Bisa jadi hanya sedikit dari kita yang mengenal sosok Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Selain karena awamnya umat Islam dari ulama-ulama mereka (bahkan para sahabat Rasulullah n), juga dikarenakan ketokohannya terkubur oleh pemujaan yang ditujukan terhadap tokoh-tokoh masa kini semacam Hasan Al-Banna, Sayyid Quthub, Khomeini, Usamah bin Laden, dan lain-lain. Entah dengan beragam alasan, tokoh-tokoh yang disebut di atas dianggap lebih membumi, dianggap punya “ide-ide besar” dibanding generasi salaf serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka.
Orang-orang yang jauh dari sebutan ulama, yang bukan pakarnya dalam hadits, fiqih, maupun tafsir, demikian dielu-elukan pemikirannya. Jika disebut kesalahan-kesalahan sang tokoh, beragam pembelaan kontan dilontarkan. “Ia adalah orang yang bersegera kembali kepada kebenaran”, ia belum memasuki “fase keislaman”, menyebut penyimpangan mendasar yang dilakukan sang tokoh dengan istilah kekeliruan, yang mengoreksi kesalahannya disebut zalim, dsb. Alhasil, sikap pemujaan yang membinasakan ini (diakui atau tidak) mengubur sekian banyak ketokohan sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, serta ulama-ulama yang merupakan murid langsung mereka.
Ibnu Taimiyah hanyalah salah satu ”korban” dari kultus yang membius para aktivis pergerakan yang umumnya demikian mendewakan tokohnya. Keberadaan Ibnu Taimiyah serta orang-orang yang memang layak digelari ulama banyak diabaikan. Keilmuan mereka dalam hal hadits, fiqih, dan tafsir, hanya dianggap angin lalu. Para aktivis harakah cenderung mengambil pendapat tokoh-tokohnya ketimbang arahan para ulama, meski pendapat yang ”sang idola” anut menyelisihi dalil-dalil syariat. Atau kalau toh mengambil pendapat para ulama, yang diambil hanyalah pendapat-pendapat yang selaras dengan pola pikir pergerakan mereka.
Ditampilkannya tokoh seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam majalah ini hanyalah sekelumit pembelajaran bagaimana kita mendudukkan tokoh sesuai porsinya. Ketika kita menokohkan seseorang kita mesti tahu bagaimana aqidahnya, pemahamannya, keutamaannya, dan lain sebagainya yang semuanya mesti ditimbang dengan timbangan syariat. Semua itu bisa kita rekam ketika kita mengilas balik sejarah hidup para ulama melalui riwayat-riwayat shahih yang mengisahkan kehidupan mereka, bukan sekadar “katanya dan katanya”. Namun demikian meskipun kita memandang mereka sebagai manusia biasa yang tak luput dari kekeliruan, kita tetap menjunjung tinggi adab kita sebagai seorang muslim terhadap ahlul ilmi.
Maka menjadi sesuatu yang miris jika ada umat Islam yang menjadikan seseorang sebagai panutan hanya karena ia adalah tokoh sepemahaman, seormas, separtai ataupun sealiran, tanpa menakarnya dengan timbangan syariat. Lebih ironis lagi jika hal itu dibumbui keyakinan batil yang menyimpang dari Islam, seperti anggapan ”setengah wali”, ”darah biru” kyai, ”keturunan” Nabi, dan yang lainnya. Mulai sekarang tanggalkan sikap kultus, kita rajut sikap bijak untuk mengenal lebih dekat para ulama kita, salah satunya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t.