Banci, wadam, dan waria adalah sebutan yang membuat kita bergidik. Bukan karena mereka menyeramkan, melainkan karena mereka yang menyengaja berbuat demikian jelas abnormal, berperilaku menyimpang. Memalukan rasanya bila ada kerabat kita yang mengalami problem demikian. Ejekan, cibiran, jangan ditanya lagi. Bahkan, tak jarang menjadi tontonan yang menggelikan.
Allah subhanahu wa ta’ala, Sang pencipta, menciptakan jenis lelaki di atas tabiatnya. Dia pun menciptakan jenis wanita di atas tabiatnya. Dia memiliki hikmah yang agung dalam membedakan antara lelaki dan wanita, agar masing-masingnya menunaikan tugas yang sesuai dengan tabiatnya dalam kehidupan ini.
Bila ada lelaki yang mengubah diri menjadi wanita atau berperilaku khas wanita, dan sebaliknya wanita mengubah diri menjadi lelaki, atau berperilaku khas lelaki, tentu melanggar tabiat yang telah ditetapkan-Nya.
Nah, perilaku jenis manusia yang disebut di atas (baca, menjadi banci dengan sengaja) bukan hanya penyimpangan dalam kehidupan sosial masyarakat, tak sekadar memalukan, tetapi lebih penting dari itu melanggar syariat.
Ada hadits yang disampaikan sahabat yang mulia, Abdullah ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma tentang mereka yang berperilaku menyimpang tersebut,
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ الْمُتَشَبِّهِبْنَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat lelaki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai lelaki.” (HR.al- Bukhari no. 5885)
Abdullah ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma juga menyampaikan hadits berikut ini,
لَعَنَ النَّبّيُ الْمُخَنِّثِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat lelaki yang keperempuan-perempuanan dan wanita yang kelelaki-lelakian.” (HR. al-Bukhari no. 5886)
Abdullah ibnu Amr ibnul Ash radhiallahu ‘anhuma pernah melihat Ummu Said bintu Abi Jahl menyandang busur panah dan berjalan seperti jalannya lelaki. Ibnu Amr menegur dengan ucapannya, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِالرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ وَلاَ مَنْ تَشَبَّهَ بِالنِّسَاءِ مِنَ الرِّجَالِ.
‘Bukan termasuk golongan kami wanita yang menyerupai lelaki dan lelaki yang menyerupai wanita’.” (HR. Ahmad 2/201, dinyatakan hasan sanadnya oleh asy-Syaikh Ahmad Syakir)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat lelaki yang menyerupai wanita dan melaknat wanita yang menyerupai lelaki. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan setiap jenis makhluk hidup dan menjadikan kebaikan serta kesempurnaannya pada urusan yang berserikat di antara satu jenis dan jenis yang lain, dan pada urusan yang menjadi kekhususan masing-masing. Urusan yang mereka berserikat (boleh dilakukan oleh semuanya, yang berjenis lelaki ataupun wanita –pen.) tidak menjadi kekhususan bagi satu jenis saja. Karena itulah, hal seperti ini tidak dilarang. Yang dilarang hanyalah yang bersangkutan dengan hal yang khusus. Apabila sesuatu telah menjadi kekhususan bagi kaum wanita, tidaklah boleh kaum lelaki melakukannya sehingga menyerupai wanita. Sebaliknya, yang menjadi kekhususan kaum lelaki, tidaklah boleh kaum wanita menyerupainya.” (Majmu’ Fatawa, 32/259—260)
Selain itu, menyerupai lawan jenis menunjukkan ketidakridhaan terhadap ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala dalam penciptaan-Nya. Seakan-akan si pelaku berjenis lelaki protes, tidak terima dengan kelelakiannya sehingga mengubah diri menjadi wanita, atau tetap tampil sebagai lelaki namun berperilaku seperti wanita. Sebaliknya, ada wanita yang berperilaku seperti lelaki, tomboi, atau mengubah diri menjadi lelaki, seakanakan dia protes dan menganggap pilihannya lebih baik dari ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala dalam penciptaan-Nya.
Berperilaku menyimpang seperti ini, lelaki menyerupai wanita atau wanita memiripkan dirinya dengan lelaki, juga menunjukkan adanya kelainan pada diri si pelaku, Dia mengubah dirinya kepada sesuatu yang bukan asal penciptaannya. Semua ini merupakan kezaliman yang melampaui batas. Karena itu, pantaslah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat mereka.
