Pertanyaan:
Mau tanya, kulit binatang haram apakah menjadi suci setelah disamak? Hujahnya? Syukran.
Ika—Pekalongan
Dijawab oleh al-ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini
Masalah kulit bangkai yang disamak diperselisihkan oleh ulama.
Di antara pendapat itu, pendapat yang mengatakan kulit bangkai secara umum tidak tersucikan dengan penyamakan. Ini riwayat yang paling masyhur dari Malik dan Ahmad yang menjadi mazhab bagi fuqaha Hanbali. Namun, keduanya membolehkan pemanfaatannya untuk sesuatu yang kering, tidak yang basah/lembab. Pendapat ini berdalil dengan hadits Abdullah bin ‘Ukaim,
كَتَبَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللهِ قَبْلَ وَفَاتِهِ بِشَهْرٍ :أَنْ لاَ تَنْتَفِعُوا مِنَ الْمَيْتَةِ بِإِهَابٍ وَلاَ عَصَبٍ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis kepada kami sebulan sebelum wafat, ‘Jangalah kalian memanfaatkan kulit bangkai dan urat syarafnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Mereka mengatakan bahwa hadits ini menghapus hadits-hadits pemanfaatan kulit bangkai setelah disamak. Akan tetapi, hadits ini diperselisihkan keabsahannya. Kebanyakan pakar hadits dari kalangan para hafizh (penghafal hadits), seperti Ibnu Ma’in, Abu Hatim ar-Razi, al-Baihaqi, al-Khaththabi,dan Ibnu Hajar, menghukuminya dha’if (lemah).
Ibnu Ma’in mengatakan, “Hadits tersebut bukan sesuatu (hujah).”
Abu Hatim ar-Razi, al-Khaththabi, dan al-Baihaqi menyatakannya mursal (putus antara Ibnu ‘Ukaim dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena Ibnu ‘Ukaim bukan sahabat.
At-Tirmidzi menukil bahwa pada mulanya al-Imam Ahmad berpendapat dengan hadits ini karena merupakan hukum terakhir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi akhirnya beliau meninggalkan hadits ini tatkala mendapati kegoncangan (idhthirab) pada sanadnya dengan sebagian mereka meriwayatkannya dari Ibnu ‘Ukaim, dari sekelompok syaikh dari Juhainah yang datang kepada mereka kitab dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berisi hadits tersebut. Al-Khallal juga meriwayatkan hal yang sama dari Ahmad.
Sementara itu, al-Albani menghukuminya sebagai hadits sahih. Alasannya, perselisihan riwayat itu bukan kegoncangan yang mencacati hadits, sedangkan klaim mursal itu pun tidak tepat. Sekelompok syaikh dari Juhainah tersebut adalah sahabat yang datang kepada mereka kitab dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas dibacakan kepada mereka, dan boleh jadi Ibnu ‘Ukaim hadir saat pembacaan kitab itu kepada mereka mengingat dia mendapati zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kendati tidak mendengar darinya—sebagaimana kata al-Bukhari dan lainnya.
Hal ini telah diakui sendiri oleh Ibnu Hajar dalam kitab Taqrib at-Tahdzib pada biografi Ibnu ‘Ukaim, ia berkata, “Abdullah bin ‘Ukaim al-Juhani, Abu Ma’bad al-Kufi, mukhadhram[1], dia telah mendengar kitab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ditulis kepada (kabilah) Juhainah.”
Alhasil, seandainya hadits itu sahih, tidak bisa dijadikan sebagai penghapus hadits-hadits yang menunjukkan bahwa penyamakan dapat menyucikan kulit bangkai. Sebab, tidak bisa dipastikan bahwa hadits ‘Ukaim datang belakangan setelah hadits-hadits tersebut.
Seandainya benar bahwa hadits ‘Ukaim yang terakhir datangnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetap tidak bisa dijadikan sebagai penghapus hadits-hadits sebelumnya, karena kedua dalil yang seakan bertentangan tersebut masih bisa dipadukan dengan metode al-jam’u baina ad-dalilain, yaitu dengan mengatakan bahwa hadits ‘Ukaim pada dasarnya tidak mengandung larangan pemanfaatan kulit bangkai setelah disamak, tetapi larangan pemanfaatannya sebelum disamak. Menurut sebagian ahli bahasa, kata ‘ihab’ ( إِهَابٌ ) digunakan untuk kulit yang belum disamak, sedangkan kulit yang sudah disamak dinamakan ‘adim’ (أَدِيمٌ).
