(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim)
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi. Perselisihan ini terjadi karena tidak didapatkan nash yang secara tegas menyebutkan letak posisi kedua tangan dalam keadaan tersebut. Ada dua pendapat yang dipegangi oleh para ulama.
1. Pendapat qabdh (sedekap, tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri) sehingga sama dengan posisi tangan saat berdiri sebelum rukuk.
Ulama yag berpegang dengan pendapat ini berdalil antara lain dengan hadits seorang sahabat yang bernama Wa’il ibnu Hujr z yang menerangkan tata cara shalat Nabi n. Wa’il z menyebutkan,
كَانَ إِذَا قَامَ فِي الصَّلاَةِ قَبَضَ عَلَى شِمَالِهِ بِيَمِيْنِهِ
“Sesungguhnya, ketika berdiri dalam shalat, Nabi n memegang lengan kirinya dengan lengan kanannya (bersedekap).” (HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra 28/2, ath-Thabarani dalam al-Kabir 1/9/22, dan dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 2247)
Menurut pendapat pertama ini, bersedekap di saat berdiri bersifat umum, baik sebelum rukuk maupun setelahnya.
Al-Imam Samahatusy Syaikh Ibnu Baz t menerangkan, pendapat yang menyatakan sedekap berdalil dengan hadits dalam Shahih Bukhari, Kitabul Adzan, bab “Wadh’ul Yumna ‘alal Yusra” (Peletakan tangan kanan di atas tangan kiri) dari hadits Sahl ibnu Sa’d z, ia berkata,
كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُوْنَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ الْيَدَ الْيُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ الْيُسْرَى فِي الصَّلاَةِ
“Adalah manusia diperintah agar orang yang sedang shalat meletakkan tangan kanannya di atas lengan kiri bagian bawah.” (HR. al-Bukhari no. 740)
Sisi pendalilan hadits di atas adalah disyariatkan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri saat seseorang berdiri dalam shalatnya, baik sebelum maupun setelah rukuk.
Mengapa demikian? Karena dimaklumi, saat rukuk kedua tangan diletakkan di atas kedua lutut. Ketika sujud, kedua tangan diletakkan di atas tanah, sejajar dengan kedua pundak atau kedua telinga. Saat duduk di antara dua sujud dan duduk tasyahhud, kedua tangan diletakkan di atas kedua paha dan dua lutut, sesuai dengan perincian yang diterangkan dalam as-Sunnah.
Masalah yang tersisa sekarang hanyalah saat berdiri, di manakah tangan diletakkan? Berdasar hadits di atas, maka tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri (bersedekap), sama saja baik saat berdiri sebelum rukuk maupun setelah bangkit dari rukuk karena tidak ada dalil yang tsabit (sahih) dari Nabi n yang membedakan dua berdiri ini.
Dalam hadits Wa’il z yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i dengan sanad yang sahih disebutkan, saat berdiri shalat, Nabi n memegang dengan tangan kanannya di atas tangan kirinya.
Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa Nabi n meletakkan tangan kanannya di atas punggung telapak tangan kiri, pergelangan, dan lengan bawah.
Tidak ada penyebutan yang membedakan letak posisi tangan ketika berdiri sebelum dan setelah rukuk. Dengan demikian, hadits ini mencakup kedua berdiri yang ada di dalam shalat. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat al-Mutanawwi’ah, 11/131—133)
2. Irsal (kedua tangan dilepas di samping badan, tidak disedekapkan).
Alasannya, tidak ada dalil dari as-Sunnah yang jelas menunjukkan qabdh ketika berdiri i’tidal.
Adapun hadits Wail z yang dijadikan sebagai dalil qabdh, sama sekali tidak menunjukkan qabdh yang dikehendaki (yaitu qabdh setelah rukuk), karena qabdh yang ada dalam hadits Wail adalah sebelum rukuk. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh dua jalur hadits berikut ini.
a. Dari Abdul Jabbar ibnu Wail, dari Wail, dari Alqamah ibnu Wail dan maula mereka, keduanya menyampaikan dari Wail ibnu Hujr z,
أَنّهُ رَأَى النَّبِيَّ n رَفَعَ يَدَيْهِ حِيْنَ دَخَلَ فِي الصَّلاَةِ، كَبَّرَ –وَصَفَ هَمَّامٌ– حِيَالَ أُذُنَيْهِ. ثُمَّ الْتَحَفَ بِثَوْبِهِ، ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى، فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ، أَخْرَجَ يَدَيْهِ مِنَ الثَّوْبِ ثُمَّ رَفَعَهَا، ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ. فَلَمَّا قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ؛ رَفَعَ يَدَيْهِ، فَلَمَّا سَجَدَ سَجَدَ بَيْنَ كَفَّيْهِ.
