Awal tahun 90-an. Seorang pemuda duduk termenung. Dari balik kaca jendela bus, matanya menerawang ke arah luar. Menatap pepohonan dan lalu lalang manusia yang dilewati bus yang meluncur menuju Semarang. Tak ada kawan bercakap. Hanya sesekali terdengar teriakan kondektur untuk menghentikan laju bus.
Siang itu, saat bus singgah di Salatiga, seorang paruh baya naik. Orang itu duduk di samping sang pemuda. Bus pun merayap perlahan. Meninggalkan Kota Salatiga yang dikenal sebagai salah satu basis kristenisasi di Jawa Tengah. Di kota itu pula berdiri universitas Kristen besar: Satya Wacana.
“Mau ke mana, mas?” tanya orang paruh baya itu kepada sang pemuda.
“Ke Jepara,” jawab pemuda itu datar.
Melihat lawan bicaranya lebih banyak diam, orang paruh baya itu semakin banyak bicara.
Awalnya, ia cuma bertutur tentang pengalaman hidupnya. Saat bercerita sesekali menyebut kosa kata beraroma kekristenan. Semakin panjang dirinya mengungkap kisah, semakin berani mengajak sang pemuda untuk berkeyakinan seperti dirinya. Mulailah ia mengutip isi Bibel. Berbicara tentang keselamatan hidup dan pengampunan.
Orang paruh baya itu ternyata tengah menunaikan misi. Berupaya membetot setiap orang agar menjadi gembalaannya. Bergiat mengajak manusia untuk berkubu dengannya dalam bingkai kenasranian.
Melihat perangai jahat dari orang paruh baya itu, sang pemuda mulai gerah. Tauhid yang menjadi prinsip hidup seorang muslim pun disampaikan. Sementara itu, prinsip trinitas yang menjadi keyakinan orang paruh baya itu digugat.
Beberapa pernyataan sang pemuda itu menjadikan orang paruh baya tersebut terdiam. Ia mulai membisu. Entah, apa yang ia pikirkan. Semoga Allah ‘azza wa jalla memberi hidayah kepadanya.
Tak selang berapa lama, orang paruh baya itu bangkit dari tempat duduknya, lalu memberi aba-aba agar bus berhenti. Orang paruh baya itu turun lalu menghilang dari pandangan mata.
Kisah kristenisasi terselip jua di sudut Kota Solo. Gereja Bakung, yang terletak di dekat batas kota, hari itu ramai dikunjungi orang.
Hari itu, beberapa mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Malang tengah menunaikan misi. Mereka serempak mendatangi rumah-rumah penduduk dan mengajak untuk berkunjung ke gereja. Di antara mereka ada yang ditugasi membagikan bingkisan sembako. Sebuah aksi menantang.
Upaya memurtadkan kaum muslimin pun terus digencarkan. Militansi para mahasiswa teologi ini tampak tak terukur. Orang-orang yang secara nyata mengaku sebagai muslim pun tetap disambangi. Mereka berupaya memurtadkannya.
Karena aksinya yang meresahkan masyarakat, warga pun mengadukan kepada pihak berwajib. Aparat keamanan pun bergerak. Gereja Bakung didatangi pihak aparat.
Para misionaris tak pernah diam. Mereka terus bergerak, berupaya memurtadkan kaum muslimin.
Seorang dokter yang bertugas di Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo Jakarta tertangkap tangan saat berupaya menyebarkan kekristenannya kepada mantan Perdana Menteri RI, Muhammad Natsir.
Saat itu, Mantan Perdana Menteri tengah terbaring lemah karena sakit keras. Di kamar inap Mantan Perdana Menteri, diputar lagu-lagu kerohanian gereja oleh sang dokter yang merangkap sebagai misionaris.
Pihak keluarga yang mengetahui tindakan sang dokter, lantas mengadukan masalah tersebut kepada pihak berwenang. Sang dokter pun dipecat dan diganjar dengan beragam sanksi lainnya.
