Asysyariah
Asysyariah

[potret] kisah mualaf suku lauje

11 tahun yang lalu
baca 16 menit
[Potret] Kisah Mualaf Suku Lauje

Kabar Tentang Para Muallaf
Akhir bulan Muharram 1435 H, seorang teman dari Poso mengabarkan bahwa beberapa orang suku terasing di Desa Dongkalan, Kecamatan Palasa, Kabupaten Parigi Moutong (PARIMO), Sulawesi Tengah telah memeluk Islam. Mereka adalah suku terasing Lauje atau yang lebih dikenal oleh warga setempat dengan sebutan “Orang Bela”, walaupun Bupati PARIMO lebih menganjurkan untuk memanggil mereka dengan sebutan “Orang Lauje Asli”, agar lebih menghargai mereka.

jalan-menuju-kampung-suku-lauje
Jalan menuju kampung muallaf suku terasing Lauje

Mereka mendiami pegunungan Pantai Timur (istilah untuk wilayah pesisir timur Provinsi Sulawesi Tengah). Mayoritas dari mereka memang sudah dikristenkan karena adanya kegiatan misionaris Kanada atau Amerika Serikat. Alhamdullillah, beberapa orang dari mereka yang tersentuh hidayah untuk memeluk Islam sehingga menjadi muallaf.

Tentu saja para muallaf ini sangat membutuhkan bimbingan demi memperkuat keimanan mereka. “Kami tidak ingin berislam sekadar Islam KTP,” kata salah seorang muallaf. Akan tetapi sayang, mereka belum mendapatkan penanganan serius. Kondisi yang seperti ini membuat mereka rentan kembali lagi kepada kekafiran. Berdasarkan pengalaman, banyak warga muallaf yang tidak terbina kembali murtad.

Perjalanan Menuju Kampung Muallaf
Mendengar berita keislaman beberapa orang tersebut, sejumlah da’i Ahlus Sunnah di Poso dan Palu menyambut bahagia dengan menemui para muallaf. Jarak dari Poso menuju menuju Kecamatan Palasa sekitar 300 km, sedangkan dari Palu sekitar 200 km. Rombongan da’i Poso sepakat untuk bertemu dengan rombongan da’i Palu di Parigi. Kemudian mereka bersama-sama menuju Kecamatan Palasa.

pemandangan-dari-lereng
Pemandangan dari lereng menuju kampung suku terasing Lauje

Dengan bermodalkan nomor HP, pada pukul 14.30 WITA, rombongan meluncur dari Parigi menuju tempat tinggal para muallaf. Pada pukul 18.30 WITA, rombongan sudah tiba di desa Dongkalan. Kemudian rombongan langsung disambut ramah oleh Pak Arsyad (lebih akrab disapa Pak Acat). Beliau merupakan warga desa Dongkalan yang sering berinteraksi dengan orang-orang Bela. Dari Pak Acat inilah informasi awal tentang para muallaf ini didapat.

Beberapa Orang Bela Menjadi Muallaf
Setiap hari Sabtu (hari pasaran Dongkalan), orang Bela turun membawa barang dagangan dari gunung, seperti: kayu manis, rotan, bawang merah, dan hasil bumi lainnya untuk dijual di pasar. Uang yang didapat mereka gunakan untuk membeli ikan asin, garam, minyak goreng, dan keperluan lainnya.

Sehari sebelum hari pasar, orang Bela yang turun gunung berinteraksi dengan kaum muslimin, termasuk Pak Arsyad. Sebagian mereka masuk Islam lantaran interaksi tersebut, tanpa paksaan. Mereka masuk Islam dengan dibimbing imam masjid setempat dengan mengucapkan dua kalimat syahadat lalu dimandikan oleh Imam Masjid. Sebagian mereka juga masuk Islam lantaran pernikahan dengan warga muslim di sekitar desa Dongkalan.

IMG-20140315-WA0005

Namun, setelah mereka masuk Islam, mereka belum mendapatkan pembinaan intensif dari tokoh setempat sehingga keadaan mereka cukup memprihatinkan. Kebanyakan mereka belum mengerti dan mengamalkan amal ibadah wajib.  Seorang warga yang sudah masuk Islam sejak satu/dua tahun lalu bahkan masih belum mengerti shalat, puasa, dan dasar-dasar Islam yang lain.

