Asysyariah
Asysyariah

menghadiahkan pahala membaca al-qur’an

4 tahun yang lalu
baca 6 menit
Menghadiahkan Pahala Membaca Al-Qur’an

Pertanyaan:

Bolehkah saya mengkhatamkan Al-Qur’an, lalu saya menghadiahkan (niatkan) kepada ayah dan ibu saya? Perlu diketahui, keduanya tidak bisa baca-tulis.

Bolehkah saya mengkhatamkan Al-Qur’an untuk saya hadiahkan kepada orang yang bisa baca-tulis? Saya memang bermaksud menghadiahkannya kepadanya.

Demikian pula, bolehkah saya mengkhatamkan Al-Qur’an untuk saya hadiahkan kepada lebih dari satu orang?

 

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menjawab,

Tidak terdapat dalam Al-Qur’an yang mulia, hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan tidak pula dari para sahabatnya yang mulia; sesuatu yang menunjukkan disyariatkannya menghadiahkan (pahala) bacaan Al-Qur’an al-Karim kepada kedua orang tua atau orang lain.

Allah subhanahu wa ta’ala mensyariatkan membaca Al-Qur’an untuk diambil manfaatnya, faedahnya, serta agar bisa dipahami maknanya lalu diamalkan.

Baca juga:

Memuliakan Al-Qur’an Bukan dengan Menciumnya

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَكٞ لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ  ٱلۡأَلۡبَٰبِ

“Kitab (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.” (Shad: 29)

إِنَّ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ يَهۡدِي لِلَّتِي هِيَ أَقۡوَمُ

“Sungguh, Al-Qur’an ini memberikan petunjuk ke (jalan) yang paling lurus.” (al-Isra: 9)

قُلۡ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ هُدًى وَشِفَآءٌۚ

Katakanlah, Al-Qur’an adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman. (Fushshilat: 44)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِيْ شَفِيْعًا لِأَصْحَابِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya (amalan membaca) Al-Qur’an itu akan datang pada Hari Kiamat sebagai pemberi syafaat bagi para pembacanya.” (Sahih, HR. Muslim no. 804)

Baca juga:

Mengharap Syafaat pada Hari Kiamat

Beliau shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,

يُؤْتَى بِالْقُرْآنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَهْلِهِ الَّذِينَ كَانُوا يَعْمَلُونَ بِهِ تَقْدُمُهُ سُورَةُ الْبَقَرَةِ وَآلُ عِمْرَانَ تُحَاجَّانِ عَنْ صَاحِبِهِمَا

“Pada Hari Kiamat nanti akan didatangkan (amalan membaca) Al-Qur’an dan para ahli Al-Qur’an yang mengamalkannya. Surah al-Baqarah dan surah Ali Imran akan mendatanginya, dan keduanya akan membela para pembacanya.” (Sahih, HR. Muslim no. 804 dengan makna itu)

Dengan demikian, tujuan diturunkannya Al-Qur’an adalah untuk diamalkan, dipahami, diniatkan untuk ibadah ketika membacanya, serta agar seseorang memperbanyak membacanya; bukan untuk menghadiahkan (pahala)nya kepada orang-orang yang telah wafat atau selainnya.

Aku tidak mengetahui ada dasar yang bisa dijadikan argumen, dalam hal menghadiahkan (pahala) bacaan Al-Qur’an kepada kedua orang tua atau selain mereka. Sungguh, Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang bukan berasal dari ajaran kami, maka amalan itu tertolak.” (Sahih, HR. Muslim)

Baca juga:

Perkara Baru dalam Sorotan Syariat

Sebagian ulama membolehkan hal itu dan mengatakan, “Tidak mengapa menghadiahkan pahala (membaca) Al-Qur’an dan amalan saleh yang lain.” Mereka mengiaskan (menganalogikan)nya dengan sedekah dan doa untuk mayit.

Akan tetapi, yang benar adalah pendapat pertama (tidak boleh), berdasarkan hadits yang telah disebutkan dan yang semakna dengannya. Seandainya menghadiahkan bacaan itu sesuatu yang disyariatkan, tentu hal itu akan dilakukan oleh para Salafus Shalih (pendahulu yang baik).

