Asysyariah
Asysyariah

mandi janabah (3)

13 tahun yang lalu
baca 12 menit
Mandi Janabah (3)

Masih ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian kita ketika mandi. Di antaranya:

Menjaga Aurat dari Pandangan Mata Orang Lain

Ya‘la rahimahullah bercerita:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seorang laki-laki mandi di tempat terbuka. Maka beliau pun naik mimbar, lalu memuji dan menyanjung Allah, kemudian bersabda:“Sesungguhnya Allah itu Maha Malu, Menutup (aib/cacat/cela dan keburukan). Dia menyukai sifat malu dan menutup, maka apabila salah seorang dari kalian mandi hendaklah ia menutupi dirinya.”1

Menutup aurat ketika mandi wajib dilakukan bila di tempat tersebut ada orang lain yang diharamkan melihat auratnya, atau dikhawatirkan auratnya akan terlihat oleh orang yang tidak halal untuk melihatnya2. Dan hukumnya bisa menjadi sunnah bila tidak ada kekhawatiran tersebut. (‘Aunul Ma‘bud, kitab Al-Hammam, bab An-Nahyu ‘anit Ta’ariy). Dan ketika seseorang mandi sendirian di mana tidak ada orang yang akan melihat auratnya, atau mandi di tempat tertutup seperti di kamar mandi, maka tidak wajib menutup auratnya. Bahkan diperbolehkan mandi tanpa busana,  sebagaimana ditunjukkan dalam hadits berikut:

“Bani Israil biasa mandi bersama-sama dalam keadaan telanjang, sebagian mereka melihat aurat sebagian yang lain. Sementara Nabi Musa u, beliau mandi sendirian (dengan tanpa busana,–pent.).  Mereka berkata: ‘Demi Allah! Tidak ada yang mencegah Musa untuk mandi bersama-sama kita kecuali karena dia memiliki biji pelir yang besar (bengkak).’

Suatu kali Musa pergi mandi. Ia meletakkan pakaiannya di atas sebuah batu. Ternyata batu itu lari membawa pakaian Musa. Musa pun berlari mengejar batu tersebut seraya berkata: ‘Wahai batu, pakaianku! Wahai batu, pakaianku!’  Hingga Bani Israil dapat melihat aurat Musa, mereka pun berkata: ‘Demi Allah! Ternyata Musa tidak memiliki cacat apa-apa (pada kemaluannya,–pent).’ Batu itu tegak hingga dapat dilihat, lalu Musa pun mengambil pakaiannya dan mulailah ia memukul batu tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 278 dan Muslim no. 768)

Hadits ini diberi judul oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah: Bab Man Ightasala ‘Uryanan Wahdahu fil Khulwah wa Man Tasattar Fat Tasattur Afdhal (Seseorang yang mandi sendirian dalam keadaan telanjang tanpa kehadiran orang lain dan yang menutup diri, maka menutup diri itu lebih utama). Sedangkan Al-Imam An-Nawawi  rahimahullah dalam syarahnya terhadap Shahih Muslim memberi judul: Bab Jawazul Ightisal ‘Uryanan fil Khulwah (bolehnya mandi dalam keadaan telanjang ketika sendirian/tidak ada orang lain).

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Boleh membuka aurat ketika dibutuhkan dalam keadaan sendiri, tidak ada orang lain. Seperti ketika mandi, buang air kecil, berhubungan dengan istri, dan semisalnya. Semua keadaan ini dibolehkan membuka aurat ketika sendirian. Adapun bila di hadapan orang lain (selain suami/istri,–pent.) maka haram membuka aurat dalam seluruh keadaan tersebut.” (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 4/255)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mencontohkan menutup diri ketika mandi di hadapan orang lain, seperti ketika peristiwa Fathu Makkah. Ummu Hani bintu Abi Thalib radhiallahu ‘anha berkisah:

Aku pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Fathu Makkah. Aku dapati beliau sedang mandi sementara Fathimah menutupi beliau. Beliau bertanya: “Siapa yang datang ini?”. “Saya Ummu Hani`,” jawabku.3

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah  membawakan hadits di atas dalam Shahih-nya dengan judul bab Menutup Diri ketika Mandi di Hadapan Manusia.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata tentang hadits di atas: “Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya seseorang mandi di hadapan seorang wanita yang merupakan mahramnya (sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dengan ditutupi Fathimah radhiallahu ‘anha putri beliau,–pent.), apabila antara dia dengan wanita tersebut ada penutup dari kain atau lainnya.” (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 4/252)

 

Suami Istri Boleh Mandi Janabah Bersama-sama

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita untuk menjaga aurat, kecuali di hadapan istri dan budak wanita yang dimiliki, sebagaimana dalam hadits:

“Jagalah auratmu kecuali dari istrimu dan budak wanita yang engkau miliki.”4

Dari hadits di atas dapat kita pahami bahwa tidak ada batasan aurat antara suami dengan istrinya. Demikian pula sebaliknya. Sehingga suami istri boleh mandi bersama, baik mandi biasa maupun mandi janabah, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Aisyah radhiallahu ‘anha berikut ini:

Aku dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi dari satu bejana. Tangan kami bergantian menciduk air di dalam bejana tersebut.”5

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma juga mengabarkan dari bibinya, Maimunah radhiallahu ‘anha, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Bahwasanya ia pernah mandi bersama Nabi (dengan menggunakan air) dari satu bejana.”6

Ad-Dawudi berdalil dengan hadits yang semakna dengan hadits Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiallahu ‘anha di atas7 untuk menyatakan bolehnya seorang suami melihat aurat istrinya dan sebaliknya.

Yang lebih memperkuat pendapat Ad-Dawudi ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari jalan Sulaiman bin Musa. Ia pernah ditanya tentang boleh tidaknya seorang suami melihat kemaluan istrinya. Sulaiman berkata: “Aku tanyakan hal itu kepada ‘Atha`, maka ia berkata: ‘Aku pernah menanyakannya kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, lalu beliau menyebutkan hadits ini secara makna. Dan ini merupakan nash/dalil dalam masalah ini’.” (Fathul Bari, 1/473)

 

Bolehkah Seorang Lelaki Memakai Sisa Air Mandi Seorang Wanita dan Sebaliknya?

Humaid Al-Himyari rahimahullah berkata: Aku bertemu dengan seseorang yang bersahabat dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama empat tahun sebagaimana Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bersahabat dengan beliau. Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut berkata:

 

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang wanita mandi dari sisa laki-laki atau laki-laki mandi dari sisa wanita.” Musaddad menambahkan: “Hendaknya keduanya menciduknya bersama-sama.”8

Hadits di atas menunjukkan dilarangnya seorang wanita mandi menggunakan sisa air mandi seorang lelaki, baik mandinya dilakukan secara bersama-sama (bila keduanya suami istri) atau setelah selesainya lelaki tersebut. Demikian pula sebaliknya.

Makna : hendaklah seorang lelaki dan seorang wanita mengambil cidukan demi cidukan dari air tersebut ketika keduanya mandi. Keduanya menciduk bersama-sama, bukan saling bergantian, yang satu baru kemudian yang lain.

Dzahir hadits di atas menunjukkan bahwa lelaki ataupun wanita dilarang untuk mandi suci (janabah) menggunakan sisa air yang lainnya, baik keduanya mandi bersama-sama dari satu bejana, masing-masing menggunakan sisa air pasangannya, atau mandinya satu demi satu, yang lelaki terlebih dahulu atau si wanita. Namun boleh bagi keduanya untuk mandi bersama-sama dari satu bejana dengan menciduk air dari bejana tersebut secara bersamaan, bukannya bergantian mengambil air di dalam bejana.

