Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
Mandi menjadi rutinitas kita sehari-hari. Paling tidak dua kali sehari kita melakukannya, pagi dan sore. Mandi seperti ini tidak ditentukan oleh syariat. Artinya, urusannya mubah saja, mau dikerjakan, ‘silakan’; ditinggalkan pun tidak berdosa, walau sebenarnya mengerjakan yang mubah bisa mendatangkan pahala kalau disertai niat kebaikan.
Ada mandi yang diatur oleh syariat karena mengiringi urusan ibadah. Apabila mandi itu tidak dilakukan, seseorang tidak bisa menjalankan ibadah shalat dan beberapa ibadah lainnya. Mandi yang dimaksud adalah mandi selesai dari haid, nifas, dan mandi janabah.
Di sini kita tidak membicarakan secara lengkap tata cara mandi yang disebutkan. Kita membatasi satu permasalahan terkait dengan mandi-mandi tersebut, yaitu apa hukumnya wanita melepas ikatan atau gelungan rambutnya saat mandi suci dari haid, nifas, dan janabah?
Ummu Salamah radhiallahu ‘anha pernah bertanya kepada suaminya yang mulia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضُفْرَ رَأْسِي، أَفَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ؟ قَالَ: لاَ، إِنَّماَ يَكْفِيْكِ أَنْ تَحِثِّي عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ، ثُمَّ تُفِيْضِيْنَ عَلَيْكِ الْمَاءَ، فَتَطْهُرِيْنَ
“Wahai Rasulullah, saya adalah wanita yang menjalin rambut dengan kuat. Apakah saya harus melepaskan jalinan rambut tersebut saat mandi janabah?”
Rasulullah menjawab, “Tidak. Cukuplah bagimu menuangkan (air) di atas kepalamu tiga tuangan[1], lalu engkau siramkan air di atas tubuhmu, maka engkau pun suci.” (HR. Muslim no. 742)
Aisyah radhiallahu ‘anha mengisahkan bahwa Asma bintu Syakal[2] radhiallahu ‘anha pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tata cara mandi suci dari haid. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَتَهَا فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُوْرَ، ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهَا دَلْكًا شَدِيْدًا حَتَّى تَبْلُغَ شُؤُوْنَ رَأْسِهَا
“Hendaknya salah seorang dari kalian mengambil air mandi dan sidr[3], lalu bersuci dengan sebaik-baiknya[4], kemudian dia tuangkan air di atas kepalanya, lalu digosok-gosoknya dengan kuat hingga mencapai pokok rambutnya[5]….” (HR. Muslim no. 748)
Pembaca yang mulia, perhatikanlah dua hadits di atas, hadits dua ibunda kita Ummu Salamah radhiallahu ‘anha dan Aisyah radhiallahu ‘anha. Yang satu berbicara tentang mandi janabah seorang wanita dan yang satu lagi tentang mandi haid.
Dalam hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintah Ummu Salamah radhiallahu ‘anha menggerai rambutnya saat mandi. Artinya, Ummu Salamah radhiallahu ‘anha boleh mandi dalam keadaan rambutnya tetap terjalin, terkepang, atau terikat.
Adapun dalam hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, saat menyiram air ke kepala, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah wanita yang mandi haid untuk menggosok-gosokkan air tersebut dengan sangat ke kepalanya agar air sampai ke pangkal rambut.
Dari sinilah muncul perbedaan pendapat tentang hukum melepas ikatan atau jalinan rambut saat mandi janabah dan mandi haid/nifas, apakah wajib atau tidak?
Perbedaan Pendapat Ulama
Penulis kitab asy-Syarhul Kabir (1/189—190), al-Imam ar-Rafi’ rahimahullah, menyatakan bahwa wanita tidak wajib melepas ikatan rambutnya saat mandi janabah, dan tidak ada perselisihan dalam hal ini, kecuali dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma dan an-Nakha’i rahimahullah. Tidak ada yang menyepakati keduanya menurut pengetahuan beliau. Dalilnya adalah hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha di atas.
