Perlu dipahami bahwa berkurban tidaklah sah kecuali dengan hewan ternak yaitu unta, sapi, atau kambing. Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
لِّيَشۡهَدُواْ مَنَٰفِعَ لَهُمۡ وَيَذۡكُرُواْ ٱسۡمَ ٱللَّهِ فِيٓ أَيَّامٍ مَّعۡلُومَٰتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلۡأَنۡعَٰمِۖ
“Supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” (al-Hajj: 28)
Baca juga:
Demikian pula firman-Nya,
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلۡنَا مَنسَكًا لِّيَذۡكُرُواْ ٱسۡمَ ٱللَّهِ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلۡأَنۡعَٰمِۗ
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah Allah rezekikan kepada mereka.” (al-Hajj: 34)
Baca juga:
Yang paling afdal menurut jumhur ulama adalah unta (untuk satu orang), kemudian sapi (untuk satu orang), lalu kambing (domba lebih utama daripada kambing jawa), lalu berserikat pada seekor unta, lalu berserikat pada seekor sapi.
Alasan mereka adalah:
ذَٰلِكَۖ وَمَن يُعَظِّمۡ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقۡوَى ٱلۡقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar Allah, sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (al-Hajj: 32)
مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بُدْنَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ، وَمضنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَّاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً
“Barang siapa mandi Jumat seperti mandi janabah kemudian berangkat, seolah-olah dia mempersembahkan unta. Barang siapa berangkat pada waktu kedua, seolah-oleh dia mempersembahkan sapi. Siapa yang berangkat pada waktu ketiga, seakan-akan mempersembahkan kambing bertanduk. Yang berangkat pada waktu keempat seakan-akan mempersembahkan ayam. Yang berangkat pada waktu kelima seakan-akan mempersembahkan sebutir telur.” (HR. al-Bukhari no. 881 dan Muslim no. 850)
Baca juga:
Adapun hadits yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkurban dengan kambing kibas, yang berarti dinilai lebih afdal karena merupakan pilihan beliau shallallahu alaihi wa sallam; maka dijawab:
(Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, 11/398—399, fatwa no. 1149; Adhwaul Bayan, 3/382—384, cet. Darul Ihyait Turats al-Arabi)
Imam Muhammad Amin asy-Syinqithi dalam tafsirnya, Adhwaul Bayan (3/485), menukil kesepakatan ulama tentang bolehnya menyembelih hewan kurban secara umum, baik yang jantan maupun betina. Dalilnya adalah keumuman ayat yang menjelaskan masalah hewan kurban. Tidak ada perincian harus jantan atau betina, seperti ayat 28, 34, dan 36 dari surat al-Hajj.
Para ulama hanya berbeda pendapat tentang mana yang lebih afdal. Yang rajih adalah bahwa kambing domba jantan lebih utama daripada yang betina. Sebab, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyembelih kambing kibasy (jantan), bukan na’jah (betina). Wallahu a’lam bish-shawab.
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa seekor kambing cukup untuk satu orang. Demikian yang dinyatakan oleh Ibnu Qudamah dalam Syarhul Kabir (5/168—169).
Seekor kambing juga mencukupi untuk satu orang dan keluarganya walaupun mereka banyak jumlahnya. Ini menurut pendapat yang rajih (kuat). Dalilnya adalah hadits Abu Ayyub al-Anshari radhiallahu anhu, dia berkata,
كَانَ الرَّجُلُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِهِ
“Dahulu pada zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam, seseorang menyembelih kurban seekor kambing untuknya dan keluarganya.” (HR. at-Tirmidzi no. 1510, Ibnu Majah no. 3147; at-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan sahih.”)
Demikian pula hadits yang semakna dari sahabat Abu Sarihah diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 3148). Syaikh Muqbil dalam Shahihul Musnad (2/295) berkata, “Hadits ini sahih sesuai syarat syaikhain….”