Demikian salah satu pendapat kalangan ahlul ilmi. Memang dalam masalah menggunakan sisa air laki-laki atau sisa air wanita ada beberapa pendapat:

Pendapat pertama: laki-laki boleh bersuci dengan menggunakan sisa air wanita. Demikian pula sebaliknya, baik mandinya bersama-sama atau sendiri-sendiri.
Pendapat kedua: laki-laki makruh menggunakan sisa air mandi wanita dan sebaliknya.
Pendapat ketiga: masing-masing boleh bersuci/mandi dengan menggunakan sisa air pasangannya, bila keduanya menciduknya secara bersama-sama.
Pendapat keempat: boleh bersuci dengan menggunakan sisa air tersebut, bila si wanita tidak dalam keadaan haid dan si lelaki tidak dalam keadaan junub.
Pendapat kelima: wanita boleh menggunakan sisa air laki-laki, namun laki-laki makruh menggunakan sisa air wanita.

Pendapat keenam: masing-masing boleh menggunakan air yang ada bila keduanya mandi bersama-sama dari satu bejana, baik menciduknya secara bersama-sama ataupun tidak. (‘Aunul Ma‘bud, kitab Ath-Thaharah, bab An-Nahyu ‘an Dzalik)

Dari beberapa pendapat di atas, yang penulis pandang kuat adalah pendapat yang membolehkan, karena adanya hadits berikut ini:

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengabarkan:

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi dari air sisa Maimunah.”9

Dalam riwayat Ashabus Sunan disebutkan bahwa Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma  menyatakan:

Salah seorang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai mandi dari satu bejana yang besar. Lalu datanglah Nabi untuk mandi menggunakan air yang masih ada dalam bejana besar tersebut. Istri beliau berkata:“Tadi aku mandi junub (dengan menggunakan air tersebut).” Nabi bersabda:“Sesungguhnya air tidak membuat junub.”10

Penulis Tuhfatul Ahwadzi berkata:“Hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma menunjukkan bolehnya bersuci/mandi menggunakan sisa air mandi wanita. Sementara hadits Al-Hakam bin ‘Amr Al-Ghifari yang telah lewat dalam bab terdahulu11 menunjukkan larangan dari hal tersebut.

Dua hadits tersebut digabungkan dengan pernyataan bahwa larangan yang ada adalah bila air yang digunakan merupakan air yang berjatuhan dari anggota-anggota tubuh si wanita, karena air tersebut telah menjadi air musta‘mal. Sementara air yang masih tersisa di ember/bejana atau tempat air lainnya boleh digunakan (tidak dilarang). Demikian penggabungan yang dilakukan oleh Al-Khaththabi.

(Dan cara lain menggabungkan dua hadits yang secara dzahir nampak bertentangan tersebut adalah) bahwa larangan yang ada dibawa kepada larangan tanzih (yakni makruh, bukan larangan yang menunjukkan keharaman/tahrim), dengan adanya hadits-hadits yang membolehkan (laki-laki menggunakan sisa air wanita).

Adapula yang berpendapat bahwa ucapan sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Tadi aku mandi junub (dengan menggunakan air tersebut)’, dia nyatakan ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin berwudhu dengan sisa air mandi istrinya. Ini menunjukkan bahwa larangan menggunakan sisa air wanita itu telah ada lebih dahulu, lalu datanglah hadits yang menunjukkan kebolehan sebagai penghapus hadits yang melarang, wallahu a‘lam.”

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah telah menjelaskan permasalahan ini pula dalam kitab beliau Al-Majmu’ Syar-hul Muhadzdzab (2/220-222).