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, menyatakan adanya kesepakatan imam yang empat tentang tidak wajibnya hal ini. (al-Mughni, “Kitab ath-Thaharah”)
Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata setelah membawakan hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, “Yang diamalkan oleh para ulama ialah apabila seorang wanita mandi janabah tanpa melepaskan ikatan rambutnya, maka hal itu mencukupinya setelah dia mencurahkan air ke atas kepalanya.“ (Jami’ at-Tirmidzi, 1/71)
Adapun untuk mandi haid dan nifas, ulama berselisih pendapat, apakah wajib atau tidak melepas ikatan rambut saat mandi suci.
Demikian pendapat yang masyhur dari ulama mazhab Hanbali (al-Mughni), Zhahiri (al-Muhalla, 2/53) dan sebagian ulama Maliki (al-Muntaqa, 1/96). Pendapat ini dipegangi oleh al-Hasan, Thawus, dan an-Nakha’i.
Demikian pendapat jumhur ulama, di antara mereka ialah ulama mazhab Hanafi (Fath al-Qadir, 1/59I), ulama mazhab Maliki (al-Maunah, 1/132), ulama mazhab Syafi’i ( al-Majmu, 2/187), dan satu pendapat dalam mazhab Hanbali (satu riwayat dari al-Imam Ahmad rahimahullah yang dipilih oleh al-Muwaffaq, al-Majd, pensyarahnya, dan asy-Syaikh Taqiyuddin, serta selain mereka). Demikian pendapat yang dipegangi oleh Atha, al-Hakam, dan az-Zuhri. (al-Mughni, Fathul Bari, 1/542)
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullah, Mufti Kerajaan Saudi Arabia pada masanya, berpendapat (sebagaimana dinukil dalam Taudhihul Ahkam) bahwa yang kuat secara dalil adalah pendapat yang menyatakan tidak wajib melepas ikatan rambut saat mandi haid, sebagaimana tidak wajib dalam mandi janabah. Hanya saja, saat mandi haid disunnahkan melepaskannya berdasarkan dalil-dalil yang ada, namun hal ini tidak wajib, dengan dalil hadits Ummu Sa lamah radhiallahu ‘anha . Pendapat ini yang dipilih oleh penulis kitab al-Inshaf. Adapun dalam mandi janabah, maka melepas ikatan rambut tidak disunnahkan sebagaimana disunnahkan dalam mandi haid.
Dalil mereka yang tidak mewajibkan adalah hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha yang menyebutkan haid dan janabah[6]. Namun, kata al-Imam Ibnu Qayyim al- Jauziyah rahimahullah, yang sahih dalam hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha hanyalah penyebutan janabah tanpa ada penyebutan haid, sedangkan melepas ikatan rambut untuk wanita yang mandi haid, maka tidak ada riwayat yang mahfuzh.
Al-Imam al-Albani rahimahullah berkata bahwa riwayatnya syadz. Dengan demikian, kata asy-Syaikh Alu Bassam, penulis Taudhihul Ahkam, mazhab al-Imam Ahmad rahimahullah dalam masalah ini kuat, dan memaknai dua hadits di atas dengan istihbab (hukumnya disunnahkan) adalah bagus. (Taudhihul Ahkam, 1/400—401)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah menyatakan, mazhab jumhur tentang ikatan rambut wanita yang mandi adalah jika memungkinkan sampainya air ke seluruh rambut, baik bagian luar maupun bagian dalam, tanpa harus melepas ikatan rambut tersebut (mengurai rambut) maka mengurainya tidaklah wajib.
Namun, ketika tidak memungkinkan menyampaikan air ke seluruh rambut kecuali dengan mengurai, maka mengurainya wajib, tanpa membedakan mandi janabah dengan mandi haid dan nifas.