Menurut jumhur ulama, diperbolehkan 7 orang atau 7 orang beserta keluarganya berserikat pada seekor unta atau sapi. Dalilnya adalah hadits Jabir radhiallahu anhu, dia berkata,
نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ بِالْحُدَيْبِيَّةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ
“Kami pernah menyembelih bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada waktu Hudaibiyah, seekor unta untuk 7 orang dan seekor sapi untuk 7 orang.” (HR. Muslim no. 1318, Abu Dawud no. 2809, dan at-Tirmidzi no. 1507)
Demikianlah ketentuan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang masyhur di kalangan kaum muslimin, dahulu dan sekarang.
Baca juga:
Atas dasar itu, apa yang sedang marak di kalangan kaum muslimin masa kini yang mereka istilahkan dengan “kurban sekolah” atau “kurban lembaga/yayasan”[1] adalah amalan yang salah dan kurban mereka tidak sah. Sebab, tidak sesuai dengan bimbingan As-Sunnah yang telah dipaparkan di atas.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌٍّ
“Barang siapa mengamalkan suatu amalan tanpa contoh dari kami, ia tertolak.” (HR. Muslim no. 1718 dari Aisyah radhiallahu anha)
Imam asy-Syinqithi dalam tafsirnya Adhwaul Bayan (3/484) menegaskan, “Para ulama bersepakat[2], tidak diperbolehkan adanya dua orang yang berserikat pada seekor kambing….”
Diriwayatkan dari Jabir dia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَذْبَحُوا إِلاَّ مُسِنَّةً إِلاَّ أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ الضَّأْنِ
“Janganlah kalian menyembelih (hewan kurban) kecuali musinnah; kecuali apabila kalian sulit mendapatkannya, silakan kalian menyembelih jadza’ah dari kambing domba.” (HR. Muslim no. 1963)
Dalam hadits ini, Rasulullah memberikan ketentuan tentang umur hewan kurban, yaitu musinnah.
Mayoritas besar ulama mensyaratkan umur musinnah pada unta, sapi, dan ma’iz; tidak sah apabila kurang daripada itu. Dasarnya adalah hadits Jabir di atas.
Adapun hadits Mujasyi,
إِنَّ الْجَذَعَ يُوْفِي مِمَّا يُوْفِي مِنْهُ الثَّنِيَّةُ
“Sesungguhnya jadza’ (hewan yang belum genap umur musinnah, -pen.) mencukupi apa yang dicukupi oleh tsaniyyah (hewan yang genap umur musinnah, -pen.).” (HR. Abu Dawud no. 2799, Ibnu Majah no. 3140, dinilai sahih oleh al-Albani dalam Shahih Abi Dawud. Saya katakan, “Sanadnya hasan, karena dalam sanadnya ada Ashim bin Kulaib dan ayahnya. Keduanya shaduq [jujur].”)
Hadits ini berlaku untuk jadza’ah dari kambing domba saja (kambing domba yang berumur 6 bulan). Demikian dijelaskan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah dengan dasar hadits Jabir di atas. Wallahu a’lam.
Yang afdal pada dha’n adalah umur musinnah (1 tahun) dengan dasar hadits Jabir di atas. Akan tetapi, apakah hal itu termasuk syarat[3]? Ataukah diperbolehkan menyembelih jadza’ah (umur 6 bulan) secara mutlak?
Pendapat yang rajih adalah pendapat jumhur—bahkan al-Qadhi Iyadh menukilkan kesepakatan[4]– bahwa jadza’ah dari dha’n tidak sah kecuali apabila sulit mendapatkan musinnah, dengan dasar hadits Jabir di atas.
