Di kalangan umat, muncul perbedaan yang demikian mencolok dalam menyikapi Ahlul Bait (keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Ada yang demikian tinggi memuliakan mereka—sampai menganggap sebagian Ahlul Bait sebagai Tuhan—ada pula yang demikian merendahkan dan membenci mereka.
Ahlus Sunnah, sebagai kelompok yang senantiasa bersikap pertengahan, memiliki sikap memuliakan mereka namun tidak terlalu berlebihan. Karena Ahlul Bait juga manusia biasa, yang kemuliaan mereka tergantung pada agama mereka.
Siapakah Ahlul Bait?
Ahlul Bait (أَهۡلُ ٱلۡبَيۡتِ) merupakan sebutan lain dari Alul Bait (أَلُ ٱلۡبَيۡتِ) dan Al-’Itrah (الْعِتْرَةَُ), sebagaimana yang dinyatakan al-Imam asy-Syafi’i, al-Imam Ahmad, asy-Syarif Abu Ja’far, dan yang lainnya. (Minhajus Sunnah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [7/75] dan Daf’ul Kadzibil Mubin, karya Dr. Abdul Qadir bin Muhammad ‘Atha hlm. 27)
Mereka adalah keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik keluarga yang tinggal serumah dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (yakni para istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam) maupun keluarga yang terkait hubungan nasab dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang tidak diperbolehkan memakan harta shadaqah. Mereka adalah semua Bani Hasyim, semua putri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga anak cucu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari kiamat. Demikian pula Bani al-Muththalib menurut salah satu pendapat para ulama. (Lihat ash-Shawa’iq al-Muhriqah, karya al-Imam Ahmad bin Hajar al-Haitami hlm. 222, dan Minhajus Sunni, 4/595, 7/239—240)
Bagaimanakah Menyikapi Ahlul Bait?
Secara garis besar, ada tiga kelompok manusia yang berkontroversi di dalam menyikapi Ahlul Bait.
Mereka adalah orang-orang yang sangat berlebihan di dalam memuliakan dan mengultuskan Ahlul Bait (versi mereka)[1], bahkan di antara mereka (yakni kelompok Saba’iyyah) memosisikan ‘Ali bin Abi Thalib sebagai Tuhan yang berhak diibadahi. (lihat Firaq Mu’ashirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Iwaji, juz 1, hlm. 144—146)
Mereka juga menyatakan bahwa para imam Ahlul Bait adalah ma’shum (terjaga dari segala dosa) dan mengetahui perkara-perkara gaib. Sebagaimana disebutkan al-Kulaini dalam kitabnya al-Kaafi (setingkat Shahih al-Bukhari di sisi Ahlus Sunnah) Kitabul “Hujah” juz 1, hlm. 149, dengan menukil (secara dusta) perkataan Ja’far ash-Shadiq (salah seorang Imam Ahlul Bait),
“Kami adalah perbendaharaan ilmu Allah subhanahu wa ta’ala, kami adalah penerjemah wahyu Allah subhanahu wa ta’ala, kami adalah kaum yang ma’shum, Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan (umat manusia) untuk menaati kami dan melarang mereka untuk menyelisihi kami… Kami adalah hujah Allah subhanahu wa ta’ala yang kokoh atas seluruh makhluk yang berada di bawah naungan langit dan berpijak di atas bumi.”
Adapun keyakinan bahwa para imam Ahlul Bait mengetahui perkara-perkara gaib, maka bisa dilihat dalam kitab al-Kaafi pula juz 1, hlm. 200-203 Kitabul Hujah, bab ‘Sesungguhnya para imam mengetahui sesuatu yang telah terjadi dan yang akan terjadi dan tidak ada sesuatu pun yang terluput dari mereka.’
Mereka juga berkeyakinan bahwa para imam Ahlul Bait lebih mulia dari malaikat dan nabi, sebagaimana yang dikatakan Khomeini, “Sesungguhnya di antara prinsip terpenting dari agama kami adalah tidak ada seorang pun yang dapat meraih kedudukan para imam (kami), walaupun malaikat terdekat di sisi Allah subhanahu wa ta’ala atau nabi utusan Allah subhanahu wa ta’ala sekalipun.” (lihat asy-Syi’ah wa Ahlul Bait karya Dr. Ihsan Ilahi Zhahir, hlm. 25)
Syi’ah Rafidhah juga berpandangan, bahwa di antara konsekuensi kecintaan kepada Ahlul Bait adalah bersikap bara’ (benci/berlepas diri) dari Abu Bakr dan ‘Umar radhiallahu ‘anhuma serta mayoritas para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyyah, karya al-Imam Ibnu Abil ‘Iz, hlm. 697). Sehingga—dalam kaca mata mereka—siapa saja yang mencintai Abu Bakr dan ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, maka dia tergolong sebagai musuh Ahlul Bait.
