Kita telah mengetahui bahwa syarat penyusuan (radha’) yang menyebabkan terjalinnya hubungan mahram antara anak susu dan keluarga ibu susunya adalah lima penyusuan, sebagaimana dalam hadits Aisyah x yang diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam Shahihnya:
كَانَ فِيْمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُوْمَاتٍ يُحْرِمْنَ، ثُمَّ نُسِخَ بِخَمْسٍ مَعْلُوْمَاتٍ
“Dulunya Al-Qur’an turun menyebutkan sepuluh kali penyusuan yang dimaklumi dapat mengharamkan, kemudian dihapus ketentuan tersebut menjadi lima kali penyusuan.”
Yang menjadi pertanyaan: apa yang dimaksud dengan lima penyusuan tersebut, apakah lima isapan, lima kali menarik napas, ataukah lima kali waktu makan?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Al-Allamah Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin t membawakan pembahasan tentang masalah di atas dalam kitabnya yang sangat bernilai, Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’ (13/430-432).
Beliau t berkata, “Sebagian ahlul ilmi mengatakan lima sedotan/isapan, berdasarkan sabda Rasulullah n:
لاَ تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَالْمَصَّتاَنِ
“Satu isapan dan dua isapan tidaklah mengharamkan.”1
Dalam hadits di atas, Rasulullah n mengaitkan hukum dengan isapan. Berdasarkan pendapat ini, memungkinkan terjadinya penyusuan yang membuat hubungan kemahraman dalam waktu sekitar tiga detik. Karena bila si bayi mengisap kemudian menelan susu, mengisap lagi lalu menelannya, mengisap yang berikutnya sampai lima kali isapan, berarti telah ditetapkan hukum penyusuan.
Sebagian yang lain berpendapat lima kali menarik napas, berdasarkan sabda Rasulullah n:
لاَ تُحَرِّمُ الْإِمْلاَجَةُ وَالْإِمْلاَجَتَانِ
“Satu imlajah dan dua imlajah tidaklah mengharamkan.”2
Imlaj adalah masuknya puting ke mulut bayi3. Selama puting tersebut berada dalam mulutnya walaupun ia telah mengisap seratus kali maka tetap teranggap satu kali susuan. Berdasarkan pendapat ini bila si bayi mengisap puting kemudian menelan susu (ASI), lalu mengisap lagi kemudian menelannya, mengisap lagi lalu menelannya dalam satu napas/tidak diselingi dengan menarik napas, setelahnya ia melepas puting yang dikulumnya (untuk menarik napas), kemudian ia kembali mengisap puting berarti teranggap susuan yang kedua.
Sebagian mereka berpendapat lima kali sajian, sebagaimana seseorang mengatakan: lima kali makan, maka pasti ada tenggang waktu terputus/terpisahnya susuan kedua dari susuan yang pertama. Adapun selama si bayi masih dalam pangkuan ibu yang menyusuinya maka tetap teranggap satu kali susuan. Sebagaimana Anda katakan, “Ini satu hidangan/sajian makan. Ini makan siang atau ini makan malam,” dan yang serupa dengannya. Makan malam bukanlah satu suapan yang Anda angkat ke mulut, tapi banyak suapan. Demikian pula makan pagi (dengan kurma misalnya, pen.), tidak setiap kurma yang Anda telan diistilahkan makan pagi. Namun makan pagi adalah seluruh makanan/kurma yang Anda makan saat itu.
Berdasarkan hal ini, maka yang dimaksud dengan satu penyusuan adalah satu perbuatan dari menyusui yang terpisah dari penyusuan berikutnya/lainnya. Adapun semata melepaskan mulut dari puting tidaklah teranggap satu susuan secara hakiki4.
Satu contoh: Bila seorang ibu menyusui seorang bayi pada pagi hari pukul 08.00, setelah itu berhenti. Pukul 09.00 si anak disusui lagi. Nanti pukul 10.00 disusui lagi pada kali yang ketiga. Demikian pula pada pukul 11.00 dan nanti pukul 12.005, maka ini adalah lima kali susuan, walaupun tempat penyusuannya sama.
