Di antara kita mungkin banyak yang belum paham bahwa Allah l memiliki banyak nama dan sifat. Namun tentu saja nama dan sifat Allah l berbeda dengan nama dan sifat makhluk-Nya, karena tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Di antara perbedaannya, nama dan sifat Allah l penuh dengan kesempurnaan, sedangkan nama dan sifat makhluk mengandung banyak kekurangan. Pemahaman yang benar tentang nama dan sifat Allah l akan memberi dampak yang besar terhadap keimanan seseorang. Sebaliknya, pemahaman yang keliru bisa menyebabkan seseorang kufur kepada Allah l.
Yang dimaksud dengan tauhid ini ialah mengesakan Allah ldengan seluruh nama dan sifat yang dimiliki-Nya. Keyakinan ini mengandung dua perkara:
1. Penetapan, yang dimaksud adalah menetapkan bagi Allah l seluruh nama dan sifat-Nya. Maka tidaklah kita menetapkan nama bagi Allah l kecuali dengan nama yang Allah l tetapkan bagi diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasul-Nya n. Demikian pula tidaklah kita menetapkan sifat bagi Allah l kecuali dengan sifat yang Allah l tetapkan bagi diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasul-Nya n.
2. Peniadaan, yang dimaksud adalah meniadakan dari Allah l seluruh nama dan sifat yang telah ditiadakan oleh Allah l dan Rasul-Nya. Meniadakan pula semua penyerupaan dengan nama dan sifat makhluk. Jika ada keserupaan dari sisi asal makna kata namun hakikatnya tetaplah berbeda. Jadi, yang ditiadakan adalah keserupaan dari segala sisi, bukan pada sebagiannya.
Barangsiapa tidak mau menetapkan bagi Allah l sesuatu yang sudah Allah l tetapkan bagi diri-Nya berarti dia mu’aththil (seorang penolak) dan penolakannya serupa dengan penolakan Fir’aun. Sebab seorang yang tidak mau menetapkan nama dan sifat bagi Allah l berarti dia telah meniadakan Allah l sebagaimana Fir’aun yang tidak mengimani keberadaan Allah l. Tetapi barangsiapa mau menetapkan lalu menyerupakan nama dan sifat tersebut dengan makhluk berarti dia menyamai kaum musyrikin yang mengibadahi selain Allah l. Sebab seorang yang menyerupakan nama dan sifat Allah l dengan sesuatu yang ada pada makhluk, pada hakikatnya dia mengibadahi sesuatu selain Allah l, karena Allah l tidak sama dengan makhluk-Nya. Kemudian, barangsiapa mau menetapkan sesuatu yang sudah Allah l tetapkan bagi diri-Nya tanpa menyerupakan dengan yang selain-Nya berarti dia seorang muwahhid (seorang yang bertauhid). Wallahu a’lam bish-shawab.
Penetapan dan peniadaan ini memiliki dali-dalil yang sangat otentik dan akurat dari dua arah yang tak diragukan lagi keabsahannya, yaitu syariat dan naluri logika. Adapun dari syariat, di antaranya firman Allah l:
وَلِلهِ اْلأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Hanya milik Allah nama-nama yang paling baik, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran mengenai nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan atas segala yang telah mereka kerjakan.” (Al-A’raf: 180)
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)
فَلاَ تَضْرِبُوا لِلهِ اْلأَمْثَالَ إِنَّ اللهَ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Maka janganlah kalian mengadakan penyerupaan-penyerupaan bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 74)
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
“Dan janganlah kalian mengikuti sesuatu yang kalian tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, seluruhnya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra`: 36)
Sedangkan dalil dari naluri logika yaitu kita mengatakan bahwa berbicara tentang nama dan sifat-sifat Allah l termasuk pemberitaan yang tak mungkin akal kita mampu menangkap rinciannya tanpa tuntunan wahyu. Oleh karena itu, seharusnya kita mencukupkan diri dengan setiap yang diberitakan oleh wahyu saja dan tidak melampauinya.
