Pembahasan tentang pengertian ihdad (berkabung) dan hukumnya telah berlalu.
Apabila suami yang meninggal, istrinya wajib berihdad selama empat bulan sepuluh hari. Namun, apabila si istri dalam keadaan hamil, ihdadnya berakhir dengan melahirkan kandungannya, baik masanya lama atau sebentar. Adapun jika yang meninggal adalah selain suami, wanita haram berihdad lebih dari tiga hari. Waktu tiga hari tersebut hukumnya bukan wajib, melainkan mubah saja. Bahkan, apabila si wanita tidak melakukannya karena ingin menyenangkan suaminya, hal itu lebih baik. Jadi, ia tetap berdandan dan berpenampilan bagus di hadapan suaminya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata, “Ihdad karena kematian selain suami tidaklah wajib berdasarkan kesepakatan mereka (ulama) dalam hal ini. Jadi, apabila suaminya mengajaknya jimak, tidak halal dia menolaknya dalam keadaan seperti itu.” (Fathul Bari, 3/146)
Ada pelajaran dari kisah Ummu Sulaim radhiallahu anha yang diceritakan oleh putranya, Anas bin Malik radhiallahu anhu berikut ini.
ماَتَ ابْنٌ لِأَبِي طَلْحَةَ مِنْ أُمِّ سُلَيْمٍ فَقَالَتْ لِأَهْلِهَا: لاَ تُحَدِّثُوْا أَبَا طَلْحَةَ بِابْنِهِ حَتَّى أَكُوْنَ أَنَا أُحَدِّثُهُ.
Anak Abu Thalhah dari Ummu Sulaim meninggal dunia. Ummu Sulaim berpesan kepada keluarganya, “Jangan kalian sampaikan kepada Abu Thalhah berita kematian anaknya hingga aku sendiri yang akan menyampaikannya.”
قَالَ: فَجَاءَ فَقَرَّبَتْ إِلَيْهِ عَشَاءً فَأَكَلَ وَشَرِبَ، فَقَالَ: ثُمَّ تَصَنَّعَتْ لَهُ أَحْسَنَ مَا كَانَتْ تَصَنَّعُ قَبْلَ ذَلِكَ فَوَقَعَ بِهَا،
(Anas berkata,) Abu Thalhah pulang. Ummu Sulaim pun menghidangkan makan malam untuk suaminya. Suaminya pun makan dan minum. Kemudian, Ummu Sulaim berhias untuk suaminya dengan dandanan paling bagus dari yang pernah dilakukan sebelumnya. Jadi, suaminya tertarik untuk menggaulinya.
Baca juga: Ummu Sulaim bintu Milhan
فَلَمَّا رَأَتْ أَنَّهُ قَدْ شَبِعَ وَأَصَابَ مِنْهَا، قَالَتْ: يَا أَبَا طَلْحَةَ، أَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّ قَوْمًا أَعَارُوا عَارِيَتَهُمْ أَهْلَ بَيْتٍ، أَلَهُمْ أَنْ يَمْنَعُوْهُمْ؟ قَالَ:لاَ. قَالَتْ: فَاحْتَسِبِ ابْنَكَ.
Tatkala Ummu Sulaim melihat suaminya telah kenyang dan telah selesai dari hasratnya, ia membuka pembicaraan, “Wahai Abu Thalhah, apa pendapatmu apabila ada suatu kaum meminjamkan barang mereka kepada suatu keluarga, kemudian kaum tersebut meminta kembali barang yang dipinjamkannya. Apakah keluarga tersebut berhak menahan barang pinjaman itu?”
“Tentu tidak,” jawab Abu Thalhah.
“Kalau begitu, bersabarlah dan harapkan pahala atas kematian putramu,” jelas Ummu Sulaim.
قَالَ: فَغَضِبَ وَقَالَ: تَرَكْتِنِي حَتَّى تَلَطَّخْتُ ثُمَّ أَخْبَرْتِنِي بِابْنِي! فَانْطَلَقَ حَتَّى أَتَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ بِمَا كَانَ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بَارَكَ اللهُ لَكُمَا فِي لَيْلَتِكُمَا. قَالَ: فَحَمَلَتْ
(Kata Anas,) Abu Thalhah marah dan berkata, “Engkau biarkan aku hingga berlumuran janabah seperti ini, baru engkau ceritakan tentang kematian anakku?!”
