Asysyariah
Asysyariah

kisah orang-orang yang terkurung di dalam gua

4 tahun yang lalu
baca 14 menit
Kisah Orang-Orang yang Terkurung di Dalam Gua

Peristiwa ini terjadi pada zaman Bani Israil, jauh sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau mengisahkannya kepada kita berdasarkan wahyu dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَمَا ثَلاَثَةُ نَفَرٍ يَتَمَشَّوْنَ أَخَذَهُمُ الْمَطَرُ فَأَوَوْا إِلَى غَارٍ فِي جَبَلٍ فَانْحَطَّتْ عَلَى فَمِ غَارِهِمْ صَخْرَةٌ مِنَ الْجَبَلِ فَانْطَبَقَتْ عَلَيْهِمْ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ: انْظُرُوا أَعْمَالاً عَمِلْتُمُوهَا صَالِحَةً لِلهِ فَادْعُوا اللهَ تَعَالَى بِهَا، لَعَلَّ اللهَ يَفْرُجُهَا عَنْكُمْ.

“Ketika ada tiga orang sedang berjalan, mereka ditimpa oleh hujan. Lalu mereka pun berlindung ke dalam sebuah gua di sebuah gunung. Tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar dari gunung itu lalu menutupi mulut gua mereka. Sebagian mereka berkata kepada yang lain, ‘Perhatikan amalan saleh yang pernah kamu kerjakan karena Allah, lalu berdoalah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan amalan itu. Mudah-mudahan Allah menyingkirkan batu itu dari kalian.’

Baca juga:

Syarat Diterimanya Amal

فَقَالَ أَحَدُهُمْ: اللَّهُمَّ إِنَّهُ كَانَ لِي وَالِدَانِ شَيْخَانِ كَبِيرَانِ وَامْرَأَتِي وَلِي صِبْيَةٌ صِغَارٌ أَرْعَى عَلَيْهِمْ فَإِذَا أَرَحْتُ عَلَيْهِمْ حَلَبْتُ فَبَدَأْتُ بِوَالِدَيَّ فَسَقَيْتُهُمَا قَبْلَ بَنِيَّ، وَأَنَّهُ نَأَى بِي ذَاتَ يَوْمٍ الشَّجَرُ فَلَمْ آتِ حَتَّى أَمْسَيْتُ فَوَجَدْتُهُمَا قَدْ نَامَا فَحَلَبْتُ كَمَا كُنْتُ أَحْلُبُ فَجِئْتُ بِالْحِلاَبِ فَقُمْتُ عِنْدَ رُءُوسِهِمَا أَكْرَهُ أَنْ أُوقِظَهُمَا مِنْ نَوْمِهِمَا وَأَكْرَهُ أَنْ أَسْقِيَ الصِّبْيَةَ قَبْلَهُمَا، وَالصِّبْيَةُ يَتَضَاغَوْنَ عِنْدَ قَدَمَيَّ، فَلَمْ يَزَلْ ذَلِكَ دَأْبِي وَدَأْبَهُمْ حَتَّى طَلَعَ الْفَجْرُ، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ لَنَا مِنْهَا فُرْجَةً نَرَى مِنْهَا السَّمَاءَ.

Lalu berkatalah salah seorang dari mereka, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai dua ibu bapak yang sudah tua renta, seorang istri, dan anak-anak yang masih kecil. Aku menggembalakan ternak untuk mereka. Kalau aku membawa ternak itu pulang ke kandangnya, aku perahkan susu dan aku mulai dengan kedua ibu bapakku, lantas aku beri minum mereka sebelum anak-anakku.

Suatu hari, ternak itu membawaku jauh mencari tempat gembalaan. Akhirnya aku tidak pulang kecuali setelah sore. Aku dapati ibu bapakku telah tertidur. Aku pun memerah susu sebagaimana biasa, lalu aku datang membawa susu tersebut dan berdiri di dekat kepala mereka, dalam keadaan tidak suka membangunkan mereka dari tidur. Aku pun tidak suka memberi minum anak-anakku sebelum mereka (kedua orang tuanya, -red.) meminumnya.

Baca juga:

Bagimu Ayah dan Ibu …

Anak-anakku sendiri menangis di bawah kakiku meminta minum karena lapar. Seperti itulah keadaanku dan mereka, hingga terbit fajar. Kalau Engkau tahu, aku melakukan hal itu karena mengharapkan wajah-Mu, bukakanlah satu celah untuk kami dari batu ini agar kami melihat langit.’

Lalu Allah bukakan satu celah hingga mereka pun melihat langit.

فَفَرَجَ اللهُ مِنْهَا فُرْجَةً فَرَأَوْا مِنْهَا السَّمَاءَ، وَقَالَ الْآخَرُ: اللَّهُمَّ إِنَّهُ كَانَتْ لِيَ ابْنَةُ عَمٍّ أَحْبَبْتُهَا كَأَشَدِّ مَا يُحِبُّ الرِّجَالُ النِّسَاءَ وَطَلَبْتُ إِلَيْهَا نَفْسَهَا فَأَبَتْ حَتَّى آتِيَهَا بِمِائَةِ دِينَارٍ فَتَعِبْتُ حَتَّى جَمَعْتُ مِائَةَ دِينَارٍ فَجِئْتُهَا بِهَا فَلَمَّا وَقَعْتُ بَيْنَ رِجْلَيْهَا قَالَتْ: يَا عَبْدَ اللهِ، اتَّقِ اللهَ وَلاَ تَفْتَحِ الْخَاتَمَ إِلاَ بِحَقِّهِ. فَقُمْتُ عَنْهَا، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ لَنَا مِنْهَا فُرْجَةً. فَفَرَجَ لَهُمْ.

Yang kedua berkata, ‘Sesungguhnya aku punya sepupu wanita yang aku cintai, sebagaimana layaknya cinta seorang laki-laki kepada seorang wanita. Aku minta dirinya (melayaniku), tetapi dia menolak kecuali aku datang kepadanya (menawarkan) seratus dinar. Aku pun semakin payah. Akhirnya aku kumpulkan seratus dinar, lalu menyerahkannya kepada gadis itu.

Setelah aku berada di antara kedua kakinya, dia berkata, ‘Wahai hamba Allah, bertakwalah kepada Allah. Jangan engkau buka tutup (kiasan untuk keperawanannya) kecuali dengan haknya.’

Baca juga:

Status Anak Zina

Aku pun berdiri meninggalkannya. Kalau Engkau tahu, aku melakukannya adalah karena mengharap wajah-Mu, maka bukakanlah untuk kami satu celah dari batu ini.’

Allah subhanahu wa ta’ala pun membuka satu celah untuk mereka.

وَقَالَ الْآخَرُ: اللَّهُمَّ إِنِّي كُنْتُ اسْتَأْجَرْتُ أَجِيرًا بِفَرَقِ أَرُزٍّ فَلَمَّا قَضَى عَمَلَهُ قَالَ: أَعْطِنِي حَقِّي فَعَرَضْتُ عَلَيْهِ فَرَقَهُ فَرَغِبَ عَنْهُ، فَلَمْ أَزَلْ أَزْرَعُهُ حَتَّى جَمَعْتُ مِنْهُ بَقَرًا وَرِعَاءَهَا، فَجَاءَنِي فَقَالَ: اتَّقِ اللهَ وَلاَ تَظْلِمْنِي حَقِّي. قُلْتُ: اذْهَبْ إِلَى تِلْكَ الْبَقَرِ وَرِعَائِهَا فَخُذْهَا. فَقَالَ: اتَّقِ اللهَ وَلاَ تَسْتَهْزِئْ بِي. فَقُلْتُ: إِنِّي لاَ أَسْتَهْزِئُ بِكَ، خُذْ ذَلِكَ الْبَقَرَ وَرِعَاءَهَا. فَأَخَذَهُ فَذَهَبَ بِهِ، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ لَنَا مَا بَقِيَ. فَفَرَجَ اللهُ مَا بَقِيَ

Laki-laki ketiga berkata, ‘Ya Allah, sungguh, aku pernah mengambil sewa seorang buruh, dengan upah satu faraq[1] beras. Setelah dia menyelesaikan pekerjaannya, dia berkata, ‘Berikan hakku.’ Lalu aku serahkan kepadanya beras tersebut, tetapi dia tidak menyukainya. Akhirnya aku tetap menanamnya hingga aku kumpulkan dari hasil beras itu seekor sapi dan penggembalanya. Kemudian dia datang kepadaku dan berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah, dan jangan zalimi aku dalam urusan hakku.’

Aku pun berkata, ‘Pergilah, ambil sapi dan penggembalanya.’

Dia berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah dan jangan mempermainkan saya.’

Aku pun berkata, ‘Ambillah sapi dan penggembalanya itu.’ Akhirnya dia pun membawa sapi dan penggembalanya lalu pergi. Kalau Engkau tahu bahwa aku melakukannya karena mengharap wajah-Mu, bukakanlah untuk kami apa yang tersisa.’

Allah pun membukakan untuk mereka sisa celah yang menutupi.”

Baca juga:

Buah Kedermawanan

Itulah kisah yang diceritakan oleh beliau shallallahu alaihi wa sallam. Sebuah kisah yang di dalamnya sarat dengan pelajaran yang sangat berharga. Dalam kisah ini terkandung dalil tentang tawasul (perantara) yang dibolehkan, yaitu dengan amal saleh yang pernah dikerjakan.

Orang pertama bertawasul kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan baktinya kepada kedua orang tuanya. Dia seorang penggembala. Mpokoknya tergantung pada susu ternaknya. Kebiasaan orang ini adalah memerah susu itu sesudah dia pulang dan mulai memberi minum kepada kedua orang tuanya sebelum anak dan istrinya.

Inilah salah satu bentuk bakti kepada ibu dan bapak.

Betapa banyak manusia saat ini yang berbakti kepada orang tua sesuai dengan keridhaan anak dan istrinya. Mereka mendahulukan anak dan istrinya, kemudian baru berbakti kepada ibu bapak mereka. Yang lebih menyedihkan lagi, sebagian mereka lebih suka menitipkan ibu bapaknya di panti-panti jompo.

Tidak takutkah mereka dengan peringatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam sebuah hadits, ketika beliau naik ke atas mimbar sambil mengucapkan amin setiap kali menapakkan kaki di atas mimbarnya?

Para sahabat yang begitu antusias dengan kebaikan, bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Apa yang Anda aminkan, wahai Rasulullah?”

Beliau berkata, “Jibril datang kepadaku lalu berkata—di antaranya—,

رَغِمَ أَنْفُ امْرِئٍ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا فَلَمْ يُدْخِلاَهُ الْجَنَّةَ، قُلْتُ: آمِيْن

‘Alangkah celakanya seseorang yang mendapati kedua orang tuanya atau salah satunya, tetapi keduanya tidak menyebabkan dia masuk ke dalam janah.’ Aku pun berkata, ‘Amiin’.”[2]

Baca juga:

Pengaruh Orang Tua Terhadap Anak

Adapun kebiasaan si penggembala ini, dia menjauh untuk mencari ladang gembalaan ternaknya dan tidak kembali kecuali sesudah malam agak larut. Dia pun memerahkan susu untuk ibu bapaknya yang ternyata telah tertidur. Dia tidak suka membangunkan mereka dan tidak mau memberikan susu itu untuk anaknya. Akhirnya dia pun berjaga sepanjang malam itu dengan susu itu masih di tangannya, sedangkan anaknya menangis di bawah kakinya.

Sungguh, hanya Allah subhanahu wa ta’ala yang tahu betapa sulitnya keadaan si penggembala malam itu. Jauh-jauh dia menggembalakan kambing, lalu bergegas pulang dan belum sempat makan malam, sementara anaknya menangis di bawah kakinya. Gambaran yang sangat agung yang ditunjukkan oleh iman, hingga membawanya sampai pada tingkatan demikian tinggi karena baktinya kepada ibu bapaknya dan semangatnya melakukan hal itu. Hal ini menjadi salah satu sebab Allah subhanahu wa ta’ala membuka sedikit celah yang menutupi gua itu.

Ini adalah peringatan bagi umat ini, sekaligus anjuran agar berbakti kepada ibu bapaknya dan bersegera menjalankannya.

Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam melanjutkan kisahnya.

Orang kedua bertawasul kepada Rabb-nya dengan rasa takutnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Rasa takut itu mendorongnya untuk meninggalkan perbuatan keji dan bujukan syahwat. Dia begitu mencintai dan ingin memiliki putri pamannya, bahkan membujuk gadis itu agar mau mengikuti keinginannya, tetapi wanita itu menolak.

Baca juga:

Takutlah Kepada Allah

Pada suatu ketika wanita itu ditimpa kesulitan ekonomi. Hal ini mendorongnya datang menemui si pemuda. Akan tetapi, keadaan ini seolah menjadi sebuah kesempatan baik bagi si pemuda agar melampiaskan syahwatnya. Akhirnya, dia membujuk wanita agar menuruti keinginannya dan dia siap membantunya. Dengan terpaksa, wanita itu meluluskan keinginan si pemuda setelah dia menerima sejumlah uang yang cukup besar. Uang itu diserahkan sebelum dia melayani si pemuda.

Akan tetapi, saat pemuda itu sudah siap untuk melakukan segala perkara yang hanya layak dilakukan oleh suami kepada istrinya dan tidak ada lagi yang akan mencegah si pemuda berbuat apa yang diinginkannya terhadap tubuh wanita itu, tiba-tiba wanita itu menangis dan bergetar.

Pemuda itu bertanya, “Ada apa?”

Si wanita mengatakan bahwa dia takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala, karena dia belum pernah melakukan perbuatan keji (zina) sebelum itu.

Mendengar ucapan wanita tersebut, pemuda itu segera berdiri dan meninggalkan si wanita yang sangat dicintainya serta harta yang diberikannya untuk si wanita.

Itulah keimanan yang mendorongnya meninggalkan perbuatan zina. Padahal dia mampu melakukannya, bahkan semua sarana dan fasilitas serta situasi sangat mendukung keinginannya. Akan tetapi, iman dan rasa takutnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala menuntutnya segera meninggalkan perbuatan keji itu dan bertobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Sungguh, sangat disayangkan, sebagian anak-anak kaum muslimin justru melangkah menuju perbuatan keji ini. Lebih celaka lagi, semua dikemas dengan label Islam “pacaran islami”. Bahkan, para orang tua mendukung perbuatan tersebut. Mereka merasa bangga apabila anak gadisnya bergandengan atau berduaan dengan seorang pemuda, entah teman sekolahnya, entah hasil perkenalan di sebuah tempat. Sementara itu, para pemuda dan pemudinya akan dihinggapi rasa minder jika mereka tidak mempunyai pacar.

Baca juga:

Perilaku Menyimpang Remaja

Jadi, seolah-olah dalam Islam perzinaan itu sah-sah saja. Na’udzu billahi min dzalik. Mahasuci Allah dari kedustaan yang mereka ada-adakan.

Akan tetapi, lihatlah bagaimana pemuda itu. Dalam keadaan sudah hampir melakukannya terhadap wanita yang dicintainya tanpa ada yang merintangi. Ternyata dia segera beranjak pergi meninggalkan si wanita dan membiarkan harta itu untuknya. Itulah tobat yang membasuh dosa.

Rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala membuat laki-laki itu menjauhi putri pamannya itu, padahal dia adalah wanita yang paling dicintainya. Wanita yang memberi kesempatan kepada dirinya untuk berbuat apa saja, tetapi juga mengingatkannya agar bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Wanita itu mengingatkannya kepada Dzat yang dirinya adalah hamba sahaya-Nya.

Wanita itu mengingatkannya kepada Allah, “Wahai hamba Allah, bertakwalah kepada Allah!” Artinya, buatlah antara dirimu dan Allah subhanahu wa ta’ala sebuah pelindung dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya dalam keadaan penuh rasa takut dan harap.

“Bertakwalah kepada Allah, jangan kau buka tutupnya kecuali dengan haknya,” kata wanita itu.

“Lalu aku pun berdiri meninggalkannya. Ya Allah, kalau Engkau tahu aku melakukannya karena mengharap Wajah-Mu, lepaskanlah kami dari batu ini.”

Allah subhanahu wa ta’ala pun memberi celah lebih lebar daripada sebelumnya, tetapi mereka belum dapat keluar.

Baca juga:

Mengapa Tidak Mendapat Pertolongan Allah?

Apa yang mendorongnya meninggalkan wanita itu dalam keadaan dia sudah ada di atas tubuhnya? Apa yang mencegahnya dari kemaksiatan? Tidak ada yang menghalanginya selain kokohnya sikap ta’zhim (pengagungan) kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam sanubarinya. Tidak ada yang menghentikannya selain kebesaran Rabb-nya yang bertahta di hatinya sehingga menimbulkan rasa takut dan merasa diawasi oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Dia segera berdiri karena Allah subhanahu wa ta’ala, mengharap pahala dan takut akan siksa-Nya.

Menghormati Hak Orang Lain

Alangkah banyak manusia yang masih suka mengangkangi hak orang lain. Sementara itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits sahih dari Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu,

مَنِ اقْتَطَعَ مَالَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِغَيْرِ حَقٍّ لَقِيَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ

“Siapa yang mengambil harta seorang muslim tanpa alasan yang benar, niscaya dia bertemu dengan Allah azza wa jalla dalam keadaan Dia sangat murka kepadanya.” (HR. Ahmad)

Bayangkanlah hari yang sangat dahsyat tersebut. Manusia dikumpulkan dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian, dan tidak berkhitan. Saat itu kita sangat membutuhkan karunia dan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala.

Dalam hadits lain yang hampir serupa dengan ini, terkait dengan sumpah, mereka bertanya kepada Rasulullah subhanahu wa ta’ala, “Walaupun sebatang kayu arak—untuk siwak—?”

Kata beliau, “Walaupun hanya sebatang kayu arak.”

Artinya, seandainya kita mengambil sebatang kayu arak dari seorang muslim dalam keadaan dia tidak senang kamu mengambilnya, niscaya kita akan bertemu dengan Allah subhanahu wa ta’ala dalam keadaan dia murka. Lantas, di mana sikap ta’zhim (pengagungan) kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari orang-orang yang berbuat zalim seperti ini?

Baca juga:

Kezaliman adalah Kegelapan pada Hari Kiamat

Seandainya dia memiliki sikap ta’zhim kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tentulah dia seperti orang yang diceritakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits ini. Kita perhatikan kisah tentang orang ketiga ini.

Dia menyewa seorang buruh agar bekerja dengan upah yang telah ditentukan, tetapi pekerja itu tidak jadi mengambil upahnya. Dia malah pergi tanpa membuat kesepakatan dengan majikannya agar upahnya dikembangkan. Namun, kedermawanan majikan tersebut mendorongnya mengolah upah buruh itu sehingga bertambah banyak.

Tak lama, dari upah buruh itu yang tidak seberapa, harta itu berkembang menjadi berlimpah. Kemudian datanglah si buruh menagih upah yang dahulu dia tinggalkan. Oleh si majikan, harta yang berasal dari upah si buruh diserahkan seluruhnya kepada buruh tersebut.

Dia berkata, “Lalu aku berikan kepada buruh itu semua yang telah aku kembangkan dari upahnya. Andai aku mau, tentulah tidak aku berikan kepadanya melainkan upahnya semata.”