Menggabungkan antara penetapan dan peniadaan dalam masalah nama dan sifat-sifat Allah l merupakan hakikat tauhid. Tak mungkin mencapai kebenaran hakikat tauhid kecuali dengan penetapan dan peniadaan. Karena mencukupkan diri dengan penetapan semata, tidaklah mencegah timbulnya penyerupaan dan penyekutuan. Sedangkan mencukupkan diri dengan peniadaan berarti penolakan yang murni.
Sebagai contoh, jika engkau berkata, “Si Zaid bukan seorang pemberani.” Berarti engkau telah meniadakan sifat pemberani dari si Zaid sekaligus menolak (menjauhkan) Zaid dari sifat pemberani. Jika engkau berkata, “Zaid adalah seorang pemberani.” Berarti engkau telah menetapkan sifat pemberani bagi Zaid, tetapi tidak menolak kemungkinan bahwa selain Zaid juga pemberani. Jika engkau berkata, “Tak ada seorang pun yang pemberani kecuali Zaid.” Berarti engkau telah menetapkan sifat pemberani bagi Zaid dan meniadakannya dari selain Zaid. Dengan demikian, engkau telah mengesakan Zaid dalam perkara keberanian.
Jadi, tidak mungkin mengesakan seseorang dalam suatu perkara kecuali dengan menggabungkan antara peniadaan dan penetapan.
Di sini kita perlu menegaskan bahwa seluruh sifat yang telah Allah l tetapkan oleh Allah l bagi diri-Nya merupakan sifat-sifat kesempurnaan. Allah l lebih banyak menyebutkannya secara rinci daripada mengglobalkan. Karena bila pemberitaan dan kandungan-kandungan yang ditunjukkannya semakin banyak maka akan tampak kesempurnaan dzat yang disifatkan dengannya, yang sebelumnya tidak diketahui.
Oleh karena itu, sifat-sifat yang telah Allah l tetapkan bagi diri-Nya lebih banyak diberitakan daripada sifat-sifat yang ditiadakan oleh Allah l dari diri-Nya. Adapun seluruh sifat yang telah ditiadakan oleh Allah l dari diri-Nya merupakan sifat-sifat kekurangan yang tidak pantas bagi Dzat-Nya, seperti sifat kelemahan, letih, aniaya, dan sifat menyerupai para makhluk.
Kebanyakan sifat ini disebutkan secara global. Sebab hal itu lebih mendukung untuk mengagungkan dzat yang disifatkan dan lebih sempurna dalam menyucikannya. Sedangkan penyebutan sifat-sifat itu secara rinci tanpa alasan, bisa menjadi ejekan dan pelecehan terhadap dzat yang disifati.
Jika anda memuji seorang raja dengan mengatakan kepadanya, “Anda adalah seorang yang dermawan, pemberani, teguh, memiliki hukum yang kuat, perkasa atas musuh-musuhmu” dan sifat-sifat terpuji lainnya, sungguh hal ini termasuk sanjungan yang sangat besar terhadapnya. Bahkan di dalamnya terdapat nilai pujian yang lebih dan menampakkan kebaikan-kebaikannya, sehingga menjadikannya sebagai seorang yang dicintai dan dihormati, karena anda telah memperinci sifat-sifat yang ditetapkan baginya.
Demikian pula jika anda mengatakan kepadanya, “Anda adalah seorang raja yang tak bisa disamai oleh seorang pun dari raja-raja dunia yang berada di masamu,” sungguh hal ini juga merupakan sanjungan yang bernilai lebih, karena anda telah mengglobalkan sifat-sifat yang ditiadakan darinya.
Jika anda mengatakan kepadanya, “Engkau adalah seorang raja yang tidak pelit, tidak penakut, tidak faqir, dan engkau bukan seorang penjual sayur, bukan seorang tukang sapu, bukan dokter hewan, dan bukan tukang bekam,” dan rincian-rincian yang semacam itu dalam meniadakan segala keaiban yang tidak pantas bagi kemuliaannya, sungguh hal ini akan dianggap sebagai ejekan dan pelecehan terhadap haknya.