(Keesokan harinya) Abu Thalhah pergi menghadap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lantas menceritakan kejadian yang telah menimpanya.
“Semoga Allah memberkahi kalian berdua pada malam kalian itu,” beliau mendoakan. Ternyata, Ummu Sulaim mengandung (dari hubungannya dengan suaminya malam itu). (HR. Muslim no. 6272)
Kematian anak jelas menggoreskan duka yang teramat dalam. Namun, lihatlah apa yang dilakukan oleh seorang wanita salihah yang diberitakan sebagai penduduk surga (ahlul jannah) oleh Rasulullah[1], Ummu Sulaim radhiallahu anha. Ia tetap berdandan untuk suami serta melayaninya. Sebab, hal itulah yang wajib dia lakukan sebagai seorang istri.
Ummu Athiyyah radhiallahu anha berkata,
كُنَّا نُنْهَى أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا، وَلاَ نَكْتَحِلَ وَلاَ نَطَّيَّبَ وَلاَ نَلْبَسَ ثَوْبًا مَصْبُوْغًا إِلاَّ ثَوْبَ عَصْبٍ. وَقَدْ رَخَصَ لَنَا عِنْدَ الطُّهْرِ إِذَا اغْتَسَلَتْ إِحْدَانَا مِنْ مَحِيْضِهَا فِي نُبْذَةٍ مِنْ كُسْتِ أَظْفَارٍ …
“Kami dilarang berihdad atas mayat lebih dari tiga hari, kecuali apabila yang meninggal adalah suami, istrinya berihdad selama empat bulan sepuluh hari. Selama ihdad itu, kami tidak boleh bercelak, tidak boleh memakai wangi-wangian, dan tidak boleh mengenakan pakaian yang dicelup[2] kecuali pakaian ‘ashbin[3]. Rasulullah memberikan rukhsah bagi kami ketika suci dari haid, apabila salah seorang dari kami mandi suci dari haidnya, ia boleh memakai sedikit kust[4] azhfar[5] ….” (HR. al-Bukhari no. 313, 5341 dan Muslim no. 3722)
Diperbolehkan pula menggunakan buhur setelah mandi suci dari haid karena tujuannya untuk menghilangkan bau yang tidak sedap di sekitar daerah yang terkena darah haid, bukan untuk berwangi-wangi. (al-Minhaj, 10/357)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menyatakan bahwa hadits di atas menjadi dalil dibolehkannya menggunakan sesuatu yang dapat menghilangkan aroma tidak sedap apabila tidak untuk berhias atau berwangi-wangi, seperti menggunakan minyak pada rambut kepala atau selainnya. (Fathul Bari, 9/609)
Baca juga: Di Balik Kemilau Hiasanmu
Zainab bintu Abu Salamah mengabarkan dari ibunya, Ummul Mukminin Ummu Salamah radhiallahu anha,
جَاءَتِ امْرَأَةٌُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ ابْنَتِي تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا، وَقَدِ اشْتَكَتْ عَيْنَهَا، أَفَتَكْحِلُهَا؟ فَقَالَ رَسُولُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ- مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا، كُلُّ ذَلِكَ يَقُوْلُ: لَا
Seorang wanita datang menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, suami putriku telah meninggal dunia. Sementara itu, putriku mengeluhkan rasa sakit pada matanya. Apakah ia boleh mencelaki matanya?”