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan haramnya lelaki menyerupai wanita dan sebaliknya wanita menyerupai lelaki, baik dalam hal ucapan (cara atau gaya berbicara), pakaian, cara berjalan, maupun selainnya.” (Nailul Authar, 4/529)
Laknat sendiri maknanya adalah terusir dan dijauhkan dari rahmat ataupun kebaikan. Kalimat laknat jelas mengandung celaan. Di samping itu, laknat menunjukkan keharaman yang ditekankan. Sebab, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melaknat kecuali terhadap pelaku dosa yang besar.
Dengan demikian, laknat yang disebutkan dalam hadits di atas menunjukkan perbuatan menyerupai lawan jenis dalam hal yang menjadi kekhususan jenis masing-masing, bukan dalam urusan yang berserikat, termasuk keharaman yang besar atau dosa besar.
Sebab dilaknatnya pelaku perbuatan demikian adalah karena dia telah mengeluarkan atau menyimpangkan sesuatu dari sifat yang diletakkan oleh Ahkamul Hakimin (Allah subhanahu wa ta’ala Dzat Yang Mahahakim/Memiliki hikmah). (Fathul Bari, 10/410)
Penyerupaan yang dilarang seperti yang telah disinggung adalah dalam hal pakaian khas, sebagian sifat, gerakan, dan semisalnya. Adapun lelaki menyerupai wanita dan sebaliknya dalam hal kebaikan, tentunya tidak masuk dalam pelarangan. (Fathul Bari, 10/409)
Karena menyerupai lawan jenis itu diharamkan, ada beberapa hal yang tidaklah dilarang kecuali karena alasan menyerupai lawan jenis. Contohnya berikut ini.
التَّسْبِيْحُ لِلرِّجَالِ وَالتَّصْفِيْقُ للنِّسَاءِ
“Tasbih (mengucapkan ‘subhanallah’) untuk lelaki dan tashfiq untuk wanita.” (HR. al-Bukhari no. 1203 dan Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membedakan bagi lelaki dan wanita dalam hal cara menegur atau mengingatkan imam dalam shalat. Lelaki mengucapkan tasbih, sedangkan wanita melakukan tashfiq. Lelaki tidak boleh melakukan tashfiq karena hal itu menyerupai wanita.
رَأَى النَّبِيُّ عَلَيَّ ثَوْبَيْنِ مُعَصْفَرَيْنِ. فَقَال :أَأُمُّكَ أَمَرَتْكَ بِهَذَا؟ قُلْتُ: أَغْسِلُهُمَا. قَالَ: بَلْ أَحْرِقْهُمَا.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatku mengenakan dua pakaian mu’ashfar[2]. Beliau pun bersabda, “Apakah ibumu yang menyuruhmu untuk memakainya?”
Aku menjawab, “Apakah saya cuci saja dua pakaian ini[3]?”
Beliau bersabda, “Bahkan, bakarlah dua pakaian tersebut!” (HR. Muslim no. 5401)
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Apakah ibumu yang menyuruhmu untuk memakainya?’, maknanya adalah pakaian yang kamu kenakan ini termasuk pakaian kaum wanita, pakaian khas mereka dan akhlak mereka.” (al-Minhaj, 13/280)
حُرِّمَ لِبَاسُ الْحَرِيْرِ وَالذَّهَبِ عَلَى ذُكُوْرِ أُمَّتِي وَأُحِلَّ لِإِنَاثِهِمْ.
“Diharamkan memakai sutra dan emas bagi kalangan lelaki dari umatku dan dihalalkan bagi kaum wanitanya.” (HR. at-Tirmidzi no. 1720, an-Nasa’i no. 5148, dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
Di antara hikmah pelarangan lelaki memakai sutra adalah karena sutra menjadi pakaian perhiasan khas wanita, sesuai dengan kehalusan dan kelembutan wanita. Karena itu, sutra tidak cocok dipakai oleh lelaki karena menyelisihi kejantanan dan keperwiraannya.