Walaupun yang mayoritas pada sifat-sifat yang ditiadakan oleh Allah l dari Dzat-Nya adalah disebutkan secara global, namun terkadang Allah l menyebutkannya dengan rinci pula, karena beberapa sebab:
1. Untuk meniadakan sesuatu yang diklaim oleh para pendusta terhadap hak Allah l. Sebagaimana dalam firman-Nya:
مَا اتَّخَذَ اللهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ
“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi beserta-Nya.” (Al-Mu`minun: 91)
2. Untuk menepis anggapan akan suatu kekurangan pada kesempurnaan Allah l. Sebagaimana dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَمَا مَسَّنَا مِنْ لُغُوبٍ
“Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam hari, dan tidaklah sedikitpun kami ditimpa keletihan.” (Qaf: 38)
Di dalam Al-Qur`an terlalu banyak ayat yang berbicara tentang nama dan sifat-sifat Allah l secara rinci. Di antaranya firman Allah l:
هُوَ اللهُ الَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ عَالـِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ. هُوَ اللهُ الَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلاَمُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ. هُوَ اللهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ اْلأَسْمَاءُ الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Dialah Allah yang tiada sesembahan yang berhak diibadahi selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah yang tiada sesembahan yang berhak diibadahi selain Dia, yang Maha Memiliki, yang Maha Suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha Perkasa, yang Maha Kuasa, yang Maha Sombong. Maha Suci Allah dari segala yang mereka persekutukan. Dialah Allah yang Maha Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk rupa, yang mempunyai nama-nama yang baik. Seluruh yang di langit dan bumi bertasbih kepada-Nya. Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Hasyr: 22-24)
Ayat-ayat ini mengandung lebih dari 15 nama, dan setiap nama bisa mengandung satu atau dua sifat bahkan bisa pula lebih. Juga di antaranya firman Allah l:
لَيُدْخِلَنَّهُمْ مُدْخَلاً يَرْضَوْنَهُ وَإِنَّ اللهَ لَعَلِيمٌ حَلِيمٌ. ذَلِكَ وَمَنْ عَاقَبَ بِمِثْلِ مَا عُوقِبَ بِهِ ثُمَّ بُغِيَ عَلَيْهِ لَيَنْصُرَنَّهُ اللهُ إِنَّ اللهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ. ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ يُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَيُـولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَأَنَّ اللهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ. ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ. أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَتُصْبِحُ اْلأَرْضُ مُخْضَرَّةً إِنَّ اللهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ. لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ وَإِنَّ اللهَ لَهُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ. أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي اْلأَرْضِ وَالْفُلْكَ تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ وَيُمْسِكُ السَّمَاءَ أَنْ تَقَعَ عَلَى اْلأَرْضِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ إِنَّ اللهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah akan memasukkan mereka ke dalam suatu tempat (surga) yang mereka menyukainya. Dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. Demikianlah, dan barangsiapa membalas seimbang dengan penganiayaan yang pernah ia derita kemudian ia dianiaya (lagi), pasti Allah akan menolongnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah (kuasa) memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan bahwasanya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, dialah (Ilah) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah adalah batil, dan sesungguhnya Allah Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. Apakah kalian tiada melihat, bahwasanya Allah menurunkan air dari langit, lalu jadilah bumi itu hijau? Sesungguhnya Allah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui. Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan segala yang ada di bumi. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya? Dan dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (Al-Hajj: 59-65)
Ayat ini berjumlah tujuh ayat yang saling beriringan. Masing-masing ayat ditutup dengan dua nama dari nama-nama Allah, sedangkan setiap nama mengandung satu atau dua sifat bahkan bisa pula lebih.
Mengenai peniadaan yang disebutkan secara global, di antaranya sebagaimana dalam firman Allah l:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Tak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya.” (Asy-Syura: 11)
هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا
“Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (Maryam: 65)
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
“Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (Al-Ikhlash: 4)
Di sini kita ingin kembali menegaskan bahwa kesamaan dalam perkara nama dan sifat tidaklah menunjukkan kesamaan antara dzat-dzat yang diberi nama dan disifati. Hal ini bisa dibuktikan melalui dalil-dalil syariat, logika, dan panca indera.