“Tidak,” jawab Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebanyak dua atau tiga kali. (HR. al-Bukhari no. 5336 dan Muslim no. 3709)
Masih berita dari Ummu Salamah radhiallahu anha, ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا لاَ تَلْبَسُ الْمُعَصْفَرَ مِنَ الثِّيَابِ وَلاَ الْمُمَشَّقَةَ وَلاَ الْحُلِيِّ وَلاَ تَخْضَبُ وَلاَ تَكْتَحِلُ
“Wanita yang ditinggal mati suaminya tidak boleh mengenakan pakaian yang mu’ashfar[6] dan pakaian yang dicelup dengan tanah berwarna merah (mumasysyaqah). Tidak boleh pula mengenakan perhiasan, tidak boleh menyemir rambut (atau memacari kuku), dan tidak boleh bercelak.” (HR. Abu Dawud no. 2304, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Abi Dawud)
Baca juga: Ketentuan-Ketentuan Pakaian Wanita
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata,
كاَنَ يَنْهَى الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا عَنِ الطِّيْبِ وَالزِّيْنَةِ
“Nabi melarang wanita yang suaminya meninggal, memakai minyak wangi dan berhias.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya 5/204 dan Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya 7/43)
Atha bin Abi Rabah rahimahullah berkata, “Ibnu Abbas radhiallahu anhuma memerintah wanita yang suaminya meninggal agar menjauhi minyak wangi/wewangian.”
Atha juga mengatakan, “Wanita yang suaminya meninggal, dilarang memakai minyak wangi dan berhias. Maka dari itu, berhati-hatilah si wanita, jangan dia mengenakan setiap pakaian yang bila dilihat akan dikomentari, ‘Ia telah berhias’. Dia juga tidak boleh mengenakan pakaian yang dicelup, tidak pula perhiasan.” (Riwayat Abdurrazzaq no. 12111)
Dari sejumlah hadits dan atsar di atas, menjadi jelas bagi kita bahwa wanita yang berihdad tidak boleh memakai celak, minyak wangi/wewangian, pakaian yang dicelup kecuali kain ashb, semir, pacar kuku, pakaian yang dicelup dengan warna merah (mu’ashfar), dan yang dicelup dengan tanah merah (mumasysyaqah), serta perhiasan.
Berikut ini tambahan penjelasan dari para ulama tentang perkara yang dilarang bagi wanita yang berihdad.
Beliau menyebutkan bahwa wanita yang berihdad harus menjauhi tiga hal.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Perkataan Atha, ‘Dibolehkan memakai perhiasan dari perak karena yang dilarang adalah perhiasan dari emas’, tidaklah benar. Sebab, larangan yang disebutkan dalam hadits sifatnya umum[9]. Selain itu, perhiasan akan menambah kebagusan si wanita dan memberi dorongan untuk menggaulinya.” (al-Mughni, “Kitab al-‘Idad”, “Fashl Ma Tajtanibuhul Haddah”)
“Wajib bagi wanita yang berihdad untuk tidak memakai celak baik karena ada ataupun tidak ada kebutuhan darurat, sekalipun hilang kedua matanya (buta). Larangan ini berlaku malam dan siang.” (al-Muhalla, 10/63)
Ada hadits yang membolehkan memakai celak apabila darurat, sebagaimana berita dari ibu Ummu Hakim bintu Usaid. Ketika suaminya wafat dan masih dalam masa ihdad, ia mengeluhkan sakit pada matanya. Ia pun memakai celak itsmid. Dia mengutus bekas budaknya untuk menanyakan hal itu kepada Ummu Salamah radhiallahu anha. Ummu Salamah radhiallahu anha pun berkata, “Janganlah engkau bercelak dengannya kecuali terpaksa karena sakit yang sangat. Engkau boleh bercelak pada malam hari, tetapi harus engkau hapus pada siang hari.”
Ummu Salamah radhiallahu anha lalu berkata,
دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهُِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ تُوُفِّيَ أَبُو سَلَمَةَ وَقَدْ جَعَلْتُ عَلَى عَيْنِي صَبْرًا، فَقَالَ: مَا هذَا يَا أُمَّ سَلَمَةَ؟ فَقُلْتُ: إِنَّمَا هُوَ صَبْرٌ يَا رَسُولَ اللهِ، لَيْسَ فِيْهِ طِيْبٌ. قَالَ: إِنَّهُ يَشُبُّ الْوَجْهُ فَلاَ تَجْعَلِيْهِ إِلاَّ بِاللَّيْلِ وَتَنْزِعِيْهِ بِالنَّهَارِ وَلاَ تَمْتَشِطِي بِالطِّيْبِ وَلاَ بِالْحِنَاءِ فَإِنَّهُ خِضَابٌ. قَالَتْ: قُلْتُ: بِأَيِّ شَيْءٍ أَمْتَشِطُ، يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: السِّدْرُ تُغَلِّفِيْنَ بِهِ رَأْسَكِ
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam masuk ke tempatku ketika Abu Salamah wafat, sementara aku memakai shabr (satu jenis celak) pada kedua mataku. Beliau bertanya, “Apa yang kau pakai pada matamu, wahai Ummu Salamah?”
