(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Abdirrahman bintu Imran)
Mendidik anak bukan hal yang mudah. Agar berhasil, berbagai keadaan harus dicermati, berbagai hal harus diperhatikan. Di antaranya adalah hal-hal yang dapat merusak si anak. Kita—orang tua dan pengajar—harus berjuang dan berupaya keras agar hal-hal semacam ini tidak menghampiri anak. Jika kita biarkan, niscaya pendidikan yang kita usahakan akan sulit mencapai hasil yang diharapkan. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui apa saja yang harus dihindarkan sejauh-jauhnya dari anak.
Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu t dalam kitab beliau Nida’ ilal Murabbiyin wal Murabbiyat telah membahas masalah ini. Penjelasan beliau akan memberikan banyak faedah bagi kita, insya Allah.
Beliau menerangkan, hal-hal yang harus dijauhkan dari anak adalah:
1. Kebiasaan jelek
Seorang pendidik yang ingin berhasil dalam pendidikan dan pengajarannya harus berupaya menjauhkan anak didiknya dari berbagai kebiasaan jelek, seperti menulis dengan tangan kiri, membungkuk ketika menulis, membuang kertas di sembarang tempat, merobek kertas dari buku tulis, mencoret-coret buku dengan pena, menulis dengan tulisan yang jelek, berbicara kotor, mencela, melaknat, dan kebiasaan jelek lainnya.
Kebiasaan yang paling berbahaya adalah merokok. Perilaku ini telah tersebar di kalangan pelajar melalui bermacam cara dan berbagai celah. Oleh karena itu, seorang pendidik harus menerangkan kepada anak-anak didiknya tentang bahaya merokok. Dia harus membuat mereka membenci perilaku ini. Harus dia jelaskan bahwa rokok menimbulkan bau tak sedap, mengakibatkan kuningnya gigi, jari, dan kuku, serta mengandung nikotin dan plak yang akan terakumulasi dalam paru-paru hingga bisa berujung kematian. Ini termasuk perbuatan bunuh diri yang Allah l haramkan.
Bisa pula dinukilkan pernyataan Federasi Dokter Internasional bahwa merokok dapat mengakibatkan kanker paru-paru, kanker darah, penyakit saluran napas, atau penyakit-penyakit berbahaya lainnya.
Kalau ada seorang pendidik yang tertimpa musibah sebagai pecandu racun ini, hendaknya dia tidak merokok di depan murid-muridnya ataupun di depan umum, sebagai pengamalan sabda Rasulullah n:
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافَى إِلاَّ الْمُجَاهِرِيْنَ
“Setiap umatku akan dimaafkan dosanya, kecuali orang yang terang-terangan melakukan dosa.” (Muttafaq ‘alaih)
Bahkan, dia wajib berhenti merokok sama sekali.
Begitu pula, pendidik hendaknya menerangkan kepada murid-muridnya bahwa merokok akan mengganggu orang-orang di sekitarnya, juga mengganggu dua malaikat yang Allah l tugasi mencatat amalan kebaikan dan keburukan. Sementara itu, dalam agama kita, mengganggu adalah perbuatan yang diharamkan. (Asap rokok mengandung ribuan zat kimia berbahaya, sehingga membahayakan orang-orang di sekitarnya/perokok pasif yang tanpa sengaja mengisapnya, -red.).
Jika seorang pendidik mampu meyakinkan murid-muridnya dengan ucapannya, kemudian mereka melihat perilaku pendidiknya selaras dengan apa yang dikatakannya, sesungguhnya dia telah menempuh jalan yang lurus dan selamat.
2. Film dan televisi
Perang pemikiran yang dilancarkan oleh orang-orang kafir di berbagai negeri kaum muslimin telah membuahkan hasil berupa kerusakan akhlak masyarakat Islam dan tersebarnya penyimpangan akhlak dengan label liberalisme, demokratisme, atau label lain yang mentereng—yang luarnya menampakkan kasih sayang, namun di dalamnya berisi azab.
Orang-orang kafir terus melancarkan penjajahan terhadap negeri-negeri kaum muslimin dengan perang pemikiran ini, sebagaimana yang kita lihat di negeri-negeri Arab dan negeri kaum muslimin yang lainnya.
Di antara bentuk perang pemikiran ini adalah tersebarnya film-film yang mengakibatkan bahaya besar bagi para remaja muslim. Film ini menjadi sebab tersebarnya berbagai perbuatan keji.