Penulis juga mendapati seseorang yang masih terbata-bata mengucapkan dua kalimat syahadat. “Kami baru bersyahadat satu kali saja pak,” ujar salah seorang muallaf.

Jumlah para muallaf desa Dongkalan hingga sekarang ada 18 KK atau sekitar 60 jiwa. Semuanya membutuhkan bimbingan. Kehidupan mereka yang di bawah garis kemiskinan membuat mereka sangat rawan untuk kembali murtad ke ajaran Nasrani.

Taklim Bersama Para Muallaf
Keesokan hari, sekitar jam 08.00 WITA, rombongan naik ke SD Punsung Lemo guna bertemu langsung dengan para muallaf dengan menggunakan motor ojek. Karena medan terjal, jalanan naik turun, dan jarak yang jauh (sekitar 8 km), tarif ojek pun menyesuaikan. Tarif pulang pergi sejumlah Rp70.000,00, sekali antar Rp40.000,00.

rumah-suku-terasing-lauje
Rumah suku terasing Lauje

Setelah menaiki banyak tanjakan, tak terlihat perkumpulan rumah layaknya perkampungan. Akan tetapi, yang terlihat rumah-rumah yang terpencar di antara kebun yang terjal. Jarang sekali didapati tanah yang rata. Itulah tempat tinggal mereka, layaknya gubuk-gubuk tempat beristirahat di kebun. Hanya saja, mereka telah mendapatkan bantuan dari pemerintah sehingga atapnya sudah terbuat dari seng dan berdinding papan. Rumah mereka yang masih asli hanya berdinding kulit kayu dan beratap daun rotan tanpa paku, sebatas diikat dengan rotan.

pelataran-rumah
Pelataran rumah

Rombongan tiba di SD Terpencil Punsung Lemo. Terlihat sekumpulan warga yang berjalan menaiki bukit. Merekalah para muallaf yang hendak menghadiri taklim (pengajian) di SD Punsung Lemo. Di antara mereka ada pula warga Bela yang memang sudah muslim sejak lahir. Tidak lama, mereka masuk ke ruangan kelas untuk mendengarkan kajian. Disampaikan saran agar jamaah wanita dipisah di ruang sebelahnya, mereka memahaminya; sementara anak-anak mereka bermain di halaman sekolah.

Taklim pun dimulai. Salah satu dari rombongan menyampaikan beberapa materi kajian Islam: Makna dan Keutamaan Dua Kalimat Syahadat, Rukun Islam, Tata Cara Thaharah, Berwudhu, Tata Cara Shalat, dan beberapa adab Islam lain. Setiap 4—5 menit penyampaian materi, Pak Andi menerjemahkannya ke bahasa Lauje, karena memang kebanyakan mereka belum paham bahasa Indonesia.

Alhamdulillah, mereka mendengarkan dengan saksama. Seusai kajian, salah satu dari rombongan membagikan mie instan kepada muallaf.

Kristenisasi di Tinombo, Palasa, dan Sekitarnya
Menurut warga, misionaris dari Kanada sudah melakukan misi kristenisasi di Pantai Timur sejak sekitar tahun 40-an. Awal mulanya, ada beberapa penginjil bule yang datang ke kecamatan Tinombo (sebelah Kec. Palasa). Mereka meminta salah seorang guru bahasa Inggris di sebuah sekolah setempat untuk menulis kamus Inggris-Lauje sampai akhirnya mereka menguasai bahasa Lauje. Mereka kemudian menerjemahkan injil ke dalam bahasa Lauje.

Para penginjil Kanada tersebut tinggal bertahun-tahun di pegunungan suku terasing La Uje. Dahulu mereka sempat menggunakan helikopter untuk menjangkau daerah terpencil dalam menjalankan misi kristenisasi. (Alhamdulillah, sekarang helikopter tersebut sudah tidak terlihat lagi, wallahu a’lam apa sebabnya). Setelah itu, mereka mulai mendekati beberapa tokoh dan kepala suku orang Bela. Dengan diiming-imingi pakaian dan makanan, mereka berhasil mengkristenkan tokoh-tokoh orang Bela tersebut. Ketika kepala sukunya sudah masuk Kristen, dengan mudah masyarakat mengikutinya. Lebih-lebih mereka juga membagikan beras dan pakaian kepada masyarakat gunung
tersebut.