2. Kelompok Kedua: An-Nawashib atau An-Nashibah atau Ahlun Nashb.
Mereka adalah orang-orang yang berkeyakinan bahwa membenci dan memusuhi ‘Ali bin Abi Thalib dan anak cucunya (Ahlul Bait) merupakan bagian dari agama. (Lihat Lisanul ‘Arab dan Minhajus Sunnah, 4/554)
Mereka sangat bangga ketika berhasil menyakiti Ahlul Bait, sampai-sampai tokoh kondang mereka yang bernama ‘Imran bin Hiththan melantunkan bait-bait kegembiraannya atas keberhasilan Abdurrahman bin Muljim al-Muradi dalam operasinya membunuh ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Bait “petaka” itu adalah sebagai berikut:
“Duhai sebuah tebasan pedang dari seorang yang kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala
Tidaklah dia melakukannya kecuali untuk meraih ridha Allah subhanahu wa ta’ala
Sungguh hari-hariku selalu mengingatnya
Karena keyakinanku bahwa dia (Abdurrahman bin Muljim) adalah seorang yang telah meraih pahala besar di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.” (al-Milal wan Nihal, karya asy-Syahrastani, hlm. 120)
3. Kelompok Ketiga: Ahlus Sunnah wal Jamaah atau as-Salafiyyun.
Mereka adalah orang-orang yang berkeyakinan bahwa mencintai Ahlul Bait merupakan suatu kewajiban dalam agama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa mencintai Ahlu Bait Nabi merupakan kewajiban dalam agama. (Minhajus Sunnah, 7/102)
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Termasuk dari pemuliaan dan berbakti kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berbuat baik kepada keluarga dan keturunan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (asy-Syifa 2/47, dinukil dari catatan kaki kitab Shabbul ‘Azab, hlm. 276)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Kami tidak mengingkari adanya wasiat dan perintah untuk berbuat baik kepada Ahlul Bait, menghormati dan memuliakan mereka. Karena mereka berasal dari keturunan yang baik, dan dari keluarga yang termulia di muka bumi ini dalam hal ketinggian derajat, kedudukan, dan nasab. Lebih-lebih jika mereka termasuk orang-orang yang mengikuti Sunnah Nabi….” (Tafsir Ibnu Katsir, tafsir surat asy-Syuraa ayat 23)
Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak berlebihan dalam memuliakan Ahlul Bait sebagaimana halnya Syi’ah Rafidhah, dan juga tidak membenci Ahlul Bait sebagaimana an-Nawashib. Sikap mereka penuh dengan keadilan dan jauh dari ekstrem (ghuluw). Pijakan mereka adalah wahyu Ilahi dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan hawa nafsu.
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, “Ahlus Sunnah wal Jamaah berlepas diri dari jalan Syi’ah Rafidhah yang berlebihan di dalam memuliakan sebagian Ahlul Bait dan mengklaim bahwa mereka (Ahlul Bait) ma’shum. Ahlus Sunnah juga berlepas diri dari jalan an-Nawashib yang memusuhi dan mencela Ahlul Bait yang istiqamah di atas agama ini, sebagaimana mereka berlepas diri dari jalan Ahlul Bid’ah dan Khurafat yang bertawassul dengan Ahlul Bait dan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan yang diibadahi selain Allah subhanahu wa ta’ala.” (Kitabut Tauhid, hlm. 92)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah, maka mereka mencintai seluruh orang-orang yang beriman, selalu berbicara dengan ilmu dan keadilan, bukan dari kalangan orang-orang bodoh lagi pengikut hawa nafsu. Mereka berlepas diri dari jalan Syi’ah Rafidhah sekaligus jalan an-Nawashib. Mereka mencintai semua sahabat yang terdahulu masuk Islam; mengerti kedudukan, keutamaan, dan keistimewaan para sahabat, serta selalu memerhatikan hak-hak Ahlul Bait yang disyariatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada mereka….” (Minhajus Sunnah, 2/71)
Namun bukan berarti pula setiap Ahlul Bait itu lebih utama dari seluruh manusia dan semuanya wajib dicintai.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Namun bukan berarti setiap Ahlul Bait itu lebih utama dan lebih berilmu dari seluruh kaum mukminin. Karena tolok ukur keutamaan adalah sempurnanya keimanan dan ketakwaan, bukan kedekatan hubungan nasab semata, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (al-Hujurat: 13)
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan menerangkan, “Sikap Ahlus Sunnah terhadap Ahlul Bait adalah sikap yang adil, yaitu mencintai mereka yang istiqamah di atas agama ini, dan berlepas diri dari yang menyimpang dan menyelisihi Sunnah Nabi walaupun dari kalangan Ahlul Bait. Karena posisinya sebagai Ahlul Bait dan kerabat Rasul tidaklah bermanfaat hingga benar-benar istiqamah di atas agama ini.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, “Ketika turun firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat.” (asy-Syu’ara’: 214)
maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai kaum Quraisy!—atau yang senada dengan itu. Belilah (berusahalah untuk) diri-diri kalian, aku tidak bisa menjamin kalian dari azab Allah sedikit pun. Wahai ‘Abbas bin Abdul Muththalib! Aku tidak bisa menjaminmu dari azab Allah sedikit pun. Wahai Shafiyyah, bibi Rasulullah! Aku tidak bisa menjaminmu dari azab Allah sedikit pun. Wahai Fathimah bintu Muhammad! Mintalah harta kepadaku sekehendakmu, namun aku tidak bisa menjaminmu dari azab Allah sedikit pun.” (HR. al-Bukhari Kitabut Tauhid, hlm. 91—91)
Bukti Kebenaran Sikap Ahlus Sunnah Wal Jamaah, dan Kesesatan Syi’ah Rafidhah dan An-Nawashib
Para pembaca, setelah kita ulas tiga kelompok yang berseberangan di dalam menyikapi Ahlul Bait, maka tampak jelas bagi siapa saja yang di hatinya ada kejujuran dan keadilan bahwa Ahlus Sunnahlah kelompok yang benar dan adil di dalam menyikapi Ahlul Bait. Adapun Syi’ah Rafidhah dan an-Nawashib telah terjatuh dalam sikap ekstrem (ghuluw), baik dalam hal pengultusan maupun pelecehan. Dan akan semakin jelas insya Allah, ketika mencermati ulasan berikut ini:
Sebagaimana dalam firman-Nya,
“Wahai Ahlul Kitab, janganlah kalian ekstrem (berlebihan) dalam agama kalian.” (an-Nisa’: 171)
Bahkan Allah subhanahu wa ta’ala selalu memerintahkan untuk berbuat adil, sebagaimana dalam firman-Nya,
“Berbuatlah adil (karena) ia lebih dekat kepada ketakwaan.” (al-Ma’idah: 8)
Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman,
“Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kalian Ahlul Bait dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.” (al-Ahzab: 33)
Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan dengan sabdanya,
“Aku ingatkan kalian dengan nama Allah untuk selalu berbuat baik kepada Ahlul Baitku.” (HR. Muslim, 4/1873)
Lebih dari itu mereka keluarkan anak cucu Hasan dari lingkaran Ahlul Bait. Bahkan mereka keluarkan pula anak cucu Husain yang tidak disukai seperti Zaid bin ‘Ali bin Husain dan putranya yang bernama Yahya. Demikian pula putra imam mereka Musa al-Kazhim yang bernama Ibrahim dan Ja’far. (Lihat asy-Syi’ah wa Ahlul Bait, hlm. 20 dan Shabbal ‘Azab ala Man Sabbal Ash-haab, karya al-Imam al-Alusi hlm. 279—281)
Di dalam Shahih Muslim (2/752—753), disebutkan bahwasanya Fadhl bin ‘Abbas dan Abdul Muththalib bin Rabi’ah bin al-Harits bin Abdul Muththalib, (keduanya) meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dijadikan sebagai petugas shadaqah, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya shadaqah itu tidak halal bagi Muhammad dan keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (Ahlul Bait), karena shadaqah merupakan kotoran manusia.”
Para pembaca, kalau putra ‘Abbas bin Abdul Muththalib dan anak cucu al-Harits bin Abdul Muththalib masuk ke dalam lingkaran Ahlul Bait, tentunya anak cucu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, dan anak cucu ‘Ali bin Abi Thalib lebih berhak masuk ke dalam lingkaran Ahlul Bait. Tidakkah kaum Syi’ah Rafidhah mau berpikir, walau sejenak?!
