Perselingkuhan dengan ipar, perzinaan dengan saudara sepupu, adalah sebagian peristiwa yang sudah banyak terjadi di sekitar kita. Mengapa terjadi demikian? Ini tak lain dikarenakan hukum syariat telah dilanggar dan diabaikan. Berduaan dengan kerabat nonmahram, menampakkan aurat di depannya, dsb, merupakan perbuatan-perbuatan yang tanpa sadar sering dilakukan dengan menjadikan hubungan kekerabatan sebagai tameng.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
لَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلاَثةَ أَيَّامٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Tidak boleh seorang wanita bepergian (safar) sejauh perjalanan tiga hari kecuali bersama mahramnya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 1086, 1087 dan Muslim no. 1338)
Pernah pula beliau bersabda,
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهاَ ذُوْ مَحْرَمٍ
“Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 1341)
Kata mahram yang disebutkan dalam dua sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas sering kita dengar, yang oleh kebanyakan orang di negeri kita ini disebut dengan istilah muhrim (istilah yang lebih tepat untuk menunjukkan orang yang berihram untuk haji atau umrah). Namun demikian, meski kata ini acap didengar, seringkali disebut, tetapi tidak dimengerti oleh sebagian besar orang. Terbukti, dua titah Rasul yang agung di atas jauh dari pengamalan. Entah karena tidak memahami apa itu mahram, entah karena tidak mengetahui adanya titah yang agung ini, atau mereka tahu namun tak peduli, wallahul musta’an.
Berkaitan dengan ini, syariat yang mulia menetapkan keharaman bagi seorang wanita untuk menampakkan perhiasannya kecuali di hadapan kerabatnya yang diistilahkan dengan mahram ini, karena:
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ
“Wanita itu adalah aurat.” (HR. at-Tirmidzi no. 1882. Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muqbil di atas syarat Muslim dalam ash-Shahihul Musnad, 2/36)
Namun, sekali lagi apa yang dikehendaki syariat agar wanita berhijab di hadapan laki-laki selain mahramnya banyak diabaikan oleh para muslimah dan wali-wali mereka pun tak ambil peduli.
Apakah Mahram Itu?
Mahram adalah keluarga dekat dari kalangan pria yang tidak halal baginya menikahi si wanita, seperti anak laki-laki (wanita tersebut), ayahnya, saudara laki-lakinya, pamannya, dan orang yang semisal mereka. (an-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, 1/373)
Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah membawakan def inisi mahram menurut para ulama, yakni laki-laki yang diharamkan menikahi si wanita selama-lamanya dengan sebab yang mubah karena hubungan mahram[1]. (Fathul Bari, 4/94)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Mahram adalah laki-laki yang diharamkan untuk menikahi seorang wanita (tertentu) selama-lamanya.” (Hijabul Mar’ah al-Muslimah wa Libasuha fish Shalat, hlm. 18)
Siapakah Mahram Kita?
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Tanzil-Nya,
“Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah, ‘Hendaklah mereka menundukkan pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka serta jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya (tidak mungkin ditutupi). Hendaklah pula mereka menutupkan kerudung mereka di atas leher-leher mereka dan jangan mereka tampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami mereka, ayah-ayah mereka, ayah-ayah suami mereka (ayah mertua), di hadapan putra-putra mereka, putra-putra suami mereka, di hadapan saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki), putra-putra saudara perempuan mereka, di hadapan wanita-wanita mereka, budak yang mereka miliki, laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita, atau anak laki-laki yang masih kecil yang belum mengerti aurat wanita. Dan jangan pula mereka menghentakkan kaki-kaki mereka ketika berjalan di hadapan laki-laki yang bukan mahram agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan dan hendaklah kalian semua bertaubat kepada Allah, wahai kaum mukminin, semoga kalian beruntung’.” (an-Nur: 30—31)
Dalam ayat yang mulia di atas, dinyatakan bahwa selain di hadapan suami, dibolehkan pula bagi seorang wanita menampakkan perhiasannya di hadapan ayahnya, ayah suaminya (ayah mertua), putranya, putra suaminya, saudara laki-lakinya, putra saudara lakilakinya (keponakan laki-laki), atau putra saudara perempuannya. Mereka yang disebutkan ini adalah mahram bagi si wanita. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/295)
Bila dirinci, mahram-mahram yang tersebut dalam ayat di atas adalah sebagai berikut:
Dengan perincian di atas berarti:
Mahram lainnya adalah:
“Janganlah kalian menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian (ibu tiri) kecuali pada masa yang telah lampau (sebelum datangnya larangan ini) karena sesungguhnya perbuatan menikahi ibu tiri itu amatlah keji, dibenci, dan sejelek-jelek jalan yang ditempuh.
Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah kalian (bibi/saudara perempuan ayah), khalah kalian (bibi/saudara perempuan ibu), putri-putri dari saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan), putri-putri dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan, ibu mertua kalian, putri-putri dari istri kalian yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri, tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan kalian) maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan pula bagi kalian menikahi istri-istri anak kandung kalian (menantu), dan menghimpunkan dua wanita yang bersaudara dalam pernikahan, kecuali apa yang telah terjadi di masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (an-Nisa: 22—23)
Dalam ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan seorang paman untuk menikahi keponakan perempuannya, sama saja baik keponakannya itu putri dari saudara laki-laki-lakinya ataupun saudara perempuannya. Ini menunjukkan bahwa paman termasuk mahram, yang menurut pendapat jumhur ulama, paman disamakan dengan mahram lain dalam kebolehan memandang perhiasan yang dikenakan seorang wanita sebatas yang dibolehkan bagi mahram lainnya. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 12/155)
Yang menguatkan hal ini adalah hadits Aflah, paman ‘Aisyah radhiallahu ‘anha karena susuan. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengabarkan,
أَنَّ أَفْلَحَ أَخَا أَبِي الْقُعَيْس جَاءَ يَسْتَأْذِنُ عَليهَا وَهُوَ عَمُّهَا مِنَ الرَّضَاعَةِ بَعْدَ أَنْ نَزَلَ الْحِجَابِ، فَأَبَيْتُ أَنْ آذِنَ لَهُ فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللهِ، أَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي صَنَعْتُ فَأَمَرَنِي أَنْ آذِنَ لَهُ
Aflah, saudara Abul Qu’ais[3] pernah datang meminta izin untuk bertemu dengannya setelah turunnya perintah berhijab. Dan Aflah ini adalah paman ‘Aisyah karena susuan. ‘Aisyah berkata, ‘Aku pun menolak untuk mengizinkannya. Ketika datang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku ceritakan kepada beliau tentang apa yang kuperbuat, maka beliau memerintahkan aku untuk mengizinkan Aflah’.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5103 dan Muslim no. 1445)
Dalam riwayat Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَحْتَجِبِي مِنْهُ فَإِتَّهُ يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
“Janganlah engkau berhijab darinya, karena menjadi haram dengan sebab penyusuan apa yang haram karena hubungan nasab.” (Sahih, HR. Muslim no. 1445)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan wajibnya wanita berhijab dari laki-laki ajnabi (nonmahram) dan disyariatkan bagi mahram untuk minta izin ketika masuk menemui wanita yang merupakan mahramnya.” (Fathul Bari, 9/184)
Dalam surat an-Nisa di atas, dapat kita pahami bahwa wanita-wanita yang haram dinikahi karena hubungan mahram selain ibu, anak perempuan, saudara perempuan, ‘ammah (bibi/saudara ayah), khalah (bibi/saudara ibu) dan keponakan perempuan (putri dari saudara laki-laki/perempuan), termasuk pula ibu susu, saudara perempuan sepersusuan, ibu mertua, putri tiri (anak perempuan dari istri yang telah dicampuri) dan menantu perempuan (istri dari anak kandung). Mengenai ibu susu dan saudara sepersusuan akan dibicarakan dalam pembahasan tersendiri. Sedangkan mengenai ibu mertua, putri istri, dan menantu perempuan sebagai berikut:
Diriwayatkan pendapat ini dari Ibnu Mas‘ud, ‘Imran bin Hushain, Masruq, Thawus, ‘Ikrimah, ‘Atha, al-Hasan, Mak-hul, Ibnu Sirin, Qatadah dan az-Zuhri. Ini merupakan pendapat imam yang empat dan fuqaha yang tujuh serta jumhur fuqaha yang dulu maupun yang belakangan. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/482)
Adapun bila anak tersebut adalah anak angkat maka istrinya tidaklah haram dinikahi oleh ayah angkat suaminya. Karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan Dia tidaklah menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak kandung kalian.” (al-Ahzab: 4)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
Yakni Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan kalian menikahi istri-istri dari anak-anak laki-laki kalian yang dilahirkan dari sulbi kalian (anak kandung), sehingga dikecualikan dari larangan ini istri dari anak angkat yang dulunya di masa jahiliah mereka anggap sebagai anak, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Tatkala Zaid[5] telah menyelesaikan urusannya dengan istrinya (menceraikan Zainab bintu Jahsyin, istrinya), Kami nikahkan engkau dengan Zainab agar tidak ada keberatan bagi orang-orang beriman untuk menikahi istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari istri-istrinya tersebut (menceraikan istri-istri tersebut).” (al-Ahzab: 37) [Tafsir Ibnu Katsir, 1/483)]
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(bersambung)