menganut mazhab menyimpang. Mazhab yang dianut oleh pemerintah masa itu didasarkan pada pemikiran yang buruk, bahkan kekafiran. Mereka, para penguasa masa itu, memaksakan pemahaman bahwa al-Qur’an adalah makhluk, bukan kalamullah. Untuk menyebarkan pemahaman ini, pihak penguasa tak segan menggunakan kekuatan fisik dan senjata. Tak heran pada saat itu banyak darah kaum muslimin mengalir, membasahi bumi yang dibakar fitnah. Tidak sedikit pula darah para ulama yang tertumpah.
Penangkapan dan pemaksaan terus dilakukan. Propaganda untuk menanamkan keyakinan batil bahwa al-Qur’an adalah makhluk senantiasa berlangsung. Penguasa mewajibkan rakyatnya untuk menganut keyakinan sesat tersebut. Padahal para ulama menegaskan bahwa al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk.
Fitnah ini mulai bergulir pada masa kekhalifahan al-Makmun (198-218 H), kemudian berlanjut hingga kekhalifahan dijabat oleh al-Mu’tashim (218-227H). Keadaan fitnah mulai mereda saat kekhalifahan dipegang oleh al-Watsiq bin Mu’tashim (227-232 H). Fitnah itu padam ketika kekhalifahan dipegang oleh al-Mutawakkil ‘alallah, Ja’far bin al-Mu’tashim. Rakyat menyambut gembira atas pengangkatan al-Mutawakkil ‘alallah, karena ia termasuk orang yang mencintai as-Sunnah dan Ahlus Sunnah. Fitnah pada masa kekhalifahannya diredam. Khalifah menyebarkan seruan dalam bentuk tulisan ke seluruh pelosok negeri. Isinya, tidak boleh seorang pun mengatakan (berpendapat) bahwa al-Qur’an adalah makhluk.
Tidak hanya itu, Khalifah al-Mutawakkil ‘alallah menulis instruksi agar Gubernur Baghdad, Ishaq bin Ibrahim, membawa al-Imam Ahmad rahimahullah menghadap kepadanya. Kedatangan al-Imam Ahmad rahimahullah dimuliakan oleh Ishaq bin Ibrahim. Sebab, dia mengetahui bahwa khalifah al-Mutawakkil‘alallah memuliakan al-Imam Ahmad rahimahullah.
Pada kesempatan itu, Ishaq bin Ibrahim bertanya kepada al-Imam Ahmad seputar al-Qur’an. Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Pertanyaan dalam rangka interogasi atau meminta bimbingan?” Ishaq menjawab, “Pertanyaan dalam rangka meminta bimbingan.”
Al-Imam Ahmad pun memberi jawaban, “Al-Qur’an adalah kalamullah, diturunkan oleh Allah Subhanahu wata’ala, bukan makhluk.” Ishaq bin Ibrahim merasa tenang dengan jawaban al-Imam Ahmad rahimahullah tersebut. (al-Bidayahwaan-Nihayah, Ibnu Katsir, 14/412)
Masih terkait dengan fitnah yang berkecamuk semasa al-Imam Ahmad, dikisahkan para fuqaha (ulama) Baghdad berkumpul bersama al-Imam Ahmad rahimahullah. Saat itu kekhalifahan dipegang oleh al-Watsiq. Para fuqaha itu menyampaikan pernyataan di hadapan al-Imam Ahmad rahimahullah, “Sungguh urusan ini telah berkembang pesat (yakni pemahaman al-Qur’an adalah makhluk). Kami tidak menyukai kepemimpinannya, kepemimpinan pun tidak pantas baginya.”
Al-Imam Ahmad rahimahullah memandang mereka dan berkata, “Hendaklah kalian mengingkari dengan hati kalian. Janganlah kalian melepaskan ketaatan kepadanya. Jangan kalian hancurkan persatuan kaum muslimin. Jangan kalian tumpahkan darah kaum muslimin dengan sebab kalian. Perhatikan benar akibat tindakan kalian. Bersabarlah kalian hingga Allah Subhanahu wata’ala mengistirahatkan orang baik dan diistirahatkan dia dari perbuatan dosa.”
Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Tidak benar (mencabut ketaatan dari penguasa). Perbuatan seperti itu menyelisihi hadits.” (Mu’amalatul Hukkam fi Dhau’i al-Kitab wa as-Sunnah, asy-Syaikh Dr. Abdussalam bin Barjas Abdilkarim, hlm. 8-9)
Begitulah gambaran sikap salaf terhadap penguasa. Gambaran nan mengagumkan yang menjelaskan bagaimana Ahlus Sunnah wal Jamaah mempraktikkan cara menjalin hubungan dengan penguasa. Sekalipun penguasa yang ada melakukan tindakan yang zalim kepada rakyatnya, tetapi apa yang tergambar dari perbuatan al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, imam Ahlus Sunnah cukup menjadi penerang dan petunjuk bagaimana seorang Ahlus Sunnah menyikapi penguasanya. Karena itu, pemahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah memperingatkan kepada segenap penganutnya agar tidak melakukan tindakan yang keluar dari ketaatan terhadap penguasa. Taatilah penguasa dalam hal yang ma’ruf.
Bukti lain bahwa Ahlus Sunnah sangat mementingkan penguasa adalah penekanan untuk selalu mendoakan penguasa. Dalam kitab as-Sunnah karya al-Imam al-Hasan bin Ali al-Barbahari rahimahullah disebutkan, “Jika engkau melihat seseorang mendoakan kejelekan kepada penguasa, ketahuilah bahwa dia pengikut hawa nafsu. Jika engkau mendengar seseorang mendoakan kebaikan bagi penguasa, ketahuilah bahwa dia pengikut as-Sunnah, insya Allah.”
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Seandainya aku memiliki doa (yang dikabulkan oleh Allah), tidaklah aku tujukan doa itu kecuali untuk penguasa.”
Jika doa kebaikan bagi penguasa itu dikabulkan, kebaikan seorang penguasa tentu akan dirasakan oleh masyarakatnya. Namun, jika doa kejelekan itu dikabulkan, kejelekan itu akan berimbas pada rakyatnya. Karena itu, Ahlus Sunnah wal Jamaah selalu membimbing pengikutnya untuk senantiasa mendoakan kebaikan bagi penguasanya.
Bukti lain bahwa Ahlus Sunnah memiliki perhatian terhadap penguasa adalah senantiasa mencari uzur bagi penguasa. Dengan senantiasa memberi uzur pada penguasa, diharapkan tumbuh sikap yang positif terhadap penguasa itu sendiri. Tidak lantas melakukan tindakan menentang dan mencela penguasa. Ulama berkata, “Jika urusan penguasa telah lurus, perbanyaklah memuji Allah Subhanahu wata’ala dan bersyukur kepada-Nya.” (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 9-10)
Sikap ini tidak berarti kita ridha terhadap kesalahan dan kezaliman penguasa. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ، فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ. قَالُوا: أَفَ نُقَاتِلُهُمْ؟ قَالَ: لَا مَا صَلَّوْا
“Akan ada nanti para penguasa yang kalian mengetahui kebaikan dan kemungkaran mereka. Barang siapa mengetahui kebaikan mereka, dia telah menunaikan tanggung jawabnya. Barang siapa mengingkari kemungkaran mereka, dia selamat. Akan tetapi, (yang berdosa) adalah yang ridha dan mengikuti.” Para sahabat bertanya, “Tidakkah kami perangi saja mereka itu?” Beliau menjawab, “Jangan, selama mereka masih shalat.” (HR. Muslim)
Pencela Penguasa Pertama Kali
Para ulama memaparkan bahwa yang pertama kali melakukan pencelaan terhadap penguasa adalah Abdullah bin Saba’. Melalui kemasan amar ma’ruf nahi munkar, Abdullah bin Saba’ memprovokasi massa untuk melawan penguasa. Melalui bid’ah Saba’iyah, umat menjadi berpecah belah dan sibuk dengan fitnah. Hasil puncak fitnah Saba’iyah ini adalah terbunuhnya sahabat mulia, Khalifah Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu.
Disebutkan oleh Ibnu Asakir t dalam TarikhDimasyqi (3/29), Abdullah bin Saba’ (Saba’iyah dinisbatkan kepadanya) adalah kelompok ekstrem Syiah Rafidhah. Asalnya, dia Yahudi penduduk Yaman yang menampakkan keislaman. Dia berkeliling ke wilayah-wilayah kaum muslimin demi memalingkan kaum muslimin dari ketaatan terhadap penguasanya. Dia menyusupkan berbagai kejelekan di tengah kaum muslimin.
Abdullah bin Saba’ berhasil masuk ke Damaskus saat kekhalifahan dijabat sahabat Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu.
Menurut asy-Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullah, Abdullah bin Saba’ berkeliling mulai dari Hijaz, Bashrah, Kuffah, dan Syam untuk mengeluarkan penduduknya dari sana (dalam rangka menentang penguasa). Selanjutnya, Ibnu Saba’ datang ke Mesir dengan tujuan yang sama.
Salah satu isu yang diusung untuk membakar massa adalah melakukan celaan kepada Khalifah Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu dituduh melakukan tindakan korupsi dan mengumpulkan harta kekayaan tanpa hak. Lantas, massa bangkit dan bergerak. Mereka mulai mencela para pemimpin mereka seakan-akan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Inilah tindakan mencela penguasa untuk pertama kalinya. (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 163-164)
Beribadah Bersama Pemerintah
Di Indonesia beda hari menyelenggarakan Idul Fitri seakan sudah tradisi. Masyarakat dipaksa untuk menerima perbedaan tersebut seakan-akan sebagai sebuah hal yang wajar. Bahkan, apabila masyarakat dianggap bisa menerima perbedaan tersebut, kebanggaan pun menyeruak. Bangga jika masyarakat telah semakin dewasa menerima perbedaan. Sementara itu, tidak terbetik untuk mendidik masyarakat berpedoman pada tuntunan as-Sunnah, terkhusus dalam menentukan hari raya dan shalat Id.
Syariat Islam membimbing umatnya untuk berubah sesuai dengan tuntunan Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu wata’ala telah memerintahkan kaum muslimin agar berpegang teguh kepada kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Berpegang teguhlah kalian semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)
Yang dimaksud dengan “tali (agama) Allah” adalah kitab-Nya (al-Qur’an). Hal ini sebagaimana dituliskan dalam Shahih Muslim dari hadits Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
>أَلَا وَإِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ، أَحَدُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ حَبْلُ اللهِ مَنِ اتَّبَعَهُ كَانَ عَلَى الْهُدَى وَمَنْ تَرَكَهُ كَانَ عَلَى ضَلَالَةٍ.
“Ingatlah, sungguh telah aku tinggalkan bagi kalian dua hal. Salah satunya kitabullah, yaitu tali Allah. Barang siapa mengikutinya, ia berada di atas petunjuk. Barangsiapa meninggalkannya, dia berada di atas kesesatan.” (HR. Muslim)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُو
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (al-Hasyr: 7)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa ada kaidah yang bermanfaat dalam hal kewajiban berpegang teguh pada ar-Risalah. Jelas, bahwa kebahagiaan dan petunjuk adalah dalam hal mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sungguh, kesesatan dan malapetaka disebabkan menyelisihinya. Setiap keburukan di alam khususnya pada seorang hamba, disebabkan menyelisihi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan jahil (tidak paham) dengan apa yang telah dibawanya.
Sungguh, kebahagiaan para hamba dalam kehidupan dunia dan tempat kembalinya (akhirat) harus dengan mengikuti ar-Risalah. Karena itu, ar- Risalah adalah sebuah keharusan bagi mereka. Kebutuhan para hamba terhadap ar-Risalah melebihi kebutuhan mereka terhadap segala sesuatu. Ar-Risalah adalah ruh bagi segenap alam, cahaya, dan denyut kehidupan. Akankah alam
menjadi lebih baik kala tidak ada ruh, kehidupan, dan cahaya? Dunia adalah sebuah kegelapan dan terlaknat kecuali sesudah munculnya “cahaya” ar-Risalah.
Begitu pula dengan seorang hamba. Dia dalam kegelapan dan kematian. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
أَوَمَن كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِّنْهَا ۚ
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang yang dengan cahaya tersebut dia dapat berjalandi tengah umat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar darinya?” (al- An’am: 122)
Inilah sifat seorang mukmin. Dahulu dia mati dalam kegelapan dan kejahilan. Lantas Allah Subhanahu wata’ala menghidupkannya dengan ruh ar-Risalah dan cahaya keimanan. Dia menjadikan baginya cahaya yang digunakan untuk berjalan di tengah umat manusia. (Majmu’ Fatawa, 19/93-97. Lihat al-Hujajual-Qawiyah‘ala ‘ana Wasail ad-Da’wahTaufiqiyyah, asy-Syaikh Abdussalam bin Barjas, hlm. 27-28)
Di antara tuntunan risalah Islam adalah menentukan beberapa jenis ibadah yang pelaksanaannya bersama pemerintah. Di antara jenis ibadah tersebut adalah shalat, zakat, haji, dan umrah. Asy-Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullah menukilkan bahwa Ibnu Abi Syaibah mengeluarkan riwayat dalam al-Mushannaf, dari al-A’masy, dari Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah, dia berkata,
“Mereka tunaikan shalat dibelakang para penguasa, siapapun mereka.”
Ini adalah kabar perihal perbuatan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Sungguh, mereka shalat di belakang para penguasa walau penguasa itu bermaksiat dan fasik. Bahkan para sahabat mengingkari orang yang shalat tetapi tidak di belakang penguasa.
Al-Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah telah mengingkari perbuatan al-Hasan bin Shalih bin Hay yang tidak mau shalat Jum’at di belakang para imam. (Siyar A’lami an-Nubala’, 4/193)
Disebutkan pula dalam ath-Thabaqat (4/193) dengan sanad yang bagus, dari Zaid bin Aslam, pada masa fitnah al-Hajjaj bin Yusuf, tidaklah Abdullah bin Umar c mendatangi amir (penguasa) selain saat shalat di belakangnya. Demikian pula dalam hal menunaikan zakat, beliau sampaikan kepada penguasa.
Begitu pula Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang shalat di belakang al-Hajjaj bin Yusuf. Diungkapkan oleh para ulama, al-Hajjaj bin Yusuf adalah seorang penguasa yang sering menumpahkan darah kaum muslimin. Bahkan, para ulama tak segan dibunuhnya. Namun, apa yang telah diperbuat oleh al-Hajjaj bin Yusuf tidak menjadi alasan untuk tidak shalat bersama penguasa. (Lihat Mu’amalatul Hukkam, asy-Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullah)
Mazhab al-Imam Ahmad, Ishaq bin Ibrahim, Abdullah bin Makhlad, Abdullah bin Zubair al-Humaidi, Sa’id bin Mansur, dan selain mereka, “…. (Ibadah) Jum’at, dua hari raya, dan haji harus bersama penguasa, meski penguasa itu tidak baik, tidak adil, dan tidak bertakwa. Adapun membayar sedekah, upeti, zakat, fai’, dan harta rampasan perang, diserahkan kepada penguasa, baik penguasa itu bersikap adil dalam urusan tersebut maupun berbuat tidak adil dan zalim.” (Hadi al-Arwah, Ibnu Qayyim rahimahullah, hlm. 399)
Dahulu, zakat dahulu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kepada orang (sahabat) yang diperintah atau ditunjuk oleh beliau untuk mengurusinya, kemudian kepada Abu Bakr, Umar, dan Utsman radhiyallahu ‘anhum. Saat Utsman radhiyallahu ‘anhu telah terbunuh, terjadi perselisihan, siapa yang berhak mengelola zakat. Sebagian orang menentukan pilihan pada orang yang membagikan. Sebagian lagi memilih bahwa pembayaran zakat kepada penguasa. Apabila penguasa menuntut zakat, wajib membayarkan zakat tersebut kepada penguasa.
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan, “Bayarkanlah zakat kepada penguasa kalian. Jika baik penguasa tersebut, kebaikan itu bagi dirinya. Jika ia pendosa, dosanya akan kembali kepadanya.” (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 182)1
Dalam masalah haji dan jihad bersama pemerintah, telah menjadi kesepakatan salaf bahwa jihad ditegakkan harus bersama penguasa, yang baik ataupun yang buruk. Kekuasaannya tidaklah gugur hanya lantaran sering bermaksiat atau tidak bersikap adil. Demikian pula ibadah Jum’at, haji, dan dua hari raya hendaknya dilakukan bersama pemerintah, meski pemerintah tidak memiliki sikap baik, adil, dan bertakwa. (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 183)
Sungguh, sangat memprihatinkan ketika kaum muslimin tidak memahami ketentuan syariat tentang jenis ibadah yang ditunaikan bersama pemerintah. Andai mereka mengerti dan mau menunaikan ketentuan syariat, tidak ada lagi hari raya yang berlainan hari, biidznillah (dengan izin Allah Subhanahu wata’ala). Tak ada lagi silang sengketa karena semuanya satu kalimat, berhari raya bersama pemerintah. Begitu pula jihad, zakat, dan haji. Apa jadinya jika pemerintah tidak turut mengatur?!
Marilah kembali kepada tuntunan Islam. Jangan mengedepankan kepentingan kelompok. Sungguh, tidak akan beruntung hamba yang terbius hawa nafsu dan enggan merujuk pada nilai-nilai Islam yang telah dicontohkan salaf ash-shalih. Wallahu a’lam.
Oleh : Al Ustadz Abul Faruq Ayip Safrudin
———————————————————————————–
[1] Dalam hal penyerahan zakat kepada pemerintah ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Mazhab Ahmad dan Syafi’i membedakan antara zakat harta yang tampak (seperti zakat ternak) dan yang tidak tampak (seperti: emas, perak, dan barang dagangan). Mereka berpendapat, zakat harta yang tampak diserahkan kepada penguasa, sedangkan zakat harta yang tidak tampak boleh ditunaikan sendiri secara langsung kepada penerimanya. Bahkan, sebagian mereka menganggap lebih utama langsung ditunaikan sendiri agar lebih tenang/tenteram bahwa zakat itu benar-benar sampai kepada penerimanya.
Pendapat yang lain menganggap disunnahkan seseorang untuk menyalurkan sendiri zakatnya agar yakin zakat itu sampai kepada orang yang berhak menerimanya. Pendapat ini tidak membedakan antara harta yang tampak dan tidak tampak. Ini adalah salah satu pendapat Syafi’i dan Ahmad. Ini yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, dan asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dari kalangan ulama masa kini. Lihat Dhawabith Mu’amalatil Hukkam (2/585) karya asy-Syaikh Khalid azh-Zhafiri. Asy-Syaikh Rabi’ mengatakan,”Jika penguasa meminta zakat diserahkan kepada mereka, wajib bagi manusia untuk menyerahkannya kepada penguasa. Jika mereka tidak mau menyerahkannya, penguasa memerangi mereka sampai mereka mau menyerahkannya. (Syarh Ushul as-Sunnah hlm. 82)