Bani Israil telah merasakan kepahitan akibat banyak bertanya dan menyalahi perintah nabi mereka yang mulia, Musa ‘alaihissalam. Setelah bersusah payah mencarinya, mereka menemukan juga sapi yang mereka ‘inginkan’. Tetapi, apa yang terjadi setelah kasus itu terbongkar?
Akhir Peristiwa
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَإِذْ قَتَلْتُمْ نَفْسًا فَادَّارَأْتُمْ فِيهَا ۖ وَاللَّهُ مُخْرِجٌ مَّا كُنتُمْ تَكْتُمُونَ
“Dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu saling menuduh tentang itu. Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini kamu sembunyikan.” (al-Baqarah: 72)
Ayat ini, meskipun dibaca pada bagian akhir kisah, sebetulnya secara makna lebih dahulu dari semua yang telah lalu tentang urusan sapi betina ini. Sebab, perintah menyembelih sapi ini adalah karena adanya pembunuhan.1 Sebagian ahli tafsir menerangkan bahwa firman Allah Subhanahu wata’ala وَاللَّهُ مُخْرِجٌ (Dan Allah hendak menyingkapkan) adalah jumlah i’tiradhiyah, faedahnya ialah menekankan bahwa pertikaian bani Israil tentang pembunuhan itu tidak ada gunanya. Sama saja bagi mereka, apakah akan menutup-nutupi atau menyembunyikannya dan saling menuduh satu sama lain, karena Allah Subhanahu wata’ala akan menampakkannya.2 Kemudian Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَقُلْنَا اضْرِبُوهُ بِبَعْضِهَا ۚ كَذَٰلِكَ يُحْيِي اللَّهُ الْمَوْتَىٰ وَيُرِيكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Lalu Kami berfirman, “Pukullah mayat itu dengan sebagian anggota sapi betina itu!” Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kamu mengerti.” (al-Baqarah: 73)
Bagian mana saja yang dipukulkan ke mayat itu, maka keajaiban atau mukjizat pasti terjadi. Seandainya ada manfaatnya bagi dunia dan akhirat kita dengan menyebutkan bagian yang mana dari tubuh sapi itu yang dipukulkan ke mayat tersebut, Allah Subhanahu wata’ala tentu menerangkannya kepada kita di dalam al-Qur’an atau sunnah yang sahih dari Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah sapi itu disembelih, salah satu bagian tubuhnya dipukulkan ke mayat itu. Dengan izin Allah Subhanahu wata’ala, orang itu hidup kembali,
كَذَٰلِكَ يُحْيِي اللَّهُ الْمَوْتَىٰ وَيُرِيكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kamu mengerti.”
Kembali Allah Subhanahu wata’ala menampakkan kekuasaan-Nya kepada bani Israil secara khusus, dan kepada seluruh manusia. Sebagaimana Dia telah menghidupkan kembali orang yang mati itu, Dia juga akan menghidupkan kembali semua yang telah diwafatkan-Nya. Semua itu adalah perkara yang sangat mudah bagi Allah Subhanahu wata’ala. Bahkan, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
مَّا خَلْقُكُمْ وَلَا بَعْثُكُمْ إِلَّا كَنَفْسٍ وَاحِدَةٍ ۗ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
“Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Luqman: 28)
Diceritakan oleh ulama bahwa Nabi Musa ‘Alaihissalam menanyai orang tersebut, “Siapa yang telah membunuhmu?” “Kerabatku,” katanya, kemudian orang itu kembali menjadi mayat. Bani Israil kaget. Ternyata orangorang yang menuduh serta ingin menuntut balas dan diyat atas kematian saudara mereka, ternyata adalah orang-orang yang membunuhnya. Tetapi, sekali lagi mereka bertikai. Orang-orang yang tertuduh itu mengingkari perbuatan mereka. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُم مِّن بَعْدِ ذَٰلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً ۚ وَإِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الْأَنْهَارُ ۚ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الْمَاءُ ۚ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungaisungai darinya, dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air darinya, dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.” (al-Baqarah: 74)
Setelah melihat kejadian yang luar biasa itu, orang yang terbunuh hidup kembali dan menerangkan siapa yang membunuhnya, semestinya hati mereka menjadi lembut dan semakin takut kepada Allah Subhanahu wata’ala, tunduk serta menerima keputusan-Nya. Tetapi, tidak demikian halnya dengan mereka. Bani Israil bukannya semakin bertambah rasa takut di hati mereka, bahkan hati itu menjadi kaku dan keras. Sudah jelas siapa yang melakukan kejahatan tersebut, tetapi mereka menyangkal, bahkan bersumpah bahwa mereka tidak membunuhnya.