1. Bukti dari dalil yang syar’i di antaranya, bahwasanya Allah l telah berfirman tentang Dzat-Nya:
إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (An-Nisa`: 58)
Di dalam ayat ini, Allah l menetapkan bahwa Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Demikian pula di dalam ayat yang lain, Allah l menetapkan bahwa manusia mendengar dan melihat. Allah l berfirman:
إِنَّا خَلَقْنَا اْلإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan). Karena itu Kami jadikan dia seorang yang mendengar dan melihat.” (Al-Insan: 2)
Namun tentunya pendengaran Allah l tidak sama dengan pendengaran manusia walaupun sama-sama diberi nama dan disifati dengan mendengar. Oleh sebab itu, Allah l mengingatkan kita akan hal ini dengan firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)
2. Bukti dari dalil yang logis, yaitu bahwa perkara yang maknawi dan sebuah sifat akan terkait dan terbedakan dari yang lainnya sesuai dengan apa yang dinisbatkan kepadanya. Bila segala sesuatu berbeda-beda dari sisi hakikat dzatnya, maka pastilah segala sesuatu berbeda-beda pula dari sisi sifat dan perkara maknawi yang dinisbatkan kepadanya. Oleh karena itu, sifat setiap dzat yang diberikan padanya sesuai dengan yang dinisbatkan kepadanya dan tidak mungkin kurang atau melebihi dzat yang disifatkan. Sebagai contoh, kita mensifatkan manusia dengan kelembutan dan juga mensifatkan besi yang meleleh dengan kelembutan. Padahal kita mengetahui bahwa jenis kelembutan itu berbeda-beda maknanya sesuai dengan apa yang dinisbatkan kepadanya.
3. Adapun bukti dari dalil secara panca indera, yaitu bahwasanya kita menyaksikan gajah memiliki fisik, kaki, serta kekuatan dan nyamuk juga memiliki fisik, kaki, serta kekuatan. Di sini tentunya kita mengetahui perbedaan antara fisik, kaki, serta kekuatan keduanya.
Jika kita sudah mengetahui bahwa kesamaan dalam perkara nama dan sifat di antara para makhluk tidaklah berkonsekuensi keserupaan dalam bentuk hakikatnya, padahal mereka adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah l. Maka tidak adanya keserupaan antara Dzat yang Maha pencipta dengan makhluk ciptaan-Nya dalam hakikat nama dan sifat tentu lebih utama dan jelas. Bahkan kesamaan antara Dzat Yang Maha Pencipta dan makhluk ciptaan-Nya dalam perkara nama dan sifat adalah sesuatu yang amat sangat tidak mungkin terjadi. Wallahu a’lam bish-shawab.
Prinsip dalam Menetapkan Nama dan Sifat bagi Allah l
Berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, Ahlus Sunnah menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah l. Tidak diragukan lagi, bahwa menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah l haruslah dengan prinsip-prinsip yang benar. Ahlus Sunnah menyucikan nama dan sifat-sifat Allah l tanpa menolaknya dan menetapkannya tanpa menyerupakannya (dengan nama dan sifat-sifat makhluk). Ada empat perkara yang diingkari oleh Ahlus Sunnah dalam menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah l, sebagai berikut:
1. At-Tahrif
At-Tahrif secara bahasa bermakna menyimpangkan sesuatu dari hakikat, bentuk, dan kebenarannya. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah memalingkan sebuah ucapan dari makna zhahirnya yang semula dipahami, kepada makna lain yang tidak ditunjukkan oleh rangkaian kalimatnya. Perbuatan At-Tahrif terbagi kepada dua jenis:
a. At-Tahrif yang dilakukan pada teks lafadz. Jenis yang ini terbagi kepada tiga bentuk:
1. Mengubah harakatnya. Di antaranya seperti bacaan dari sebagian ahli bid’ah terhadap firman Allah l:
وَكَلَّمَ اللهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
“Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.” (An-Nisa`: 164)
Mereka membacanya dengan memberi harakat fathah pada kata (اللهَ) dengan tujuan untuk mengubah maknanya, yaitu Nabi Musa q yang mengajak Allah l untuk berbicara, bukan sebaliknya.
2. Menambahkan hurufnya, yang demikian itu seperti men-tahrif bacaan اسْتَوَى yang artinya tinggi, menjadi اسْتَوْلَى yang artinya berkuasa.