“Ini cuma shabr, wahai Rasulullah, tidak mengandung wewangian,” jawabku.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Shabr itu membuat warna wajah bercahaya/menyala. Jangan engkau memakainya kecuali pada waktu malam dan hilangkan di waktu siang. Engkau jangan menyisir (mengolesi) rambutmu dengan minyak wangi. Jangan pula memakai hena (inai/daun pacar) karena hena itu (berfungsi) sebagai semir (mewarnai rambut dan kuku, –pent.).”
Ummu Salamah berkata, “Kalau begitu, dengan apa aku meminyaki rambutku, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Daun sidr dapat engkau pakai untuk memolesi rambutmu.” (HR. Abu Dawud no. 2305)
Baca juga: Di Balik Perhiasanmu
Akan tetapi, hadits ini dha’if jiddan (sangat lemah) karena sanadnya munqathi’ (terputus). Di samping itu, di antara para perawinya ada orang-orang yang majhul. Syaikh al-Albani rahimahullah menilainya lemah dalam Dha’if Abi Dawud.
Dengan demikian, larangan memakai celak merupakan larangan yang mutlak sekalipun wanita tersebut sedang menderita sakit pada kedua matanya. Adapun pembolehan memakainya ketika malam lantas menghilangkannya pada siang hari, sandarannya adalah hadits yang sangat lemah sebagaimana keterangan di atas. Kalaupun ada keluhan sakit pada mata, bukankah Allah azza wa jalla telah memberikan obat-obatan selain celak yang bisa dipakai untuk menyembuhkan sakit tersebut dengan izin Allah? Seperti obat tetes mata, salep, dan selainnya. Jika demikian, tidak ada alasan bagi yang berihdad untuk memakai celak dengan dalih sakit mata. Sakit mata insya Allah bisa diobati dengan obat-obatan yang lain. Wallahu a’lam bish-shawab.
Beliau menyatakan bahwa wanita yang ditinggal mati oleh suaminya boleh berminyak dengan zaitun dan semisalnya selama tidak mengandung minyak wangi. Beliau juga berkata, “Wanita yang sedang berihdad karena kematian suaminya tidak boleh mengenakan perhiasan sedikit pun, baik berupa cincin, gelang kaki, atau selainnya.” (al-Muwaththa`, 2/599)
“Segala hal yang dipakai oleh wanita sebagai perhiasan dalam rangka mempercantik diri, tidak boleh dipakai oleh wanita yang sedang berihdad. Ulama dalam mazhab kami tidak menyebutkan permata jauhar, yaqut, dan zamrud. Namun, semuanya itu masuk dalam makna perhiasan. Wallahu a’lam.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an 3/119)
Dalam Majmu’ Fatawa (17/159), beliau menjelaskan keharusan wanita yang berihdad untuk tidak berhias dan memakai wewangian pada tubuh serta pakaiannya. Ia harus berdiam dalam rumahnya, tidak boleh keluar pada siang hari kecuali ada kebutuhan, tidak boleh pula keluar waktu malam kecuali darurat. Ia tidak boleh memakai perhiasan, tidak boleh mewarnai rambut dan kukunya dengan inai atau selainnya.
Beliau berkata, “Ucapan Ummu Athiyyah, ‘Kami tidak boleh memakai wewangian’ menunjukkan haramnya minyak wangi bagi wanita yang sedang berihdad. Yang terlarang di sini adalah segala yang dinamakan wewangian. Tidak ada perselisihan pendapat dalam hal ini.” (Nailul Authar, 6/346)
Dalam asy-Syarhul Mumti’ (5/720—721) beliau mengatakan bahwa di antara yang dilarang bagi wanita yang berihdad adalah at-tahsin, yaitu mempercantik diri dengan memakai hena (inai/daun pacar), dengan bunga mawar, pemerah pipi/bibir, celak, atau yang lainnya. Apa saja yang dapat mempercantik (anggota) tubuhnya, dia tidak boleh memakainya sampaipun membaguskan kuku dengan kutek, misalnya. Apa saja yang teranggap mempercantik dan memperbagus dirinya, tidak boleh dipakai/digunakannya (sampai selesai ihdadnya, –pent.).”[10]
Wanita yang sedang berihdad tidak dilarang memotong kuku, mencabut rambut ketiak, mencukur rambut kemaluan, mandi dengan daun bidara, atau menyisir rambut. Sebab, tujuannya adalah untuk kebersihan, bukan untuk berwangi-wangi/berhias. (al-Mughni, “Kitab al-‘Idad”, “Fashl Ma Tajtanibuhul Haddah”)
Demikian pula mencium minyak wangi. Sekadar mencium wangi tidak menjadikannya menempel pada tubuh. Jadi, apabila seorang wanita yang sedang berihdad ingin membeli minyak wangi, tidak masalah ia menciumnya. (asy-Syarhul Mumti’, 5/720)
Wanita yang sedang berihdad juga tidak diharamkan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mubah. Dia juga boleh berbicara dengan laki-laki sesuai dengan keperluannya, selama ia berhijab. Demikianlah Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang dilakukan oleh para wanita dari kalangan sahabat apabila suami mereka meninggal. (Majmu’ Fatawa, 17/159)
Apabila si wanita dalam keadaan berperhiasan—seperti gelang dan anting-anting—saat suaminya meninggal dunia, ia harus melepaskannya. Adapun apabila ia memakai gigi emas (gigi palsu dari emas) dan tidak mungkin dilepaskan, dia tidak wajib melepasnya. Namun, ia upayakan untuk menyembunyikannya. (asy-Syarhul Mumti’, 5/721)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,
“Hikmahnya adalah untuk menghormati hak suami dalam masa iddah karena meninggalnya. Dengan demikian, tidak ada seorang pun yang berkeinginan untuk menikahi si wanita dalam masa iddah tersebut. Adapun apabila si wanita beriddah karena bercerai dengan suaminya yang masih hidup, dia tidak wajib menjauhi hal-hal tersebut karena suaminya masih hidup (sehingga tidak ada kewajiban ihdad, –pent.).
Seandainya ada orang ingin berbuat melampaui batas pada si wanita (istrinya) dalam masa iddah tersebut dan bermaksud meminangnya misalnya, niscaya sang suami dapat mencegahnya (karena selama dalam masa iddah, dialah yang paling berhak terhadap si wanita, -pent.[11]).
Inilah, wallahu a’lam, hikmah mengapa seorang istri harus berihdad dalam masa iddahnya karena kematian suami dan tidak wajib dia lakukan dalam masa iddah karena cerai hidup dengan suaminya.” (asy-Syarhul Mumti’, 5/723)
Memakai busana hitam saat berkabung/menjalani masa ihdad, tidak keluar ke teras/halaman rumah, tidak naik ke teras atas rumah (balkon), tidak mau melihat bulan saat purnama dengan anggapan bahwa bulan adalah laki-laki dan anggapan khurafat lainnya, merupakan perkara yang tidak disyariatkan. Bahkan, ini termasuk bid’ah apabila si wanita melakukannya dengan niat ta’abbud (beribadah).
Demikian penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah. (asy-Syarhul Mumti’, 5/723—724)
Selesailah apa yang dapat kami sampaikan kepada pembaca tentang masalah ihdad.
Walhamdulillah. Wallahu a’lam bish-shawab.