Wallahu a’lam. Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wata’ala menerangkan tingkat kekerasan hati mereka yang jauh lebih keras dari sebuah batu. Tetapi, Allah Subhanahu wata’ala menyucikan batu itu dari sifat dan watak bani Israil. Di antara batu itu ada yang memancarkan air, ada yang terbelah sehingga dilewati oleh air, dan ada yang jatuh karena takut kepada Allah Subhanahu wata’ala. Bahkan, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
لَوْ أَنزَلْنَا هَٰذَا الْقُرْآنَ عَلَىٰ جَبَلٍ لَّرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُّتَصَدِّعًا مِّنْ خَشْيَةِ اللَّهِ ۚ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Kalau sekiranya Kami menurunkan al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir.” (al-Hasyr: 21)
Oleh sebab itu, alangkah celakanya hati yang kaku dan keras, bahkan melebihi batu. Padahal, sebuah gunung yang besar dan tinggi menjulang, akan lebur apabila al-Qur’an ini diturunkan kepadanya. Sebab, hati yang qasi (kaku, keras, dan beku) tidak akan mau menerima kebenaran, meskipun banyak bukti dan dalilnya. Inilah keadaan mereka, setelah melihat bukti nyata di depan mata, mereka tetap mengingkari, membantah, dan tidak mau tunduk. Sampai saat ini, sejak di masa wahyu ini turun, mereka selalu mengingkari kebenaran, padahal sudah jelas di depan mata mereka. Menurut az-Zajaj, kata “qasat” sama dengan “ghalizha” (kasar), “yabisat” (kering), dan “asiyat” (kaku, keras, beku).
Jadi, qasawatul qalbi artinya ialah hati yang telah kehilangan kelembutan, kasih sayang, dan ketundukan. Sifat keras ini bukanlah sifat keras yang terpuji, karena hati itu seharusnya adalah kuat tetapi bukan kasar, lembut tetapi bukan lemah. Seperti tangan yang memiliki kekuatan sekaligus kelembutan,bukan seperti tumit yang kering, tidak ada kelembutannya, meskipun memiliki kekuatan. Demikian menurut Ibnu Qutaibah rahimahullah yang dinukil oleh Syaikhul Islam rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa (7/28—30). Ini adalah musibah yang sangat besar yang menimpa seorang manusia, sebagaimana kata Malik bin Dinar rahimahullah, “Tidak ada hukuman paling berat yang menimpa seseorang daripada qasawah (kaku, keras, kasar, dan beku) hatinya.” Bahkan, Allah Subhanahu wata’ala mengancam orangorang yang qasi hatinya, sebagaimana firman-Nya,
فَوَيْلٌ لِّلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكْرِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
‘Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.’ (az-Zumar: 22)
Orang yang celaka ini adalah orangorang yang tidak menjadi lembut hatinya karena mengingat Allah Subhanahu wata’ala, tidak pula tunduk, menjaga dan memahami. Tidak pula mau mengingat ayat-ayat-Nya, dan tidak merasa tenang mengingat-Nya. Bahkan, berpaling kepada yang lain, dan memilih yang lain.”
Beberapa Faedah dan Hikmah
Di dalam kisah ini terkandung banyak pelajaran yang berharga bagi orangorang yang beriman. Merekalah Ulul Albab yang dapat memetik hikmah dan pelajaran yang terdapat dalam ayat-ayat Allah Subhanahu wata’ala, baik yang ada di alam semesta dan diri mereka sendiri, maupun ayatayat yang terdapat dalam Kitab-Nya yang mulia, al-Qur’anul Karim. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّأُولِي الْأَلْبَابِ
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (Yusuf: 111)
Kisah yang — sepertinya — menampakkan kejelekan orang-orang yang menyertai Nabi Musa ‘Alaihissalam ini, adalah tamparan keras bagi orangorang Yahudi yang hidup di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan yang bersama kita saat ini. Orang-orang Yahudi yang sangat membanggakan nenek moyang mereka serta ingin mengembalikan kemegahan dan kejayaan mereka, hendaklah bercermin dengan sejarah masa lalu mereka. Seandainya dikatakan bahwa mereka yang bersama Nabi Musa ‘Alaihissalam sudah bertobat dan dimaafkan oleh Allah Subhanahu wata’ala, maka itulah kemuliaan dan kelebihan mereka. Tetapi, tidak demikian halnya anak cucu mereka yang kufur kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam pada masa turunnya wahyu, lebih-lebih Yahudi di zaman ini. Wallahul musta’an. Di antara pelajaran berharga dari kisah ini ialah sebagai berikut.
1. Mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sekaligus bukti kenabian beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan menerangkan berita yang benar dan pasti tentang bani Israil.
2. Tidak boleh menyikapi perintah Allah Subhanahu wata’ala dengan cara banyak tanya, tetapi hendaklah segera melaksanakannya sebisa dan sesegera mungkin.
3. Orang yang zalim dan jahat itu dibalas dengan menerima kebalikan dari apa yang diinginkannya. Seperti pelaku pembunuhan ini, dia terhalang dari warisan yang diperolehnya, malahan dihukum karena perbuatannya. Wallahu a’lam.
4. Kisah ini menunjukkan kepada kita bahwa kita pasti dibangkitkan, bahkan inilah yang disepakati oleh para nabi dan rasul ‘alaihimushshalatu wassalam.
5 . Suka meremehkan dan mempermainkan orang lain adalah sikap dan perbuatan orang-orang yang jahil, bahkan hendaknya kita berlindung dari kebodohan tersebut.
6. Tidak adanya adab bani Israil terhadap para nabi Allah, ‘alaihimush shalatu wassalam, bahkan tidak pula kepada Allah Subhanahu wata’ala.
7. Allah Maha Mengetahui apa yang ditampakkan dan disembunyikan oleh siapa pun, baik perkara yang umum maupun hal-hal yang sekecil apa pun.
8. Akal manusia, secerdas apa pun tidak berhak mengoreksi wahyu yang datang dari langit (termasuk di sini al-Qur’an dan as-Sunnah yang sahih). Lebih-lebih lagi jika pemikiran itu bersumber dari orang-orang yang ingkar kepada Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam.
9. Seorang muslim wajib menghadapi ketetapan syariat itu dengan sikap menerima dan berserah diri serta tunduk kepada Allah Subhanahu wata’ala dengan sukarela. Inilah tanda dan bukti keimanan.
10. Keutamaan umat (para sahabat) Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak bersikap lancang dan ingkar sebagaimana sikap bani Israil terhadap para nabi mereka.
11. Tidak boleh bersikap tasyaddud karena akan menyusahkan diri mereka sendiri. Renungkan kembali kisah di atas, dan lihatlah bagaimana bani Israil dipersulit akibat bersikap memberatberatkan diri dan banyak bertanya.
12. Agama ini mudah, siapa mempersulit dirinya, pasti kalah.
13. Semua yang diperintahkan Allah Subhanahu wata’ala kepada kita pasti mengandung kebaikan, baik kita mengetahui hikmahnya maupun tidak.
14. Melaksanakan perintah sejak pertama kali dikeluarkan adalah perbuatan yang terpuji. Hal inilah yang pernah ditanyakan oleh sahabat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Amalan apakah yang paling utama?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Shalat pada waktunya.”
15. Banyak tanya dan menyelisihi aturan para nabi Allah ‘alaihimush shalatu wassalam adalah sebagian sebab kebinasaan umat-umat terdahulu. Kebinasaan itu bisa terjadi berupa ditindas oleh musuh, kesempitan hidup, atau mendapat murka dan hukuman Allah Subhanahu wata’ala. Oleh sebab itu, kaum muslimin janganlah tertipu oleh keadaan lahiriah musuh-musuh Allah Subhanahu wata’ala, baik Yahudi, Nasrani, maupun orang-orang musyrik. Kemewahan, kesehatan, dan kekuatan mereka bukanlah bukti bahwa mereka dicintai oleh Allah Subhanahu wata’ala.
16. Bani Israil diuji oleh Allah Subhanahu wata’ala dengan sapi dua kali. Yang pertama ketika mereka diuji sehingga menyembah patung anak sapi; dan kedua, diuji dengan perintah untuk menyembelihnya. Sapi sendiri dikenal sebagai salah satu di antara hewan-hewan yang sangat bodoh, sehingga sering menjadi tamsil. Kisah ini, menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, terjadi setelah peristiwa patung anak sapi. Seakan-akan, perintah menyembelih sapi ini menyadarkan mereka bahwa makhluk yang bodoh ini tidak layak menjadi sesuatu yang disembah (diibadahi) bersama Allah Subhanahu wata’ala. Seekor sapi hanya pantas untuk membajak tanah. Faedah lainnya dari rangkaian kisah ini, menerangkan kepada kita betapa buruknya akhlak orang-orang Yahudi. Mereka mempunyai watak selalu berbuat curang, melanggar janji, dan khianat. Mereka juga selalu mendurhakai para nabi dan rasul yang diutus kepada mereka, tidak menghargai para rasul tersebut. Sebab itulah, Allah Subhanahu wata’ala murka kepada mereka.
Penutup
Untuk kaum muslimin yang terpesona dengan gelar akademik yang diperolehnya dalam mempelajari Islam di negeri kafir, apakah orang-orang sejenis ini yang pantas diikuti dan dijadikan acuan untuk mengoreksi al-Qur’anul Karim dan ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam? Semoga Allah Subhanahu wata’ala memberi hidayah dan taufik kepada mereka. Karena itu pula, tidak selayaknya kaum muslimin menaruh kepercayaan kepada mereka, lebih-lebih dalam urusan agama, seperti yang dilakukan sebagian anak-anak kaum muslimin yang mempelajari agama Islam dari orangorang Yahudi dan Nasrani. Wallahul musta’an.
Apa yang menjadi sandaran mereka mempelajari Islam? Kitab yang ada di tangan mereka? Atau al-Qur’anul Karim yang ada di tangan kaum muslimin? Kalau al-Qur’anul Karim yang menjadi pegangan mereka dalam mempelajari Islam, apakah mereka lebih mengerti isi al-Qur’an daripada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menerima langsung al-Qur’an sebagai wahyu Allah Subhanahu wata’ala? Atau apakah mereka lebih mengenal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam daripada para sahabat yang melihat langsung bagaimana Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam mempraktikkan isi al- Qur’an dalam kehidupan sehari-hari?
Asy-Syaikh Rahmatullah al-Hindi rahimahullah dalam Izh-harul Haq (1/61) menyebutkan bahwa ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) tidak mempunyai sanad yang bersambung untuk Kitab Perjanjian Lama ataupun Baru yang ada pada mereka. Beliau melanjutkan, sebuah kitab samawi wajib diterima apabila lebih dahulu jelas pasti keasliannya dengan bukti yang sempurna dan lengkap bahwa kitab ini memang ditulis oleh seorang nabi tertentu, kemudian sampai ke tangan kita dengan sanad bersambung, tanpa perubahan apa pun. Penyandaran kepada sosok yang diberi ilham sematamata berdasarkan dugaan, tidak cukup memastikan bahwa kitab tersebut ditulis oleh nabi itu. Demikian pula sekadar pengakuan satu golongan tertentu bahwa itu ditulis oleh nabi tersebut, tidak dapat dijadikan dasar memastikan bahwa itu adalah kitab samawi. Beliau menyebutkan beberapa contoh kitab yang dinisbatkan kepada Nabi Musa, ‘Isa, Sulaiman, Ezra, dan lain-lain, yang justru diperselisihkan oleh golongan Katolik dan Protestan keabsahannya. Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits