Tidak ada kehidupan tanpa ada kebersamaan. Urusan agama dan dunia juga tidak akan berjalan dengan baik tanpa ada kebersamaan. Karena itulah, Allah Subhanahu wata’ala melarang berpecah belah dan berselisih, serta memerintahkan bersatu dan bersepakat di atas ketaatan kepada-Nya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan ketika itu kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali Imran: 103)
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat.” (Ali Imran: 105)
Kesatuan dan kebersamaan haruslah di bawah kepemimpinan. Sebab, dengan adanya pemimpin akan tercapailah kemaslahatan bersama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah mengatakan, “Wajib diketahui bahwa adanya pemimpin yang mengatur urusan manusia merupakan kewajiban agama yang agung. Sebab, urusan agama dan dunia tidak akan berjalan lancar kecuali dengan keberadaannya. Kemaslahatan bani Adam pun tidak akan sempurna kecuali dengan kebersamaan. Sebab, pada prinsipnya satu sama lain saling membutuhkan. Karena itu, kebersamaan haruslah di bawah seorang pemimpin.” (Majmu’ al-Fatawa)
Di dalam al-Qur’an, Allah Subhanahu wata’ala secara khusus menyinggung dan memerintahkan ketaatan kepada waliyyul amri sebagai wujud dari pemimpin, setelah taat kepada-Nya, dan kepada Rasul-Nya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kalian.” (an-Nisa’: 59)
Siapakah Waliyyul Amri?
Waliyyul amri adalah pemilik suatu hukum yang mempunyai kewenangan di dalamnya, seperti yang biasa disebutkan bahwa para ulama adalah yang mempunyai wewenang dalam hal agama, sedangkan penegak hukum mempunyai kewenangan dalam urusan dunia. Artinya, yang berkecimpung mengurusi urusan agama yang menyangkut tentang hukum halal dan haram, menjelaskan hukum yang datang dari Allah Rabbul ‘alamin adalah para ulama. Maka dari itu, ulama dari sisi ini disebut waliyyul amri.
Begitu pun para penegak hukum yang mengurusi urusan dunia, yang kata-katanya didengar di hadapan rakyat, yang dapat memutuskan ini dipenjara dan itu dibebaskan, yang dapat menentukan bepergian dengan itu dan kembali dengan ini, yang memiliki kekuasaan dan berkuasa, maka itulah waliyyul amri.
Berikut ini beberapa perkataan ulama tentang siapakah waliyyul amri.
• Al-Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahumallah “Pendapat yang paling benar tentang (siapakah waliyyul amri), mereka adalah para umara dan pemimpin, karena sahihnya berita dari Rasulullah n agar taat kepada para imam dan pemimpin dalam urusan yang dituntut ketaatan di dalamnya dan bermaslahat bagi kaum muslimin.” (Tafsir ath-Thabari)
• Al-Imam an-Nawawi rahimahumallah “Para ulama mengatakan bahwa yangdimaksud waliyyul amri ialah yang Allah Subhanahu wata’ala wajibkan untuk diberikan ketaatan kepadanya, yaitu para pemimpin dan umara/pemerintah. Inilah pernyataan jumhur salaf dan khalaf (ulama masa belakangan) dari kalangan ahli tafsir, fuqaha, dan selainnya. Ada yang mengatakan waliyyul amri adalah ulama, ada juga yang menyebutkan ulama dan umara. Adapun yang mengatakan waliyyul amri adalah para sahabat secara khusus, dia telah salah.” (Syarah Shahih Muslim)
• Al-Imam asy-Syaukani rahimahumallah “Ulil amri ialah para imam, para penguasa, para hakim, dan setiap yang mempunyai wilayah/kewenangan yang syar’i.” (Fathul Qadir)
Dengan demikian, banyaknya jumlah waliyyul amri adalah hal yang dimaklumi, yang tiap-tiap waliyyul amri itu mempunyai wilayah dan kekuasaan masing-masing.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah mengemukakan, “Yang sesuai dengan sunnah, hendaknya seluruh kaum muslimin memiliki satu imam/pemimpin, sedangkan yang lain menjadi perwakilannya. Jika
keadaan umat menyelisihi hal ini karena sebab kemaksiatan, ketidakmampuan, atau sebab yang lain sehingga muncul sejumlah pemimpin negara, dalam kondisi seperti ini setiap pemimpin wajib menegakkan hudud dan menunaikan hak-hak.” (Majmu’ Fatawa)
Al-Imam asy-Syaukani rahimahumallah berkata, “Sesudah menyebarnya Islam, meluasnya wilayah dan berjauhan batas-batasnya, merupakan hal yang dimaklumi bahwa setiap wilayah memiliki seorang imam atau penguasa yang kekuasaannya tidak berlaku di wilayah yang lain. Maka dari itu, tidak mengapa ada beberapa imam dan penguasa negeri. Penduduk setiap negeri wajib menaati penguasa masing-masing sesudah melakukan bai’at atasnya, dan berlakulah perintah dan larangannya.” (as-Sailul Jarrar)
Pemimpin Jamaah/Organisasi Bukan Waliyyul Amri Waliyyul amri adalah yang memimpin urusan manusia, mempunyai wilayah dan kekuasaan yang jelas, sebagaimana telah dijelaskan. Adapun pemimpin sebuah jamaah atau organisasi, tidaklah disebut sebagai waliyyul amri secara istilah. Apalagi tidak sedikit pengikut sebuah jamaah yang hingga bertahuntahun hidup dalam ikatan jamaahnya tanpa mengetahui siapa pemimpinnya. Bagaimana bisa pemimpin itu akan diketahui oleh orang-orang yang di luar jamaahnya jika seperti itu?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah menegaskan, “Sesungguhnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menaati para imam (penguasa) yang ada, diketahui (siapa dia), dan memiliki kekuasaan yang menjadikannya mampu mengatur urusan manusia; tidak menaati imam yang tidak ada, tidak dikenal, tidak memiliki kekuasaan, dan tidak memiliki kekuatan sama sekali.” (Minhajus Sunnah)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf