Asysyariah
Asysyariah

mengubah kemungkaran dengan kekuatan

13 tahun yang lalu
baca 6 menit
Mengubah Kemungkaran dengan Kekuatan

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap muslim mempunyai kewajiban untuk mengingatkan dan memerintahkan yang ma’ruf serta mengingatkan dan mencegah dari yang mungkar sesuai dengan tuntunan syariat.

Persoalannya, jika dalam menjalankan itu semua menggunakan kekuatan, seperti yang kerap dilakukan oleh sekelompok orang, apakah syariat membolehkannya? Apakah hal tersebut menjadi kewenangan tiap orang, ataukah menjadi kewenangan penguasa dan pemerintah?

Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Para ulama menjelaskan, amar ma’ruf nahi mungkar bagi para umara adalah dengan tangan, bagi para ulama dengan lisan, kemudian bagi mereka yang lemah dan keumuman orang adalah dengan hati.”

Al-Qadhi Iyadh rahimahullah berkata, “Apabila diperkirakan mengubah kemungkaran dengan tangan akan menyebabkan timbulnya kemungkaran yang lebih besar, seperti terbunuhnya (si pelaku kemungkaran) atau terbunuhnya pihak lain, hendaknya seseorang menahan tangannya dan cukup menyampaikan nasihat secara lisan.

Jika penyampaian nasihat secara lisan juga dikhawatirkan menimbulkan hal yang sama, hendaknya ia mengubah kemungkaran dengan hatinya. Inilah yang dimaksud oleh hadits.

Kemudian, kalau ada yang meminta bantuan untuk mengubah suatu kemungkaran, hendaknya diberi bantuan selama proses tersebut tidak mengarah pada penggunaan senjata tajam dan penyerangan (karena ini mengandung kemungkaran dari sisi yang lain). Jika terjadi demikian, sebaiknya hal itu diserahkan kepada yang mempunyai wewenang, atau sebaiknya mengingkari kemungkaran dengan hati.

Inilah duduk persoalan yang sesungguhnya dan penerapan yang benar menurut para ulama. Berbeda dengan pandangan (keliru) yang membolehkan pengubahan kemungkaran secara terang-terangan pada setiap keadaan, meski menyebabkan banyak korban jiwa dan luka-luka, serta memunculkan banyak pertentangan.” (dikutip dari Syarh Shahih Muslim)

Pihak penguasa atau pemerintah yang memiliki kekuasaan dan kekuatan, wajib menegakkan yang ma’ruf dan menghilangkan yang mungkar dengan kekuatan. Demikian pula, para ulama dapat menunaikan kewajibannya, yaitu mengarahkan dan menciptakan perbaikan. Kewajiban ulama adalah memotivasi manusia untuk melakukan yang ma’ruf dan menerangkan tentang keburukan, bahaya, dan akibat kemungkaran.

Adapun yang tidak berkemampuan untuk itu, tak ada jalan lain bagi mereka selain mencintai yang ma’ruf dan membenci segala kemungkaran dengan hatinya.
Apa yang telah disampaikan di atas tadi, tidak berarti bahwa siapa yang melihat suatu kemaksiatan dan mendekatinya berdalih tidak punya wewenang dan hukum, lantas mendiamkannya tanpa ada kesungguhan usaha untuk mencegah dan menghilangkannya.

Islam menuntut siapa saja yang melihat kemungkaran agar mencegah dan mengubahnya dengan ucapan yang lembut. Jika tidak berhasil dan ia mempunyai kemampuan untuk mengubahnya dengan kekuatan, ubahlah menggunakan kekuatan.

Ada baiknya, jika pihak pemerintah memiliki lembaga khusus amar ma’ruf nahi mungkar—semacam membentuk Densus 88 untuk memburu dan membasmi para teroris—, sehingga setiap orang, kelompok, atau organisasi tidak semaunya mengubah kemungkaran dengan kekuatan menurut caranya sendiri.

Tentu sangat dikhawatirkan jika semua pihak mengubah kemungkaran dengan kekuatannya. Hal itu hanya akan memunculkan fitnah, keresahan, dan kekacauan. Bahkan, sangat mungkin menjadi pemicu munculnya kemungkaran baru yang lebih besar.

Tidak dimungkiri, mungkin saja ada yang melakukan itu semua dengan niat yang baik. Akan tetapi, juga tidak menutup kemungkinan para aktornya malah orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang hanya bertujuan membuat kericuhan, keonaran, dan menebar kejelekan.

Melarang Kemungkaran Berbeda dengan Mengubahnya

Masalah yang sangat penting untuk diketahui dalam pembahasan amar ma’ruf nahi mungkar adalah mengetahui perbedaan antara mengubah kemungkaran dan mencegah/melarangnya. Ternyata, banyak orang yang masih tidak memahami persoalan ini dengan baik. Akibatnya, tak sedikit yang justru terjatuh dalam kesalahan yang fatal. Perbedaan-perbedaan tersebut di antaranya sebagai berikut.

