Dalam praktik bisnis pada umumnya, pembeli kebanyakan dalam posisi dirugikan. “Kaidah” ini tak terkecuali juga berlaku pada sistem asuransi. Pencairan klaim yang dipersulit adalah contoh persoalan paling klise yang banyak dialami oleh tertanggung atau pemegang polis. Namun, yang namanya pertaruhan, tak ada yang mau dirugikan begitu saja. Banyak juga kasus yang tertanggung dengan sengaja membakar atau menghilangkan aset miliknya menjelang habis masa pertanggungan demi memperoleh klaim. Bagaimana Islam menyoroti “perjudian” bernama asuransi ini? Simak kupasannya!
Asuransi yang jenisnya kian beragam pada masa sekarang, sebenarnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga: asuransi sosial, asuransi ta’awun (gotong royong), dan asuransi tijarah (bisnis).
Biasanya, asuransi jenis ini diperuntukkan bagi pegawai pemerintah, sipil maupun militer. Sering juga didapati pada karyawan swasta. Gambarannya, pihak perusahaan memotong gaji karyawan setiap bulan dengan persentase tertentu dengan tujuan:
a. Sebagai tunjangan hari tua (THT), yang biasanya uang tersebut diserahkan seluruhnya pada masa purna tugas seorang karyawan. Terkadang, ditambah subsidi khusus dari perusahaan.
b. Sebagai bantuan atau santunan bagi mereka yang wafat sebelum purna bakti, diserahkan kepada ahli waris atau yang mewakili.
c. Sebagai pesangon bagi karyawan yang pensiun dini.
Pemotongan gaji dengan tujuan di atas yang dilakukan oleh pemerintah atau sebuah perusahaan adalah murni untuk santunan bagi karyawan, bukan dalam rangka dikembangkan untuk mendapatkan laba (investasi).
Hukum asuransi jenis ini dengan sistem seperti yang tersebut di atas adalah boleh. Ia termasuk dalam bab ta’awun (tolong-menolong) dalam kebaikan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (al-Maidah: 2)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ
“Dan Allah selalu menolong seorang hamba selama dia selalu menolong saudaranya.” (HR. Muslim no. 3391 dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Upaya di atas termasuk dalam bab ihsan (berbuat baik) kepada sesama. (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, 15/284, dan Syarhul Buyu’ hlm. 38)
Baca juga: Berbuat Baik kepada Sesama
Akan tetapi, berbeda halnya apabila potongan gaji tersebut dimasukkan dalam investasi dan menghasilkan penambahan nominal dari total nilai gaji yang ada. Hal ini tidak boleh (haram) karena termasuk memakan harta orang lain dengan cara kebatilan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ
“Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil.” (al-Baqarah: 188)
Maka dari itu, tidak ada hak bagi karyawan tersebut kecuali sejumlah nominal gajinya yang dipotong selama bekerja. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِن تُبۡتُمۡ فَلَكُمۡ رُءُوسُ أَمۡوَٰلِكُمۡ لَا تَظۡلِمُونَ وَلَا تُظۡلَمُونَ
“Dan jika kalian bertobat (dari pengambilan riba), bagimu pokok hartamu; kalian tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (al-Baqarah: 279)
Namun, apabila nominal tambahan tersebut telah diterima oleh sang karyawan dalam keadaan tidak mengetahui hukum sebelumnya, ia boleh dimanfaatkan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَمَن جَآءَهُۥ مَوۡعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمۡرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِۖ وَمَنۡ عَادَ فَأُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ
“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah: 275)
Baca juga: Allah Musnahkan Riba dan Suburkan Sedekah
Apabila si karyawan mengambilnya atas dasar ilmu (yakni mengetahui) tentang keharamannya, dia wajib bertobat dan menyedekahkan ‘tambahan’ itu.
Wallahu a’lam bish-shawab. (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, 15/261)
Asuransi ini dibangun dengan tujuan membantu dan meringankan pihak-pihak yang membutuhkan atau yang terkena musibah. Gambarannya, sejumlah donatur menyerahkan saham dalam bentuk uang yang disetorkan setiap pekan atau bulan dengan nominal tertentu atau semampunya, kepada yayasan/lembaga yang menangani musibah, bencana, dan orang yang membutuhkan.
Biasanya, saham akan dihentikan untuk sementara apabila jumlah uang dirasa sudah cukup dan tidak terjadi bencana atau musibah yang menyebabkan kas menipis atau membutuhkan suntikan dana. Saham-saham dalam bentuk uang itu sendiri tidak dikembangkan dalam bentuk investasi. Asuransi ini murni dibangun atas dasar kemanusiaan, bukan paksaan.
Contoh di lapangan yang disebutkan oleh Syaikhuna Abdurrahman al-‘Adni rahimahullah adalah asuransi gotong royong pada perkumpulan angkutan kota atau bus. Kendaraan-kendaraan itu milik pribadi, bukan milik sebuah perusahaan. Caranya, setiap anggota menyetorkan sejumlah nominal tak tertentu, setiap pekan/bulan, kepada salah seorang yang mereka tunjuk untuk membantu anggota mereka yang kecelakaan atau terkena musibah. Setoran tersebut bersifat sukarela dan tidak mengikat, dengan nominal beragam. Setoran akan dihentikan apabila dirasa sudah cukup dan tidak ada musibah.
Baca juga: Hikmah di Balik Musibah
Mengenai asuransi jenis ini, para ulama anggota al-Lajnah ad-Daimah dan anggota Kibarul Ulama Kerajaan Saudi Arabia telah melakukan pertemuan ke-10 di kota Riyadh pada Rabi’ul Awwal 1397 H. Hasilnya, mereka sepakat bahwa ta’awun ini diperbolehkan dan bisa menjadi ganti dari asuransi tijarah (bisnis) yang diharamkan. Berikut ini beberapa alasan mereka.
a. Asuransi ta’awun termasuk akad tolong-menolong untuk membantu pihak yang terkena musibah, tidak bertujuan bisnis atau mengeruk keuntungan dari harta orang lain. Tujuannya hanyalah membagi beban musibah tersebut di antara mereka dan bergotong royong meringankannya.
b. Asuransi ta’awun ini terlepas dari dua jenis riba: fadhl dan nasi’ah. Akad para pemberi saham tidak termasuk akad riba, tidak pula memanfaatkan kas yang ada untuk muamalah-muamalah riba.
c. Tidak mengapa apabila pihak yang memberi saham tidak mengetahui secara pasti jumlah nominal yang akan diberikan kepadanya apabila dia terkena musibah. Sebab, mereka semua adalah donatur (muhsinin); tidak ada pertaruhan, penipuan, atau perjudian.
Kemudian, para ulama tersebut memberikan usulan-usulan kepada pemerintah Kerajaan Saudi Arabia seputar masalah sosialisasi asuransi ta’awun ini. Lihat uraian panjang tentang masalah ini dalam Fatawa al-Lajnah ad-Daimah (15/287—292).
Baca juga: Harta, Antara Nikmat dan Fitnah
Sementara itu, Syaikhuna Abdurrahman al-‘Adni menyayangkan dua hal yang ada pada yayasan atau lembaga yang menangani asuransi ini, yaitu:
Wallahu a’lam. (Syarhul Buyu’, hlm. 39)
Asuransi ini biasanya lekat dengan para pelaku usaha dan orang yang memiliki harta berlebih meski bisa juga bermuamalah dengan pihak mana pun.
Gambaran sistem asuransi ini adalah pihak nasabah membayar nominal (premi) tertentu kepada perusahaan/lembaga asuransi setiap pekan, bulan, tahun, setiap order, atau sesuai dengan kesepakatan bersama. Ketentuannya, apabila terjadi kerusakan atau musibah, pihak lembaga asuransi menanggung seluruh biaya ganti rugi. Apabila tidak terjadi sesuatu, setoran terus berjalan dan menjadi milik lembaga asuransi.
Asuransi jenis ini murni bisnis. Sebab, biasanya mereka akan lepas tangan ketika terjadi peristiwa yang “dianggap” luar biasa (force majeur)—peperangan misalnya—yang mengakibatkan kerugian yang sangat besar.
Ringkasnya, orang yang terbelit asuransi ini akan menghadapi pertaruhan dengan dua kemungkinan: untung atau rugi.
Baca juga: Hukum Asuransi
Para ulama masa kini berikut perkumpulan-perkumpulan fikih keumatan semacam Rabithah Alam Islami, Haiah Kibarul Ulama, tercakup di dalamnya anggota al-Lajnah ad-Daimah Kerajaan Saudi Arabia, serta lembaga-lembaga keislaman yang lainnya baik di dunia Arab maupun internasional, telah bersepakat menyatakan keharaman asuransi jenis ini. Kecuali beberapa gelintir orang saja yang membolehkan dengan alasan keamanan harta benda.
Berikut ini beberapa argumentasi yang disebutkan oleh Haiah Kibarul Ulama pada ketetapan mereka no. 55 tanggal 4/4/1397 H, tentang pengharaman asuransi bisnis di atas.
Sebab, pihak nasabah tidak tahu berapa nominal yang akan dia berikan nanti dan berapa pula nominal yang bakal dia terima. Bisa jadi, dia baru menyetor sekali atau dua kali, lalu terjadi musibah sehingga dia menerima nominal (nilai pertanggungan) yang sangat besar sesuai dengan kejadiannya. Bisa jadi pula, dia menyetor terus-menerus dan tidak terjadi apa-apa sehingga perusahaan asuransi meraup keuntungan besar. Sementara itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah melarang sistem jual beli gharar (yang mengandung unsur pertaruhan).
Hal ini termasuk dalam keumuman firman Allah subhanahu wa ta’ala,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ رِجۡسٌ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan.” (al-Maidah: 90)
Rinciannya sebagai berikut.
Kedua jenis riba di atas adalah haram berdasarkan nas dalil dan kesepakatan ulama.
Pihak tertanggung memasang pertaruhan dengan setoran-setoran yang intensif, sedangkan pihak lembaga asuransi pertaruhannya dengan menyiapkan ganti rugi. Siapa yang beruntung, dia akan mengambil pertaruhan pihak lain. Bisa jadi, terjadi musibah; bisa jadi pula selamat darinya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمۡۚ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian.” (an-Nisa: 29)
Pihak lembaga asuransi diharuskan membayar semua kerugian yang dialami pihak nasabah, padahal musibah itu tidak berasal dari lembaga asuransi tersebut atau disebabkan olehnya. Ia hanya melakukan akad asuransi dengan pihak nasabah, dengan jaminan ganti rugi yang diperkirakan terjadi, dengan mendapatkan nominal yang disetorkan pihak nasabah. Tindakan ini hukumnya haram.
Selanjutnya, para ulama tersebut membantah satu per satu argumentasi pihak yang membolehkan asuransi ini dengan uraian yang panjang lebar, yang dibukukan dalam kitab Fatawa al-Lajnah ad-Daimah (15/275—287 dan 15/246—248). Lihat juga dalam Syarhul Buyu’ (hlm. 38—39).
Syaikhuna Abdurrahman al-‘Adni rahimahullah menjelaskan bahwa sistem asuransi jenis ini awal mulanya bersumber dari Zionis Yahudi di Amerika. Ketika melakukan penjajahan terhadap wilayah-wilayah Islam, mereka memasukkan aturan ini ke tengah-tengah kaum muslimin. Semenjak itulah asuransi ini tersebar dengan beragam jenis dan modus.
Wallahul musta’an.