Pertanyaan:
Seseorang yang belum bekerja meminta orang lain untuk membelikan makanan untuknya. Kemudian, sampailah makanan itu, tetapi tidak dimakan olehnya disebabkan ragu, apakah diperbolehkan meminta dibelikan makanan kepada orang lain.
Terkait masalah di atas:
(1) Apa penjelasan terkait hadits
“Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali untuk tiga orang:
- Seseorang yang menanggung utang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya,
- Orang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan
- Seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup hingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya berkata, ‘Si fulan benar-benar telah tertimpa kesengsaraan’, maka boleh baginya meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup.
Meminta-minta selain ketiga hal itu, wahai Qabishah, adalah haram. Orang yang memakannya berarti memakan harta yang haram.” (HR. Muslim no. 1044)
(2) Jika seseorang yang belum bekerja/belum punya penghasilan sendiri meminta seseorang untuk membelikan makanan, bolehkah dia memakannya?
Mohon dijawab pertanyaan di atas karena saya merasa ragu hingga sampai terjadi cekcok dengan Abah dan Abang saya.
Hadits Qabishah yang disebutkan dalam pertanyaan hendaknya dipahami dan dikompromikan dengan hadits-hadits yang lain dalam masalah ini. Di antaranya:
Aku meminta kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau pun memberiku. Kemudian aku meminta kepada beliau (lagi) dan beliau memberiku (lagi). Kemudian aku meminta kepada beliau (lagi), maka beliau berkata kepadaku,
يَا حَكِيمُ، إِنَّ هَذَا المَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ
“Wahai Hakim, sesungguhnya harta ini hijau dan manis. Barang siapa mendapatkannya dengan kemurahan hati (tanpa berharap dan meminta), niscaya harta tersebut akan berkah baginya. Akan tetapi, apabila dia mendapatkannya dengan mengharapkan agar diberi (seperti meminta-minta), niscaya tidak akan berkah baginya.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا، فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرِْ
“Barang siapa meminta-minta kepada manusia untuk memperbanyak harta (memperkaya diri), yang dia minta tersebut hanyalah bara api, apakah dia mau menyedikitkan atau memperbanyaknya.”
Wallahu a’lam bish-shawab, dari dua hadits di atas, harta atau makanan yang diperoleh dengan cara meminta yang sekadarnya—bukan untuk memperkaya diri dan memperbanyak harta—tidak termasuk dalam larangan dalam hadits Qabishah radhiallahu anhu. Buktinya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tetap memberikan harta kepada Hakim bin Hizam pada permintaan pertama dan yang kedua, selama orang yang diminta mampu/memiliki dan dia memberi dengan kemurahan hati tanpa merasa terbebani.
Terlebih ketika permintaan tersebut dilakukan dalam kondisi mendesak, apalagi orang yang diminta adalah pihak yang berkewajiban memberi nafkah kepadanya, seperti orang tua kepada anak atau yang semisalnya dengannya. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Manakala seseorang sangat membutuhkan, tidak mengapa dia meminta.”
Baca juga: Merasa Cukup
Sifat qana’ah (merasa puas/cukup dengan apa yang dia dapatkan) dan ‘iffah (menjaga kehormatan dirinya dengan tidak berharap dan meminta-minta) merupakan dua sifat yang terpuji. Hendaknya seorang seorang muslim memiliki dua sifat tersebut dan menempatkannya pada posisi dan porsinya, sebagaimana ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Baca juga: Iffah, Sebuah Kehormatan Diri
Terkait dengan masalah yang ditanyakan, dia boleh memakan makanan yang sudah dibelikan. Terlebih lagi, pihak yang telah membelikan makanan tersebut berharap agar makanan tersebut dimakan oleh yang bersangkutan. Bukan akhlak yang terpuji apabila seseorang menjadi penyebab orang lain tersinggung dan kecewa. Seharusnya dia berusaha untuk membahagiakan orang lain.
Wallahu a’lam bish-shawab.