Apabila lelaki dibolehkan memakai sutra, niscaya akan timbul mafsadat berupa menyerupai wanita. Bisa jadi, akhirnya akan berefek si lelaki menjadi ‘keperempuan-perempuanan’, gemulai seperti gaya wanita. Padahal lelaki dituntut menjadi seorang yang kuat, gagah, dan tidak lembek, karena harus menghadapi kerasnya hidup dan beratnya pekerjaan di luar sana.
اذْهَبْ فَاغْسِلْهُ، ثُمَّ اغْسِلْهُ، ثُمَّ لاَ تَعُدْ.
“Pergilah untuk mencuci bekas khaluq ini, lalu cuci lagi, kemudian jangan kamu ulangi.” (HR. an-Nasa’i, dan at-Tirmidzi, dinyatakan dha’if oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Dha’if Sunan at-Tirmidzi)
Wewangian khaluq dilarang bagi lelaki karena merupakan wewangian khas wanita.
Para ulama pun berfatwa melarang beberapa hal dengan alasan ‘tasyabbuh’ (menyerupai lawan jenis). Seperti kata al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah, “Tidaklah aku membenci lelaki memakai mutiara kecuali karena mutiara adalah perhiasan khas wanita.” (Fathul Bari, 10/410)
Tasyabbuh yang Dicela
Telah disebutkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang laknat bagi lelaki yang menyerupai wanita dan sebaliknya. Laknat yang ditujukan pada suatu perbuatan menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tercela.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menyebutkan bahwa laknat tersebut khusus bagi orang yang bersengaja melakukannya. Artinya, si lelaki memang sengaja menyerupai wanita dan si wanita sengaja menyerupai lelaki.
Adapun seseorang yang asal tabiatnya memang demikian, dia terlahir sebagai lelaki tetapi memiliki kelainan berupa tampaknya sifat kewanita-wanitaan, atau sebaliknya terlahir sebagai wanita tetapi punya sifat kelelaki-lelakian, dia diperintah untuk mengubah kelainan sifat tersebut, memaksa dirinya dan melatihnya secara bertahap.
Apabila dia tidak melakukannya dan terus ‘memelihara’ kelainan tersebut, orang ini pun masuk dalam celaan. Terlebih lagi apabila tampak darinya tanda yang menunjukkan dia senang dengan kelainan yang ada padanya. (Fathul Bari, 10/409)
Nah, apabila seseorang yang asalnya memang mengidap kelainan saja diperintah untuk berusaha mengobati kelainannya walau secara berlahan dan bertahap, lantas bagaimana halnya dengan seseorang yang lahir normal sebagai lelaki dengan sifat-sifat lelaki atau lahir sebagai wanita dengan sifat-sifat wanita, namun karena pengaruh lingkungan atau salah asuh, dia berubah; ‘lelaki tetapi seperti wanita’, ‘wanita tetapi seperti lelaki’? Bagaimana pula dengan seseorang yang mengubah penampilannya karena tuntutan profesi atau pekerjaan?
Apabila karena salah asuh, dia harus memiliki kesadaran diri untuk berubah sebagaimana asal penciptaannya.
Apabila dia terlahir sebagai lelaki, dia harus sadar untuk menjadi lelaki yang sebenarnya dan ridha dengan penciptaan Allah subhanahu wa ta’ala. Apabila dia terlahir sebagai wanita, dia harus sadar untuk menjadi wanita dan ridha pula. Tentu Allah subhanahu wa ta’ala melihat usahanya dan tidak membebaninya selain yang dia mampu setelah mencurahkan segala upaya.
Bagaimana halnya dengan orang yang mengubah dirinya karena tuntunan profesi atau pekerjaan? Dia lelaki tulen, tetapi karena harus berlakon sebagai wanita, dia mengubah penampilan sebagai wanita, atau tetap berpenampilan lelaki namun bergaya banci. Tentu yang seperti ini tidak pantas, dan sangat tepat dia diancam dengan hadits-hadits di atas.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Insya Allah bersambung)
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
[1] Bedakan dengan tepuk tangan yang dilakukan oleh orang-orang jahil yang meniru orang-orang kafir.
[2] Pakaian yang dicelup dengan ushfur, sejenis tumbuhan yang tumbuh di Jazirah Arab, sehingga warnanya berubah menjadi kuning atau merah yang khas.
[3] Sehingga warna celupannya luntur.