Artinya, dia memiliki kuasa untuk tidak memberi buruh itu harta yang sudah dikembangkannya dalam waktu cukup lama. Akan tetapi, dengan sikap pemurahnya itu, dia menyerahkan semua harta yang diperoleh dari upah buruh tersebut.

Lalu dia pun berkata, “Ya Allah, kalau Engkau tahu aku melakukannya demi mengharap rahmat-Mu dan takut akan siksa-Mu, lepaskanlah kami.”

Batu itu pun bergeser dan mereka berjalan keluar dari gua tersebut.

Melalui kisah ini pula kita dapatkan bahwa selamat dari petaka/bencana adalah balasan atas amal perbuatan yang saleh. Betapa besar ganjaran yang diterima oleh mereka yang jujur dan amanah dalam bermuamalah.

Baca juga:

Kisah Sebatang Kayu, Amanah yang Nyaris Punah

Majikan yang jujur dan amanah yang mengembangkan upah buruhnya adalah cermin bagi kita melihat betapa langkanya kejujuran dan amanah itu di sekitar kita saat ini. Dia menyerahkan semua harta yang dihasilkan dari pengembangan upah buruhnya, tanpa meminta imbalan atau bagian atas upayanya mengembangkan upah buruh tersebut. Sementara itu, di sekitar kita, hal ini justru menjadi peluang untuk memperoleh harta tambahan. Wallahul musta’an.

Alangkah tepat ungkapan ini,

صَبْراً جَمِيلاً مَا أَقْرَبَ الْفَرَجَا

مَنْ رَاقَبَ اللهَ فِي الْأُمُوْرِ نَجَا

مَنْ صَدَقَ اللهَ لَمْ يَنَلْهُ أَذَى

وَمَنْ رَجَاهُ يَكُونُ حَيْثُ رَجَا

Bersabarlah dengan kesabaran yang indah, alangkah dekatnya jalan keluar

Siapa yang senantiasa yakin diawasi oleh Allah dalam semua urusan, pasti selamat

Siapa yang jujur terhadap Allah, tentu tidak akan celaka

Dan siapa yang mengharapkan-Nya, tentu Dia ada di mana pun diharap

Jelaslah, dari hadits ini bahwa ketiga laki-laki mukmin ini, saat mereka ditimpa malapetaka dan keadaan mengimpit mereka, serta putus asa akan datangnya kelonggaran dari semua jalan selain jalan Allah tabaraka wa ta’ala satu-satunya, mereka pun berlindung dan berdoa kepada-Nya dengan ikhlas.

Baca juga:

Ikhlas untuk Allah dalam Bertugas

Mereka menyebutkan amalan-amalan saleh mereka yang dahulu biasa mereka ingat kepada Allah subhanahu wa ta’ala pada waktu-waktu senang, sambil mengharapkan agar Allah mengetahui keadaan mereka saat-saat yang sulit. Ini sebagaimana hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ

Ingatlah kepada Allah ketika dalam keadaan senang, tentu Dia mengingatmu pada saat-saat yang sulit.”[3]

Wallahu a’lam.

 


Catatan Kaki

[1] Kira-kira 16 ritl. Ritl adalah ukuran yang dipakai untuk menimbang, dan takarannya berbeda antara satu negeri dengan negeri lainnya. Di Mesir misalnya, 1 ritl= 12 uqiyah, 1 uqiyah= 12 dirham. Satu dirham sendiri = 3,98 gram perak, berarti 1 faraq sekitar 9,17 kg.

Adapula yang berpendapat 1 uqiyah= 40 dirham, sehingga 1 faraq sekitar 30,5 kg.

[2]  Shahih Adabul Mufrad (no. 503), dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah.

[3] HR. Ahmad dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dan sanadnya sahih dengan syawahid. Lihat Zhilalul Jannah fi Takhrij as-Sunnah (hlm. 138), karya Syaikh al-Albani rahimahullah.

Ditulis oleh Ustadz Abu Muhammad Harits