“Ia pernah melihat Nabi n mengangkat kedua tangannya setinggi kedua telinganya— sebagaimana disifatkan oleh perawi bernama Hammam—ketika masuk dalam shalat seraya bertakbir. Kemudian beliau berselimut dengan pakaiannya (memasukkan kedua lengannya ke dalam baju), lalu meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya. Tatkala hendak rukuk, beliau mengeluarkan kedua tangannya dari pakaiannya kemudian mengangkat keduanya lalu bertakbir dan rukuk. Ketika mengucapkan, ‘Sami’allahu liman hamidah (Allah mendengar orang yang memuji-Nya)’, beliau mengangkat kedua tangannya. Di saat sujud, beliau sujud di antara dua telapak tangannya.” (HR. Muslim no. 894)
b. Dari Ashim ibnu Kulaib, dari ayahnya, dari Wail ibnu Hujr z, ia berkata,
لَأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ n كَيْفَ يُصَلِّي؟ قَالَ: فَقَامَ رَسُوْلُ اللهِ n فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ فَكَبَّرَ فَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى حَاذَتَا أُذُنَيْهِ، ثُمَّ أَخَذَ شِمَالَهُ بِيَمِيْنِهِ، فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ رَفَعَهَا مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ وَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيهِ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ رَفَعَهُمَا مِثْلَ ذلِكَ. فَلَمَّا سَجَدَ وَضَعَ رَأْسَهُ بِذَلِكَ الْمَنْزِلِ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ ثُمَّ جَلَسَ، فَفَتَرشَ رِجْلَهُ الْيُسْرى… وَأَشَارَ بِالسَّبَابَةِ… الْحَدِيثَ
Aku sungguh-sungguh akan memerhatikan shalat Rasulullah n, bagaimana tata cara beliau shalat. Wail berkata, “Bangkitlah Rasulullah, menghadap kiblat lalu bertakbir, kemudian mengangkat kedua tangannya hingga bersisian dengan kedua telinganya. Setelah itu beliau memegang tangan kiri beliau dengan tangan kanan. Di saat hendak rukuk, beliau mengangkat kedua tangannya seperti tadi lalu meletakkan keduanya di atas kedua lututnya. Ketika mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau juga mengangkat kedua tangan seperti yang sebelumnya. Ketika sujud, beliau meletakkan kepalanya di antara kedua tangannya. Kemudian duduk dengan membentangkan kaki kirinya… dan memberi isyarat dengan jari telunjuk….” (HR. Abu Dawud no. 726, an-Nasa’i no. 889, dan selain keduanya dengan sanad yang sahih, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Abi Dawud no. 716—717).
Dalam riwayat Ibnu Majah (no. 810) disebutkan ada ucapan Wail z:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ n يُصَلِّي فَأَخَذَ شِمَالَهِ بِيَمِيْنِهِ
“Aku pernah melihat Nabi n shalat, beliau memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya.”
Dari hadits di atas dipahami bahwa bersedekap itu dilakukan pada berdiri yang awal, sebelum berdiri saat bangkit dari rukuk. Seandainya ada bersedekap saat bangkit dari rukuk, niscaya Wail tidak akan luput dalam menyebutkannya. Yang memperkuat hal ini adalah riwayat Ibnu Idris dari Ashim secara ringkas dengan lafadz:
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ n حِيْنَ كَبَّرَ أَخَذَ شِمَالَهِ بِيَمِيْنِهِ
“Aku pernah melihat Rasulullah n setelah bertakbir memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya.” (ash-Shahihah, 5/306—308)
Tidak seorang pun sahabat yang meriwayatkan hadits tentang tata cara shalat Nabi n yang secara terang-terangan menyebutkan adanya sedekap setelah rukuk1.
Tidak ada satu nash pun yang menunjukkan Rasulullah n melakukan sedekap setelah bangkit dari rukuk tersebut. Seandainya beliau melakukannya, niscaya akan dinukilkan kepada kita. Sementara itu, seperti kata Ibnu Taimiyah t, “Sungguh semangat dan keinginan kuat terkumpul pada sahabat untuk menukilkan semisal masalah ini. Apabila ternyata tidak ada penukilannya, berarti hal itu merupakan dalil bahwa perbuatan tersebut tidak pernah terjadi. Seandainya terjadi, niscaya akan diriwayatkan.” (Risalah Masyru’iyatul Qabdh fil Qiyam al-Ladzi Qabla ar-Ruku’ Dunal Ladzi Ba’dahu, al-Imam Allamatul Muhaddits al-Albani t2).
