Batasan Taklif Seorang Anak untuk Menunaikan Shalat
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya, “Apakah balighnya seorang anak dianggap sebagai batasan dia harus dibebani untuk mengganti shalat yang terluput darinya karena tertidur ataupun yang dia tinggalkan?”
Beliau rahimahullah menjawab, “Ketika seorang anak—baik laki-laki maupun perempuan—telah baligh, maka dia harus melaksanakan shalat, puasa Ramadhan, haji dan umrah apabila dia mampu. Dia berdosa jika meninggalkan itu semua dan berdosa pula jika dia berbuat maksiat. Ini berdasarkan keumuman dalil-dalil syar’i.
Taklif (pembebanan syari’at) terjadi jika anak telah mencapai usia lima belas tahun, atau keluar mani dengan syahwat—baik dalam keadaan tidur ataupun terjaga, tumbuhnya rambut di sekitar qubul. Pada anak perempuan ditambah satu lagi, yaitu haid. Selama anak laki-laki ataupun perempuan belum mengalami salah satu dari perkara-perkara ini tadi, maka dia belum mukallaf.
Namun, dia diperintahkan untuk shalat sejak umur tujuh tahun, dan dipukul karena meninggalkan shalat ketika berumur sepuluh tahun. Begitu pula dia diperintah untuk puasa Ramadhan dan disemangati untuk melakukan berbagai kebaikan, seperti membaca al-Qur’an, shalat nafilah, haji, umrah, memperbanyak tasbih, tahlil, takbir, dan tahmid. Di samping itu, dia juga dilarang melakukan segala bentuk kemaksiatan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika mencapai usia tujuh tahun, pukullah mereka karena meninggalkan shalat ketika berumur sepuluh tahun, dan pisahkan mereka di tempat tidur mereka.”
Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari perbuatan al-Hasan bin ‘Ali radhiallahu ‘anhuma tatkala makan kurma sedekah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada al-Hasan,
“Tidakkah kamu tahu bahwa tidak halal bagi kita sedekah?”
Beliau menyuruh al-Hasan untuk membuang kurma yang telah diambilnya. Padahal, al-Hasan baru berumur tujuh tahun lebih beberapa bulan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.” (Majmu’ Fatawa Samahatusy Syaikh Ibn Baaz, 10/371)
Mengajak Anak-Anak Hadir di Masjid
Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang hukum mengajak anak-anak kecil hadir di masjid, namun anak-anak ini mengganggu orang-orang yang shalat.
Beliau rahimahullah menjawab, “Tidak boleh mengajak anak-anak ke masjid apabila mereka mengganggu orang-orang yang shalat. Sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menemui para sahabat ketika mereka shalat dan saling melantangkan suaranya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur,
“Janganlah sebagian kalian melantangkan suara terhadap sebagian yang lainnya dalam bacaan Qur’annya!” atau beliau mengatakan, “Dalam bacaannya.”
Kalau mengganggu itu dilarang, padahal itu adalah bacaan al-Qur’an, bagaimana kiranya dengan anak-anak yang bermain-main? Adapun jika tidak mengganggu, mengajak mereka ke masjid itu merupakan suatu kebaikan. Sebab, hal itu akan membiasakan mereka menghadiri shalat jamaah, menjadikan mereka cinta dan akrab dengan masjid.” (Majmu’ Fatawa Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 12/397)
Tidak boleh Melarang Anak-anak Berada di Shaf Pertama
Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang hukum melarang anak-anak duduk di shaf pertama.
Beliau rahimahullah menjawab, “ Tidak boleh dilarang anak-anak untuk shalat di shaf pertama di masjid, kecuali apabila mengganggu. Selama mereka beradab, tidak boleh mengeluarkan mereka dari shaf pertama. Sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
“Barang siapa lebih dahulu mendapatkan apa yang belum didahului oleh seorang muslim, dia lebih berhak atasnya.”
Mereka lebih dahulu mendapatkan apa yang tidak didahului orang lain, maka mereka lebih berhak atasnya daripada orang lain.
Kalau ada yang mengatakan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
“Hendaknya yang shalat di belakangku adalah orang-orang yang telah baligh dan berakal.”
maka jawabannya, yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah dorongan kepada orang-orang yang telah baligh dan berakal untuk maju. Ya, seandainya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
“Tidaklah boleh shalat di belakangku kecuali orang-orang yang telah baligh dan berakal.”
tentu ini merupakan larangan bagi anak-anak maju ke shaf pertama. Namun, ketika beliau mengatakan,
maka maknanya adalah anjuran bagi orang-orang yang telah baligh dan berakal untuk maju, agar mereka menjadi orang-orang yang shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Selain itu, jika kita undurkan anak-anak itu dari shaf pertama, mereka semua akan berada di shaf kedua, sehingga mereka akan bermain-main. Hal ini tidak akan terjadi jika mereka berada di shaf pertama namun kita pisah-pisahkan mereka. Ini adalah perkara yang jelas. Wallahul muwaffiq.” (Majmu’ Fatawa Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 12/397)
Apabila Anak-Anak Mendahului Orang Dewasa di Shaf Pertama
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya, “Ada anak-anak yang datang lebih awal pada hari Jum’at. Kemudian ada beberapa orang dewasa datang, menyuruh anak-anak itu bangkit, lalu menduduki tempat duduk mereka. Mereka beralasan dengan ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‘Hendaknya yang shalat di belakangku adalah orang-orang yang telah baligh dan berakal.’
Apakah hal ini boleh dilakukan?”
Beliau menjawab, “Dikatakan oleh sebagian ahlul ilmi dan mereka berpendapat bahwa yang lebih utama, anak-anak dibariskan di belakang shaf laki-laki dewasa. Namun, pendapat ini perlu tinjauan. Yang lebih sahih, jika anak-anak datang terlebih dahulu, tidak boleh dikebelakangkan.
Jika mereka mendapatkan shaf pertama atau kedua, tidak boleh orang yang datang setelah mereka menyuruh mereka bangkit dari tempat duduknya, karena anak-anak itu telah mendahului mendapatkan suatu hak yang tidak didahului oleh orang lain.
Karena itu, tidak boleh menyuruh mereka mundur, berdasarkan keumuman hadits-hadits tentang hal ini.
Jika mereka disuruh mundur, ini akan membuat mereka lari dari shalat dan dari berlomba-lomba datang untuk shalat. Jadi, tidak layak hal ini dilakukan.
Namun, jika orang-orang datang shalat bersamaan, dalam safar atau karena suatu sebab, maka laki-laki dewasa berada di shaf terdepan, yang kedua anak-anak, kemudian setelah itu para wanita. Ini jika terjadi yang seperti itu, dan mereka datang bersamaan.
Adapun menyuruh anak-anak menyingkir dari shafnya kemudian tempat mereka ditempati oleh orang-orang dewasa yang datang belakangan, ini tidak boleh dilakukan dengan alasan yang telah kami sebutkan.
Adapun sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Hendaknya yang shalat di belakangku adalah orang-orang yang telah baligh dan berakal di antara kalian.”
Yang dimaksudkan di sini adalah dorongan agar orang-orang yang telah baligh dan berakal bersegera untuk shalat, sehingga mereka menjadi orang-orang yang terdepan. Maknanya bukanlah menyuruh mundur orang yang telah mendahului mereka, karena ini menyelisihi dalil-dalil syar’i yang telah kami sebutkan.” (Majmu’ Fatawa Ibni Baz , 12/399)
Memerintah Anak di Bawah Sepuluh Tahun untuk Shalat
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya, “Berkaitan dengan shalat anak-anak di bawah usia sepuluh tahun, apakah orang tua berdosa jika tidak mengharuskan mereka shalat?”
Beliau rahimahullah menjawab, “Orang tua hanya sebatas memerintah saja, dan mereka tidak berdosa. Ketika anak telah berusia sepuluh tahun, orang tua wajib memerintah mereka dan menta’dib (memberi hukuman/sanksi berupa pukulan) hingga mereka mau melaksanakan shalat.
Adapun umur 7—10 tahun, yang disyariatkan adalah memerintah saja. Apabila sudah berumur tujuh tahun, mereka diperintah untuk shalat dan tidak dipukul (jika meninggalkannya -pen). Setelah sepuluh tahun atau lebih, barulah si anak dipukul jika meninggalkan shalat.” (Fatawa Nur ‘alad Darb , kaset no. 435)
Tidak Semangat Mengajak Anak Menunaikan Shalat
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya, “Banyak orang tua/wali anak—semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberi mereka petunjuk—tidak bersemangat mengajak anak-anak mereka menunaikan shalat fardhu. Mereka amat bermudah-mudahan dalam hal ini. Apa nasihat Samahatusy Syaikh seputar masalah ini? Apakah mereka berdosa dalam hal ini?”
Beliau rahimahullah menjawab, “Ya. Yang wajib atas seluruh kaum muslimin adalah memerhatikan urusan shalat dan membimbing anak-anak mereka untuk menunaikannya. Yang wajib atas setiap ayah dan ibu serta saudara adalah memerhatikan hal ini.
Seorang ayah harus mengarahkan anak-anaknya, begitu pula ibu, kakak laki-laki, dan paman. Semua harus saling menolong di atas kebaikan dan takwa, karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan tolong-menolonglah kalian di atas kebaikan dan takwa.” (al-Maidah: 2)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
“Dan laki-laki yang beriman dan wanita-wanita yang beriman, sebagian mereka adalah penolong bagi yang lain, mereka saling memerintahkan pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran.” (at-Taubah: 71)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman pula,
“Demi masa. Sesungguhnya setiap manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, beramal saleh, saling menasihati di atas kebenaran, dan saling menasihati di atas kesabaran.” (al-’Ashr: 1—3)
Apabila orang tua bermudah-mudah dalam urusan ini, ia berdosa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan perintahkanlah keluargamu untuk menegakkan shalat dan bersabarlah untuk menunaikannya.” (Thaha: 132)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman pula,
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, padanya ada malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak pernah mendurhakai Allah pada segala sesuatu yang Dia perintahkan dan senantiasa melaksanakan segala yang diperintahkan kepada mereka.” (at-Tahrim: 6)
Begitu pula, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Kalian adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan bagi manusia, kalian memerintahkan kepada perkara yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran, serta beriman kepada Allah.”