Beberapa kepala suku yang berhasil mereka rekrut ada yang dikirim ke Kanada. Akhirnya, kepala suku tersebut menjadi pendeta dan penginjil di gunung. Beberapa pemuda/pemudi orang Bela juga mereka kirim ke Perguruan Theology, seperti ke Manado, Tentena (Poso), atau tempat lainnya. Pada akhirnya mereka pulang menjadi pendeta di gunung.

Seorang Mantan Penginjil Yang Menjadi Muallaf
Setiba rombongan berada di rumah Pak Acat, beliau langsung menelepon salah satu muallaf untuk turun ke rumah beliau. Sepulang dari shalat Isya, rombongan sudah mendapati dua orang duduk di teras rumah Pak Acat. Mereka langsung menyalami keduanya, Pak Andi dan Pak Asmin.

Pak Andi adalah seorang mantan penginjil yang baru satu pekan masuk Islam. Beliau sempat mengenyam pelatihan Penginjil di Manado selama sebulan. Sementara itu, Pak Asmin sudah berislam sejak lahir, hanya saja istri beliau adalah seorang muallaf. Dalam kesempatan berjumpa dengan muallaf itu, salah seorang rombongan menawarkan untuk menyampaikan beberapa ajaran Islam. Keduanya pun mengiyakan. Sambil berbincang santai, salah seorang di antara mereka menyampaikan makna dua kalimat syahadat secara ringkas, rukun Islam lainnya, tata cara thaharah, dan adab Islam lainnya.

Dua orang tersebut mendengarkan dengan saksama. Bahkan, Pak Andi sempat merekam beberapa penjelasan tersebut dengan HP-nya. Dengan harapan bisa didengar ulang nanti di rumahnya. Kemudian mereka menyampaikan kepada Pak Andi, rencana akan naik ke gunung besok pagi, insya Allah. Rencana tersebut disambut baik Pak Andi, bahkan beliau meminta diadakan pengajaran Islam di gunung untuk warga muallaf lainnya.

Tidak berapa lama, datanglah Sekdes dan Ketua P3N. Pembicaraan beralih ke topik kondisi orang-orang Bela. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 22.30 WITA, kedua orang Bela tersebut berpamitan untuk pulang ke rumahnya di gunung.

Semangat Belajar Seorang Muallaf
Walaupun malam mulai larut, Pak Andi dan Pak Asmin tetap berangkat pulang ke gunung. Dengan sebuah motor bebek, keduanya menaiki jalan terjal di kegelapan malam sejauh 8 km untuk sampai di rumahnya.

Setibanya di rumah, Pak Andi bukannya langsung tidur, tetapi membangunkan keluarganya yang sudah tertidur. “Bangun-bangun, ini ada rekaman pelajaran agama Islam dari Pak Ustadz. Mari kita dengarkan!”

Mereka pun bangun dan mendengarkan rekaman tersebut. Pak Andi mengatakan, “Kami mengulang-ulang mendengarkan rekaman tersebut hingga jam 2 malam, baru kami tidur.” Waktu itu istri Pak Andi masih Nasrani. Dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala, beberapa pekan kemudian masuk Islam. Masya Allah, demikianlah semangat seorang muallaf yang ingin mengetahui ajaran Islam. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mengokohkan iman Pak Andi sekeluarga.

Esok harinya, masih pagi sekali, Pak Andi dan Pak Asmin berjalan naik turun bukit untuk menyampaikan undangan taklim kepada para muallaf lainnya yang akan dilaksanakan di Ruang Kelas SD terpencil Punsung Lemo.