Jika sistem pemaduan tersebut enggan diterima, harus ditempuh metode tarjih (memilih yang terkuat). Jika begitu, tentu saja hadits-hadits sahih yang menunjukkan kesucian kulit bangkai yang telah disamak lebih kuat dan lebih pantas diamalkan daripada hadits ‘Ukaim yang diperselisihkan keabsahannya.
Ada sebuah diskusi ilmiah yang menarik antara al-Imam asy-Syafi’i dan al-Imam Ishaq bin Rahawaih. Kata Ibnul Mulaqqin dalam al-Badru al-Munir, “Al-Hazimi meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu asy-Syaikh al-Hafizh bahwa ia berkata, ‘Telah dihikayatkan bahwasanya Ishaq bin Rahawaih berdebat ilmiah dengan asy-Syafi’i—sedangkan Ahmad bin Hanbal hadir—mengenai kesucian kulit bangkai apabila disamak.
Kata asy-Syafi’i, ‘Penyamakannya menjadikannya suci.’
Kata Ishaq, ‘Apa dalilnya?’
Kata asy-Syafi’i, ‘Hadits az-Zuhri, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah, dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, dari Maimunah radhiallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidakkah kalian memanfaatkan kulit bangkai itu?’[2]
Lantas Ishaq berkata kepadanya, ‘Bagaimana dengan hadits Ibnu ‘Ukaim, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis kepada kami sebulan sebelum wafat, ‘Janganlah kalian memanfaatkan kulit bangkai dan urat syarafnya’.” Hadits ini semacam hukum baru yang menghapuskan hadits Maimunah radhiallahu ‘anha, karena datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebulan sebelum wafatnya.’
Kata asy-Syaifi’i, ‘Ini adalah kitab (ditulis oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), sedangkan itu adalah sama’ (sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang didengar langsung darinya).’[3]
Kata Ishaq lagi, ‘Jika demikian, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menulis surat kepada Kisra dan Kaisar, lantas itu menjadi hujah di kalangan ahli hadits di sisi Allah.’
Akhirnya asy-Syafi’i terdiam.
Tatkala Ahmad mendengar hasil perdebatan keduanya, ia lantas berpendapat mengikuti hadits Ibnu ‘Ukaim dan berfatwa dengannya, sedangkan Ishaq sendiri justru rujuk kepada hadits (hujah) asy-Syafi’i.”
Wallahu a’lam.[4]
Jika telah jelas kelemahan mazhab ini, tampaklah bahwa yang benar adalah pendapat yang mengatakan bahwa kulit bangkai akan tersucikan dari kenajisannya dengan penyamakan sehingga bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, baik untuk sesuatu yang kering maupun basah.[5] Ini adalah mazhab Abu Hanifah, asy-Syafi’i, riwayat lain dari Malik dan Ahmad, serta pendapat jumhur ulama. Pendapat ini yang dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, ash-Shan’ani, asy-Syaukani, Ibnu Baz, al-Albani, dan Ibnu ‘Utsaimin.
Dalilnya adalah hadits-hadits berikut:
إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ.
“Jika kulit bangkai disamak, sungguh menjadi suci.” (HR. Muslim)
Pada riwayat Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah dengan lafadz,
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ.
“Kulit bangkai apa saja yang disamak maka sungguh menjadi suci.” (Dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 2711)
مَرَّ عَلَى رَسُولِ اللهِ رِجَالٌ مِنْ قُرَيْشٍ يَجُرُّونَ شَاةً لَهُمْ مِثْلَ الْحِمَارِ، فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللهِ :لَوْ أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا؟ قَالُوا :إِنَّهَا مَيْتَةٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ : يُطَهِّرُهَا الْمَاءُ وَالْقَرَظُ.
“Beberapa pria Quraisy yang sedang menarik (bangkai) kambing sebesar keledai melintas di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada mereka, ‘Sekiranya kalian memanfaatkan kulitnya?’ Mereka berkata, ‘Sesungguhnya kambing ini adalah bangkai.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Kulitnya dapat disucikan dengan air dan qarazh[6].” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan lainnya. Dinyatakan sahih oleh al-Albani dengan penguatnya dalam ash-Shahihah)[7]
أَنَّ رَسُولَ اللهِ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ أَتَى عَلَى بَيْتٍ فَإِذَا قِرْبَةٌ مُعَلَّقَةٌ، فَسَأَلَ الْمَاءَ فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّهَا مَيْتَةٌ. فَقَالَ: دِبَاغُهَا طُهُورُهَا.
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada perang Tabuk mendatangi sebuah rumah, ternyata ada geriba yang digantung. Lantas Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam minta air. Mereka menjawab, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya geriba itu dari bangkai.’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Penyamakannya adalah kesuciannya’.”