Adapun mengisap puting kemudian melepaskannya untuk bernapas, lalu kembali menyusu, setelahnya dilepas lagi untuk bernapas, kemudian kembali menyusu, demikian berulang sebanyak lima kali tetapi tetap dalam satu majelis, tidaklah teranggap sebagai lima susuan menurut pendapat ini.
Bila demikian, pendapat manakah yang lebih kuat?
Kami jawab: Yang asal, bila seperti di atas tidak teranggap lima susuan. Kami tidak yakin terjadinya lima susuan kecuali dengan lima kali waktu makan/minum atau lima sajian. Adapun penyusuan seperti yang digambarkan di atas6, secara asal tidaklah memberi pengaruh7. Karena itu, kita ambil yang lebih hati-hati. Sementara, yang hati-hati tidak lain kecuali lima sajian, bukan lima kali isapan dan bukan pula lima kali bernapas. Ini pendapat yang dipilih oleh syaikh kami Abdurrahman bin Sa’di t dan yang nampak dari pendapat yang dipilih Ibnul Qayyim t.
Bila ada yang bertanya, “Kenapa tidak kita jadikan lima isapan sebagai pendapat yang lebih hati-hati?”
Kita jawab: Ini musykil (mendatangkan kesulitan/masalah), karena bila kita berhati-hati dalam satu sisi, kita akan menyia-nyiakan sisi yang lain. Misalnya: Ada seorang bayi perempuan menyusu pada seorang wanita sebanyak lima isapan. Apabila kita memilih yang lebih hati-hati, kita katakan: bayi perempuan tersebut menjadi saudara perempuan dari anak laki-laki yang menyusu pada wanita yang sama, sehingga haram bagi si anak lelaki tersebut kelak menikahinya. Namun, datang pada kita perkara lain yang merupakan lawan dari kehati-hatian ini, yaitu bila kita katakan bayi perempuan itu saudara perempuan dari si anak lelaki, maka lazimnya kelak ia boleh berduaan dengannya, safar bersamanya, dan si perempuan boleh membuka wajah di hadapannya (tentunya yang seperti ini tidak hati-hati). Yang lebih hati-hati adalah si perempuan tidak melakukannya dan ia tidak boleh atau dilarang melakukannya. Ini tentunya kalau kita berpendapat susuan demikian (hanya lima isapan) tidak memberi pengaruh. Dengan seperti ini, kita tidaklah berhati-hati dari satu hal kecuali kalau kita menggugurkan yang lainnya. Karena itu, kita kembali kepada asal bahwa penyusuan demikian tidak berpengaruh. Pendapat inilah yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan ushul.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 HR. Muslim no. 1450
2 HR. Muslim no. 1451
3 Dengan demikian satu atau dua imlaj berarti satu atau dua kali masuknya puting ke mulut bayi. (pen.)
4 Dalam Al-Umm (5/27) disebutkan bentuk satu kali penyusuan adalah seorang bayi mengisap ASI dari puting sampai puas/kenyang, lalu ia melepaskan puting tersebut, sekalipun dalam waktu menyusu itu ia berhenti sejenak dari mengisap puting untuk bermain-main atau menghirup napas, maka tetap terhitung satu kali penyusuan. (pen.)
5 Ada jeda/tenggang waktu antara satu penyusuan dengan penyusuan berikutnya. (pen.)
6 Yaitu mengisap puting kemudian melepaskannya untuk bernapas, lalu kembali menyusu, setelahnya dilepas lagi untuk bernapas, kemudian kembali menyusu, demikian berulang sebanyak lima kali namun tetap dalam satu majelis. (pen.)
7 Tidak menjadikan hubungan kemahraman karena baru terhitung satu kali penyusuan. (pen.)