Adapun hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha dipahami bahwa air bisa sampai ke seluruh bagian kepala dan rambut tanpa harus mengurai rambut tersebut. An-Nakha’i berpendapat wajibnya melepas ikatan rambut dalam seluruh keadaan. Al-Hasan dan Thawus berpendapat wajib ketika mandi haid dan tidak wajib saat mandi janabah dengan dalil hadits Ummu Salamahradhiallahu ‘anha. (al-Minhaj, 4/237)
Al-Imam al-Albani rahimahullah dalam kitabnya, Tamamul Minnah fi Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah (hlm. 125), menyebutkan adanya perbedaan mandi janabah seorang wanita dengan mandi haidnya. Ketika mandi haid, si wanita harus menggosok-gosokkan air dengan kuat ke kepalanya, sedangkan saat mandi janabah tidak diharuskan demikian, sebagaimana hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha menunjukkan tidak wajib mengurai rambut yang terikat saat mandi janabah.
Itulah sebabnya Aisyah radhiallahu ‘anha menyatakan pengingkaran terhadap Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma ketika sampai kabar kepada Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma menyuruh kaum wanita agar melepaskan ikatan rambut mereka saat mandi. Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
يَا عَجَبًا بِالْنِ عَمْرٍو هَذَا! يَأْمُرُ النِّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ رُؤُوسَهُنَّ، أَفَلاَ يَأْمُرُهُنَّ أَنْ يَحْلِقْنَ رُؤُوسَهُنَّ؟ لَقَدْ أَغْتَسِلُ أَناَ وَرَسُوْلُ اللهِ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ، فَمَا أَزِيْدُ عَلَى أَنْ أُفْرِغَ عَلَى رَأْسِي ثَلاَثَ إِفْرَغَاتٍ
“Aneh sekali Ibnu Amr itu! Dia memerintah para wanita melepaskan ikatan rambut mereka saat mandi. Mengapa dia tidak menyuruh mereka mencukur rambut sekalian? Dahulu aku pernah mandi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana[7], dan aku tidak lebih dari sekadar menuangkan ke atas kepalaku tiga tuangan.” (HR. Muslim no. 745)
Dengan demikian kata al-Imam rahimahullah, tidak ada pertentangan di antara hadits-hadits tersebut berdasarkan perincian ini, yaitu saat mandi haid diwajibkan melepas ikatan rambut, sedangkan ketika mandi janabah tidak wajib. Di antara yang berpendapat dengan perincian ini adalah al-Imam Ahmad rahimahullah dan pendapat ini dinyatakan benar oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Tahdzib as-Sunan (91/165—168). Ini juga pendapat Ibnu Hazm rahimahullah dalam al-Muhalla (2/37—40).
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan rahimahullah dalam syarahnya terhadap Bulughul Maram, yaitu Tashil al-Ilmam (1/282—284) menyatakan tidak wajib melepas ikatan rambut saat mandi janabah karena hal itu akan menyulitkan. Sebab, mandi ini bisa berulang-ulang dilakukan sehingga apabila si wanita harus mengurai rambutnya setiap kali mandi tentu akan menyulitkannya. Sementara itu, agama ini datang memberikan keringanan dan menghilangkan segala kesulitan dari pemeluknya. Adapun untuk mandi haid ada tiga pendapat ulama:
Selain itu, ada perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar Aisyah radhiallahu ‘anha melepas ikatan rambutnya saat mandi haid[8]. Ini adalah pendapat al-Imam Ahmad dan al-Imam Malik. (al-Mughni dan al-Mudawwanah 1/28)
Ini adalah pendapat mazhab Syafi’i dan Hanafi[10] (lihat al-Umm dan al-Bahru ar-Raiq 1/54)
Pendapat ini diriwayatkan dari al- Imam Ahmad dan sekelompok ulama. (Kasysyaf al-Qana’ 1/367)
Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah yang saat itu diketuai oleh Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah mengeluarkan fatwa bernomor no. 1191 menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut.
Al-Lajnah menjawab, tidak ada perbedaan tata cara mandi janabah lelaki dan wanita. Masing-masing tidak wajib melepas ikatan rambut saat mandi. Dia cukup menuangkan air di atas kepalanya sebanyak tiga kali, kemudian menuangkan air di atas seluruh tubuhnya, berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha.
Apabila rambut lelaki atau wanita itu dilumuri daun bidara, daun inai, atau semisalnya yang dapat menghalangi sampainya air ke kulit kepala, wajib dihilangkan. Akan tetap, apabila lumuran tersebut tipis sehingga tidak menghalangi sampainya air ke kulit kepala, tidak wajib dihilangkan[11].