Al-Imam al-Allamah al-Muhaddits al-Albani t berkata, “Hadits yang dikenal dengan hadits al-Musi’u shalatahu:
ثُمَّ ارْفَعْ رَأْسَكَ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا، (فَيَأْخُذَ كُلُّ عِظَامٍ مَأْخَذَهُ)
وَفِي رِوَايَةٍ: وَإِذَا رَفَعْتَ فَأَقِمْ صَلْبَكَ، وَارْفَعْ رَأْسَكَ حَتَّى تَرْجِعَ الْعِظَامُ إِلَى مَفَاصِلِهَا
“Kemudian angkatlah kepalamu (dari rukuk) sampai engkau berdiri lurus [hingga setiap tulang mengambil posisinya].”
Dalam satu riwayat, “Apabila engkau bangkit, tegakkanlah tulang sulbimu, angkatlah kepalamu hingga tulang-tulang kembali ke persendiannya.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari t dari Abu Hurairah z dalam Shahihnya no. 793. Adapun tambahan dalam tanda kurung dan riwayat setelahnya adalah dari hadits Rifa’ah ibnu Rafi’ z yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad t dalam Musnadnya.
Yang dimaksud dengan ‘izham (tulang) di sini adalah tulang yang berangkai di punggung (tulang belakang)….”
Beliau t menyatakan, “Sebagian saudara kami dari kalangan ulama Hijaz dan lainnya berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan disyariatkannya meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri (bersedekap) saat berdiri dari rukuk. Namun, pendalilan mereka tersebut amat jauh karena sedekap yang dimaksudkan tidak disebutkan dalam hadits yang dijadikan sebagai dalil. Apabila yang jadi sandaran adalah kalimat ‘hingga tulang kembali kepada persendiannya’, yang dimaksud ‘izham di situ adalah tulang belakang. Yang menguatkan hal ini adalah riwayat tentang perbuatan Rasulullah n,
وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى، حَتَّى يَعُوْدَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ.
“Saat mengangkat kepalanya (dari rukuk), beliau berdiri lurus hingga setiap faqar kembali ke tempatnya.” (HR. al-Bukhari no. 828) (al-Ashl, 2/700)
Faqar adalah rangkaian tulang punggung, mulai bagian paling atas di dekat leher sampai tulang ekor, sebagaimana disebutkan dalam al-Qamus.
Adapun yang dinukilkan dari al-Imam Ahmad t sebagaimana dinukil putranya, Shalih ibnul Ahmad, dalam Masail-nya hlm. 90, “Jika ia mau, ia melepas kedua tangannya ketika bangkit dari rukuk. Jika mau pula, ia bisa meletakkan keduanya,” adalah ijtihad beliau, bukan dari hadits yang marfu’ dari Nabi n.
Pendapat irsal ini lebih menenangkan hati kami (penulis). Wallahu ta’ala a’lam wal ‘ilmu ‘indallah.
Tidak Pantas Menjadi Sebab Pertikaian
Al-Imam Samahatusy Syaikh Ibnu Baz t menyatakan, masalah sedekap sebelum atau setelah rukuk adalah perkara sunnah dalam shalat, bukan wajib. Dengan demikian, apabila ada orang yang shalat tidak bersedekap sebelum atau setelah rukuk, shalatnya tetap sah. Hanya saja dia telah meninggalkan perkara yang afdal dalam shalat3. Oleh karena itu, seorang muslim tidak pantas menjadikan perbedaan dalam masalah yang seperti ini sebagai sebab pertikaian, boikot, dan perpecahan. Bahkan, meskipun amalan tersebut dianggap wajib, sebagaimana pendapat yang dipilih oleh asy-Syaukani t dalam kitabnya, Nailul Authar.
Yang wajib dilakukan oleh seluruh kaum muslimin adalah mencurahkan seluruh upaya untuk tolong-menolong di atas kebaikan dan ketakwaan, menerangkan al-haq dengan dalil, disertai semangat untuk membersihkan hati serta menyelamatkannya dari rasa dengki dan hasad terhadap sesama. Di samping itu, kaum muslimin juga wajib menjauhi sebab perpecahan dan saling boikot karena Allah l mewajibkan semuanya untuk berpegang dengan tali-Nya dan tidak berpecah belah.