Misi untuk menyebarkan agama Kristen terus berlanjut. Dari masa ke masa, kaderisasi misionaris senantiasa berlangsung. Sekolah-sekolah teologi tak pernah sepi. Para mahasiswanya pun tak cuma dibekali pemahaman kekristenan, lebih dari itu mereka dibekali dengan pelajaran Bahasa Arab, Ilmu Tafsir al-Qur’an, Sejarah Islam, dan mata kuliah lainnya. Tekad mereka untuk menggembala selalu berkobar. Gerakan pemurtadan tak pernah henti. Cerita anak gembala banyak menyeruak di pelosok negeri.
Allah ‘azza wa jalla telah mengingatkan kaum muslimin terhadap tekad baja kaum Yahudi dan Nasrani. Firman-Nya,
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha kepadamu hingga dirimu mengikuti ajaran agama mereka.” (al-Baqarah: 120)
Beberapa kisah di atas hanya secuplik contoh dari sekian banyak kasus kristenisasi yang berserak di negeri ini.
Abad Misi
Abad kesembilan belas merupakan “abad misi”. Abad pergerakan bagi para misionaris. Peran gereja begitu dominan. Tak terkecuali di daerah koloni, seperti Hindia Belanda (sekarang: Indonesia), para misionaris pun menancapkan kukunya.
Dalam Regeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie (Almanak Pemerintah Hindia Belanda) disebutkan bahwa tahun 1850 hanya ada 17 pendeta, 27 misionaris Protestan, dan 9 pastor Katolik Roma. Tahun 1900, terjadi peningkatan jumlah hingga 77 pendeta, 73 misionaris, dan 49 pastor. Setelah tahun 1900, peningkatan semakin meninggi. (Kawan Dalam Pertikaian Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia [1596—1942], Karel Steenbrink, hlm. 143)
Di antara misionaris yang pernah menjalankan aksinya di Hindia Belanda ialah Samuel Eliza Harthoon. Ia datang bersama sang istri pada 1854. Sejak akhir 1855, ia mempelajari bahasa Jawa. Harthoon ditugaskan menjalankan aksi misionarisnya di Malang.
Tersebut juga nama Carel Poensen yang datang ke Jawa pada 1860. Ia merupakan petugas dari Masyarakat Misionaris Belanda. Poensen ditempatkan di Kediri sebagai misionaris. Poensen adalah misionaris yang memiliki gagasan membangun komunitas Kristen dalam satu wilayah. Sebab, menurutnya, tidaklah mungkin akan terbentuk masyarakat Kristen bila masing-masing penganut Kristen bercerai-berai.
Misionaris lainnya, Pastor F. Van Lith S.J. membuka misi Katolik di Muntilan, Magelang, Jawa Tengah, pada 1896. Ia tekun mempelajari bahasa dan kebudayaan Jawa. Pada 1904 ia membuka sekolah pendidikan guru yang kemudian menjadi pusat kegiatan Katolik di Jawa. Kaderisasi melalui sekolah pendidikan guru ini berhasil membentuk basis elite Katolik yang menopang aksi-aksi misionaris pada masyarakat Jawa. (Kawan Dalam Pertikaian, hlm.144—159)
Di Kabupaten Poso, penyebaran Kristen dilakukan oleh Albertus Christian Kruyt dari Belanda. Setelah mempelajari budaya lokal masyarakat pedalaman Poso, ia mulai beranjak menawarkan misinya. Tujuh belas tahun dirinya bergumul dengan masyarakat pedalaman Poso. Akhirnya, pada 25 Desember 1909, ia berani menyelenggarakan pembaptisan untuk kali pertama.
Melihat sejarah awal upaya kristenisasi di Indonesia, tak mengherankan bila kristenisasi di Indonesia pada masa sekarang melibatkan jaringan internasional.
Mengapa?
Karena sejak awal para misionaris bukan orang-orang Hindia Belanda (baca: orang Indonesia) melainkan orang asing, khususnya Belanda. Sisi lain juga terungkap, kristenisasi yang dilakukan oleh para misionaris berjalan di bawah kelembagaan yang resmi. Kelembagaan itu bisa atas nama gereja, persekutuan gereja, atau bersifat swadaya masyarakat Kristen. Melalui kelembagaan yang ada, mereka bersinergi untuk mengkristenkan satu wilayah, memurtadkan kaum muslimin. Nas’alullaha as-salamah.