Riwayat Ahmad lainnya dengan lafadz,
دِبَاغُهَا طُهُورُهَا أَوْ ذَكَاتُهَا.
“Penyamakannya adalah kesuciannya atau penyembelihannya.”
Riwayat Ahmad dan an-Nasa’i dengan lafadz,
دِبَاغُهَا ذَكَاتُهَا.
“Penyamakannnya adalah penyembelihannya.”
Riwayat Ibnu Hibban dengan lafadz:
ذَكَاةُ الْأَدِيْمِ دِبَاغُهَ.
“Penyembelihan kulit bangkai adalah penyamakannya.”
Pada sanadnya terdapat Jaun bin Qatadah yang diperselisihkan keadaannya. Kata an-Nawawi dalam al-Majmu’, “Sanadnya sahih, hanya saja Jaun diperselisihkan. Ahmad mengatakan bahwa dia majhul (tidak dikenal), sedangkan Ibnul Madini mengatakan bahwa dia ma’ruf (dikenal).”
Ibnul Mulaqqin juga telah berbicara panjang lebar tentang Jaun lebih dari keterangan an-Nawawi dalam kitab al-Badru al-Munir, dan ia menyatakan hadits ini sahih.[8]
Kata al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Taqrib at-Tahdzib, “Maqbul (diterima)”, yakni diterima jika riwayatnya diikuti oleh rawi lain.
Kata al-Albani dalam al-Misykat (no. 511), “Sanadnya hasan untuk penguat.” Terdapat hadits-hadits lain yang saling menguatkan dengannya sehingga dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam kitab Shahih Sunan Abi Dawud (no. 4125), Shahih Sunan an-Nasa’i (no. 4254), dan Ghayatul Maram (no. 26).
Di antara penguatnya adalah hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang juga datang dengan dua lafadz seperti di atas. Riwayat Ahmad, an-Nasa’i, dan Ibnu Hibban[9]:
سُئِلَ النَّبِيُّ عَنْ جُلُودِ الْمَيْتَةِ فَقَالَ: دِبَاغُهَا طُهُورُهَا.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang kulit bangkai. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Penyamakan adalah kesuciannya.”
Riwayat an-Nasa’i lainnya dengan lafadz:
ذَكَاةُ الْمَيْتَةِ دِبَاغُهَ.
“Penyembelihan bangkai adalah penyamakannya.”
Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ (no. 3432) dan Shahih an-Nasa’i (no. 4255, 4256, 4257, 4258).
Akan tetapi, ada perbedaan pendapat di antara jumhur ulama mengenai rincian kulit bangkai binatang apa saja yang dapat tersucikan dengan penyamakan.
Ini adalah mazhab Dawud azh-Zhahiri dan Ibnu Hazm azh-Zhahiri yang dirajihkan oleh ash-Shan’ani dan asy-Syaukani. Dalilnya adalah keumuman makna hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma di atas,
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ.
“Kulit bangkai apa saja yang disamak maka sungguh menjadi suci.”
Dalilnya adalah keumuman makna hadits-hadits tersebut di atas, kecuali hewan yang memang najis semasa hidupnya tidak bisa disucikan kulitnya dengan penyamakan selamanya. Pendapat ini adalah mazhab Abu Hanifah, salah satu riwayat dari asy-Syafi’i yang menjadi mazhab bagi ahli fikih mazhab Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Ahmad. Ini salah satu pendapat Ibnu Taimiyah—sebagaimana dalam al-Ikhtiyarat dan al-Inshaf. Dalam hal ini asy-Syafi’i dan Ahmad memperkecualikan babi dan anjing karena meyakini keduanya najis, sedangkan Abu Hanifah hanya memperkecualikan babi karena meyakini anjing adalah suci kecuali air liurnya najis.
Ini adalah riwayat lain dari asy-Syafi’i dan Ahmad. Ini pendapat kedua Ibnu Taimiyah yang menurutnya berhasil memadukan seluruh hadits-hadits dalam masalah ini—sebagaimana dalam Majmu’ al-Fatawa. Ini pula yang dipilih oleh as-Sa’di dan Ibnu ‘Utsaimin.
Dalilnya adalah hadits Salamah bin al-Muhabbiq radhiallahu ‘anhu dan hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha di atas yang menyebutkan bahwa penyamakan kulit bangkai berkedudukan seperti penyembelihan hewan itu. Artinya, penyamakan dapat menyucikan kulit bangkai hewan yang tergolong halal dimakan melalui penyembelihan. Adapun yang haram dimakan meskipun disembelih secara syar’i, kulitnya tidak bisa disucikan dengan penyamakan. Apalagi anjing dan babi yang pada asalnya memang najis, lebih jelas lagi tidak bisa disucikan dengan penyamakan selamanya.