“Berpeganglah kalian semua dengan tali Allah dan janganlah berpecah belah.” (Ali Imran: 103)
Nabi n bersabda,
إِنَّ اللهَ يَرْضى لَكُمْ ثَلاَثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلاَثًا: فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوْهُ وَلاَ تُشْركِوُاْ بِهِ شَيْئًا، وَأَنْ تَعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا…
“Sesungguhnya Allah ridha untuk kalian tiga hal dan membenci dari kalian tiga hal pula. Dia ridha untuk kalian agar kalian beribadah dan tidak menyekutukan-Nya sedikit pun, kalian berpegang dengan tali Allah semuanya, dan tidak berpecah belah….” (HR. Muslim no. 4456)
Ada beberapa kejadian di kalangan sebagian kaum muslimin—misalnya di Afrika—yang sampai bermusuhan serta saling mendiamkan karena masalah sedekap dan irsal ini. Peristiwa seperti ini jelas merupakan kemungkaran yang tidak boleh sampai terjadi. Yang semestinya, mereka saling menasihati dan berusaha saling memahami dalam mengetahui al-haq beserta dalilnya, dalam keadaan tetap menjaga rasa cinta, kasih sayang, dan ukhuwah imaniah di antara mereka.
Dahulu, para sahabat Rasulullah n dan ulama setelah mereka juga pernah berselisih dalam masalah-masalah furu’ (bukan masalah prinsip, seperti masalah akidah). Namun, perbedaan tersebut tidak menyebabkan mereka berpecah belah dan saling boikot karena tujuan mereka adalah ingin sampai kepada al-haq dengan dalilnya. Ketika al-haq itu tampak dan jelas bagi mereka, mereka pun bersepakat di atasnya. Ketika al-haq itu tersembunyi bagi sebagian mereka, pihak yang satu tidak sampai menganggap saudaranya sesat sehingga tidak menyebabkannya memboikot saudaranya, memutus hubungan dengannya, dan tidak mau shalat di belakangnya.
Oleh karena itu, kaum muslimin wajib bertakwa kepada Allah l dan berjalan di atas jalan salaf yang saleh dalam berpegang dengan al-haq, menjaga ukhuwah imaniah, dan tidak saling memutus hubungan serta saling boikot karena masalah furu’ yang terkadang tersembunyi dalilnya bagi sebagian orang sehingga ijtihad yang dilakukannya membawanya menyelisihi saudaranya dalam masalah hukum. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat al-Mutanawwi’ah, 11/141—143)
Guru kami yang mulia, al-Imam al-Muhaddits asy-Syaikh Muqbil ibnu Hadi al-Wadi’i t, pernah ditanya tentang pendapat yang kuat terkait dengan peletakan kedua tangan pada saat berdiri i’tidal.
Beliau t menjawab, “Dalam masalah ini urusannya mudah karena tidak ada dalil yang sahih lagi sharih (jelas) yang menunjukkan irsal dan yang menunjukkan sedekap. Oleh karena itu, kita tidak bisa mengatakan yang ini bid’ah dan tidak bisa pula mengatakan yang itu sunnah. Akan tetapi, ini adalah masalah ijtihad. Siapa yang meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya, lalu meletakkannya di atas dadanya setelah bangkit dari rukuk berarti ia telah mengambil keumuman dalil yang ada. Adapun yang melepas kedua tangannya (irsal) berarti ia juga telah mengambil dalil hadits yang disebutkan dalam Shahih Muslim yang kesimpulan maknanya menunjukkan Nabi n meletakkan tangan beliau yang kanan di atas tangan kiri beliau, tanpa ada penyebutan di atas dada. Kemudian dinyatakan, tatkala ingin rukuk, beliau melepas kedua tangan beliau dan tidak ada penyebutan beliau mengembalikan kedua tangan (ke posisi sedekap) setelah rukuk. Hadits yang lain dalam Musnad Ahmad menyebutkan bahwa Nabi n berkata tentang rukuk, ‘hingga setiap anggota kembali kepada persendiannya’, atau ucapan yang semakna dengan ini.