Ada pula alasan lain, yaitu ibadah tidak boleh diberlakukan kias (analogi) padanya, karena ibadah itu harus berdasar pada tuntunan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ia tidak boleh ditetapkan, kecuali dengan nas dari Kalamullah atau hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam, berdasarkan hadits yang telah lewat dan yang semakna dengannya.

Baca juga:

Agama Ini Telah Sempurna

Adapun bersedekah untuk orang yang sudah mati atau selainnya, mendoakan mereka, menghajikan orang yang sudah berhaji untuk dirinya sendiri, mengumrahkan orang yang sudah berumrah untuk dirinya sendiri, juga membayarkan utang puasa orang yang telah wafat; semua ibadah ini (boleh). Ada tuntunannya dari hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Allah subhanahu wa ta’ala lah yang memberikan taufik. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat al-Mutanawwi’ah)

Pendapat Imam asy-Syafi’i rahimahullah

Apa yang dipaparkan di atas juga merupakan pendapat Imam asy-Syafi’i rahimahullah. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah, salah seorang ulama bermazhab Syafi’i, dalam Tafsir-nya. Beliau mengatakan tentang firman-Nya,

وَأَن لَّيۡسَ لِلۡإِنسَٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ

“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.” (an-Najm: 39)

Maksudnya, sebagaimana dosa orang lain tidak akan dibebankan kepadanya, ia pun hanya akan mendapatkan ganjaran dari apa yang telah dia usahakan sendiri.

Dari ayat ini, Imam asy-Syafi’i rahimahullah dan orang-orang yang mengikuti pendapat beliau, mengambil kesimpulan bahwa pahala bacaan Al-Qur’an seseorang yang dihadiahkannya, tidak akan sampai kepada mayit. Sebab, ia bukan amalan dan usaha si mayit.

Oleh karena itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menganjurkan, mengajak, atau membimbing umatnya untuk melakukan hal itu, baik dengan nash (teks) yang jelas maupun isyarat. Tidak ada pula satu pernyataan pun yang dinukilkan dari para sahabat. Seandainya hal itu memang baik, tentu mereka telah lebih dahulu mengamalkannya. Padahal, dalam perkara ibadah, kita harus berpatokan pada nas (ayat dan hadits); tidak boleh diberlakukan berbagai analogi dan pendapat akal padanya.

Baca juga:

Kedudukan Akal dalam Islam

Adapun sedekah dan doa, hal ini telah disepakati bahwa (pahala) keduanya bisa sampai kepada si mayit; dan telah disebutkan pula (bolehnya) oleh Pembuat syariat.

Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلَاثَةٍ؛ إِلَّا مِنْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ، أَوْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ

“Jika seorang anak Adam telah meninggal, terputuslah amalannya, kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.”

Tiga perkara ini, pada hakikatnya adalah bagian dari usaha, jerih payah, dan amalannya; sebagaimana yang terdapat dalam hadits,

إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ، وَإِنَّ وَلَدَهُ مِن كَسْبِهِ

Hal terbaik yang diperoleh seseorang adalah apa yang ia peroleh dari hasil usahanya sendiri. Dan sungguh, anaknya itu termasuk dari usahanya.”

Sedekah jariyah, seperti wakaf dan yang sejenisnya, juga termasuk bagian dari amalannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّا نَحۡنُ نُحۡيِ ٱلۡمَوۡتَىٰ وَنَكۡتُبُ مَا قَدَّمُواْ وَءَاثَٰرَهُم

“Sungguh, Kami-lah yang menghidupkan orang-orang yang mati, dan Kami-lah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan).” (Yasin: 12)

Baca juga:

Pembagian Kitab Catatan Amal

Ilmu yang ia sebarkan di tengah manusia sehingga mereka bisa mengambil manfaatnya sepeninggalnya, itu juga termasuk dari usahanya. Dalam sebuah hadits dalam kitab Sahih, disebutkan,

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا

“Barang siapa menunjukkan jalan hidayah (kepada seseorang), dia akan mendapatkan pahala sebesar pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (Tafsir Ibnu Katsir, surah an-Najm: 39)