[1] Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
دَخَلْتُ الْجَنَّةَ فَسَمِعْتُ خَشْفَةً، فَقُلْتُ: مَنْ هَذَا؟ قَالُوْا: هَذِهِ الْغُمَيْصَاءُ بِنْتُ مِلْحَانَ، أُمُّ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
Aku masuk ke dalam surga, lalu aku dengar suara orang berjalan. Aku tanyakan, “Siapa itu?”
Mereka menjawab, “Al-Ghumaisha` bintu Milhan, ibu Anas bin Malik.” (HR. Muslim no. 6270)
Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, “Ummu Sulaim namanya ar-Rumaisha` dan al-Ghumaisha`. Namun, yang masyhur adalah al-Ghumaisha`. Adapun ar-Rumaisha adalah nama Ummu Haram, saudara perempuannya.” (al-Minhaj, 15/229)
[2] Ucapan Nabi shallallahu alaihi wa sallam لاَ نَلْبَسُ ثَوْبًا مَصْبُوْغًا merupakan dalil dilarangnya seluruh pakaian yang dicelup dalam masa ihdad, dengan warna apa saja selain apa yang dikecualikan oleh hadits, yaitu ثَوْبُ عَصَبٍ. Demikian pernyataan Imam ash-Shan’ani rahimahullah dalam Subulus Salam (3/314).
Bisa jadi, dari hadits di atas diambil pengertian bolehnya memakai pakaian yang tidak dicelup dalam masa ihdad, yaitu pakaian yang berwarna putih. Sebagian pengikut mazhab Maliki melarang pakaian putih yang mahal yang digunakan untuk berpenampilan, demikian pula warna hitam yang bagus. (Ihkamul Ahkam fi Syarhi ‘Umdatil Ahkam, “Kitab ath-Thalaq”, “Bab al-‘Iddah”)
[3] Kain bergaris dari Yaman yang diikat benang tenunnya kemudian dicelup, setelah itu ditenun dalam keadaan terikat. Hasilnya berupa kain berwarna yang masih tersisa warna putih tidak terkena celupannya. (Fathul Bari, 9/608)
Pada kain ini ada warna hitam dan putih. (Ihkamul Ahkam fi Syarhi ’Umdatil Ahkam, “Kitab ath-Thalaq”, “Bab al-’Iddah”)
Baca juga: Pakaian Wanita dalam Shalat
[4] Semacam buhur/dupa/wewangian. (Fathul Bari, 1/537)
[5] Sebagian ulama mengatakan, Azhfar adalah nama kota di Yaman. Ada pula yang mengatakan nama buhur.
[6] Pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur (safflower). Menurut asy-Syaukani (Nailul Authar, syarah hadits 560, “Kitabul Libas”, “Bab Nahyur Rijal ‘anil Mu’ashfar”), warnanya menjadi merah. Menurut sumber yang lain, terkadang warnanya menjadi kekuningan. (-ed)
[7] Apabila dikatakan bahwa ini adalah pakaian biasa, berarti tidak wajib untuk ditinggalkan. Ia boleh dikenakan selama ihdad walaupun pakaian tersebut memiliki model atau berwarna/bercorak. Namun, jika dikatakan bahwa ini adalah pakaian untuk berhias, berarti wajib dijauhi selama ihdad, baik pakaian tersebut meliputi seluruh tubuh atau hanya untuk menutupi sebagiannya, seperti celana panjang, rok, dan syal. (asy-Syarhul Mumti’, 5/720)
[8] Sama saja, baik perhiasan itu dikenakan pada kedua telinga, kepala, leher, tangan, kaki, atau di atas dada. Dia tidak boleh mengenakan semua macam perhiasan tidak boleh. (asy-Syarhul Mumti’, 5/721)
[9] Dalam hadits Ummu Salamah radhiallahu anha, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
وَلاَ الْحُلِّي
“(Wanita yang meninggal suaminya tidak boleh) … mengenakan perhiasan ….”
[10] Batasan berhias atau tidak berhias kembali kepada ’urf (adat kebiasaan) setiap zaman dan tempat. Jadi, tidak bisa diberi ketentuan pakaian yang bentuknya bagaimana dan penampilan bagaimana yang teranggap berhias. (Taisirul ‘Allam, 2/354)
[11] Lihat surah al-Baqarah: 228.