Bismilah. Saya mau bertanya tentang permasalahan seputar jual beli.
Contohnya, A berniat menjual sepeda seharga Rp50.000, lalu saya menjualkan sepeda A kepada B sebagai pembeli dengan penawaran harga Rp100.000. Si B membayar sepeda tersebut Rp100.000 kepada saya. Lalu saya bayarkan Rp50.000 kepada A dan saya mendapat keuntungan Rp50.000 dari hasil menjualkan sepeda A tersebut. Pertanyaannya, apakah jual beli yang saya lakukan tersebut sesuai dengan syariat?
Caranya, saya titip barang ke toko dengan harga Rp.1.000, lalu terserah toko, barang tersebut akan dijual dengan harga berapa. Yang penting, jika barang terjual, toko membayar Rp.1.000 kepada saya, sesuai dengan harga yang saya tetapkan.
Bolehkah jual beli seperti ini? Saya mohon penjelasannya, karena saya berdagang dengan cara seperti ini. Saya khawatir terjatuh ke dalam jual beli yang diharamkan.
Abu Abdul Aziz—Lampung
Dijawab oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.
Sistem jual beli yang ditanyakan hukumnya boleh. Hal ini dikenal dalam syariat dengan istilah samsarah atau makelaran. Akan tetapi, pada contoh yang pertama, makelar harus mendapat izin dari pemilik barang untuk mengambil keuntungan sekehendaknya (tentunya dalam batas kewajaran).
Makelaran disebut dalam bahasa Arab samsarah atau dallalah. Pelakunya atau makelar disebut simsar atau dallal. Upahnya dinamai ujratu samsarah atau as-sa’yu, atau al-ju’’azza wa jalla atau ad-dallalah.
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), yang dimaksud makelar adalah perantara antara penjual dan pembeli. Disebut pula broker, makelar, cengkau, dan pialang.
Kriteria Seorang Makelar
Seorang makelar harus memiliki kriteria sebagai berikut.
Hal ini supaya dia tidak membuat kecewa atau merugikan penjual atau pembeli.
Upah Makelar
Para ulama membolehkan upah makelar. Al-Imam Malik pernah ditanya tentang upah makelar, beliau menjawab tidak mengapa.
Al-Imam al-Bukhari menyebutkan sebuah bab dalam kitab Shahih al-Bukhari, “Bab Upah Makelar”.
Ibnu Sirin, Atha’, Ibrahim (an-Nakha’i), dan al-Hasan (al-Bashri) memandang bolehnya upah bagi makelar.
Ibnu Abbas mengatakan, “Seseorang boleh mengatakan, ‘Juallah pakaian ini. Apa yang lebih dari (harga) sekian dan sekian, itu untukmu’.”
Ibnu Sirin mengatakan, “Jika seseorang mengatakan, ‘Juallah barang ini dengan harga sekian, dan keuntungan selebihnya untukmu—atau kita bagi dua,’ hal ini boleh saja. Sebab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ…
”Kaum muslimin itu sesuai dengan syarat-syarat mereka.”
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ نَهَى رَسُولُ اللهِ ، أَنْ يُتَلَقَّى الرُّكْبَانُ، وَلاَ يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ. قُلْتُ: يَا ابْنَ عَبَّاسٍ، مَا قَوْلُهُ لاَ يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ. قَالَ: لاَ يَكُونُ لَهُ سِمْسَارًا
Dari Ibnu Abbas, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk menghadang rombongan pedagang (yakni sebelum sampai pasar) dan melarang orang yang di kota menjualkan barang milik orang yang datang dari pedesaan.”
Aku (perawi) mengatakan, “Wahai Ibnu Abbas, apa maksudnya ‘orang yang di kota tidak boleh menjualkan barang orang yang datang dari pedesaan’?”
Beliau menjawab, “Tidak menjadi makelar bagi mereka.”
Sisi pendalilan dari hadits di atas adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang kota menjualkan (barang) orang desa yang datang ke kota, berarti selain itu adalah boleh. Orang kota menjualkan (barang) orang kota, orang desa menjualkan (barang) orang desa, atau orang desa menjualkan (barang) orang kota. Lihat keterangan yang semakna dengan ini pada Fathul Bari karya Ibnu Hajar.
Ibnu Qudamah mengatakan, “Seseorang boleh menyewa makelar untuk membeli pakaian. Ibnu Sirin, Atha’, dan an-Nakha’i membolehkan hal itu…
(Makelar) boleh diberi waktu tertentu, seperti sepuluh hari, selama itu dia membelikan barang, karena waktu dan pekerjaannya diketahui…
Apabila pekerjaannya saja yang ditentukan, tetapi waktunya tidak, dan ditetapkan bahwa dari setiap 1.000 dirham dia mendapat nominal tertentu, ini juga sah saja. Apabila seseorang menyewa (makelar) untuk menjualkan pakaian, itu juga sah.
Pendapat ini yang dipegang oleh al-Imam asy-Syafi’i, karena itu adalah pekerjaan mubah yang boleh diwakilkan dan sesuatu yang telah diketahui. Maka dari itu, diperbolehkan pula akad sewamenyewa padanya, seperti pembelian baju.”
Al-Lajnah ad-Daimah menjawab bahwa apabila kenyataannya seperti yang disebutkan, ia boleh mengambil upah tersebut dan tidak ada dosa padanya.
Beliau menjawab bahwa hal itu tidak mengapa. Ini adalah imbalan yang disebut as-sa’yu. Hendaknya orang itu bersungguh-sungguh mencarikan tempat yang sesuai dengan permintaan orang yang hendak menyewanya. Apabila dia membantunya dan mencarikan tempat yang sesuai dengan permintaannya, lalu dia membantu mewujudkan kesepakatan antara penyewa dan pemiliknya, dan disepakati pula upahnya, semua ini tidak mengapa, insya Allah.
Akan tetapi, hal ini dengan syarat tidak ada pengkhianatan dan penipuan, tetapi yang ada adalah amanah dan kejujuran. Apabila dia jujur dan amanah ketika mencarikan apa yang diminta (calon penyewa), tanpa menipu dan menzalimi (calon penyewa) atau pemilik toko/apartemen, dia berada dalam kebaikan, insya Allah.
Maka dari itu, jika seseorang dijadikan wakil dalam penjualan dan pembelian, dia berhak mendapatkan upah jika melakukannya.
Berikut ini jawaban al-Lajnah ad- Daimah.
Apabila terjadi kesepakatan antara makelar, penjual, dan pembeli, apakah makelar mengambil upah dari pembeli, atau dari penjual, atau dari keduanya, upah yang diketahui ukurannya maka hal itu boleh saja. Tidak ada batasan atau prosentase upah tertentu.
Kesepakatan yang terjadi dan saling ridha tentang siapakah yang akan memberikan upah, hal itu boleh. Akan tetapi, semestinya itu semua sesuai dengan batasan kebiasaan yang berjalan di tengah masyarakat tentang upah yang didapatkan oleh makelar dapat imbalan pekerjaannya yang menjadi perantara antara penjual dan pembeli. Selain itu, tidak boleh ada mudarat atas penjual maupun pembeli dengan upah yang melebihi kebiasaan. (Fatawa al-Lajnah)
Apabila prosentase upah itu dari laba, bukan dari harga penjualan, para fuqaha mazhab Hanbali membolehkannya, dan itu menyerupai mudharabah. (Kasysyaful Qana’ [3/615], Mathalib Ulin Nuha [3/542], sebagian kutipan diambil dari Fatawa Islam Sual wa Jawab)