Adapun tentang mandi haid wanita, ada perselisihan masalah wajib tidaknya ikatan rambut dilepas saat mandi. Pendapat yang benar ialah tidak wajib, berdasarkan sebagian riwayat hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha[12]. Namun, afdalnya dilepas dalam rangka kehatihatian dan keluar dari perselisihan serta mengumpulkan dalil-dalil yang ada.
Kesimpulan masalah ini, untuk mandi janabah tidak ada kewajiban ikatan rambut dilepas sebagaimana dipahami dengan jelas dari hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha. Yang menjadi pembahasan panjang adalah mandi haid dan nifas, antara yang mengatakan wajib dan mustahab/sunnah[13]. Wallahu a’lam.
Faedah Hadits Ummu Salamah
Sebelum menutup pembicaraan, kami ingin berbagi dengan pembaca yang mulia beberapa faedah hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha yang disebutkan oleh dua syaikh yang mulia, Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dan Fadhilatusy Syaikh Shalih al-Fauzan rahimahullah berikut ini.
“Bertanyalah kepada ahlu adz-dzikr jika memang kalian tidak mengetahui.” (an-Nahl: 42)
Yang dimaksud ahlu adz-dzikr adalah ulama.
Yang terlarang ialah mengumpulkan rambut di atas kepala karena bisa menjadi sebab dia menjadikan kepalanya seperti punuk unta yang miring. Sementara itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا: قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كاَسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُؤُوْسُهُنَّ كَأَسْنَمَةِ الْبُخْتِ الْمَائلَةِ، لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا، وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua golongan penduduk neraka yang belum pernah aku lihat keduanya:
(1) orang-orang yang membawa cemeti seperti ekor-ekor sapi yang dengannya mereka memukul manusia, dan
(2) para wanita yang berpakaian tetapi telanjang, mereka miring dan memiringkan orang lain. Kepala mereka seperti punuk unta al-bukht yang miring.
Mereka tidak akan masuk surga dan tidak mencium wanginya, padahal wanginya surga bisa dicium dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 5547)
Al-Bukht dalam hadits di atas ialah unta-unta dari timur yang memiliki dua punuk. Jadi, wanita yang mengumpulkan rambutnya di atas kepala lantas mengikatnya hingga rambutnya tampak besar, seakan-akan dia memiliki dua kepala, yaitu kepalanya yang sebenarnya dan kepala palsu dari rambutnya.
Bisa jadi, akan timbul pertanyaan, apakah boleh kurang dari tiga tuangan? Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan boleh, tetapi kepala yang memiliki rambut tentu perlu dibersihkan dengan sungguh-sungguh sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntunkan agar dituangkan air tiga kali ke atasnya. Akan tetapi, apabila satu tuangan kita yakini dapat mencapai pokok rambut, maka tidak harus menambah lebih darinya, karena Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Jika kalian junub maka bersucilah (mandilah)….” (al-Maidah: 6)
(Fathu Dzil Jalal wal Ikram bi Syarhi Bulughil Maram, hlm. 612—613; Tashil al-Ilmam, 1/282—284)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
[1] Sepenuh dua telapak tangan.
[2] Demikian kabar yang masyhur, kata al-Imam an-Nawawi rahimahullah. Adapun menurut al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah dalam kitabnya, al-Asma’ al-Mubhamah, dan ulama yang lain, si penanya adalah Asma bintu Yazid ibnus Sakan radhiallahu ‘anha yang digelari khathibah an-nisa’, artinya kurang lebih juru bicara para wanita. Wallahu a’lam.
[3] Daun bidara dalam bahasa kita. Fungsinya sebagai pembersih seperti sabun.