3. Menambahkan kalimatnya, yang demikian itu seperti menambahkan kata (الرَّحْمَةُ) yang artinya rahmat, pada firman Allah وَجَاءَ رَبُّكَ yang artinya “telah datang Rabbmu”, sehingga menjadi وَجَاءَ رَحْمَةُ رَبِّكَ yang artinya “telah datang rahmat Rabbmu.”
b. At-Tahrif yang dilakukan pada makna kata tanpa mengubah harakat dan lafadznya. Contohnya seperti ucapan sebagian ahli bid’ah terhadap firman Allah l:
بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ
“Bahkan kedua tangan-Nya terbentang.” (Al-Ma`idah: 64)
Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan-Nya adalah kekuasaan atau nikmat-Nya, atau yang selain itu.
Di sini perlu ditegaskan bahwa ahli bid’ah yang suka melakukan At-Tahrif tidak menamakannya dengan At-Tahrif, tetapi menyebutnya sebagai At-Ta`wil yang artinya menafsirkan. Hal ini karena mereka tahu bahwa kata At-Tahrif berkonotasi jelek dan tercela di dalam Al-Qur`an. Sebagaimana firman Allah l:
مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ
“Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mentahrif (mengubah) perkataan dari tempat-tempatnya.” (An-Nisa`: 46)
Pada ayat di atas Allah l menisbatkan perbuatan At-Tahrif kepada kaum Yahudi. Ini menunjukkan bahwa konotasi maknanya adalah jelek. Mereka mengganti istilah At-Tahrif dengan istilah At-Ta`wil agar lebih diterima oleh banyak kalangan, dan dalam rangka melariskan dagangan kebid’ahan mereka di antara orang-orang yang tidak bisa membedakan antara keduanya.
2. At-Ta’thil
At-Ta’thil secara bahasa maknanya meninggalkan dan mengosongkan. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah menolak makna yang benar di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah. At-Ta’thil terbagi kepada dua jenis:
1. At-Ta’thil yang bersifat global, yaitu menolak nama dan sifat-sifat Allah l secara menyeluruh, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Al-Jahmiyyah, Al-Qaramithah, para ahli filsafat, dan yang selain mereka.
2. At-Ta’thil yang bersifat parsial, yaitu menolak sebagian dan menetapkan sebagian yang lain, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Al-Mu’tazilah yang menolak sifat-sifat Allah l dan menetapkan nama-nama-Nya. Demikian pula kelompok Al-Asya’irah, Al-Kullabiyyah, dan Al-Maturidiyyah yang menolak sebagian sifat Allah l dan menetapkan sebagian yang lainnya.
3. At-Tamtsil
At-Tamtsil secara bahasa maknanya menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah meyakini bahwa sifat-sifat Allah yang Maha Pencipta serupa dengan sifat-sifat makhluk ciptaan-Nya. At-Tamtsil terbagi dua jenis:
1. Menyerupakan makhluk dengan Dzat Yang Maha Pencipta, yaitu menetapkan untuk makhluk sesuatu yang telah menjadi kekhususan Dzat yang Maha pencipta. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nasrani ketika mereka mengatakan bahwa Nabi ‘Isa adalah Allah l.
2. Menyerupakan Dzat yang Maha Pencipta dengan makhluk ciptaan-Nya, yaitu menetapkan untuk Dzat yang Maha Pencipta sesuatu yang telah menjadi kekhususan makhluk-Nya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Yahudi ketika mereka mengatakan bahwa Allah l adalah Dzat yang faqir, pelit, dan lemah.
4. At-Takyif
At-Takyif maknanya meyakini sifat-sifat Allah l dalam bentuk tertentu yang dibayangkan di alam pikiran, atau menanyakan bagaimana bentuknya walaupun tanpa menyerupakannya dengan sesuatu yang wujud. Berarti At-Takyif berbeda dari At-Tamtsil dari satu sisi dan sama dari sisi yang lainnya. Perbedaan keduanya, At-Takyif menyerupakan sifat-sifat Allah l dengan sesuatu yang tak ada wujudnya di luar alam pikiran, sedangkan At-Tamtsil menyerupakan sifat-sifat Allah l dengan sesuatu yang ada wujudnya di luar alam pikiran. Adapun kesamaannya, keduanya sama-sama perbuatan menyerupakan Allah l dengan yang selainnya. Sehingga setiap orang yang melakukan At-Tamtsil pasti melakukan pula At-Takyif, tetapi tidak sebaliknya.
Kelompok-kelompok yang Sesat
Secara garis besar, kelompok-kelompok yang sesat dalam perkara nama dan sifat Allah l terbagi menjadi dua golongan:
1. Al-Mu’aththilah, yaitu orang-orang yang mengingkari nama dan sifat-sifat Allah l, baik secara keseluruhan atau sebagiannya. Mereka mengingkari karena keyakinan bahwa menetapkannya berarti menyerupakan Allah l dengan makhluk-Nya. Keyakinan mereka ini adalah batil dan bertentangan dengan dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah. Untuk membuktikan kebatilan keyakinan mereka, bisa dilihat dari beberapa sisi, di antaranya:
a. Keyakinan mereka ini mengandung beberapa konsekuensi yang batil, di antaranya berkonsekuensi terjadinya kontradiksi di antara firman-firman Allah l. Pada sebagian ayat, Allah l menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Dzat-Nya. Pada ayat yang lain, Allah l meniadakan penyerupaan-Nya dengan yang selain-Nya. Jika menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah l berarti menyerupakan Allah l dengan makhluk-Nya, maka telah terjadi kontradiksi di antara firman-firman Allah l, dan sebagiannya telah mendustakan sebagian yang lain.
b. Kesamaan antara dua hal dalam perkara nama atau sifat, tidaklah menuntut keserupaan antara hakikat keduanya dari segala sisi. Kita bisa melihat dua orang yang sama-sama disebut dengan manusia, mendengar dan melihat. Namun bukan berarti keduanya sama dalam sifat kemanusiaan, pendengaran, dan penglihatan dari segala sisi. Pasti sifat-sifat yang dimiliki oleh keduanya sangat berbeda hakikatnya. Bila perbedaan hakikat nama dan sifat terjadi di kalangan makhluk walaupun ada kesamaan pada sebagian sisi, maka perbedaan hakikat nama dan sifat antara Allah l dan makhluk-Nya tentu lebih nyata dan lebih besar.
2. Al-Musyabbihah, yaitu orang-orang yang menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah l tetapi menyerupakan dengan nama dan sifat-sifat para makhluk. Mereka menyerupakannya karena berkeyakinan bahwa hal itu merupakan kandungan makna yang terdapat di dalam nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah. Tentunya Allah l mengajak manusia berbicara dengan sesuatu yang mereka pahami. Kita meyakini bahwa keyakinan mereka ini adalah batil. Bisa dibuktikan kebatilan keyakinan mereka dari beberapa sisi, di antaranya:
a. Menyerupakan Allah l dengan makhluk-Nya adalah kebatilan yang ditolak oleh naluri logika dan syariat. Sebab, kandungan-kandungan makna yang terdapat di dalam nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah tidak mungkin merupakan perkara yang batil.
b. Bahwasanya Allah l mengajak manusia berbicara dengan sesuatu yang mereka pahami dari sisi asal makna kata atau kalimat. Adapun bentuk dan hakikat yang berkaitan dengan nama dan sifat-sifat Allah l tidaklah mereka ketahui, dan ilmunya hanya di sisi Allah l. Sebagai contoh, ketika Allah l menetapkan sifat ‘mendengar’ dan ‘melihat’ bagi Dzat-Nya, niscaya kita bisa memahami maksud kata ‘mendengar’ dan ‘melihat’ dari sisi asal makna kata. ‘Mendengar’ artinya mampu menangkap segala suara dan ‘melihat’ artinya mampu menangkap apa saja yang bisa dilihat. Namun tak seorang pun di antara manusia yang dapat mengetahui hakikat pendengaran dan penglihatan Allah l. Oleh karena itu, hakikat sifat mendengar dan melihat yang ada di kalangan manusia berbeda dengan hakikat sifat mendengar dan melihat yang dimiliki oleh Allah l. Wallahu a’lam bish-shawab.