Tujuannya adalah menggiring remaja untuk mendekati hal-hal jelek yang membahayakan dirinya dan tak ada manfaatnya. Sampai akhirnya para remaja ini menyia-nyiakan potensi dirinya dan tidak memanfaatkan potensi ini untuk kebaikan agama dan tanah airnya. Ini sebenarnya merupakan rencana jahat orang-orang Yahudi di seluruh dunia. Yang mengherankan, orang-orang yang mestinya bertanggung jawab terhadap para remaja tidak mewaspadai bahaya-bahaya tadi dan tidak berusaha mencegahnya.
Kalau yang ditayangkan itu adalah tayangan yang ilmiah, membangun akhlak dan agama, tentu tidak mengapa. Misalnya, tayangan yang mengajarkan kepada mereka tata cara wudhu dan shalat, menghormati guru, taat kepada orang tua, dan tayangan lain yang bermanfaat bagi mereka.
Oleh karena itu, pendidik yang ingin berhasil mendidik anak didiknya harus bisa memberikan pemahaman kepada mereka tentang bahaya film dan televisi. Juga menjelaskan kepada mereka bahayanya tayangan-tayangan keji yang akan meruntuhkan keutamaan dan kewibawaan diri mereka. Tayangan tersebut justru mengajari mereka untuk mencuri atau melakukan tindak kriminal lain. Berapa banyak pencuri dan pelaku tindak kriminal yang mengakui bahwa dia mempelajari berbagai modus kejahatan itu dari tayangan film atau televisi. Banyak kisah nyata yang menuturkan demikian.
Belum lagi dampak lain berupa kelelahan mata karena lamanya menatap layar/monitor, juga sesak napas akibat udara kotor dalam ruangan tertutup—jika menontonnya di bioskop, serta kerugian materi tanpa faedah sama sekali.
Karena itulah, pendidik harus menerangkan hal-hal ini kepada anak didiknya. Ia juga menjelaskan, kalau anak-anak itu mau membeli buku yang berisi ilmu pengetahuan atau kisah-kisah yang berfaedah, ini jauh lebih baik.
3. Judi
Seorang pendidik yang ingin berhasil dalam pendidikan dan pengajarannya hendaknya selalu mengawasi anak didiknya. Hendaknya ia juga memahamkan kepada mereka bahwa menjadikan coklat, permen, atau makanan lain sebagai taruhan termasuk perjudian yang akan menyeret pelakunya ke hadapan murka Allah l. Selain itu, perbuatan tersebut akan menghabiskan uang.
Pendidik juga harus memperingatkan anak-anak didiknya bahwa orang yang biasa menjadikan hal-hal yang remeh seperti itu sebagai taruhan, lambat laun akan bertaruh dengan harta, bahkan terkadang mempertaruhkan jiwanya. Yang seperti ini sudah pernah terjadi. Ketika seseorang bangkrut dan tak sepeser pun hartanya tersisa, dia menjual anak perempuannya. Ketika kalah lagi, dia menjual seliter darahnya. Setelah kalah lagi, dia ditemukan sebagai mayat di salah satu kebun di Beirut, Lebanon.
Seandainya judi itu ada kebaikannya, pasti Allah l tidak akan melarangnya. Allah l berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, perjudian, berhala, dan undian dengan anak panah itu adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Jauhilah, semoga dengan begitu kalian akan beruntung. Sesungguhnya setan menginginkan agar terjadi permusuhan dan kebencian di antara kalian dengan khamr dan perjudian itu, serta ingin menghalangi kalian dari mengingat Allah dan dari shalat. Maka tidakkah kalian berhenti melakukannya?” (al-Maidah: 90—91)
Rasulullah n juga bersabda:
مَنْ لَعِبَ بِالنَّرْدَشِيْرِ فَكَأَنَّمَا غَمَسَ يَدَهُ فِي لَحْمِ خِنْزِيْرٍ وَدَمِهِ
“Barang siapa bermain nardasyir (perjudian dengan dadu, pen.), seakan-akan dia telah mencelupkan tangannya ke dalam daging dan darah babi.” (HR. Muslim)
Maka dari itu, kita katakan secara ringkas bahwa tidak boleh bermain kartu dan dadu walaupun untuk hiburan semata, karena akan menyeret pada perjudian.
Selain itu, permainan ini juga bisa menyulut pertikaian di antara para pemainnya. Telah terjadi, munculnya perselisihan antara dua orang teman yang sama-sama bermain kartu sekadar untuk hiburan. Keduanya terlibat perang mulut. Masing-masing menuduh temannya menggerakkan dadu itu. Salah satu dari mereka sampai bersumpah akan menceraikan istrinya untuk menolak tuduhan itu, namun tetap tidak diterima oleh temannya. Akhirnya, meletuplah permusuhan di antara mereka, sampai-sampai tak mau lagi bertegur sapa padahal mereka berdua bertetangga.