Sekilas Tentang Kampung Muallaf
Dusun Solongan dan Pungsu, adalah dua dusun yang bersebelahan, keduanya masih di bawah pemerintahan Desa Dongkalan. Solongan berjarak sekitar 8 km dari jalan poros, sementara Pungsu terletak di bawah Solongan. Mayoritas warga Solongan beragama Nasrani, sementara Pungsu mayoritas muslim. Di kedua dusun inilah para muallaf tinggal.  Warga Bela di sana hidup dari sektor pertanian.

Secara geografis, kedua dusun tersebut terletak di atas perbukitan terjal dan berbatu. Lereng-lereng gunung yang sangat terjal mereka olah menjadi kebun-kebun. Mereka bercocok tanam ubi, singkong, padi ladang, bawang, cabai, coklat atau cengkih. Pengetahuan mereka tentang pertanian sangat minim sehingga hasil panennya pun sangat terbatas. Hal inilah yang melatarbelakangi program pembinaan pertanian kepada mereka demi lebih menambah produktivitas hasil pertanian. Makanan pokok mereka adalah talas, ubi, singkong, kadang nasi.
Ubi/singkong kadang dibakar atau direbus. Lauk yang paling mereka sukai adalah ikan asin. Kalau tidak ada ikan asin mereka makan dengan lauk garam dicampur cabai.

Tidak ada masjid di sana, demikian pula gereja.

Sekilas Tentang Dusun Salamayang
Salamayang adalah dusun yang sangat terpencil, hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama setengah hari bagi orang Bela yang sudah biasa.  Adalah Pak Nani Hati, beliau adalah warga Salamayang yang sudah masuk Islam dua tahun lalu. Hanya saja, beliau masih belum mengenal Islam. Anak dan istrinya masih belum dibimbing bersyahadat oleh Imam Dongkalan.

Beliau adalah satu-satunya guru di sana. Sekolah yang beliau kelola hanya beratap terpal, berlantai papan, tanpa ada dindingnya. Jumlah siswanya 120 orang. Di sana ada 400 KK atau sekitar 3.000 jiwa yang mayoritasnya masih beragama Nasrani. Hanya saja kegiatan gereja sudah tidak aktif lagi. Dahulu pernah ada pendeta Kanada yang tinggal menetap di sana. Akan tetapi, karena suatu kasus, dia diusir dari Salamayang.

Pak Nani Hati menjelaskan bahwa jika warga Salamayang disentuh dengan bantuan, insya Allah mereka bisa diajak masuk Islam. Beliau siap menjembatani untuk sampainya program dakwah kepada suku terasing di sana.

Pernah ada seorang warga Solongan yang pernah bertemu dengan sepuluh laki-laki Salamayang yang baru pulang dari kampung Dongkalan. Ketika ditanya keperluan mereka dari Desa Dongkalan, mereka menjawab, “Kami ada 10 keluarga ingin masuk Islam, tetapi tidak ada tanggapan dari Pak Imam.” Kesepuluh keluarga ini dengan penuh kesedihan pulang ke Salamayang tidak jadi masuk Islam.

Sungguh ironis, sepuluh keluarga tersebut tidak tersalurkan keinginannya untuk memeluk Islam. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mempertemukan mereka dengan hidayah.

Dari sisi mata pencaharian, mayoritas warga Salamayang bercocok tanam bawang merah. Bagi yang pernah berkunjung ke Palu, mungkin sudah mengenal oleh-oleh Bawang Goreng renyah. Dari Salamayang-lah asal bawang goreng itu ditanam. Mereka berjalan selama setengah hari memikul hasil panen dari Salamayang menuju pasar. Terkadang bawang hasil panen mereka muat dengan rakit menyusuri sungai Palasa menuju jalan raya.

Keadaan Salamayang yang sangat terpencil tersebut membuat petugas pemerintah merasa kesulitan dalam membina mereka. Pembinaan dari para misionaris Kristen yang sempat menyentuh mereka sehingga mereka sekarang memeluk agama Kristen.