Adapun saya sendiri memilih posisi irsal, melepas kedua tangan setelah rukuk tanpa menganggap posisi sedekap sebagai bid’ah dan tidak mengingkari orang yang mengamalkannya. Dalam masalah ijtihad yang di dalamnya tidak ada dalil, urusannya mudah. Wallahul musta’an.” (Ijabatus Sa’il ala Ahammil Masa’il, hlm. 500)
Sujud
Berikutnya, Rasulullah n merunduk untuk turun sujud sebagai salah satu amalan rukun yang shalat menjadi tidak sah apabila ia tidak dikerjakan. Beliau melakukannya seraya bertakbir, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah z,
كَانَ n يُكَبِّرُ وَيَهْوِيْ سَاجِدًا
“Nabi n bertakbir dan merundukkan tubuhnya untuk turun sujud4.” (HR. al-Bukhari no. 789 dan Muslim no. 866)
Amalan ini pula yang beliau n ajarkan dan perintahkan kepada orang yang salah dalam shalatnya sebagaimana dalam riwayat Abu Dawud,
لاَ تَتِمُّ صَلاَةٌ لِأَحَدٍ مِنَ النَّاسِ حَتَّى… يَقُوْلُ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ؛ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَائِمًا ثُمَّ يَقُوْلُ: اللهُ أَكْبَرُ، ثُمَّ يَسْجُدُ حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِلُهُ
“Tidak sempurna shalat salah seorang dari manusia hingga…. Dia ucapkan (saat bangkit dari rukuk), ‘Sami’allahu liman hamidah.’ (Dia bangkit dari rukuk) hingga berdiri lurus. Kemudian dia berkata, ‘Allahu Akbar.’ Lalu sujud hingga tenang persendiannya.” (HR. Abu Dawud no. 857, dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Terkadang, Rasulullah n mengangkat kedua tangannya ketika takbir untuk sujud ini. Kabar ini disampaikan oleh sepuluh orang sahabat dalam hadits-hadits mereka. Hadits-hadits tersebut ada yang sahih dan ada yang tidak, namun (yang tidak sahih) bisa dijadikan sebagai syahid (penguat). Di antara hadits yang menyebutkan mengangkat tangan ini adalah hadits Malik ibnul Huwairits z,
أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ n رَفَعَ يَدَيْهِ فِي صَلاَتِهِ إِذَا رَكعَ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسهُ مِنَ الرُّكُوْعِ وَإِذَا سَجَدَ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السُّجُوْدِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا فُرُوْعَ أُذُنَيْهِ.
“Ia pernah melihat Nabi n mengangkat kedua tangannya dalam shalatnya ketika beliau rukuk dan ketika mengangkat kepalanya dari rukuk. Demikian pula ketika beliau sujud dan saat mengangkat kepalanya dari sujud, sampai beliau menyejajarkan kedua tangan beliau dengan ujung kedua telinga beliau.” (HR. an-Nasa’i no. 1085, Ahmad 3/436 & 437. Al-Imam Albani t mengatakan, “Sanadnya sahih menurut syarat Muslim.” [al-Ashl, 2/707])
Al-Imam an-Nasa’i t dalam Sunannya memberikan judul untuk hadits ini dalam dua bab: bab “Raf’ul Yadain lis Sujud” (Mengangkat dua tangan untuk sujud) dan bab “Raf’ul Yadain ‘indar Raf’i minas Sajdatil Ula” (Mengangkat kedua tangan ketika bangkit dari sujud yang pertama).
Amalan mengangkat tangan ketika takbir hendak sujud ini dilakukan kadang-kadang. Apabila Rasulullah n terus-menerus melakukannya, niscaya semua sahabat yang membawakan riwayat tentang mengangkat tangan ketika hendak sujud dan saat bangkit dari sujud akan menyebutkannya. Akan tetapi, kita dapatkan ada yang tidak menyebutkannya, bahkan meniadakannya.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(insya Allah bersambung)
Catatan Kaki:
1 Karena yang menjadi dalil bagi yang berpendapat sedekap setelah rukuk adalah nash yang umum, ditambah lagi bukan ucapan Nabi n sendiri.
2 Adapun sumber risalah tersebut berasal dari:
a. Kitab as-Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, jilid 5, hlm. 306—308.
b. Kaset Silsilatul Huda wan Nur.
c. Kitab Shifat Shalatin Nabi n, hlm. 105.
3 Karena beliau mengikuti pendapat yang menyatakan bersedekap ketika berdiri i’tidal.
4 Hadits ini memberikan faedah bahwa takbir diucapkan sejak tubuh digerakkan untuk turun sujud dari posisi semula berdiri lurus dan berakhir hingga posisi sujud. (Fathul Bari, 2/377)