Karena itu, kaum muslimin hendaknya membangun kesadaran berislam yang benar. Kesadaran yang dilandasi ilmu sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah selaras pemahaman salafus saleh. Niscaya, kesesatan tak menghampirinya, justru keselamatan akan diraihnya dengan izin Allah ‘azza wa jalla.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda saat haji wada’,
تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ؛ كِتَابَ اللهِ
“Aku tinggalkan pada kalian sesuatu yang kalian tak akan tersesat selama berpegang padanya, yaitu kitabullah.” (HR. Muslim no.1297)
Kolonialisasi (Penjajahan) Berwajah Gereja
Menilik data di atas, gerakan misionaris tak bisa dilepaskan dengan misi kolonial. Apabila ditelisik lebih jauh, pemerintah kolonial bahkan harus bisa bekerja sama dengan gerakan misionaris bila kolonialisasi ingin terus berlangsung. Misionaris membawa misi untuk mengurangi kekuatan dan pengaruh Islam. Melalui gerakan misionaris ini, diharapkan umat Islam akan terkurangi secara populasi. Itu berarti mengurangi kekuatan pihak yang menjadi lawan pemerintah Hindia Belanda yang sebagian besar adalah kaum muslimin.
Bagi kalangan misionaris, Islam adalah musuh yang menakutkan yang tidak harus diserang secara langsung, tetapi setahap demi setahap dikurangi kekuatannya. Tentu saja, hal itu dilakukan dengan beragam cara, seperti melalui bidang pendidikan, ekonomi, politik, dan sosial budaya. Dengan cara seperti ini, para misionaris menghindari konfrontasi langsung secara fisik dengan kaum muslimin. Mantan zendings consul, Van Randwijck menyebut strategi ini dengan sebutan “Strategi Memangkas Islam”. (Kawan Dalam Pertikaian, hlm.144)
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut-mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya.” (ash-Shaff: 8)
“Mereka membuat makar (tipu daya), dan Allah pun membuat tipu daya pula. Dan Allah-lah sebaik-baik pembuat makar.” (al-Anfal: 30)
Hubungan misionaris dengan kolonial bisa diungkap dari bantuan finansial (dana) yang diberikan oleh pemerintah kolonial untuk berbagai aktivitas misionaris. Para misionaris mendapat dukungan politik, administratif, dan finansial di sejumlah daerah tempat Islam dikhawatirkan berkembang pesat.
Bantuan pemerintah kolonial itu ditujukan guna membendung laju Islam di daerah-daerah, seperti di wilayah Tapanuli, Sumatra Utara, sehingga wilayah yang banyak dihuni masyarakat bersuku Batak ini tidak memeluk Islam.
Begitu pula Sulawesi Selatan, yang jatuh ke pihak Belanda tahun 1905. Gubernur daerah menyokong secara moral dan finansial kepada para misionaris. Tujuannya, agar suku Toraja, Muria, dan suku lain tidak memeluk Islam. Dukungan dana dari kolonial terus mengalir kepada para misionaris. Sokongan dana diarahkan juga untuk mempertahankan kenasranian penduduk di Pulau Mentawai. (Kawan Dalam Pertikaian, hlm.149—150)
Pemberian bantuan pemerintah kolonial Belanda tentu menguntungkan kolonialisasi di Hindia Belanda yang berpenduduk muslimin. Tak mengherankan apabila Gubernur Jenderal di Hindia Belanda (1909—1916), Idenburg, pernah sesumbar bahwa Belanda akan tetap menguasai Hindia Belanda (Indonesia) hingga agama Nasrani menjadi agama bangsa tersebut. Sebuah pernyataan yang menggambarkan kolonialisasi berwajah gereja.
Bahkan, Van Limburg Stirum, Gubernur Jenderal baru Hindia Belanda (1916—1921) pengganti Idenburg, masih meneruskan kebijakan gubernur jenderal sebelumnya untuk menyuplai dana bagi kegiatan misionaris.
Di antara yang mendapat perhatian pemerintah kolonial adalah bidang pendidikan. Melalui pendidikan, misionaris mengembangkan gerakan dan pemahaman agamanya hingga tertanam dalam masyarakat. Melalui pendidikan, kaum misionaris mencetak kader-kader militan yang berdaya guna bagi penyebaran kristenisasi.
Mewaspadai Gerakan Kristenisasi
Allah ‘azza wa jalla telah mengabarkan perihal tekad kaum Yahudi dan Nasrani untuk mengajak setiap manusia ke dalam agamanya. Selama manusia belum mengikuti ajaran agamanya, mereka akan terus memengaruhi dengan segala cara, baik secara halus maupun dengan kekerasan.
Perjalanan panjang sejarah kaum Muslimin telah memberi gambaran nyata terhadap sepak terjang Yahudi dan Nasrani. Yahudi dengan gerakan zionisnya. Nasrani dengan gerakan salibisnya. Mereka akan senantiasa tidak rela terhadap keimanan yang tumbuh pada diri kaum Muslimin.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah pada Taisir al-Karimi ar-Rahman fi Tafsiri Kalami al-Mannan, tafsir surat al-Baqarah ayat 120, berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang yang berdakwah, mengajak, dan menyeru manusia ke dalam agama mereka. Mereka berbuat demikian lantaran mereka merasa berada di atas petunjuk. Mereka merasa di atas kebenaran, padahal senyatanya di ata kesesatan. Mereka tidak berpegang pada petunjuk yang benar, tetapi mengikuti hawa nafsunya.
Bagaimana tidak?
Yahudi menjadikan Uzair sebagai anak Allah ‘azza wa jalla. Nasrani menjadikan Isa al-Masih q sebagai anak Allah ‘azza wa jalla. Mereka mempersekutukan Allah ‘azza wa jalla dengan makhluk-Nya.
Sungguh, bentuk kezaliman yang nyata telah mereka perbuat. Sikap dan tindakan mereka didasari oleh hawa nafsu belaka. Mereka adalah kaum yang arogan, congkak, dan sombong lantaran menolak risalah yang telah disampaikan oleh Rasul utusan Allah ‘azza wa jalla kepada mereka.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan orang-orang Yahudi berkata, ‘Uzair putra Allah,’ dan orang-orang Nasrani berkata, ‘Al-Masih putra Allah.’ Itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka. Mereka meniru ucapan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah melaknat mereka, bagaimana mereka sampai berpaling?” (at-Taubah: 30)
Karena itu, terlarang keras mengikuti hawa nafsu orang-orang Yahudi dan Nasrani. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya).’ Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah.” (al-Baqarah: 120)
Asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan ayat di atas, Allah ‘azza wa jalla memberikan kabar kepada Rasul-Nya bahwa sesungguhnya Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali apabila beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikuti agama mereka. Sebab, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang mengajak pada agamanya. Mereka meyakini bahwa mereka berada di atas petunjuk. Katakanlah kepada mereka, “Sesungguhnya petunjuk Allah ‘azza wa jalla itulah petunjuk (yang sebenarnya). Adapun diri kalian berada di atas hawa nafsu.”
“Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah.”
Ayat ini memuat larangan yang sangat besar dalam hal mengikuti hawa nafsu Yahudi dan Nasrani serta bertasyabuh (meniru) mereka dalam keagamaan mereka secara khusus. (Tafsir Taisir al-Karimi ar-Rahman, hlm. 50)
Larangan tegas tersebut merupakan peringatan bagi kaum muslimin untuk senantiasa mewaspadai tipu daya orang Yahudi dan Nasrani. Hendaknya kaum muslimin tidak terkecoh oleh beragam aksi mereka sehingga mau berlunak hati padanya. Padahal aksi yang mereka perbuat secara nyata adalah dalam rangka menjajakan syiar-syiar keagamaannya.
Contoh kasus, terkait hari raya agama, dibuatlah pembedaan antara aspek ‘ritual’ yang hanya melibatkan umat agama itu saja dan aspek ‘seremonial’ yang di dalamnya umat agama lain dibolehkan ikut serta.
Pembedaan semacam ini merupakan bentuk syubhat (kerancuan) pemahaman yang terus dipompakan kepada kaum muslimin. Bagaimana mungkin sebuah ‘hari raya agama’ bisa dipilah dalam bentuk ‘ritual’ dan ‘seremonial’, padahal bentuk ‘ritual’ atau ‘seremonial’ lahir dari sebuah keyakinan agama, lahir dari sebuah semangat ingin menampilkan syiar keagamaan, dan lahir dari kekhususan yang menyangkut perkara agama?
Jangan mengikuti hawa nafsu Yahudi maupun Nasrani, jangan pula bertasyabuh (meniru) dalam ibadah khusus agama mereka. Pemilahan ‘ritual’ dan ‘seremonial’ hanya akal-akalan para penyeru pluralisme yang menginginkan kedamaian antarumat beragama. Pemilahan itu tampak terlalu dipaksakan.
Apa yang Harus Dilakukan Apabila Terjadi Kristenisasi?
Para misionaris dahulu dengan masa kini tentu berbeda. Walau misi yang didakwahkan tetap sama, namun metode yang ditempuh sudah berbeda. Dahulu, mereka biasa melakukan secara terang-terangan. Kini, kesan itu sudah nyaris tak terdengar.
Mereka bermain secara halus, bahkan cenderung menghindari publisitas, sembunyi-sembunyi. Seiring dengan peraturan dan perundangan yang banyak berubah terkait hubungan antarumat beragama, para misionaris banyak mengubah cara dakwah.
Dahulu begitu mudah didapat pamflet, selebaran, majalah, atau buku yang disampaikan oleh para misionaris. Kini, nyaris tidak terdengar mereka menyebarkannya. Dalam hal pendirian gereja saja, mereka sangat berhati-hati. Khawatir timbul resistensi (penolakan) dari warga beragama Islam.
Karena itu, mereka biasanya bergerak sembunyi-sembunyi saat mengumpulkan tanda tangan warga, lantas tiba-tiba gereja berdiri.
Apabila disinyalir kuat ada gerakan kristenisasi, hendaknya kaum muslimin merapatkan barisan. Di antara kaum muslimin hendaknya ada yang mempelajari ketentuan yang diberlakukan pemerintah terkait dengan penyiaran agama, seraya berupaya mengumpulkan data dan bukti telah terjadinya kristenisasi. Data dan bukti bisa dalam bentuk buku, pamflet, selebaran, maupun majalah yang berisi ajakan untuk beralih ke agama Kristen.
Catat setiap kesaksian dan peristiwa. Hindari main hakim sendiri. Jangan terpancing untuk bertindak anarkis. Laporkan kepada pihak berwajib aksi yang dilakukan oleh para misionaris. Waspadai setiap kegiatan mereka. Sebab, ada di antara mereka yang telah berbaur dengan masyarakat sehingga secara halus bisa memengaruhinya.
Sekarang adalah era keterbukaan. Tentu saja, pihak gereja atau misionaris bekerja secara cermat agar tidak kontraproduktif. Keadaan semacam ini yang harus dicermati secara saksama.
Satu hal yang tidak boleh ditinggalkan oleh kaum muslimin ialah tetap memberikan pembinaan kepada segenap warga beragama Islam. Caranya, menumbuhkan kesadaran beragama yang benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bekali umat dengan ilmu agama yang benar, sebagaimana para salafus saleh (para sahabat, tabi’in, dan tabiut tabi’in) telah mengajarkan dan mengamalkannya. Semoga dengan itu menjadi penangkal yang kokoh terhadap arus kristenisasi. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imran: 19)
“Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” (Ali Imran: 85)
Menghadapi tipu daya kaum Nasrani di Indonesia perlu kesungguhan. Di antara upaya mereka dalam melumpuhkan kaum muslimin adalah dengan isu pluralisme. Dosen, mahasiswa, dan pelajar menjadi target utama. Di antara programnya adalah mengajak sebagian mereka menetap beberapa hari di tengah keluarga Nasrani, mengajak berkunjung ke gereja, melihat bagaimana kaum Nasrani beribadah di gereja.
Mereka tidak didakwahi secara lisan. Mereka hanya diminta untuk melihat dan mengamati, itu saja. Dari situ, akan timbul kekaguman terhadap agama orang lain. Nas’alullaha as-salamah. Kita berlindung kepada Allah ‘azza wa jalla dari tipu daya mereka.
Jangan ikuti hawa nafsu mereka. Jangan ikuti kesesatannya.
Allahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abul Faruq Ayip Syafruddin