  1. Mengubah kemungkaran pada hakikatnya adalah menghilangkan dan melenyapkan wujudnya, seperti menumpahkan miras, menghancurkan sarana perjudian, dan lain-lain. Adapun mealrang kemungkaran berarti menyampaikan nasihat, peringatan, dan ancaman.
  2. Mengubah kemungkaran dilakukan pada saat kemungkaran itu terjadi. Adapun hukuman bagi si pelaku kemungkaran menjadi wewenang penguasa atau pemerintah.

Berbeda halnya dengan mencegah/melarang. Hal ini dapat dilakukan sebelum, saat, dan setelah kemungkaran itu terjadi. Tidak terkait waktu sama sekali.

  1. Mengubah kemungkaran membutuhkan kekuasaan dan kekuatan, terutama dalam hal menghentikannya. Adapun melarang, setiap orang memiliki kemampuan, baik dengan nasihat yang menyentuh maupun dengan dialog yang bijak.
  2. Mengubah kemungkaran adalah fardhu kifayah menurut pendapat mayoritas ahli fikih, dan dapat menjadi fardhu ‘ain bagi yang mengetahuinya dan memiliki kemampuan.

Adapun mencegah/melarang kemungkaran, karena ada kemudahan dan kemungkinan tidak ada fitnah saat melakukannya, maka menjadi wajib ‘ain bagi setiap muslim, dalam setiap keadaan, sesuai dengan kemampuannya. (al-Amru bil Ma’ruf wa an-Nahyu ‘anil Munkar).

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sebuah cincin emas di tangan seorang lelaki. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu melepas dan melemparnya sembari berkata, “Salah seorang dari kalian pergi menuju bara api neraka lalu dia memakainya di tangannya.” Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi, dikatakan kepada lelaki itu, “Ambillah cincinmu, manfaatkanlah!” Dia menjawab, “Tidak, demi Allah. Aku tidak akan mengambilnya selamanya padahal cincin itu telah dilempar oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menyebutkan beberapa faedah hadits ini dalam Syarh Riyadhish Shalihin (1/225). Di antara yang beliau sebutkan berkaitan dengan pembahasan amar ma’ruf nahi mungkar. Berikut ini petikannya.

“Hadits ini menunjukkan pemakaian cara keras dalam hal mengubah kemungkaran ketika dibutuhkan. (Dalam hadits di atas) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan kepada lelaki tersebut, ‘Emas itu haram (bagi lelaki), engkau jangan memakainya’, atau ‘maka lepaslah’. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam justru melepas dan melemparnya ke tanah. Telah diketahui bahwa amar ma’ruf nahi mungkar (memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar) itu berbeda dengan mengubah kemungkaran. Mengubah kemungkaran dilakukan oleh pihak yang memiliki kekuasaan dan mampu melaksanakannya, seperti penguasa atau yang ditunjuk mewakilinya, atau seperti seorang kepala rumah tangga terhadap keluarganya, atau seperti seorang wanita terhadap urusan rumahnya, atau yang semisalnya. Pihak-pihak seperti ini memiliki kekuasaan untuk mengubah kemungkaran dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lisannya. Jika masih tidak mampu, dengan hatinya. Adapun memerintahkan yang baik dan melarang yang mungkar hukumnya wajib dalam segala keadaan karena di dalamnya tidak ada pengubahan, hanya perintah kepada kebaikan dan larangan dari kemungkaran.”

Selain itu, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin juga menyatakan, “Faedah lainnya, seseorang hendaknya berlaku hikmah dalam hal mengubah kemungkaran. Lelaki ini disikapi keras oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, seorang A’rabi (penduduk pedalaman) yang kencing di masjid tidak disikapi demikian. Kemungkinan, lelaki yang mengenakan cincin emas tersebut sudah mengetahui hukumnya dan keharamannya, tetapi dia bermudah-mudahan. Berbeda halnya dengan A’rabi yang kencing di masjid, dia jahil, tidak mengetahui hukumnya. Dia datang dan melihat ada tempat yang kosong di masjid, lalu kencing di situ. Dia menganggap dirinya berada di padang pasir yang luas …. Demikian pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap lemah lembut terhadap Mu’awiyah bin al-Hakam as-Sulami radhiallahu ‘anhu yang berbicara ketika sedang shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersikap lembut terhadap seorang lelaki yang menggauli istrinya pada siang hari bulan Ramadhan. Keadaan yang berbeda membutuhkan sikap yang berbeda pula. Oleh karena itu, saudaraku muslim, hendaknya engkau menerapkan hikmah pada setiap ucapan dan perbuatanmu….

Kita memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar menjadikan kita sebagai orang-orang yang dianugerahi hikmah dan mendapat kebaikan yang banyak dengan sebab itu.”

Wal ‘ilmu ‘indallah.

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf al-Atsari