4. Mencaci dan bertengkar
Beberapa tahun terakhir ini banyak peristiwa buruk terjadi, yaitu perselisihan antarpelajar. Yang satu mencela yang lain, bahkan terkadang sampai mencela agama. Oleh karena itu, orang tua dan wali murid hendaknya memerhatikan anak-anaknya, melarang mereka dan sama sekali tidak memberi toleransi dalam hal seperti ini. Tak pernah ada di kalangan para pendahulu kita yang saleh hal-hal semacam ini. Seyogianya ada kerjasama antara pengajar dengan orang tua/wali murid sehingga perilaku seperti ini bisa tercabut hingga ke akarnya dan tertangani dengan hikmah serta nasihat yang baik.
Pernah terjadi, saya melihat seorang murid mencela temannya dengan menjelekkan agama. Saya dekati dia dan bertanya, “Siapa namamu, Nak? Kelas berapa? Dari sekolah mana?” Lalu kutanya lagi dia, “Siapa yang menciptakanmu?”
“Allah,” jawabnya.
“Siapa yang memberimu pendengaran dan penglihatan, yang memberimu makanan, buah-buahan, dan sayur-sayuran?” tanyaku lagi.
“Allah,” jawabnya.
Saya bertanya lagi,”Apa yang baru saja kaukatakan?”
Dia pun merasa malu dengan pertanyaan itu. Lalu dia berujar, “Temanku itu yang lebih dahulu menjahatiku.”
Saya pun mengatakan kepadanya, “Sesungguhnya Allah l tidak mau menerima perbuatan jahat, bahkan melarangnya. Dia berfirman:
“Janganlah kalian berbuat melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (al-Baqarah: 190)
Nah, siapa yang membisiki temanmu sehingga dia memukulmu?”
Dia menjawab, “Setan.”
“Kalau begitu, seharusnya engkau mencela setannya!”1 kata saya.
Dia pun mengatakan kepada temannya, “Semoga setanmu terlaknat!”
Kemudian saya katakan kepadanya, “Engkau harus bertaubat kepada Allah l dan meminta ampunan kepada-Nya, karena celaanmu terhadap agama itu perbuatan kufur!”
Dia pun lantas mengucapkan, “Saya memohon ampun kepada Allah Yang Mahaagung, dan saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah!”
Saya ucapkan terima kasih kepadanya dan memintanya agar tidak mengulangi perbuatan itu lagi, dan agar dia menasihati teman-temannya jika melihat ada di antara mereka yang mencela agama.
Adapun pertikaian dan perkelahian, semestinya pendidik memahamkan anak-anak didiknya bahwa mereka itu bersaudara. Tidak boleh seseorang mencela saudaranya. Hal ini telah dilarang oleh sang pendidik yang agung, junjungan kita Muhammad n, dalam sabdanya:
سِبَابُ الْمُؤْمِنِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencela seorang mukmin itu kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran.” (Muttafaq ‘alaih)
Oleh karena itu, selayaknya nuansa persaudaraan dan kecintaan mewarnai hubungan anak-anak didik kita. Kewajiban pendidik mengarahkan mereka untuk memupuk persaudaraan dan rasa saling cinta. Rasulullah n bersabda:
أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ
“Tidakkah kalian mau kutunjukkan sesuatu yang jika kalian lakukan niscaya kalian akan saling mencintai? Sebarkan salam di antara kalian!” (HR Muslim)
(Dinukil dan diterjemahkan dari kitab Nida’ ilal Murabbiyin wal Murabbiyat hlm. 77—82 oleh Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)
Catatan Kaki:
1 Yang terbaik bagi seorang muslim adalah memohon perlindungan kepada Allah l ketika marah, dengan ucapan a’udzu billahi minasy syaithanir rajim (Aku berlindung kepada Allah l dari setan yang terkutuk), berdasarkan firman Allah l:
“Dan jika setan menimpakan gangguan padamu, maka mohonlah perlindungan kepada Allah, sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (Fushshilat: 36)
Rasulullah n juga pernah mengatakan pada seseorang yang sedang marah:
إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
“Sesungguhnya aku mengetahui suatu kalimat yang jika dia ucapkan akan hilang kemarahannya: a’udzu billahi minasy syaithanir rajim.”(Muttafaq ‘alaih)