Pembangunan Gereja Ilegal
Sekitar 3 tahun lalu, masyarakat Desa Dongkalan sedang disibukkan dengan kerja bakti membangun pasar Dongkalan. Mereka hampir tidak pernah naik ke kebun di gunung. Ternyata secara diam-diam, para penginjil Pantekosta di Dusun Pungsu membangun sebuah gereja, tanpa izin pemerintah dan warga setempat. Warga dikagetkan dengan adanya undangan kebaktian dari seorang pendeta perempuan bernama Selvi. Warga bertambah kaget lagi ketika jemaat gereja yang datang itu ternyata dari luar daerah, seperti dari tentena (Poso), Bondoyong (Tinombo), dan Manado.

Warga sangat tersinggung dengan perbuatan para penginjil tersebut. Spontan warga langsung naik ke gunung dan merobohkan gereja ilegal tersebut. Konon kabarnya, gereja itu adalah yang terbesar di kecamatan tersebut. Tidak lama kemudian Danramil, Camat, dan Kades naik ke lokasi. Mereka juga menyalahkan tindakan para penginjil tersebut yang membangun gereja tanpa izin pemerintah dan warga setempat.

Akhirnya, Pendeta Muda Itu Masuk Islam
Para penginjil ternyata sudah menyiapkan seorang pendeta muda perempuan untuk memimpin jemaat gereja pantekosta di dusun Pungsu. Arina, seorang gadis belia suku Bela yang telah mereka kirim ke sebuah sekolah Theology di Manado. Dia mengenyam pendidikan Pendeta sekitar 3 Tahun di Manado. Mereka harap Arina bisa melanjutkan misi di dusun Pungsu. Akan tetapi, Allah subhanahu wa ta’ala memusnahkan impian mereka.

Walaupun gereja ilegal tersebut sudah dirobohkan warga, Pendeta Selvi masih ngotot terus melakukan kebaktian di rumah seorang warga. Hanya saja Pendeta Arina sudah tidak begitu aktif memimpin jemaat lagi. Entah apa yang menyebabkan pendeta Arina tidak aktif memimpin jemaat.

Karena kevakumannya, Pendeta Selvi sempat memukul Pendeta Arina. Kurang lebih dua bulan yang lalu, kaum muslimin Dongkalan mendapat kabar gembira dengan masuk Islamnya Pendeta muda Arina, menyusul dua kakaknya yang terlebih dahulu masuk Islam. Ada seorang pria muslim dari dusun Tingkulang yang mempersunting mantan Pendeta Arina. Akhirnya, mereka berdua dinikahkan
oleh imam di masjid setempat.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menambah keimanan beliau. Sekarang, mantan pendeta Arina berpindah ikut sang suami tinggal di Tingkulang.

Keinginan Membangun Masjid
Para muallaf sangat mendambakan berdirinya sebuah masjid di Dusun Pungsu-Solongan. Mereka sangat menginginkan bisa belajar Islam bersama anak dan istri mereka di masjid tersebut. Akan tetapi, karena kurang mendapat dukungan dari pihak-pihak terkait, keinginan mulia ini belum tercapai.

Sepulang rombongan da’i Ahlus Sunnah dari kampung muallaf itu, mereka terus menyampaikan kabar tentang kondisi para muallaf tersebut kepada kaum muslimin di Poso, Parigi, dan Palu. Alhamdulillah, Allah subhanahu wa ta’ala gerakkan hati kaum muslimin untuk membantu para muallaf dalam meraih cita-cita mulia tersebut.

masjid-yang-sedang-dibangun
Masjid yang sedang dibangun di tempat suku terasing Lauje

Tidak lama, terkumpullah belasan karung pakaian pantas pakai serta sejumlah dana dakwah dan pembangunan masjid. Sekarang program pembangunan masjid kayu dengan ukuran 8x8m secara bertahap. Kerangka bangunan dan atap seng sudah terpasang. Karena keterbatasan tenaga tukang, pembangunan belum berlanjut. Tahap selanjutnya adalah pemasangan lantai kayu dan dinding kayu.

Program Dakwah yang Lain
Berikut ini rencana program dakwah yang akan dilaksanakan di kampung muallaf.

1. Rencana pengadaan sarana MCK, tempat wudhu, dan pengadaan air bersih. Mengingat langkanya sumber air, pengadaan air bersih rencana diambil dari sebuah mata air di bukit yang berjarak sekitar 600 m. Dibutuhkan selang air sebanyak 12 rol dan dua buah tandon penampungan air.