Karena itu, ayah, ibu, saudara laki-laki dan yang lainnya wajib saling menolong dalam hal ini dan tetap beristiqamah di atas kebenaran, serta mengharuskan anak-anak mereka untuk menunaikan dan menjaga shalatnya dan memberikan ta’dib kepada yang meninggalkannya.” (Fatawa Nur ‘alad Darb, kaset no.391)
Hukum Mengajak Anak-Anak ke Masjid
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya, “Bagaimana pandangan Anda tentang mengajak anak-anak ke masjid? Apakah hal ini haram, makruh, atau boleh? Mengingat, saya pernah mendengar dari banyak orang adanya suatu hadits.
Mereka mengatakan bahwa diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Jauhkanlah masjid-masjid kalian dari anak-anak dan orang-orang gila dari kalangan kalian.”
Beliau rahimahullah menjawab, “Ini hal yang disenangi (mustahab). Bahkan, disyariatkan membawa anak-anak ke masjid ketika telah berumur tujuh tahun lebih, dan memukul mereka jika enggan ketika sudah berumur sepuluh tahun.
Dengan demikian, anak akan terbiasa shalat dan diajari urusan shalat. Ketika baligh nanti dia sudah mengetahui dan terbiasa menunaikan shalat bersama saudara-saudara mereka kaum muslimin.
Adapun anak-anak kecil di bawah usia tujuh tahun, yang lebih utama tidak mengajak mereka. Sebab, mereka hanya akan menyempitkan dan mengganggu jamaah serta bermain-main. Maka dari itu, yang lebih utama adalah tidak mengajak mereka ke masjid, karena mereka belum disyariatkan menunaikan shalat.
Adapun hadits,
adalah hadits yang dha’if, tidak sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anak-anak justru diperintah untuk menghadiri shalat jika telah berusia tujuh tahun lebih sehingga dia terbiasa menunaikan shalat. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika mencapai usia tujuh tahun, dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat ketika berumur sepuluh tahun, dan pisahkan mereka di tempat tidur mereka.”
Dalam hadits ini terdapat pensyariatan bagi kaum mukminin untuk mengajak anak-anak mereka sehingga mereka terbiasa menunaikan shalat. Ketika baligh kelak mereka sudah terbiasa shalat dan menghadirinya bersama kaum muslimin. Hal ini akan lebih memudahkan dan mendekatkan mereka untuk menjaga shalatnya.” (Fatawa Nur ‘alad Darb, kaset no.169)
Mengajak Anak-Anak ke Masjid
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya, “Bagaimana pandangan Anda tentang orang-orang yang mengajak anak-anaknya ke masjid untuk menunaikan shalat? Mengingat anak-anak itu belum bisa membaca atau menghafal al-Qur’an walaupun al-Fatihah? Berikanlah fatwa kepada kami, jazakumullahu khairan.”
Beliau menjawab, “Apabila memungkinkan mereka tetap ada di rumah, ini lebih baik, sehingga mereka tidak mengganggu siapa pun.
Namun, jika tidak memungkinkan, karena anak atau ayah senang untuk shalat bersama jamaah, atau mendengarkan pelajaran, penyampaian faedah atau khutbah, tidak mengapa (hadir di masjid –pen.) walaupun membawa anak-anak kecil.
Sebab, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan dalam hadits yang sahih bahwa beliau memulai shalat dan ingin memperlamanya. Kemudian beliau mendengar tangisan anak kecil. Beliau pun meringankan shalat agar tidak menyusahkan ibunya. Ini menunjukkan bahwa mereka shalat sambil membawa anak-anak. Beliau tidak melarang mereka membawa anak-anak kecil.
Demikian pula di dalam sebuah hadits yang shahih, ketika beliau pada beberapa malam mengakhirkan pelaksanaan shalat isya’. ‘Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Wahai Rasulullah, para wanita dan anak-anak telah tertidur….” Ini menunjukkan bahwa anak-anak juga hadir.
Kesimpulannya, hadirnya anak-anak bersama ibu atau ayah mereka diperbolehkan. Jika si anak belum masanya untuk shalat dan dia dibawa oleh ibunya dan sang ibu bisa menenangkannya sehingga bisa menunaikan shalat berjamaah, serta mendengar khutbah dan penyampaian faedah, ini tidak mengapa.
Jika memungkinkan untuk menjaga si anak di rumah sehingga si anak tidak mengganggu, sang ibu juga tidak mengganggu siapa pun dengan anaknya ini, ini lebih utama dan lebih baik, jika memungkinkan.” (Fatawa Nur ‘alad Darb, kaset no.229)
(Dinukil dan diterjemahkan dengan sedikit perubahan dari Fatawa Tarbiyatil Aulad, al-Qismu al-‘Ilmi Dar al-Ikhlash wa ash-Shawab, cet. 2, 1435H/2014M, hlm. 22—23, 28—35 oleh Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)