Al-Ilhad dalam Masalah Nama dan Sifat Allah l
Al-Ilhad secara bahasa maknanya miring atau menyimpang dari sesuatu. Disebut liang lahad dalam kuburan dengan nama itu karena lubangnya berada di bagian samping dari kuburan dan bukan di tengahnya. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah menyimpang dari syariat yang lurus kepada salah satu bentuk kekafiran.
Al-Ilhad dalam perkara nama dan sifat Allah l artinya menyimpang dari kebenaran yang wajib untuk ditetapkan pada nama dan sifat-sifat-Nya. Allah l berfirman:
وَلِلهِ اْلأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Hanya milik Allah nama-nama yang baik, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama yang baik itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam perkara nama-nama-Nya. Niscaya mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-A’raf: 180)
Al-Ilhad dalam perkara nama dan sifat Allah l terbagi kepada lima jenis, sebagai berikut:
1. Menetapkan bagi Allah l sebuah nama atau lebih, yang tidak ditetapkan oleh Allah l bagi Dzat-Nya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli filsafat ketika mereka menamakan Allah l dengan sebutan, (عِلَّةٌ فَاعِلَةٌ) yang artinya unsur pembuat. Demikian pula yang dilakukan oleh kaum Nasrani ketika mereka menamakan Allah l dengan sebutan tuhan bapak dan menamakan Nabi ‘Isa dengan sebutan tuhan anak. Semua ini adalah penyimpangan dalam perkara nama dan sifat Allah l.
Sepantasnya juga kaum muslimin menghindari memanggil nama Allah l dengan sebutan ‘Gusti’ atau ‘Pangeran’, seperti ucapan: “Wahai Gusti ampunilah aku,” atau “Wahai Pangeran tolonglah aku.” Hal ini sebaiknya dihindari, karena dikhawatirkan termasuk dalam bentuk penamaan terhadap Allah l dengan sesuatu yang Allah l tidak menamai diri-Nya dengannya, dan tidak pula dinamai oleh Rasul-Nya. Karena nama dan sifat Allah l adalah perkara tauqifiyyah, yakni tidak bisa ditetapkan kecuali dengan pemberitaan dari Allah l dan Rasul-Nya. Bila kita menamakan Allah l dengan sesuatu yang tidak Allah l tetapkan bagi Dzat-Nya, berarti kita telah menyimpang dalam perkara nama-Nya. Ini merupakan perbuatan Al-Ilhad.
2. Mengingkari satu nama atau lebih, yang telah ditetapkan oleh Allah l bagi Dzat-Nya. Perbuatan ini adalah kebalikan dari yang pertama. Maka pengingkaran terhadap nama-nama Allah l baik secara keseluruhan atau sebagian merupakan perbuatan Al-Ilhad. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian manusia yang menolak nama-nama Allah l seperti kelompok Al-Jahmiyyah. Mereka mengingkari dan menolak nama-nama Allah l dengan alasan agar tidak menyerupakan Allah l dengan benda-benda yang ada di alam ini. Pendapat mereka ini jelas merupakan kebatilan murni dan tidak bisa diterima. Bila Allah l telah menetapkan sebuah nama bagi Dzat-Nya maka kita harus menetapkannya pula dan tak ada alasan untuk menolaknya. Jika kita mengingkari atau menolaknya berarti kita telah menyimpang dalam perkara nama-Nya. Ini merupakan perbuatan Al-Ilhad.
3. Menetapkan nama-nama Allah l tetapi mengingkari sifat-sifat-Nya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Al-Mu’tazilah. Sebagai contoh, mereka menetapkan bahwa Allah l adalah Dzat Yang Maha Mendengar namun tanpa pendengaran, Maha Melihat namun tanpa penglihatan, Maha Mengetahui namun tanpa ilmu, Maha Kuasa namun tanpa kekuasaan, dan seterusnya. Sebagian mereka mengatakan bahwa nama-nama Allah l yang banyak itu pada hakikatnya hanyalah satu nama saja, tidak lebih. Pendapat-pendapat mereka ini sangat tidak logis bagi siapa saja yang memiliki akal pikiran. Terlebih lagi jika diukur dengan penilaian Al-Qur`an dan As-Sunnah. Tidaklah ditetapkan sebuah nama pada sesuatu melainkan karena dia memiliki sifat yang sesuai dengan namanya. Dan setiap nama pasti menunjukkan kepada suatu sifat yang sesuai dengannya. Maka bagaimana mungkin dinyatakan bahwa nama-nama yang banyak pada hakikatnya hanya menunjukkan pada satu nama? Ini jelas penyimpangan dalam perkara nama dan sifat Allah l.
4. Menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah l tetapi juga menyerupakannya dengan nama dan sifat-sifat para makhluk. Hal ini sebagaimana dilakukan kelompok Al-Musyabbihah. Seharusnya kita menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah l tanpa menyerupakannya dengan nama dan sifat-sifat para makhluk. Jika tidak, berarti kita telah melakukan penyimpangan dalam perkara nama dan sifat Allah l. Ini merupakan perbuatan Al-Ilhad.
5. Mengambil pecahan kata dari nama-nama Allah l lalu menjadikannya sebagai nama untuk sesembahan selain Allah l. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kaum musyrikin di masa jahiliah. Mereka menamakan sebagian berhala mereka dengan pecahan kata yang diambil dari nama Allah l. Seperti, Al-Laatta yang diambil dari nama Allah l Al-Ilah, Al-‘Uzza yang diambil dari nama Allah Al-‘Aziz, Al-Manaat yang diambil dari nama Allah Al-Mannan. Ini adalah penyimpangan dalam menggunakan nama-nama Allah l. Seharusnya nama-nama Allah l menjadi perkara yang khusus bagi Allah l dan tidak mengambil pecahan-pecahan katanya sebagai nama untuk sesembahan selain Allah l. Ini merupakan perbuatan Al-Ilhad.
Demikianlah jenis-jenis penyimpangan dalam perkara nama dan sifat Allah l. Ahlus Sunnah tidak berbuat Al-Ilhad (penyimpangan), bahkan mereka menyikapi nama dan sifat-sifat Allah l sesuai dengan yang diinginkan oleh Allah l sendiri. Mereka menetapkan pula seluruh makna yang telah ditunjukkan oleh nama dan sifat-sifat Allah l itu, karena mereka meyakini bahwa menyelisihi prinsip ini merupakan perbuatan Al-Ilhad dalam perkara nama dan sifat Allah l. Wallahu a’lam bish-shawab.
Buah Keimanan kepada Nama dan Sifat Allah l
Beriman kepada nama dan sifat-sifat Allah l bukan suatu perkara yang sia-sia tanpa manfaat. Bahkan hal itu mengandung berbagai manfaat yang sangat positif terhadap tauhid dan ibadah seorang hamba. Lebih dari itu, beriman kepada nama dan sifat-sifat Allah l adalah wujud dari tauhid dan ibadah hamba itu sendiri. Dalam tulisan ini kita akan menyebutkan sebagian manfaat tersebut, antara lain:
1. Merealisasikan tauhid kepada Allah l, sehingga seorang hamba tidak menggantungkan harapan, rasa takut, dan ibadahnya kepada yang selain Allah l.
2. Menyempurnakan rasa cinta dan pengagungan kepada Allah l sesuai dengan kandungan nama-nama-Nya yang baik dan sifat-sifat Nya yang tinggi.
3. Merealisasikan peribadahan kepada Allah l dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Demikianlah yang bisa kita tuliskan di sini, semoga bermanfaat bagi segenap kaum muslimin. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Catatan Kaki:
1 Walaupun ada yang mengatakan bahwa hal ini dibolehkan bila ditinjau dari sisi penerjemahan, namun dalam praktiknya lebih mengarah kepada penamaan terhadap Allah l dengan sesuatu yang Allah l tidak menamakan diri-Nya dengannya, tidak pula oleh Rasul-Nya. Sehingga, sebaiknya memanggil nama Allah l dengan nama-nama-Nya, seperti; “Ya Rabbi,” atau “Ya Allah.” (ed)