2. Program pemberangkatan 5 guru ngaji setiap pekan sekali bergiliran. Mengingat jarak Poso-Palasa sekitar 300 km, dibutuhkan biaya akomodasi para ikhwah Poso yang mengajar mengaji.

3. Program pembagian santunan rutin (bulanan) kepada 18 keluarga muallaf. Banyaknya isu fitnah yang ditebarkan orang yang tidak bertanggung jawab, menyebabkan beberapa keluarga muallaf terhasut dan tidak mau menghadiri taklim lagi. Dakwah kepada mereka dilanjutkan dalam bentuk bantuan santunan rutin atau pembagian sembako dalam rangka melembutkan hati-hati mereka.

Tatkala penulis menyerahkan santunan sejumlah uang kepada seorang muallaf terlihat matanya berkaca-kaca.
Sampai sekarang, belum ada santunan rutin yang diberikan kepada tiap warga muallaf, selain pembagian pakaian pantas pakai, sabun, dan garam dapur. Itu pun baru terlaksana satu kali.

Demi meredam berbagai isu fitnah, program santunan juga ditujukan kepada beberapa tokoh adat dan kepala dusun (orang Bela yang sudah muslim sejak lahir) yang hidup di bawah garis kemiskinan.

4. Program biaya belajar santri La Uje, alhamdulillah, ada dua santri muallaf yang sudah dikirim ke Poso untuk belajar di Ma’had al-Manshurah dan Pra Tahfizh Poso. Insya Allah, ada beberapa anak muallaf lain yang ingin menyusul mereka untuk belajar di Poso.

5. Pembebasan tanah untuk tempat tinggal imam masjid dan beberapa keluarga muallaf.

6. Program pembangunan beberapa unit rumah kayu untuk beberapa orang Bela. Aji, seorang muallaf yang tinggal di dusun Silongkohung. Jika hendak ke lokasi masjid, dia mesti berjalan kaki sekitar empat puluh menit. Dia sangat menginginkan berpindah ke dekat masjid agar lebih intensif belajar Islam. Hanya saja karena terkendala biaya, Aji masih belum bisa membangun rumah dekat
masjid. Selain Aji, masih ada beberapa warga Bela yang menginginkan mendekat ke lokasi Masjid.

Setelah masjid dibangun, insya Allah akan diresmikan oleh pemerintah setempat: Camat, Kepala KUA, atau Kepala Desa. Sekaligus diadakan bakti sosial sunatan masal, pengobatan gratis, dan pembagian santunan terhadap para muallaf.

Perizinan Dakwah Kepada Para Muallaf
Sudah menjadi prinsip dakwah Ahlus Sunnah, setiap langkah dakwahnya selalu berkoordinasi dengan pemerintah. Sebagai bentuk ketaatan kepada pemerintah dalam hal ma’ruf. Para du’at yang hendak berdakwah kepada para muallaf ini menemui Kepala Desa Dongkalan, Camat, dan Kapolsek Palasa. Para pejabat tersebut secara umum mendukung program mulia ini.

Proses perizinan dilanjutkan ke tingkat lebih tinggi dengan menghadap Kapolres Parimo, Sekda Parimo, dan Kepala Kantor Kementerian Agama Kab. Parimo. Dengan kemudahan dari Allah subhanahu wa ta’ala, surat izin kegiatan dakwah dari Polres dan Kankemenag Kab. Parimo telah keluar.
Demikian gambaran singkat dakwah kepada para muallaf suku terasing Lauje.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mengokohkan keimanan mereka semua. Amin.

(al-Ustadz Abu Hafsh Umar al-Atsari, Poso)

Bagi Anda yang ingin membantu kelanjutan program dakwah ini, dapat disalurkan melalui:

Bank BRI Poso No. Rek. 0072-01-006008-53-0  a.n. SARMIN PAROSO

ATAU

Bank Syariah Mandiri Poso No. Rek. 70-699-3950-8 a.n. ATJO ISHAK ANDI MAPATOBA

 

CP: al-Ustadz Umar Abu Hafsh (081 383 314 075)

Laporan donasi yang masuk bisa dilihat di sini.