Asysyariah
Asysyariah

membina keharmonisan suami istri (bagian 1)

13 tahun yang lalu
baca 11 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah)

Jima’ (hubungan seksual) dalam kehidupan sepasang suami istri tentu menjadi hal yang teramat lazim. Bahkan terkadang, bagi sebagian orang, permasalahan jima’ sering menjadi faktor yang cukup besar bagi terciptanya kehidupan rumah tangga yang harmonis. Sehingga tentu saja bukan sesuatu yang tabu atau apalagi porno bila kita membicarkan masalah ini, selama masih dalam bimbingan syariat dan banyak manfaat yang bisa kita ambil.

Allah I berfirman:

“Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat kalian bercocok-tanam itu bagaimana saja kalian kehendaki.” (Al-Baqarah: 223)
Dalam ayat lain, Dia Yang Maha Tinggi berfirman:

“Mereka (para istri) itu adalah pakaian bagi kalian dan kalian adalah pakaian bagi mereka.” (Al-Baqarah: 187)
Dari dua ayat yang mulia di atas, Allah I menggambarkan hubungan yang terjalin antara seorang wanita dengan seorang lelaki yang terikat dalam ikatan suci pernikahan. Karena memang dengan menikah menjadi bolehlah apa yang semula tidak boleh dan menjadi halal apa yang semula haram. Istri adalah ladang bagi suaminya yakni ladang untuk melahirkan anak-anak suami dan menumbuhkan benih keturunan suami sehingga dari kata “ladang” ini ada kinayah1 dari hubungan badan/jima’ karena dengan jima’ seorang suami bisa mendapatkan keturunan dari istrinya. (An-Nukat wal ‘Uyun Tafsir Al-Mawardi, 1/284).
Sekaligus istri merupakan pakaian bagi suaminya sebagaimana suami adalah pakaian istrinya. Bercampurnya masing-masing dari suami istri dengan pasangannya diistilahkan dengan pakaian. Karena melekat, menempel dan bercampurnya tubuh keduanya serupa dengan menempelnya pakaian pada tubuh. Bisa pula dimaknakan bahwa masing-masing menjadi penutup bagi pasangannya dari apa yang tidak halal. Ada pula yang mengatakan bahwa masing-masing menjadi penutup bagi pasangannya dari pandangan manusia ketika berlangsung hubungan jima’ antara keduanya. Abu ‘Ubaid berkata: “Wanita/istri itu dikatakan sebagai libas, firasy, dan izar bagimu (yakni istri adalah pakaian, tempat tidur, dan sarungmu).” Ar-Rabi‘ berkata: “Para istri adalah tempat berbaring kalian dan kalian adalah selimut bagi mereka.” Mujahid mengatakan: “Istri adalah tempat ketenangan bagi kalian yakni sebagian kalian menjadi ketenangan bagi yang lain.” (Al-Jami‘ li Ahkamil Qur`an, 2/211-212).
Perlu diketahui, termasuk di antara tujuan yang agung dari sebuah pernikahan adalah masing-masing dari suami istri menjaga kehormatan diri pasangannya agar tidak terjatuh kepada perbuatan keji dan nista seperti melihat sesuatu yang diharamkan, berselingkuh, atau yang lebih parah lagi melakukan zina. Upaya keduanya untuk memenuhi “hasrat” pasangannya akan diberi pahala oleh Allah I sebagaimana dalam hadits Rasulullah r:

“Dan pada jima’ yang dilakukan oleh salah seorang dari kalian dengan istrinya (atau pada kemaluan salah seorang dari kalian) ada (bernilai) sedekah.” Para shahabat bertanya (dengan heran): “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kami melampiaskan syahwatnya lalu ia diberi pahala dalam pemenuhan syahwatnya tersebut?” Rasulullah menjawab keheranan mereka dengan ucapan beliau: “Apa pendapat kalian, seandainya ia meletakkan kemaluannya itu pada yang haram, bukankah ia mendapatkan dosa karenanya? Maka demikian pula bila ia meletakkan kemaluannya pada yang halal, ia mendapatkan pahala karenanya.”2
Kata Al-Imam An-Nawawi t: “Dalam hadits ini ada dalil bahwa perkara mubah bisa bernilai ibadah dengan niat yang baik. Maka jima’ menjadi ibadah bila seseorang meniatkan untuk memenuhi hak istrinya dan bergaul dengannya dengan cara yang ma`ruf sebagaimana yang diperintahkan Allah I, ia niatkan untuk mendapatkan anak yang shalih, menjaga kehormatan dirinya atau kehormatan istrinya (dari berbuat zina) dan untuk mencegah keduanya dari melihat kepada yang haram, atau berpikir tentangnya, atau berkeinginan melakukannya, ataupun tujuan-tujuan baik lainnya.” (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 7/93)
Sepatutnya bagi suami untuk mencukupi hajat istrinya sebagai bentuk pergaulan dengan cara yang ma‘ruf sebagaimana dinyatakan dalam ayat:

“Dan mereka (para istri) memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf, akan tetapi para suami memiliki satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (Al-Baqarah: 228)
Dan juga dalam ayat:

“Dan bergaullah kalian dengan mereka (para istri) secara patut.” (An-Nisa’: 19)
Di sisi lain, istri pun wajib memenuhi hasrat suami kepada dirinya dan sekali-kali ia tidak boleh menolak ajakan suaminya ke tempat tidur tanpa alasan yang diperkenankan syariat. Bila si istri melakukannya, ia jatuh ke dalam dosa besar sebagaimana dinyatakan dalam sabda Rasul yang agung r:

“Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya3, namun si istri enggan untuk datang (memenuhi ajakan suaminya) maka para malaikat melaknat si istri sampai pagi hari.4 Dalam satu riwayat: … sampai si istri mau kembali.”5
Dalam riwayat Al-Imam Muslim disebutkan Rasulullah r bersabda:

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada seorang lelaki pun yang mengajak istrinya ke tempat tidur namun si istri menolak ajakan suami, melainkan yang di langit marah/murka terhadapnya, sampai suami ridha padanya.” (HR. Muslim no. 3525)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Hadits ini merupakan dalil haramnya istri untuk menolak ajakan suami ke tempat tidurnya tanpa ada uzur syar’i. Haid bukanlah termasuk uzur untuk menolak ajakan suami karena suami tetap punya hak untuk istimta’ (bersenang-senang) dengan istrinya pada bagian atas sarung (yang menutupi tempat keluarnya darah haid, -pent.).6 Makna hadits ini adalah laknat terus diterima si istri sampai hilang kemaksiatan dengan terbitnya matahari dan suami sudah merasa tidak membutuhkan jima’ lagi, atau laknat itu berakhir dengan taubatnya si istri dan ia mau kembali ke tempat tidur suaminya.” (Al-Minhaj, 10/249)

Adab-adab Syar‘i dalam Jima’
Sebagai ladang dan pakaian bagi suami, suami diberi keleluasaan untuk “mendatangi” istrinya sekehendaknya dan dengan cara yang ia sukai karena Allah I sendiri menyatakan:

“Maka datangilah tanah tempat kalian bercocok-tanam itu bagaimana saja kalian kehendaki.”
Namun, perlu diketahui setiap perkara yang berlangsung dalam kehidupan manusia telah ditetapkan ketentuan dan adab-adabnya oleh syariat. Demikian pula dalam perkara hubungan suami istri, di sana ada aturan, ketentuan dan larangan yang tidak boleh dilanggar oleh setiap insan yang beriman kepada Allah I dan Rasul-Nya r. Beda halnya dengan orang yang tidak mengenal Allah I dan syariat-Nya yang mulia, mereka hidup tanpa mengenal aturan syar‘i, tidak tahu adab Islami. Jangankan mau mengamalkan adab dalam berhubungan suami istri, bagaimana beradab kepada Allah I dan Rasul-Nya pun mereka buta atau pura-pura buta.
Berikut ini sedikit penjelasan bagi orang yang mau mengamalkan adab-adab syar‘i dalam hubungan suami istri:
Pertama: Hubungan suami istri (jima’) hanya boleh dilakukan ketika istri dalam keadaan suci, tidak sedang haid atau nifas. Karena Allah I berfirman:

“Mereka bertanya kepadamu tentang darah haid, maka katakanlah bahwa darah haid itu adalah kotoran (najis) maka jauhilah (jangan menggauli) para istri ketika haidnya (di tempat keluarnya darah/farji).” (Al-Baqarah: 222)
Anas bin Malik t berkata:

“Kebiasaan orang-orang Yahudi bila wanita di kalangan mereka haid maka mereka tidak mau makan bersamanya dan tidak mau berkumpul dengannya di dalam rumah. Para shahabat Nabi r pun bertanya kepada Nabi tentang hal itu maka Allah I menurunkan ayat: “Mereka bertanya kepadamu tentang darah haid, maka katakanlah bahwa darah haid itu adalah kotoran (najis) maka jauhilah (jangan menggauli) para istri ketika haidnya (di tempat keluarnya darah/farji)” sampai akhir ayat. Rasulullah r berkata: “Lakukanlah segala sesuatu (dengan istri kalian saat ia haid) kecuali jima’ (tidak boleh kalian lakukan, -pent.)” Sampailah hal itu kepada orang-orang Yahudi, mereka pun berkata: “Tidaklah orang ini (Rasulullah, -pent.) membiarkan satu urusan kita melainkan pasti dia selisihi.” Usaid bin Hudhair dan ’Abbad bin Bisyr datang menemui Rasulullah r, keduanya berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang Yahudi mengatakan ini dan itu (mengadukan ucapan Yahudi sebagaimana yang telah disebutkan-pent). Apakah tidak sekalian kita jima’i saja istri-istri kita ketika haid?” Mendengar hal itu berubahlah wajah Rasulullah r hingga keduanya menyangka beliau marah kepada keduanya. Keduanya pun keluar dari tempat Rasulullah r. Datanglah hadiah berupa susu untuk Nabi r, maka beliau mengirim orang untuk mengantarkan susu itu untuk Usaid dan’Abbad agar keduanya meminum susu tersebut. Dari situ tahulah keduanya bahwa Rasulullah tidak marah kepada mereka berdua.”7
Kedua: Jima’ tidak boleh dilakukan ketika kedua suami istri atau salah satunya sedang berihram8 (muhrim) atau sedang puasa.
Allah I berfirman:

“(Musim) haji itu adalah beberapa bulan yang diketahui, maka barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji maka ia tidak boleh melakukan rafats…” (Al-Baqarah: 197)
Rafats () adalah jima’9 dan pendahuluannya, baik berupa perkataan maupun perbuatan. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 91)
Allah I juga berfirman:

“Dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan puasa untuk bercampur dengan istri-istri kalian (melakukan rafats), mereka itu adalah pakaian bagi kalian dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka.” (Al-Baqarah: 187)
Dalam ayat di atas, Allah I membolehkan jima’ pada malam hari puasa. Hal ini menunjukkan jima’ tersebut dilarang dilakukan pada siang hari ketika seseorang sedang berpuasa. Al-Hafizh Ibnu Katsir t berkata: “Suami dan istri masing-masing bercampur dengan yang lain, saling bersentuhan dan tidur bersama, maka cocok sekali diberikan keringanan bagi para suami untuk melakukan jima’ dengan istrinya pada malam hari Ramadhan (sementara siang harinya dilarang karena sedang berpuasa, -pent.), agar tidak memberatkan dan menyulitkan mereka.” (Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 134)
Abu Hurairah z berkisah:

“Tatkala kami sedang duduk-duduk di sisi Nabi r tiba-tiba datang seorang lelaki, ia berkata: “Wahai Rasulullah, saya binasa.” “Kenapa engkau?” tanya Rasulullah. “Saya menggauli istriku dalam keadaan saya puasa,” jawabnya. “Apakah engkau mendapatkan budak untuk dimerdekakan,” tanya Rasulullah. “Tidak,” jawabnya. “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” tanya Rasu-lullah lagi. “Tidak mampu,” jawab-nya. “Apakah eng-kau bisa mem-berikan makan 60 orang miskin ?” tanya Rasulullah. “Tidak,” jawabnya. Nabi r pun tinggal beberapa saat, tatkala kami dalam keadaan demikian didatangkanlah kepada Nabi r satu keranjang berisi kurma, beliau berkata: “Di mana orang yang bertanya tadi?” Orang itu menjawab: “Saya.” Nabi bersabda: “Ambillah sekeranjang kurma ini lalu bersedekahlah dengannya.” “Apakah saya harus menyedekahkan kurma ini kepada orang yang lebih fakir dariku wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada keluarga di antara dua ujung/tepi10 kota Madinah yang lebih fakir daripada keluargaku,” kata lelaki tersebut. Mendengar hal itu Nabi r tertawa hingga terlihat gigi taring beliau kemudian beliau bersabda: “Berilah makan keluargamu dengan kurma ini.”11
Ketiga: Berdoa ketika melakukannya sebagaimana doa yang diajarkan oleh Rasulullah r:

“Dengan nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang Engkau rizkikan kepada kami.”
Kata Nabi r:

“Bila Allah menetapkan adanya anak dari hasil hubungan antara keduanya niscaya syaitan tidak akan dapat memudharatkannya selama-lamanya.”12
Keempat: Di antara per-masalahan yang banyak dita-nyakan berka-itan dengan jima’ adalah masalah boleh tidaknya suami istri melepas seluruh pakaiannya ketika jima dan boleh tidaknya melihat aurat pasangannya. Yang benar dalam hal ini adalah boleh suami istri tidak berbusana di hadapan pasangannya dan masing-masing halal (boleh) melihat aurat yang lain, berdasarkan hadits Mu‘awiyah bin Haidah yang akan kami sebutkan dalam edisi mendatang Insya Allah.
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab. (bersambung, insya Allah)

Catatan Kaki:

1 Kinayah adalah ibarat, kiasan, sindiran, yakni penggunaan kata-kata yang tidak terang-terangan.
2 HR. Muslim no. 2326, kitab Az-Zakah, bab Bayanu Anna Ismash Shadaqah Yaqa‘u ‘ala Kulli Nau‘in minal Ma‘ruf
3 Yakni mengajaknya untuk jima’ (Fathul Bari, 9/365)
4 Tidaklah berarti di sini istri boleh menolak ajakan suaminya untuk jima’ pada siang hari. Adapun dikhususkan penyebutan ajakan jima’ di malam hari (sebagaimana yang terkandung dalam hadits di atas) karena lebih kuatnya keinginan berjima’ di malam hari dibanding siang hari. (Fathul Bari, 9/365)
5 HR. Al-Bukhari no. 5193, kitab An-Nikah, bab Idza Batatil Mar`ah Muhajiratan Firasya Zaujiha dan Muslim no. 3524 kitab An-Nikah, bab Tahrimu Imtina’iha min Firasyi Zaujiha
6 Dalam hal ini ada sabda Rasulullah r: , artinya: “Lakukanlah segala sesuatu (dengan istri kalian saat ia haid) kecuali nikah/jima’ (yakni memasukkan zakar ke dalam farji, tidak boleh kalian lakukan).”
7 HR. Muslim no. 692, kitab Al-Haidh, bab fi Qaulillahi ta‘ala
8 Karena di antara larangan yang harus ditinggalkan oleh orang yang sedang berihram adalah jima’ sampai ia tahallul dari ihramnya.
9 Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, ‘Atha’, Mujahid, Sa‘id bin Jubair, Thawus, Salim bin Abdillah, ‘Amr bin Dinar, Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, Adl-Dlahhak, Ibrahim An-Nakha‘i, As-Sudi, ‘Atha’ Al-Khurasani, dan Muqatil bin Hayyan (Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 133-134)
10 Labataiha adalah harratani, dan Madinah berada di antara harrataini. Makna harrah sendiri adalah tanah yang bercampur dengan bebatuan hitam. (Al-Minhaj, 7/226)
11 HR. Al-Bukhari no. 1936, kitab Ash-Shaum, bab Idza Jama‘a fi Ramadhan wa Lam Yakun Lahu Syai’un Fa Tushaddiqa ‘alaihi Fal Yukaffir dan Muslim no. 2590, kitab Ash-Shiyam, bab Taghlizh Tahrimil Jima’ fi Nahari Ramadhan ‘alash Sha’im…
12 HR. Al-Bukhari no. 5165, kitab An-Nikah, bab Ma Yaqulu Ar-Rajulu Idza Ata Ahlahu dan Muslim no. 3519, kitab An-Nikah, bab Ma Yustahabbu An Yaqulahu ‘Indal Jima’