Demikian pula, mereka keluarkan para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari lingkaran Ahlul Bait. Mereka berdalil dengan surat al-Ahzab ayat 33, yakni lafadz (عَنكُمْ)[2] menunjukkan bahwa yang dituju adalah laki-laki, sehingga para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak termasuk dari Ahlul Bait.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah—setelah menyebutkan surat al-Ahzab ayat 30—34—berkata, “Ini (justru -pen.) menunjukkan bahwa para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk Ahlul Bait. Karena konteks ayat-ayat tersebut sesungguhnya tertuju untuk mereka (dimulai dengan seruan يَٰنِسَآءَ ٱلنَّبِيِّ / Wahai para istri Nabi -pen.).
Firman-Nya, لِيُذۡهِبَ عَنكُمُ ٱلرِّجۡسَ أَهۡلَ ٱلۡبَيۡتِ (untuk menghilangkan kotoran dari kalian hai Ahlul Bait) justru menunjukkan bahwa seruan tersebut juga mencakup para Ahlul Bait lainnya, seperti Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Dan Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan dengan bentuk mudzakkar (laki-laki) agar seruan ini lebih mencakup orang-orang yang dituju dari lelaki dan wanita Ahlul Bait.”[3] (Minhajus Sunnah, 4/23—24)
Bagaimana tidak?! Dialah yang telah berfirman,
Katakanlah, “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara gaib kecuali Allah.” (an-Naml: 65)
Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
“Aku adalah pemimpin (pemuka) anak cucu Adam di hari kiamat.” (HR. Muslim, 4/1782 no. 2278)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan keutamaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam atas seluruh makhluk.” (al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim bin Hajjaj 15/40)
Karena /pembersihan dalam ayat tersebut tidak bermakna ‘ishmah (terjaga dari segala dosa). Sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (al-Ma’idah: 6)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Di dalam ayat tersebut terdapat keterangan bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala suka, ridha, dan memerintahkan kalian untuk melakukan amalan-amalan tersebut[4].
Siapa saja yang mengerjakannya maka dia akan meraih kecintaan dan keridhaan-Nya, dan siapa saja yang tidak mengerjakannya maka dia tidak dapat meraihnya.” (Minhajus Sunnah, 4/260)
Adapun pembersihan dosa itu sendiri, maka dengan dua cara yaitu; tidak mengerjakan perbuatan dosa tersebut atau bertaubat dari dosa yang dilakukan. (Minhajus Sunnah, 7/79—80)
Aneh Tapi Nyata
Dalam bahasan yang lalu, telah dijelaskan bahwasanya Syi’ah Rafidhah sangat berlebihan dalam mencintai Ahlul Bait (versi mereka). Namun ketahuilah, hakikatnya mereka tidak beda dengan an-Nawashib di dalam memusuhi Ahlul Bait. Memang ini terasa aneh, tapi itulah fakta dan kenyataan.
Di antara sekian bukti dari permusuhan mereka terhadap Ahlul Bait adalah sebagai berikut:
Karena itu, tidaklah mengherankan bila:
radhiallahu ‘anhuma. Husain bin ‘Ali berdoa, “Ya Allah, jika Engkau beri mereka (Syi’ah) kehidupan hingga saat ini, maka porak porandakanlah mereka dan jadikanlah mereka berkeping-keping. Dan janganlah Engkau jadikan para pemimpin (yang ada) ridha kepada mereka (Syi’ah) selama-lamanya. Karena kami diminta membantu mereka, namun akhirnya mereka justru memusuhi kami dan membunuh kami.” (al-Irsyad, karya al-Mufid hlm. 341, dinukil dari asy-Syi’ah wa Ahlul Bait, hlm. 302)
Demikianlah apa yang dapat kami sajikan seputar bahasan Ahlul Bait. Mudah-mudahan kita dibimbing Allah subhanahu wa ta’ala untuk selalu bersikap adil terhadap Ahlul Bait, dan dijauhkan dari jalan an-Nawashib yang berlebihan di dalam memusuhi mereka, serta jalan Syi’ah Rafidhah yang juga memusuhi Ahlul Bait dengan berkedok kecintaan kepada mereka.
Amiin, ya Mujibas Sa’iliin.
Ditulis oleh al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.
[1] Karena mereka membatasi Ahlul Bait pada orang-orang tertentu saja, sebagaimana akan dijelaskan nanti.
[2] Dhamir ‘kum’ adalah kata ganti orang kedua laki-laki dalam bentuk jamak.
[3] Di dalam bahasa Arab, dhamir (kata ganti) laki-laki terkadang ditujukan untuk laki-laki dan wanita (sekaligus).
[4] Pembersihan yang terdapat pada surat Al-Ahzab ayat 33 terkait dengan perintah dan larangan yang terdapat dalam ayat 30-32. Adapun pembersihan yang terdapat pada surat al-Ma‘idah ayat 6 terkait dengan perintah bersuci (thaharah).