yang memberi hadiah dalam perayaan ‘Id mereka.
Sebagai jawabannya, secara singkat kami nukil fatwa Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berikut ini—pada kelanjutan fatwa di atas—, beliau berkata, “Alim ulama berbeda pendapat dalam masalah menerima hadiah orang kafir yang memberi hadiah dalam perayaan ‘Id mereka, apakah boleh diterima atau tidak?
Bagaimanapun juga, jika menerima hadiah itu tidak mengandung pelanggaran syariat, yakni adanya keyakinan pada diri orang kafir yang memberi hadiah bahwa dengan menerima hadiahnya berarti Anda ridha dengan kekufuran mereka; selama tidak demikian, maka boleh menerimanya. Namun, tidak menerimanya itu lebih baik.”
Alhasil, jika dipastikan atau diprediksi kuat (berdasarkan qarinah/indikasi) adanya keyakinan orang kafir yang memberi hadiah bahwa dengan menerimanya berarti ridha dengan kekufurannya, haram menerimanya. Jika tidak bisa dipastikan dan tidak pula bisa diprediksi kuat adanya hal itu; tetapi berkemungkinan ya atau tidak, yang lebih hati-hati adalah menolaknya. Wallahu a’lam.
Bermudah-mudah atau terus-menerus melanggar dalam hal-hal ini adalah akibat lemahnya ketakwaan dan sirnanya prinsip al-wala’ wal-bara’ pada diri seseorang, sebagaimana realitas yang didapati pada tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin dan tokoh sesat yang berjalan di atas manhaj Ikhwanul Muslimin dalam memerangi prinsip nan agung ini.
Sebagian mereka telah binasa dalam lumpur kekufuran dan sebagian lainnya di ambang kebinasaan, serta mengancam kehancuran kaum muslimin yang menjadikan mereka sebagai panutan dan merujuk kepada fatwa-fatwa mereka yang batil. Wallahul musta’an wa ‘alaihi at-tiklan.
[1] Hadits ini adalah riwayat Ahmad dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, dinyatakan hasan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Hajar, dan asy-Syaikh Al-Albani, sebagaimana dalam Jilbabul Mar’ah al-Muslimah, hlm. 203—204, dan guru besar kami yang mulia, Muqbil al-Wadi’i rahimahullah.