Adapun hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu,
نِعْمَ الْأُضْحِيَّةُ الْجَذَعُ مِنَ الضَّأْنِ
“Sebaik-baik hewan kurban adalah jadza’ah dari dha’n.” (HR. Ahmad 2/445, dan at-Tirmidzi)
Sanadnya dha’if karena di dalamnya ada Kidam bin Abdurrahman as-Sulami dan Abu Kibasy, keduanya majhul. (Lihat adh-Dha’ifah, no. 64)
Baca juga:
Demikian hadits Ummu Bilal bintu Hilal (dalam sebagian riwayat dari ayahnya, pada riwayat lain langsung dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam),
يَجُوزُ الْجَذَعُ مِنَ الضَّأْنِ أُضْحِيَّةً
“Jadza’ah dari dha’n diperbolehkan sebagai hewan kurban.” (HR. Ibnu Majah, 3/39, al-Baihaqi dalam al-Ma’rifah [5650—5651], dan yang lainnya)
Sanadnya dha’if, padanya ada Ummu Muhammad al-Aslamiyah, dia majhulah. (Lihat adh-Dha’ifah, no. 65)
Adapun hadits Mujasyi yang telah dipaparkan sebelumnya, dijawab dengan ucapan ash-Shan’ani dalam Subulus Salam (4/174), “Kemungkinan, hal itu semua adalah ketika sulit mendapatkan musinnah.”
Saya katakan, hal ini dikuatkan oleh sebab wurud (datang) hadits Mujasyi ini. Kulaib bin Syihab mengisahkan, “Kami dahulu pernah bersama salah seorang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang bernama Mujasyi dari Bani Sulaim. Waktu itu, kambing sangat sulit dicari. Dia memerintah seseorang untuk berseru, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, ‘Sesungguhnya jadza’ah itu mencukupi apa yang dicukupi oleh musinnah.” (HR. Abu Dawud no. 2799 dan Ibnu Majah no. 3140)
Baca juga:
Adapun hadits Uqbah bin Amir al-Juhani mengisahkan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membagikan hewan kurban kepada para sahabatnya. Uqbah mendapatkan jatah bagian jadza’ah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun bersabda,
ضَحِّ بِهَا
“Hendaklah engkau berkurban dengannya.” (HR. al-Bukhari no. 5547 dan Muslim no. 1965)
Jawabannya adalah sebagai berikut:
Hal ini disebutkan dalam riwayat al-Bukhari (no. 5555) dengan lafadz (عتود). Dalam Fathul Bari (11/126) disebutkan, “Atud adalah anak kambing ma’iz yang telah kuat dan berusia satu tahun. Ibnu Baththal menegaskan, ‘Atud adalah jadza’ah dari ma’iz.”
Kata al-Hafizh Ibnu Hajar setelah itu, “Lafaz ini menjelaskan maksud kata jadza’ah yang terdapat dalam riwayat lain hadits Uqbah, bahwasanya jadza’ah di sini adalah dari jenis ma’iz.”
وَلَا رُخْصَةَ فِيْهَا لِأَحَدٍ بَعْدَكَ
“Dan tidak ada rukhsah (keringanan) untuk siapa pun setelahmu.”
Rukhsah ini juga diberikan kepada Abu Burdah dalam riwayat al-Bukhari (no. 5556, 5557) dan yang lainnya. (Lihat Fathul Bari, 11/129)
Wallahul muwaffiq.
[1]“Kurban sekolah” atau “kurban yayasan” yang dimaksud adalah setiap murid/santri atau anggota sebuah lembaga/yayasan diminta untuk menyerahkan uang sejumlah Rp. 10 ribu, misalnya. Uang yang terkumpul tersebut dibelikan beberapa ekor kambing atau sapi sebagai hewan kurban.
[2] Kesepakatan ini juga dinukil oleh Ibnu Khawwaz Bindad sebagaimana yang dicantumkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya at-Tamhid (10/307—308, cetakan terbaru, dengan tartib bab fikih). Pada halaman 315, beliau sendiri yang menukilkan kesepakatan tersebut.
[3] Maksudnya, tidak sah menyembelih jadza’ah kecuali apabila sulit mendapatkan musinnah sebagaimana dalam hadits Jabir di atas.
[4] Kesepakatan tersebut tidak benar karena dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan fuqaha.