[4] Menurut al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah, bersuci di sini maksudnya adalah membersihkan diri dari darah haid dan bagian tubuh yang terkena darah tersebut. Namun, yang tampak, kata al-Imam an-Nawawi rahimahullah, yang dimaksud dengan bersuci di sini adalah berwudhu sebagaimana disebutkan dalam hadits yang tentang tata cara mandi janabah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara itu, tata cara mandi janabah sama dengan mandi haid dan nifas. Yang membedakan hanyalah ketika mandi haid dan nifas disunnahkan mengusap bagian sekitar kemaluan yang terkena darah dengan kain atau kapas yang telah diberi misik, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Aisyah radhiallahu ‘anha (HR. al-Bukhari no. 314 dan Muslim no. 746)
Makna membaguskan atau membaikkan wudhu ialah menyempurnakan tata caranya. (al-Minhaj, 4/238—240)
[5] Bagian rambut yang paling bawah.
[6] Dari jalur Abdur Razzaq disebutkan dengan lafadz,
أَفَأَنْقُضُهُ لِلْحَيْضَةِ وَالْجَنَابَةِ؟
(HR. Muslim dalam Shahih-nya no. 743)
Namun, tambahan lafadz لِلْحَيْضَةِ ini bermasalah, sebagaimana akan disebutkan.
[7] Yang tampak, mandi Aisyah bersama Rasulullah adalah mandi janabah, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits berikut ini. Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ، كِلاَنَا جُنُبٌ
“Aku pernah mandi bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana. Kami berdua dalam keadaan junub.” (HR. a-Bukhari no. 299)
[8] Namun, ada yang mengatakan bahwa mandi Aisyah radhiallahu ‘anha di saat itu bukanlah mandi suci dari haid, melainkan mandi untuk ihram. Sebab, semula Aisyah ingin melaksanakan haji dan berihram untuk umrah, kemudian beliau ditimpa haid sebelum sampai ke Baitullah sehingga hal tersebut menyedihkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata kepadanya, “Lakukanlah semua yang dilakukan oleh orang yang berhaji selain thawaf, sampai engkau suci dari haid.” (HR. al-Bukhari no. 294 dan Muslim no. 1411)
Ketika datang hari Arafah, Aisyah radhiallahu ‘anha masih dalam keadaan haid. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahnya berihram untuk haji dan memasukkan amalan haji ke umrah, sehingga hajinya adalah haji qiran sebagai pengganti haji tamattu’.
Dengan demikian, tujuan dari perintah melepas ikatan rambut saat itu ialah membersihkan diri dalam rangka ihram, bukan bersuci dari haid karena Aisyah radhiallahu ‘anha belum selesai dari haidnya. (Tashil al-Ilmam, 1/282—284)
[9] Berdalil dengan tambahan lafadz haid dalam hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha.
[10] Pendapat ini dipegangi oleh ash-Shan’ani dan asy-Syaukani (Subulus Salam dan Nailul Authar).
[11] Ada hadits yang menyebutkan masalah ini. Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dalam Sunannya dari Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau menyatakan, “Kami mandi dalam keadaan di kepala kami ada balutan, dalam keadaan kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat kami halal (tidak berihram) dan saat kami muhrim (berihram). “ (dinyatakan sahih oleh al-Imam Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah dalam al-Jami’ ash-Shahih, 1/547—548)
Diterangkan dalam Aunul Ma’bud yang dinukil oleh al-Imam al-Wadi`i dalam al-Jami’ ash-Shahih di atas, makna hadits ini ialah kami melumuri jalinan-jalinan rambut kami dengan wewangian, daun-daun yang berbau wangi dan selainnya, setelah itu kami mandi dalam keadaan apa yang kami lumurkan di atas rambut kami tidak hilang, tetap ada sebagaimana semula karena ikatan/jalinan rambut tersebut tidak dilepas.
[12] Namun, sudah diterangkan bahwa riwayat dengan tambahan ini adalah syadz.
[13] Kami (penyusun) sendiri lebih condong kepada pendapat jumhur yang mengatakan mustahab. Wallahu a’lam wal ‘ilmu ‘indallah. Namun, untuk keluar dari perselisihan serta kehati-hatian, ikatan/jalinan rambut dilepas agar bisa dipastikan air sampai ke kulit kepala, sebagaimana dinyatakan oleh fatwa al-Lajnah ad-Daimah di atas.