Hal ini semakin kuat dengan hadits al-Miqdam bin Ma’dikarib radhiallahu ‘anhu yang berkata kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma,
نَهَى shallallahu ‘alaihi wa sallam فَأَنْشُدُكَ بِاللهِ، هَلْ تَعْلَمُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ عَنْ لُبْسِ جُلُودِ السِّبَاعِ وَالرُّكُوبِ عَلَيْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ.
“Aku menyumpahmu demi Allah, apakah engkau tahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dari memakai kulit hewan buas dan menjadikannya sebagai pelana?”
Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu menjawab, “Ya.” (HR. Abu Dawud dan an-Nasa’i. Dinyatakan sahih oleh al-Albani dan memiliki penguat)[10]
Ibnu Baz rahimahullah berfatwa agar berhati-hati dalam permasalahan ini dengan memilih pendapat ini.
Alhasil, yang terbaik adalah pendapat ketiga demi kehati-hatian.
Wallahu a’lam.[11]
[1] Mukhadhram adalah orang yang hidup mendapati masa jahiliah dan masa kenabian tetapi tidak sempat berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ia beriman dan mati di atas Islam.
[2] Hadits ini akan kami sebutkan nanti secara lengkap insya Allah.
[3] Maksudnya, hadits Maimunah radhiallahu ‘anha lebih kuat daripada hadits ‘Ukaim.
[4] Lihat kitab Talkhish al-Habir (1/76—78), al-Badru al-Munir (1/587—600), dan al-Irwa’ (1/76—79, no. 38).
[5] Seperti pada hadits ‘Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya berwudhu dari mazadah (kantong air yang terbuat dari kulit bangkai yang telah disamak) milik wanita musyrik, padahal sembelihan orang musyrik adalah bangkai.
[6] Sejenis tumbuhan. An-Nawawi menegaskan bolehnya penyamakan dengan apa saja yang dapat menyerap keluar kotoran yang ada dalam kulit bangkai, membersihkannya, dan mencegahnya dari kerusakan (mengawetkannya).
Contohnya, qarazh, kulit delima, syabb (batu tawas), dan obat-obatan yang suci semacamnya. Ibnu Qudamah juga menyatakan hal yang semakna dengan ini. Setelah itu, wajib dicuci dengan air untuk menyucikannya, menurut pendapat yang terkuat. Ini yang dirajihkan oleh Ibnu Qudamah.Wallahu a’lam.
Lihat kitab al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim (4/Kitab ath-Thaharah, pada Bab “Thaharah Julud al-Maitah bi ad-Dibagh”), al-Majmu’ (1/276—281), dan al-Mughni (1/95—96).
[7] Pada sanadnya terdapat dua rawi yang tidak dikenal, tetapi memiliki penguat (syahid) dari hadits Ibnu ‘Abbas rahimahullah riwayat ad-Daraquthni dan al-Baihaqi dengan sanad yang dihukumi oleh al-Albani sebagai hadits sahih menurut syarat al-Bukhari-Muslim. Lengkapnya lihat ash-Shahihah (5/no. 2163).
[8] Lihat kitab al-Badru al-Munir (1/608—612, Darul Hijrah, program Maktabah Syamilah).
[9] Pada Kitab ath-Thaharah, Bab “Julud al-Maitah” , no. 1290.
[10] Lihat kitab ash-Shahihah (3/no. 1011).
[11] Lihat kitab al-Muhalla (1/no. 129), Bidayah al-Mujtahid (1/78—79), al-Mughni (1/89—95), al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim (4/Kitab ath-Thaharah, pada Bab “Thaharah Julud al-Maitah bi ad-Dibagh”), al-Majmu’ (1/268, 270—276), Majmu’ al-Fatawa (21/90—96), al-Ikhtiyarat (hlm. 42), Zadul Ma’ad (5/757—758), al-Inshaf (1/86—87), Nailul Authar (1/Bab “Ma Ja’a fi Tathhir ad-Dibagh”), Subulus Salam (Kitabath-Thaharah, Bab “al-Aniyah”, syarah hadits Ibnu ‘Abbas, hadits Salamah, dan haditsMaimunah), al-Mukhtarat al-Jaliyyah (hlm. 42—43), ats-Tsamar al-Mustathab (hlm. 6—7), Majmu’ Fatawa Ibni Baz (6/354), asy-Syarh al-Mumti’ (1/85—92), dan Fath Dzil Jalal wal Ikram.