Al-Imam Al-Hafizh Ibnul ‘Arabi Al-Maliki rahimahullah dalam syarahnya terhadap Sunan At-Tirmidzi (‘Aridhatul Ahwadzi, 1/72) berkata tentang permasalahan ini: “Dari sisi sanad, hadits yang membolehkan berwudhu dengan sisa wudhu wanita, seluruhnya shahih. Adapun hadits Al-Hakami, kata Al-Bukhari: ‘Abu Hajib Sawadah bin ‘Ashim Al-Ghanawi12 –demikian disebutkan Al-Imam Ahmad dan selainnya– termasuk kalangan orang-orang Mesir (Mishriyyun).’ Al-Ghifari berkata: ‘Aku tidak memandangnya shahih dari Al-Hakam bin ‘Amr.’

Adapun hukum dari permasalahan ini, jumhur ulama berkata: ‘Seorang laki-laki boleh berwudhu dengan sisa air wudhu dan mandi seorang wanita.’

Sedangkan Al-Imam Ahmad bin Hambal berkata: ‘Hal itu tidak boleh, bila si wanita telah menggunakan air tersebut sendirian (tidak menggunakannya bersama-sama)’.

Al-Hasan, Ibnul Musayyib, dan Ishaq memakruhkannya. Dan diriwayatkan kemakruhannya dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, bila si wanita menggunakan air tersebut dalam keadaan ia sedang haid, junub, atau bersendiri menggunakannya. Yang menjadi sandaran mereka adalah hadits Al-Hakam yang telah lewat.

Namun hadits kami (yang membolehkan) lebih utama dari dua sisi:
Pertama: haditsnya lebih shahih.

Kedua: haditsnya lebih belakangan daripada hadits yang melarang. Dengan dalil bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak mandi dari bejana, Maimunah berkata kepada beliau: ‘Sungguh aku telah berwudhu menggunakan air tersebut’.

(Ucapan Maimunah ini) menunjukkan bahwa larangan itu telah ada sebelumnya, lalu Nabi menerangkan bahwa air itu tidak membuat junub. Berarti terangkatlah larangan yang terdahulu (sehingga hukumnya menjadi boleh,–pent.)”. Wallahu a’lam.

Sebagai kesimpulan, mandi orang yang junub atau wudhu seseorang dari satu bejana tidaklah mempengaruhi kesucian air, karena air (dalam bejana) tersebut tetap dalam keadaan suci. Sehingga laki-laki boleh mandi menggunakan sisa air wanita walaupun wanita tersebut junub. Adapun larangan yang ada, bukanlah larangan yang menunjukkan keharaman, namun larangan lit tanzih. (Taudhihul Ahkam 1/133, Subulus Salam 1/37)

Perselisihan yang ada ini khusus dalam masalah bersucinya seorang lelaki menggunakan sisa air wanita. Adapun bersucinya wanita dengan sisa air mandi laki-laki, kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullah: “Boleh dengan kesepakatan yang ada.” Namun Al-Hafizh memberi komentar bahwa Ath-Thahawi telah menetapkan adanya perselisihan pendapat pula dalam permasalahan ini. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thaharah, bab Ma Ja`a fir Rukhshah fi Dzalik).

 

Catatan
Tata cara mandi janabah bagi wanita sama dengan laki-laki. Dan tidak ada kewajiban bagi wanita untuk memasukkan air ke dalam kemaluannya ketika mandi janabah ataupun mandi haid, karena tidak adanya perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Seandainya hal tersebut wajib dilakukan, niscaya akan ada keterangannya dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.

Bila seorang suami menggauli istrinya pada selain kemaluan si istri, dengan kata lain mencumbui istri tanpa melakukan jima’ –tentu juga bukan pada duburnya karena itu haram dan terlaknat–, apakah si suami tetap wajib mandi?

Bila seorang suami menggauli istrinya pada selain kemaluannya, yakni sama sekali tidak memasukkan zakarnya ke dalam farji istrinya, namun si suami mengeluarkan mani pada selain kemaluan istrinya, maka telah kita ketahui dari penjelasan-penjelasan yang telah lewat bahwa ia tetap wajib mandi. Dengan dalil hadits:

“Hanyalah air itu dicurahkan karena keluar air (yakni mandi itu hanyalah diwajibkan karena keluar mani,–pent).” (HR. Muslim no. 343)

Juga dengan adanya kesepakatan ulama akan wajibnya mandi karena keluar mani.
Bagaimana dengan si istri, apakah ia juga wajib mandi?

Dalam hal ini perlu perincian. Bila si istri juga mengeluarkan mani maka ia wajib mandi. Namun bila ia tidak mengeluarkan mani, dan khitannya sama sekali tidak bersentuhan (dimasuki) oleh khitan suaminya13 maka tidak ada kewajiban mandi baginya.

Ibrahim An-Nakha’i rahimahullah berkata tentang seorang suami yang menggauli istrinya pada selain kemaluan si istri lalu si suami keluar mani:

Si suami mandi, sedangkan istrinya tidak, akan tetapi ia membasuh/mencuci bagian tubuhnya yang terkena.” (Riwayat Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no. 981)

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata:

Bila si istri juga mengeluarkan mani maka ia mandi. Namun bila tidak, maka ia cukup berwudhu dan mencuci bagian tubuhnya yang terkena mani suaminya.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 1/93).

Wallahu ta’ala a’lam bishshawab. Untuk selanjutnya dalam edisi mendatang kita akan membahas tentang mandi yang diperselisihkan kewajibannya dan mandi yang sunnah, Insya Allah.

Wallahu al-muwaffiq.

Ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari

 

Catatan Kaki:

1 HR. Ahmad 4/224, Abu Dawud no. 4012, An-Nasa`i no. 406. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud, Shahih An-Nasa`i, Al-Irwa` 2335 dan Al-Misykat 447.

2 Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Seorang lelaki tidak boleh melihat aurat laki-laki yang lain dan seorang wanita tidak boleh melihat aurat wanita lain.” (HR. Muslim no. 766, kitab Al-Haidh, bab Tahrimun Nazhar ilal ‘Aurat)

3 HR. Al-Bukhari no. 280 dan Muslim no. 762.

4 HR. Abu Dawud no. 4017, At-Tirmidzi no. 2769 dan yang lainnya. Dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud, Shahih At-Tirmidzi.

5 HR. Al-Bukhari no. 261 dan Muslim no. 729.

6 HR. Muslim no. 731

7 Yaitu hadits:

“Aku dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi (dengan menggunakan air) dari satu bejana, dari bejana yang disebut al-faraq.”  (HR. Al-Bukhari no. 250 dan Muslim no. 725)

Kata Qutaibah: Berkata Sufyan: “Al-faraq adalah (bejana yang isinya) tiga sha’.”
8 HR. Abu Dawud no. 81 dan An-Nasa`i no. 238. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud, Shahih An-Nasa`i. Dishahihkan pula oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih (1/547) dari riwayat yang dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 4/110.

9  HR. Muslim no. 732

10  HR. Abu Dawud no. 68 dan Ashabus Sunan lainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud dan selainnya.

11  Yaitu hadits:

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang lelaki berwudhu menggunakan sisa air wanita.”

12 Nama perawi yang meriwayatkan hadits tentang larangan laki-laki berwudhu menggunakan sisa air wanita dari Al-Hakam bin ‘Amr Al-Ghifari.

13 Sementara dalam hadits disebutkan:

“Apabila seorang laki-laki telah duduk di antara empat cabang seorang wanita kemudian ia memasukkan khitan (nya,–pent.) ke khitan (istrinya,–pent.) maka sungguh telah wajib mandi.” (Sunan Abi Dawud no.216,dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa pewajiban mandi karena jima‘ tidak tergantung dengan keluarnya mani bahkan kapan hasyafah (pucuk dzakar) masuk ke dalam farji hingga tersembunyi, telah wajib mandi bagi laki-laki dan wanita tersebut. (Syarhu Shahih Muslim 4/41)

 

Sumber Tulisan:
Mandi Janabah (3)